4.5. Ethical Clearance
Ethical clearance atau kelayakan etik adalah keterangan tertulis yang diberikan oleh komisi etik penelitian untuk penelitian yang melibatkan makhluk
hidup serta manusia, hewan dan tumbuhan, dimana dinyatakan bahwa suatu proposal riset layak dilaksanakan setelah memenuhi persyaratan tertentu. Pada
penelitian ini, kuesioner akan diberikan kepada supir angkutan umum di Terminal Amplas Medan, jika ethical clearence pada penelitian ini sudah mendapat
persetujuan dari Komisi Etik Penelitian Bidang Kesehatan Fakultas Kedokteran USU.
4.6. Teknik Pengolahan dan Analisa Data
4.6.1. Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu : 1.
Penyuntingan Data Editing Penyuntingan data, berguna untuk memeriksa adanya kesalahan atau
kekurang lengkapan data yang diisi subjek. 2.
Pemberian Kode Coding Dilakukan untuk memberi kode dan nomer jawaban yang diisi subjek
dalam daftar pertanyaan penelitian. Pemberian kode dilakukan untuk memudahkan proses entri data ke komputer.
3. Pembukuan Entry
Memasukkan data dari kuesioner ke dalam program komputer, dengan menggunakan program analisa data.
4. Pembersihan Data Data Cleaning
Bertujuan untuk membersihkan data, agar seluruh data yang sudah diperoleh bebas dari kesalahan sebelum dilanjutkan dengan proses
analisa data.
Universitas Sumatera Utara
4.6.2. Analisa Data
Dalam penelitian ini dilakukan dilakukan tahapan analisa sebagai berikut : 1.
Analisa Data Univariat Dilakukan untuk memperoleh gambaran distribusi frekuensi dan
proporsi dari setiap variabel yang diperkirakan berpengaruh terhadap volume kapasitas vital paru dan volume ekspirasi paksa satu detik
sesuai dengan kerangka pemikiran penelitian. 2.
Analisa Data Bivariat Dilakukan untuk mengetahui apakah ada hubungan atau perbedaan dari
variabel independen dengan variabel dependen sesuai dengan kerangka pemikiran penelitian.
Karena desain penelitian adalah untuk melihat apakah ada hubungan antara variabel, maka analisa penelitian yang digunakan adalah Analisa
X
2
Chi Square,
dengan rumus
:
|0 – E|
X
2
= E
X
2
= statistik chi square = frekuensi hasil observasi
E = frekuensi yang diharapkan
Untuk melihat hasil kemaknaan perhitungan statistik digunakan batas kemaknaan 0,05. Penerimaan terhadap hipotesa adalah jika p 0,05
maka ada perbedaan atau ada hubungan yang bermakna antara variabel independen dan variabel dependen. Sedangkan penolakan terhadap
hipotesa apabila nilai p 0,05 tidak ada perbedaan atau hubungan yang bermakna antara variabel independen dan variabel dependen.
Universitas Sumatera Utara
34
BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Hasil Penelitian 5.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian
Terminal Amplas Medan adalah merupakan salah satu terminal yang ada di Kota Medan yang berperan sebagai terminal bus antar kota dalam provinsi, antar
kota antar provinsi dan angkutan dalam Kota Medan. Terminal Amplas mulai beroperasi secara resmi dilaksanakan pada tanggal 15 Juli 1991.
Luas Terminal Amplas adalah 50.961 m
2
. Dengan batas terminal adalah sebagai berikut :
1. Sebelah Barat berbatasan dengan Kelurahan Tanjung Deli
2. Sebelah Timur berbatasan dengan Kelurahan Tanjung Deli
3. Sebelah Utara berbatasan dengan Kelurahan Amplas
4. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kelurahan Tanjung Deli
Berdasarkan data yang diperoleh dari laporan Terminal Amplas Medan pada bulan Januari 2001, jumlah kendaraan yang keluar masuk di Terminal Amplas
Medan untuk setiap harinya adalah sebanyak 10.000 unit.
5.1.2 Deskripsi Data Penelitian
Data penelitian yang digunakan adalah data primer. Data primer yaitu data yang didapatkan dari supir angkutan umum di Terminal Amplas Medan yang
setuju menjadi responden.
5.1.3 Karakteristik Responden
Pada penelitian ini, karakteristik responden yang ada dapat dibedakan berdasarkan usia, tingkat pendidikan, lama bekerja, kebiasaan merokok, kapasitas
vital paru, dan volume ekspirasi paksa satu detik. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam tabel dibawah ini.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Subjek Penelitian
No Variabel
Jumlah orang Persentase
1 2
3 4
5 6
Usia Muda ≤44 tahun
Tua 44 tahun Tingkat Pendidikan
Tamat SMP Tamat SMA
Lama Bekerja
Baru ≤5 tahun Lama 5 tahun
Kebiasaan Merokok Ya
Tidak KVP
Normal ≥80 Tidak normal 80
VEP
1
Normal ≥75 Tidak normal 75
49 51
30 70
28 72
75 25
40 60
45 55
49,0 51,0
30,0 70,0
28,0 72,0
75,0 25,0
40,0 60,0
45,0 55,0
Dari data tabel 5.1 terlihat bahwa supir angkutan umum yang tergolong muda yaitu 49 dan yang tergolong tua adalah 51. Tingkat pendidikan supir
angkutan umum yang tamat SMP yaitu 30 dan yang tamat SMA adalah 70. Supir angkutan umum yang tergolong baru bekerja yaitu 28 dan yang tergolong
sudah lama bekerja adalah 72. Berdasarkan karakteristik kebiasaan merokok, diketahui bahwa supir
angkutan umum yang merokok yaitu 75 dan yang tidak merokok adalah 25. Selain itu, supir angkutan umum yang memiliki kapasitas vital paru KVP yang
tergolong tidak normal yaitu 60 dan yang normal adalah 40 sedangkan yang memiliki volume ekspirasi paksa satu detik VEP
1
yang tergolong tidak normal yaitu 55 dan yang normal adalah 45.
Universitas Sumatera Utara
5.1.4 Hasil Analisis Data
Penelitian ini bertujuan untuk melihat ada atau tidaknya hubungan antara lama bekerja dan kebiasaan merokok terhadap kapasitas vital paru dan volume
ekspirasi paksa satu detik. Data hasil penelitian dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
Tabel 5.2 Hubungan Antara Lama Bekerja Dengan KVP
Lama Bekerja tahun
KVP Restriktif Total
p value Normal
n Tidak Normal
n
Baru ≤ 5
Lama 5 25 25
15 15 40
3 3,0 57 57
60 28
72 0,01
Total 100
Berdasarkan data tabel 5.2 terlihat bahwa jumlah supir angkutan umum yang mempunyai nilai KVP normal yaitu sebanyak 40 orang, sedangkan yang
tidak normal adalah 60 orang. Selanjutnya dapat dilihat juga bahwa gangguan restriksi paru lebih banyak ditemukan pada supir angkutan umum yang telah lama
bekerja 57 dibandingkan dengan supir yang tergolong baru bekerja 3,0. Pada supir angkutan umum yang tergolong baru bekerja, didapati bahwa 25
orang 25 tidak memiliki gangguan restriksi paru dan 3 orang 3,0 memiliki gangguan restriksi paru. Sedangkan pada supir angkutan umum yang telah lama
bekerja terdapat 15 orang 15 yang tidak memiliki gangguan restriksi paru dan 57 orang 57 memiliki gangguan restriksi paru.
Dari hasil uji statistik yang dilakukan terdapat hubungan yang bermakna antara lamanya seorang supir bekerja dengan terjadinya gangguan restriksi paru
dengan p value 0,01 p 0,05 Hal ini menunjukkan adanya kecenderungan bahwa supir angkutan umum yang telah lama bekerja memiliki kemungkinan
Universitas Sumatera Utara
lebih besar mengalami gangguan restriksi fungsi paru dibandingkan dengan supir angkutan yang tergolong baru bekerja.
Tabel 5.3 Hubungan Antara Lama Bekerja Dengan VEP
1
Lama Bekerja tahun
VEP
1
Obstruktif Total
p value Normal
n Tidak Normal
n
Baru ≤ 5
Lama 5 25 25
3 3,0 28
20 20 52 52
72 0,01
Total 45
55 100
Berdasarkan data tabel 5.3 terlihat bahwa jumlah supir angkutan umum yang mempunyai nilai VEP
1
normal yaitu sebanyak 45 orang, sedangkan yang tidak normal adalah 55 orang. Selanjutnya dapat dilihat juga bahwa gangguan
obstruksi paru lebih banyak ditemukan pada supir angkutan umum yang telah lama bekerja 52 dibandingkan dengan supir yang tergolong baru bekerja
3,0. Pada supir angkutan umum yang tergolong baru bekerja, didapati bahwa 25
orang 25 tidak memiliki gangguan obstruksi paru dan 3 orang 3,0 memiliki gangguan obstruksi paru. Sedangkan pada supir angkutan umum yang telah lama
bekerja terdapat 20 orang 20 yang tidak memiliki gangguan obstruksi paru dan 52 orang 52 memiliki gangguan obstruksi paru.
Dari hasil uji statistik yang dilakukan terdapat hubungan yang bermakna antara lamanya seorang supir bekerja dengan terjadinya gangguan obstruksi paru
dengan p value 0,01 p 0,05. Hal ini menunjukkan adanya kecenderungan bahwa supir angkutan umum yang telah lama bekerja memiliki kemungkinan
lebih besar mengalami gangguan obstruksi fungsi paru dibandingkan dengan supir angkutan yang tergolong baru bekerja.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 5.4 Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan KVP
Kebiasaan Merokok
KVP Restriktif Total
p value Normal
n Tidak Normal
n
Ya 16 16
59 59 75
Tidak 24 24
1 1,0 25
0,01 Total
40 60
100
Berdasarkan data tabel 5.4 terlihat bahwa jumlah supir angkutan umum yang mempunyai nilai KVP normal yaitu sebanyak 40 orang, sedangkan yang
tidak normal adalah 60 orang. Selanjutnya dapat dilihat juga bahwa gangguan restriksi paru lebih banyak ditemukan pada supir angkutan umum yang
mempunyai kebiasaan merokok 59 dibandingkan dengan supir yang tidak merokok 1,0.
Pada supir angkutan umum yang memiliki kebiasaan merokok, didapati bahwa 16 orang 16 tidak memiliki gangguan restriksi paru dan 59 orang
59 memiliki gangguan restriksi paru. Sedangkan pada supir angkutan umum yang tidak merokok terdapat 24 orang 24 yang tidak memiliki gangguan
restriksi paru dan 1 orang 1,0 memiliki gangguan restriksi paru. Dari hasil uji statistik yang dilakukan terdapat hubungan yang bermakna
antara kebiasaan merokok seorang supir dengan terjadinya gangguan restriksi paru dengan p value 0,01 p 0,05. Hal ini menunjukkan adanya kecenderungan
bahwa supir angkutan umum yang mempunyai kebiasaan merokok memiliki kemungkinan lebih besar mengalami gangguan restriksi fungsi paru dibandingkan
dengan supir angkutan yang tidak mempunyai kebiasaan merokok.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 5.5 Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan VEP
1
Kebiasaan Merokok
VEP
1
Obstruktif Total
p value Normal
n Tidak Normal
n
Ya Tidak
20 20 25 25
45 55 55
75 0 0,0
25 0,04
Total 55
100
Berdasarkan data tabel 5.5 terlihat bahwa jumlah supir angkutan umum yang mempunyai nilai VEP
1
normal yaitu sebanyak 45 orang, sedangkan yang tidak normal adalah 55 orang. Selanjutnya dapat dilihat juga bahwa gangguan
obstruksi paru lebih banyak ditemukan pada supir angkutan umum yang mempunyai kebiasaan merokok 55 dibandingkan dengan supir yang tidak
merokok 0,0. Pada supir angkutan umum yang memiliki kebiasaan merokok, didapati
bahwa 20 orang 20 tidak memiliki gangguan obstruksi paru dan 55 orang 55 memiliki gangguan obstruksi paru. Sedangkan pada supir angkutan umum
yang tidak merokok terdapat 25 orang 25 yang tidak memiliki gangguan obstruksi paru dan tidak ditemukan adanya supir yang memiliki gangguan
obstruksi paru 0,0. Dari hasil uji statistik yang dilakukan terdapat hubungan yang bermakna
antara kebiasaan merokok seorang supir dengan terjadinya gangguan obstruksi paru dengan p value 0,04 p 0,05. Hal ini menunjukkan adanya kecenderungan
bahwa supir angkutan umum yang mempunyai kebiasaan merokok memiliki kemungkinan lebih besar mengalami gangguan obstruksi fungsi paru
dibandingkan dengan supir angkutan yang tidak mempunyai kebiasaan merokok.
Universitas Sumatera Utara
5.2 Pembahasan Hasil Penelitian
Fungsi paru dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya usia, jenis kelamin, ukuran paru, etnik, tinggi badan, kebiasaan merokok, toleransi latihan, kekeliruan
pengamat, kekeliruan alat, variasi dan suhu lingkungan sekitar. Di samping itu kapasitas paru berkurang jika terdapat penyakit paru-paru, penyakit jantung yang
menimbulkan kongesti paru dan pada kelemahan otot pernafasan. Kapasitas vital paru dan volume ekspirasi paksa satu detik berbeda pada setiap individu.
5.2.1 Hubungan antara Lama Bekerja dengan KVP dan VEP
1
Profesi supir angkutan umum sangat rentan mengalami penurunan fungsi paru karena setiap harinya mengalami kontak langsung dengan polusi kendaraan
bermotor, asap rokok dari lingkungan kerja. Semakin lama terpapar debu maka semakin banyak debu yang tertimbun dan menimbulkan penyakit, dimana
penyakit paru akibat debu dapat timbul antara 2-4 tahun setelah terpapar debu. Lama kerja adalah suatu kurun waktu atau lamanya tenaga kerja itu bekerja
di suatu tempat. Lama kerja dapat mempengaruhi kinerja baik positif maupun negatif. Memberi pengaruh positif pada pekerja bila dengan semakin lamanya
bekerja, tenaga kerja akan semakin berpengalaman dalam melaksanakan tugasnya. Sebaliknya, akan memberi pengaruh negatif apabila dengan semakin lamanya
bekerja maka akan timbul kebosanan pada tenaga kerja. Hal ini biasanya terkait dengan pekerjaan yang bersifat monoton dan berulang-ulang Tulus, 1992.
Sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa semakin lama orang bekerja maka semakin besar pula resiko terkena penyakit akibat kerja. Pada pekerja
dengan lingkungan berdebu, semakin lama orang bekerja maka semakin banyak pula debu yang dapat mengendap di paru karena secara teoritis diketahui bahwa
efek paparan debu tergantung pada dosis atau konsentrasi, tempat dan waktu paparan. Waktu paparan diartikan sebagai frekuensi atau lamanya seseorang
terpapar debu, sehingga semakin lama terpapar, semakin tinggi kemungkinan untuk timbul gangguan, apalagi didukung oleh zat pemapar dengan konsentrasi
yang tinggi. Bila debu ini dihisap dalam jumlah cukup banyak dan dalam jangka waktu lama, maka akan dapat menimbulkan berbagai kerusakan dan membentuk
Universitas Sumatera Utara
jaringan ikat pada paru yang akhirnya dapat menimbulkan penyakit Anhar AS dkk, 2005. Akibat penghirupan debu, yang langsung dirasakan adalah sesak,
bersin, dan batuk karena adanya gangguan pada saluran pernapasan. Paparan debu untuk beberapa tahun pada kadar yang rendah tetapi diatas batas limit paparan
menunjukkan efek toksik yang jelas, tetapi hal ini tergantung pada pertahanan tubuh dari masing-masing pekerja Sirait, 2010.
Pengukuran fungsi paru yang dilaksanakan terhadap supir angkutan umum di Terminal Amplas Medan, berdasarkan hasil uji statistiknya diperoleh p value
0,01 0,05 yang berarti ada hubungan yang signifikan antara lama bekerja dengan KVP maupun VEP
1
. Hal ini sesuai dengan pendapat Suma’mur 2009,
bahwa salah satu variabel potensial yang dapat menimbulkan gangguan fungsi paru adalah lamanya seseorang terpapar debu.
Hasil penelitian ini juga sejalan dengan beberapa penelitian sebelumnya yaitu seperti yang telah dilakukan oleh Riswati 2004, yang menunjukkan bahwa
ada hubungan antara lama bekerja dengan kapasitas vital paru pada semua tukang cat mobil di bengkel pengecatan mobil Kampung Ligu Kota Semarang. Begitu
juga dalam penelitian Achmad 2004, yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara lama bekerja dengan kapasitas vital paru pada pekerja
penggilingan padi sejumlah 49 orang di Kecamatan Purwanegara, dari hasil analisa bivariat diketahui bahwa ada hubungan yang kuat antara keduanya p =
0,002. Sama halnya dengan penelitian Aliyani 2009, dari 33 responden pekerja industri penggilingan padi di Desa Klumprit, Sukoharjo, didapati hasil penelitian
yang menunjukkan bahwa pekerja dengan masa kerja yang lama mengalami penurunan fungsi paru.
Penelitian yang dilakukan oleh Nugraheni 2004 menyimpulkan bahwa konsentrasi dan lama terpapar berbanding lurus dengan gangguan fungsi paru.
Kerja fisik apalagi kerja berat dan monoton yang dilakukan di tempat-tempat berdebu dalam waktu yang lama tanpa disertai dengan rotasi kerja, istirahat, dan
rekreasi yang cukup, akan berakibat terjadinya penurunan kapasitas paru dari tenaga kerja. Hal ini selaras dengan pernyataan Wahyu 2003 bahwa semakin
lama seseorang bekerja di suatu daerah berdebu maka kapasitas paru seseorang
Universitas Sumatera Utara
akan semakin menurun sehingga berisiko untuk mengalami gangguan fungsi paru, serupa dengan pendapat Morgan 1978 dan Parkes 1982 dalam Faridawati
1995. Penelitian Sumanto 1999 juga menunjukkan hasil yang sama, dari penelitian tersebut diketahui paparan debu akan menurunkan kapasitas paru
sebesar 35,3907 ml per satu tahun masa kerja. Dari beberapa penelitian terdahulu tersebut semuanya mendukung temuan
penelitian ini, meskipun lama waktu paparan yang dihasilkan dari tiap penelitian tersebut berbeda. Hal ini kemungkinan dipengaruhi oleh jenis atau material
paparan yang berbeda serta keberadaan variabel lain yang dapat mempengaruhi terjadinya gangguan fungsi paru.
Namun hasil penelitian ini tidak selaras dengan hasil penelitian Khumaidah 2009, yang menyimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara
lama bekerja dengan gangguan fungsi paru dengan p value = 0,444. Demikian juga hasil penelitian Nugroho 2010 didapatkan bahwa tidak ada hubungan yang
signifikan antara lama bekerja dan gangguan fungsi paru dengan p value = 0,354. Menurut Nugroho 2010, lama bekerja tidak mempunyai hubungan
langsung terhadap terjadinya gangguan pernafasan tetapi dapat menjadi faktor risiko terjadinya gangguan fungsi pernafasan. Keadaan ini disebabkan oleh karena
variabel lama bekerja tidak secara langsung atau tidak dapat berdiri sendiri untuk mempengaruhi gangguan pernafasan, sehingga memerlukan variabel lain untuk
bersama-sama mempengaruhi gangguan fungsi pernafasan. Kemungkinan lain yaitu debu yang terhirup membutuhkan waktu yang lebih lama untuk dapat
menimbulkan gangguan pernafasan, karena setiap jenis debu organik maupun anorganik sampai menimbulkan gangguan pernafasan mempunyai jangka waktu
berbeda, tergantung konsentrasi atau kadar serta ukuran debu tersebut dan hal lain kemungkinan
adalah adanya
kerentanan pekerja
terhadap polutan.
Ketidakselarasan hasil penelitian ini kemungkinan dipengaruhi oleh berbagai macam faktor seperti perbedaan jumlah sampel maupun kriteria inklusi dan
eksklusi yang dirancang oleh masing-masing peneliti, ataupun adanya keberadaan variabel lainnya sehingga hasil penelitian yang diperoleh pun bervariasi.
Universitas Sumatera Utara
5.2.2 Hubungan antara Kebiasaan Merokok dengan KVP dan VEP
1
Struktur dan fungsi saluran pernafasan dan jaringan paru-paru dapat berubah akibat merokok. Pada saluran nafas besar, sel mukosa membesar hipertrofi dan
kelenjar mukus bertambah banyak. Pada saluran pernafasan kecil, terjadi radang ringan hingga penyempitan akibat bertambahnya sel dan penumpukan lendir. Pada
jaringan paru terjadi peningkatan jumlah sel radang dan kerusakan alveoli. Akibat perubahan anatomi saluran napas, akan timbul perubahan klinisnya. Hal ini
menjadi dasar utama terjadinya penyakit obstruktif paru menahun. Kebiasaan merokok dapat menimbulkan gangguan paru berupa bronkitis
dan emfisema. Pada kedua keadaan ini terjadi penurunan fungsi paru. Selain itu, pecandu rokok sering menderita penyakit batuk kronis, kepala pusing, perut mual,
sukar tidur, dan lain-lain. Kalau gejala-gejala diatas tidak segera diatasi maka gejala yang lebih buruk lagi akan terjadi, seperti semakin sulit untuk bernapas,
kecepatan pernapasan bertambah, kapasitas vital berkurang, dan lain-lain. Pengukuran fungsi paru yang dilaksanakan terhadap supir angkutan umum
di Terminal Amplas Medan, berdasarkan hasil uji statistiknya diperoleh p value 0,01 dan 0,04 p 0,05 yang berarti ada hubungan yang signifikan antara
kebiasaan merokok dengan KVP dan VEP
1
. Hal ini sejalan dengan penelitian Nugraheni 2004 yang menunjukkan kebiasaan merokok dapat memperberat
kejadian fungsi paru pada pekerja padi dengan risiko 2,8 kali lebih besar dibandingkan dengan yang tidak merokok.
Selain itu juga, menurut Epler 2000 kebiasaan merokok merupakan faktor penyerta potensial terjadinya gangguan fungsi paru. Kebiasaan merokok bukan
hanya akan mengurangi tingkat pertukaran oksigen dalam darah, tetapi juga akan menjadi faktor potensial dari beberapa penyakit paru, termasuk karsinoma paru.
Oleh karena itu, kebiasaan merokok dapat memperberat kejadian gangguan fungsi paru. Kebiasaan merokok seseorang mempengaruhi kapasitas paru. Hampir semua
perokok yang diobservasi menunjukkan penurunan pada fungsi parunya. Dari penelitian yang dilakukan oleh dr. E.C. Hammond dari American Cancer Society,
ditarik kesimpulan bahwa mereka yang mulai mencandu rokok pada umur kurang dari 15 tahun mempunyai risiko menderita kanker paru dikemudian hari 4 sampai
Universitas Sumatera Utara
18 kali lebih tinggi daripada yang tidak merokok, sedang kebiasaan tersebut dimulai di atas 25 tahun, risikonya menjadi 2 sampai 5 kali lebih tinggi daripada
yang tidak merokok Wahyu, 2003. Kebiasaan merokok pada pekerja yang terpapar oleh debu memperbesar
kemungkinan untuk terjadinya gangguan fungsi paru Gold dkk, 2005. Penelitian lain oleh Faridawati 1995 juga menunjukkan hasil kebiasaan merokok pada
pekerja akan memberikan dampak kumulatif terhadap timbulnya gangguan fungsi paru. Hal ini disebabkan asap rokok akan menghilangkan bulu-bulu silia di
saluran pernafasan yang berfungsi sebagai penyaring udara yang masuk dalam pernafasan.
Demikian juga dengan penelitian Nugroho 2010, didapati bahwa ada hubungan yang signifikan antara kebiasaan merokok dengan kejadian kelainan
fungsi paru dengan p value = 0,000 p 0,05. Hal ini sejalan dengan teori bahwa kebiasaan merokok dapat menimbulkan gangguan ventilasi paru karena dapat
menyebabkan iritasi dan sekresi mukus yang berlebihan pada bronkus. Keadaan seperti ini dapat mengurangi efektifitas mukosiler dan membawa partikel-partikel
debu sehingga merupakan media yang baik tumbuhnya bakteri. Asap rokok dapat meningkatkan risiko timbulnya penyakit bronkitis dan kanker paru Yunus, 1997.
Berdasarkan hasil penelitian Suyono 2001, inhalasi asap tembakau baik primer maupun sekunder dapat menyebabkan penyakit saluran pernapasan pada
orang dewasa. Asap rokok mengiritasi paru-paru dan masuk ke dalam aliran darah, sehingga merokok lebih menurunkan kapasitas vital paru dibandingkan
beberapa bahaya kesehatan akibat kerja Depkes RI, 2003. Menurut Dhaise dan Rabi 1997 tenaga kerja yang merokok dan berada di
lingkungan yang berdebu cenderung mengalami gangguan saluran pernapasan dibanding dengan tenaga kerja yang berada pada lingkungan yang sama tetapi
tidak merokok. Kebiasaan merokok dapat menyebabkan gangguan fungsi paru obstruktif yang umumnya ditandai dengan penurunan volume ekspirasi paksa
detik pertama VEP
1
, hal ini selaras dengan pendapat Rahmatullah 2009 yang menyatakan bahwa besarnya penurunan fungsi paru VEP
1
berhubungan langsung dengan kebiasaan merokok. Pada orang dengan fungsi paru normal dan
Universitas Sumatera Utara
tidak merokok mengalami penurunan VEP
1
20 ml pertahun, sedangkan pada orang yang merokok perokok akan mengalami penurunan VEP
1
lebih dari 50 ml pertahunnya. Oleh karena itu sebaiknya pekerja menghentikan kebiasaan merokok
untuk mencegah laju penurunan VEP
1
. Disamping pengaruh rokok, paparan debu dalam waktu lama di lingkungan kerja dapat menyebabkan terjadinya gangguan
fungsi paru obstruktif maupun restriktif. Namun, hasil penelitian tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Mustika 2011, pada pekerja kayu di wilayah Puskesmas Lumpue Pare-Pare, hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 23 responden yang merokok sebanyak 9
orang 39,1 mempunyai kapasitas paru tidak normal, sedangkan dari 7 orang yang tidak merokok sebanyak 1 orang 14,3 mempunyai kapasitas paru tidak
normal. Dari hasil uji statistik yang dilakukan diketahui bahwa tidak ada hubungan antara merokok dengan kapasitas paru pekerja. Sama halnya dengan
penelitian yang dilakukan oleh Lestari 2013 dengan jumlah sampel 42 responden, didapati bahwa responden yang merokok sebanyak 65 memiliki
kapasitas paru tidak normal, sedangkan yang tidak merokok 68,2 juga memiliki kapasitas paru tidak normal. Uji statistik diperoleh p value 0,827 yang berarti
tidak ada hubungan yang bermakna antara kebiasaan merokok dengan kapasitas paru tenaga kerja di PT Eastern Pearl Flour Mills, Makassar. Hal ini berbeda
dengan teori yang menyatakan bahwa kebiasaan merokok akan mempengaruhi penurunan fungsi paru. Hasil yang berbeda dengan penelitian terdahulu ini
kemungkinan disebabkan oleh karena adanya perbedaan baik jumlah sampel maupun karakteristik sampel yang diuji, dan bisa juga dipengaruhi oleh
keberadaan variabel lainnya.
Universitas Sumatera Utara
5.2.3 Keterbatasan Penelitian
Dalam melakukan penelitian ini, penulis memiliki beberapa keterbatasan yaitu:
1. Faktor-faktor yang mempengaruhi fungsi paru KVP dan VEP
1
dalam penelitian ini hanya terdiri dari dua variabel, yaitu lama bekerja dan
kebiasaan merokok, sedangkan masih banyak faktor lain yang dapat mempengaruhi fungsi paru seseorang.
2. Jumlah populasi yang digunakan dalam penelitian ini hanya supir
angkutan umum di Terminal Amplas Medan. 3.
Adanya keterbatasan responden dalam pengisisan kuesioner dikarenakan tingkat pendidikan yang berbeda-beda.
4. Analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini hanya sampai pada uji
bivariat.
Universitas Sumatera Utara
47
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Supir angkutan umum yang telah lama bekerja dan yang mempunyai kebiasaan merokok lebih banyak memiliki gangguan restriksi fungsi paru dan
gangguan obstruksi paru dibandingkan dengan supir angkutan umum yang tergolong baru bekerja dan tidak mempunyai kebiasaan merokok. Dari uji statistik
ditemukan bahwa: 1. Terdapat hubungan yang bermakna p = 0,01 antara lama bekerja dengan
KVP fungsi paru restriktif. Supir angkutan umum yang telah lama bekerja memiliki gangguan restriksi fungsi paru lebih banyak yaitu
sejumlah 57 orang 57, sedangkan supir angkutan umum yang tergolong baru bekerja diantaranya hanya 3 orang 3,0 yang memiliki
gangguan restriksi fungsi paru.
2. Terdapat hubungan yang bermakna p = 0,01 antara lama bekerja dengan VEP
1
fungsi paru obstruktif. Supir angkutan umum yang telah lama bekerja memiliki gangguan obstruksi fungsi paru lebih banyak yaitu
sejumlah 52 orang 52, sedangkan supir angkutan umum yang tergolong baru bekerja diantaranya hanya 3 orang 3,0 yang memiliki
gangguan obstruksi fungsi paru. 3. Terdapat hubungan yang bermakna p = 0,01 antara kebiasaan merokok
dengan KVP fungsi paru restriktif. Supir angkutan umum yang mempunyai kebiasaan merokok memiliki gangguan restriksi fungsi paru
lebih banyak yaitu sejumlah 59 orang 59, sedangkan supir angkutan umum yang tidak mempunyai kebiasaan merokok diantaranya hanya 1
orang 1,0 yang memiliki gangguan restriksi fungsi paru. 4. Terdapat hubungan yang bermakna p = 0,04 antara kebiasaan merokok
dengan VEP
1
fungsi paru obstruktif. Supir angkutan umum yang mempunyai kebiasaan merokok memiliki gangguan obstruksi fungsi paru
Universitas Sumatera Utara
lebih banyak yaitu sejumlah 55 orang 55, sedangkan supir angkutan umum yang tidak mempunyai kebiasaan merokok diantaranya tidak ada
yang memiliki gangguan obstruksi fungsi paru.
6.2 Saran