47
“ya nyaman, karena juga sepaham sama apa yang aku pikirkan selama ini, apa yang aku tanya, apa yang aku asumsikan, apa yang
aku pikirkan, jawaban yang aku dapat, sebagian besar sama dan
masuk akal” W2.A.P.06062016.J106
e. Declaration
Pada saat memasuki masa kuliah, subjek sudah mengakui dirinya sebagai seorang ateis agnostik. Walaupun tidak sepenuhnya mempengaruhi,
tetapi komunitas ateis yang dia ikuti banyak memberikan pandangan- pandangan yang selama ini dia cari dan dia pikirkan. Ateis merupakan
sebuah paham yang dia anggap sebagai paham yang cocok terhadap dirinya. Subjek menganggap Tuhan itu tidak ada, dan dia tidak tahu Tuhan itu ada
atau tidak. Membaca berbagai macam literatur mengenai ateis, mengenai Tuhan dan agama, berdiskusi dengan orang-orang beragama dan orang-
orang ateis yang berada di komunitas online ABAM, melihat berbagai macam perilaku dan tindakan buruk orang beragama membuat subjek
akhirnya jatuh pada paham ateis. “yaaa tidak bisa dibilang seluruhnya karena komunitas ini, aku mulai
memutuskan bahwa aku adalah ateis itu waktu baru masuk kuliah, banyak yang aku baca berkaitan dengan agama, Tuhan, ateis, nonton
video dll. Itu buat aku berpikir bahawa memang aku ini ateis, aku tidak percaya Tuhan, aku tidaktahu Tuhan itu ada atau Tid
ak ada.” W2.A.P.06062016.J108
Universitas Sumatera Utara
48
Setelah memutuskan untuk menjadi seorang ateis, ada hal positif yang dia rasakan, seperti merasa lebih legah, subjek merasa tidak terikat lagi oleh
yang namanya agama bahkan Tuhan sekalipun. Subjek merasa melakukan sesuatu bukan karena ada sosok yang ditakuti dan bukan karena paksaan.
Segala sesuatu yang dia lakukan menurutnya murni dari usaha dan pemikiran dia sendiri.
“dulu waktu memunutuskan jadi ateis ada perasaan legah, sampai sekarang sih sudah biasa aja, toh aku juga tidak asal ngasih tau
identitas ateis ku i ni”
W4.A.P.14062016.J24 Merasakan hal postif setelah memutuskan menjadi seorang ateis
bukan berarti membuat subjek tanpa hambatan. Banyak hal negatif yang juga dia alami, tetapi hal ini bukan muncul dari dalam dirinya, melainkan
dari lingkungannya. Subjek tidak bisa secara terang-terangan kepada setiap orang mengakui bahwa dirinya seorang ateis. Walaupun ada beberapa orang
yang tahu mengenai paham subjek, tetapi itu tidak dilaluinya dengan mudah, karena dia memang harus melihat keadaan lingkungannya mau
menerima dia atau tidak. Salah satu lingkungan yang menjadi kesulitan subjek adalah
lingkungan keluarganya. Lingkungan keluarga yang sangat taat terhadap ajaran agama dan Tuhan sangat tidak mungkin mau menerima paham
subjek. Subjek takut mengecewakan orang tua dan keluarganya karena paham yang dianutnya. Karena menurut subjek orang tuanya sudah
memberikan pendidikan agama yang cukup baik.
Universitas Sumatera Utara
49
“kalau orang tuaku tahu pasti marah, kecewa, karena gini eeee kalau kubilang sama orang tuaku, mereka pasti kecewa, mereka bilang
mereka didik nya gak baiklah”
W1.A.P.21032016.J126
“iyaaa.. pasti kayak gitu, sedangkan aku merasa mereka didiknya sudah bagus, aku aja yang memilih kayak gini, iya aku merasa ini
udah cocok untukku” W1.A.P.21032016.J128
Tidak hanya di lingkungan keluarga, subjek juga akan merasakan kesulitan untuk terbuka di lingkungan baru. Tidak semua orang dapat
menerima paham ateis apalagi di Indonesia yang memang memiliki penduduk yang mayoritasnya merupakan orang beragama. Dan subjek akan
sulit pula menemukan orang yang sepaham dengan subjek jika berada di lingkungan baru karena untuk menemukan orang yang sepaham, subjek
harus terbuka dengan paham yang dianutnya. “terkadang saya ingin mencari orang yang sama seperti saya di real
life, dan untuk itu tentu harus membicarakan agama, dan ketika di lingkungan baru tidak mendukung untuk pembicaraan seperti itu ,
kadang saya merasa sulit untuk mencari dukungan beda dengan
sekarang.” W5.A.P.21062016.J54
“sampai pemahaman mengenai ateis bisa diterima orang-orang, sampe saya merasa aman untuk orang seperti saya coming out
tentang identitas ini , ya itu harapan saya sih, tapi kalo ditanya gitu saya juga tidak tahu sampai kapan, mungkin tid
ak bakal pernah” W5.A.P.21062016.J50
“jangankan tidak beragama, beragama saja saling bom-boman, konon lagi awak ketahuan tid
ak beragama” W5.A.P.21062016.J52
Universitas Sumatera Utara
50
Paham ateis sering kali dianggap sebagai sesuatu yang buruk dan mengarah kepada perilaku negatif. Bahkan tidak dipungkiri lagi ateis
menjadi musuh bagi kaum beragama karena memiliki pandangan yang menyesatkan. Hal itu pun juga dirasakan oleh subjek. Subjek sering menjadi
musuh bagi orang-orang beragama yang sudah tahu mengenai paham yang dianut oleh subjek. Diajak berdebat mengenai Tuhan, mendapat penilaian
negatif merupakan hal yang sudah biasa dia alami. “bukan dijauhi sih, Cuma ada penilaian negatif saja dari mereka, tapi
ya itu bukan kaum beragama secara keseluruhan, hmmmm apa ya, biasanya sih orang bilang orang-orang yang ekstrimis gitu, nah
kadang ada penilaian negatif dari mereka, ateis itukan jahat, mabuk- mabukan, tidak ada nilai moralnya, ya kayak-
kayak gitulah” W3.A.P.12062016.J46
“yaa apa ya, kalau diruang lingkup mahasiswa misalnya anak-anak mushola, atau organisasi agama lainnya lah, tapikan yang besar
dikampus ini cuma dua organisasi yang nampak, Islam sama Kristen, biasakan orang-orang nyebut mereka kaum ekstrimis, jadi aku pakai
bahasa umum aja lah ya” W3.A.P.12062016.J48
“mereka tidak ada bilang benci sih, cuma bagi mereka itu, ateis merupakan apa ya, sesuatu yang hina kali ya hahahaha gitulah
kasarnya, suka dapat penilaian negatif, mungkin ada juga kali yang sampai jauhi orang-orang ateis, tidak ada secara eksplisit bilang
benci sih, tapikan, perilakunya menunjukkan hal kayak gitu” W3.A.P.12062016.J50
Selain dari ketiga hal itu, salah satu yang menjadi hambatan serta tantangan penganut paham ateis lainnya adalah pemilihan pasangan hidup
nantinya. Subjek pernah memiliki seorang pacar, tetapi ketika pacarnya tahu mengenai paham subjek, mereka langsung putus hubungan.
Universitas Sumatera Utara
51
“iyaa, aku dulu pernah pacaran, dia muslim, awalnya aku tidak bilang, terus sudah lama akhirnya aku bilanglah, awalnya dia bisa
terima, tapi pada akhirnya ya mau tidakmau kami putus ”
W3.A.P.12062016.J94 Hal ini menjadi salah satu bukti bagaimana nantinya subjek akan
kesulitan dalam mencari calon istri atau pasangan hidup. Subjek memang tidak mencari pasangan yang harus sepaham dengan dia, tetapi itu akan
menjadi sulit, karena jika dia memilih pasangan hidup yang sepaham dia akan menjadi tidak jujur dan tidak terbuka mengenai paham yang dia anut
karena takut kehilangan orang yang dia sayangi. Sedangkan jika dia memilih untuk mencari yang sepaham, justru dia akan kesulitan untuk
menemukan orang tersebut. Karena jika dia mencari, dia harus terbuka dulu akan pahamnya. Pada akhirnya dia akan memakai topeng agama kembali
dan tidak jujur terhadap pasangannya. “seandainya aku mencari yang sepaham sama aku, itu pasti sulit,
karenakan akan susah nantinya, kita hidup di Indonesia, apa-apa harus persetujuan orang tuakan, ketika aku mencari yang sepaham,
akan sulit menemukannya, hmmm cemana bilangnya yaa orang-orang ateis inikan termasuk minoritas, terus kalau seandainya aku
temukanlah yakan, tapi harus liat background agamanya jugalah, karenakan aku harus kenalin ke orang tuaku, kalau iya dapat yang
background agamanya muslim juga, kalau enggak gimana, pasti orang tua tidak setuju, belum lagi orang tua si cewek, ujung-ujungnya
ya kami sama-sama pakai topeng agamalah, tapi kalau aku cari yang tidak sepaham sebenarnya lebih mudah, tapi ya aku emang harus
pakai topeng agama ke pasanganku, sampai aku siap untuk terbuka sama dia, ketika terbuka, belum tentu dia maukan, kalau dia bisa
terima ya akan menyenangkan, tapi kalau tidak resikonya dia bisa pergi
” W3.A.P.12062016.J92
Berdasarkan paparan-paparan diatas dapat disimpulkan bahwa dari rasa penasaran subjek terhadap Tuhan dan agama membawa subjek menuju
paham ateis. Subjek penganut paham ateis agnostik. Perkembangan internet
Universitas Sumatera Utara
52
yang merupakan kemajuan tekhnologi serta tindakan buruk orang beragama adalah hal yang paling mempengaruhi subjek menjadi seorang ateis. Ada
empat hal yang menjadi hambatan subjek dalam menganut paham ateis, dan dia harus selalu memakai topeng agama dan tidak sembarangan terbuka
mengenai paham yang dianutnya. Itulah yang menjadi tantangan subjek kedepannya.
B. PEMBAHASAN