Indonesia, yaitu 1,3 adalah normal, kemudian 1,3 – 1,7 adalah waspada, 1,7
– 2,0 adalah kondisi siaga, dan yang terakhir adalah nilai indikator 2,0 merupakan kondisi krisis.
2. Heat Map
Indeks yang sudah digabung dengan threshold, memiliki kekurangan yaitu tidak dapat mengetahui sumber tekanan yang terjadi pada indeks. Dalam
rangka untuk mengetahui kondisi dan level perbankan yang terjadi pada indeks, maka penulis membuat heat map atau tabel indikator dengan indikasi
warna yang berbeda untuk mengetahui indikator yang menyebabkan terjadinya krisis perbankan.
Pemberian warna pada heat map akan disesuaikan dengan cara membaca indeks dengan threshold, dimana seluruhnya terdapat empat warna
berbeda. Warna biru untuk kondisi normal dengan nilai indikator 1,3, warna hijau untuk nilai indikator waspada antara 1,3 - 1,7, kemudian warna kuning
untuk nilai indikator siaga yaitu antara 1,7 – 2,0, dan warna merah diberikan
untuk indikator krisis dengan nilai indikator di atas 2,0. Penggunaan nilai tersebut sesuai dengan threshold yang telah ditentukan oleh Bank Indonesia
yatu, 1,3, 1,7, dan 2,0.
1
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini akan dijelaskan tentang hasil penelitian dalam menganalisis indeks ketahanan perbankan konvensional di Indonesia IKPK
bulan Mei 2003-September 2016.
A. Hasil Penelitian dan Pembahasan Single Index
Setelah dilakukan pemilihan variabel sebagai indikator, pemilihan metode normalisasi, pembobotan, dan penentuan threshold ambang batas,
serta mengkonversi ke dalam bentuk indeks, maka diperoleh hasil single index yang ditunjukkan pada gambar berikut:
1. Biaya Operasional dan Pendapatan Operasional BOPO
Sumber: Data diolah Microsoft Excel 2010 Gambar 4.1. Indeks BOPO
-2.000 -1.000
0.000 1.000
2.000 3.000
4.000 5.000
6.000
M a
y -0
3 Dec
-0 3
J u
l-0 4
F eb-
5 Sep
-0 5
A p
r -0
6 N
o v
-0 6
J un
-0 7
J a
n -0
8 Au
g -0
8 M
a r-
9 O
ct -0
9 M
a y
-1 Dec
-1 J
ul-1 1
F eb-
1 2
S ep
-1 2
A p
r -1
3 N
o v
-1 3
J un
-1 4
J a
n -1
5 Au
g -1
5 M
a r-
1 6
BOPO Threshold 2.0
Threshold 1.7 Threshold 1.3
2
Dari gambar 4.1 di atas menunjukkan bahwa kondisi BOPO mengalami krisis pada bulan Januari tahun 2006, awal 2007, awal 2009 dan
awal tahun 2011. Krisis pada awal tahun 2006 merupakan salah satu dampak dari krisis mini yang terjadi pada tahun 2005, dimana terjadi kenaikan harga
BBM pada akhir tahun 2005. Kemudian pada awal tahun 2006 merupakan fase pemulihan ekonomi nasional pasca naiknya harga BBM bulan oktober
2005 LPI 2006, Bank Indonesia. Peningkatan nilai BOPO pada awal tahun 2006 merupakan dampak dari tingginya seluruh biaya operasional akibat dari
naiknya harga BBM pada akhir tahun 2005, sehingga perbankan harus mengeluarkan biaya lebih banyak untuk menjalankan operasionalnya.
Tingginya biaya operasional yang harus dikeluarkan oleh perbankan konvensional menunjukkan bahwa target pendapatan perbankan konvensional
tidak terpenuhi akibat mini krisis tahun 2005 dan naiknya harga BBM pada akhir tahun 2005. Selain itu, krisis BOPO yang terjadi pada awal tahun 2007
merupakan dampak dari krisis subprime mortgage yang terjadi di Amerika Serikat dengan cepat menyebar dan menyerang sistem ekonomi di berbagai
negara. Hal ini mengakibatkan nilai tukar rupiah terdepresiasi, sehingga biaya operasional perbankan semakin tinggi LPI 2008, Bank Indonesia.
Pada tahun 2008, terlihat dari indeks diatas bahwa kondisi BOPO dalam keadaan baik atau dalam level aman. Hal ini karena Bank Indonesia
dan pemerintah telah belajar dari krisis tahun 1998, sehingga mampu
3
meminimalkan dampak dari krisis global yang diakibatkan oleh krisis subprime mortgage
di Amerika Serikat pada tahun 2007 LPI 2008, Bank Indonesia. Sedangkan krisis BOPO yang terjadi pada awal tahun 2009
merupakan dampak dari kestabilan sistem keuangan Indonesia yang masih dipengaruhi oleh gejolak pasar keuangan global dari akhir tahun 2008 hingga
awal tahun 2009 yang mempengaruhi kinerja pasar keuangan Indonesia LPI 2009, Bank Indonesia. Salah satu akibatnya adalah melemahnya nilai tukar
rupiah sehingga mengakibatkan tingkat efisiensi perbankan memburuk dan menaikkan nilai BOPO.
Tingginya nilai BOPO perbankan konvensonal di Indonesia pada awal 2011 merupakan salah satu akibat dari krisis utang pemerintah Yunani pada
paruh kedua tahun 2010, hal ini mengakibatkan melemahnya permintaan ekspor dari negara-negara Eropa yang berimbas pada negara berkembang di
Asia yang sedang dalam proses pemulihan ekonomi pasca krisis global tahun 2008 LPI 2011, Bank Indonesia. Pada saat ekspor ke negara Eropa menurun
akibat terjadinya krisis utang pemerintah Yunani, negara emerging markets justru masih menunjukkan tren positif dalam perbaikan ekonomi. Hal ini
dikarenakan meningkatnya perdagangan intra regional di kawasan Asia. Dalam hal ini, perbankan sebagai institusi yang berperan penting dalam
pemulihan perekonomian Indonesia, mengeluarkan biaya operasional yang
4
lebih besar untuk mempercepat pemulihan perekonomian Indonesia, sehingga meningkatkan nilai BOPO pada awal tahun 2011.
Terlihat dari grafik diatas bahwa kondisi BOPO tahun 2013 mengalami peningkatan setelah sempat menurun pada akhir tahun 2012. Hal
ini seiring dengan peningkatan efisiensi perbankan. Sehingga dari sisi pendapatan, perbankan mendapatkan peningkatan pendapatan dari bunga
kredit dan peningkatan pendapatan nonbunga LPI 2013, Bank Indonesia. Dengan demikian maka pendapatan yang diperoleh perbankan lebih tinggi
dari biaya operasional perbankan. Pada awal tahun 2014, rasio BOPO mengalami peningkatan. Kenaikan
biaya operasional perbankan pada awal tahun 2014 dikarenakan naiknya suku bunga DPK yang lebih besar dari suku bunga kredit, sehingga nilai BOPO
tahun 2014 lebih tinggi dibandingkan dengan nilai BOPO tahun 2013 LPI 2014, Bank Indonesia.