5.2.2 Hubungan antara Kebiasaan Merokok dengan KVP dan VEP
1
Struktur dan fungsi saluran pernafasan dan jaringan paru-paru dapat berubah akibat merokok. Pada saluran nafas besar, sel mukosa membesar hipertrofi dan
kelenjar mukus bertambah banyak. Pada saluran pernafasan kecil, terjadi radang ringan hingga penyempitan akibat bertambahnya sel dan penumpukan lendir. Pada
jaringan paru terjadi peningkatan jumlah sel radang dan kerusakan alveoli. Akibat perubahan anatomi saluran napas, akan timbul perubahan klinisnya. Hal ini
menjadi dasar utama terjadinya penyakit obstruktif paru menahun. Kebiasaan merokok dapat menimbulkan gangguan paru berupa bronkitis
dan emfisema. Pada kedua keadaan ini terjadi penurunan fungsi paru. Selain itu, pecandu rokok sering menderita penyakit batuk kronis, kepala pusing, perut mual,
sukar tidur, dan lain-lain. Kalau gejala-gejala diatas tidak segera diatasi maka gejala yang lebih buruk lagi akan terjadi, seperti semakin sulit untuk bernapas,
kecepatan pernapasan bertambah, kapasitas vital berkurang, dan lain-lain. Pengukuran fungsi paru yang dilaksanakan terhadap supir angkutan umum
di Terminal Amplas Medan, berdasarkan hasil uji statistiknya diperoleh p value 0,01 dan 0,04 p 0,05 yang berarti ada hubungan yang signifikan antara
kebiasaan merokok dengan KVP dan VEP
1
. Hal ini sejalan dengan penelitian Nugraheni 2004 yang menunjukkan kebiasaan merokok dapat memperberat
kejadian fungsi paru pada pekerja padi dengan risiko 2,8 kali lebih besar dibandingkan dengan yang tidak merokok.
Selain itu juga, menurut Epler 2000 kebiasaan merokok merupakan faktor penyerta potensial terjadinya gangguan fungsi paru. Kebiasaan merokok bukan
hanya akan mengurangi tingkat pertukaran oksigen dalam darah, tetapi juga akan menjadi faktor potensial dari beberapa penyakit paru, termasuk karsinoma paru.
Oleh karena itu, kebiasaan merokok dapat memperberat kejadian gangguan fungsi paru. Kebiasaan merokok seseorang mempengaruhi kapasitas paru. Hampir semua
perokok yang diobservasi menunjukkan penurunan pada fungsi parunya. Dari penelitian yang dilakukan oleh dr. E.C. Hammond dari American Cancer Society,
ditarik kesimpulan bahwa mereka yang mulai mencandu rokok pada umur kurang dari 15 tahun mempunyai risiko menderita kanker paru dikemudian hari 4 sampai
Universitas Sumatera Utara
18 kali lebih tinggi daripada yang tidak merokok, sedang kebiasaan tersebut dimulai di atas 25 tahun, risikonya menjadi 2 sampai 5 kali lebih tinggi daripada
yang tidak merokok Wahyu, 2003. Kebiasaan merokok pada pekerja yang terpapar oleh debu memperbesar
kemungkinan untuk terjadinya gangguan fungsi paru Gold dkk, 2005. Penelitian lain oleh Faridawati 1995 juga menunjukkan hasil kebiasaan merokok pada
pekerja akan memberikan dampak kumulatif terhadap timbulnya gangguan fungsi paru. Hal ini disebabkan asap rokok akan menghilangkan bulu-bulu silia di
saluran pernafasan yang berfungsi sebagai penyaring udara yang masuk dalam pernafasan.
Demikian juga dengan penelitian Nugroho 2010, didapati bahwa ada hubungan yang signifikan antara kebiasaan merokok dengan kejadian kelainan
fungsi paru dengan p value = 0,000 p 0,05. Hal ini sejalan dengan teori bahwa kebiasaan merokok dapat menimbulkan gangguan ventilasi paru karena dapat
menyebabkan iritasi dan sekresi mukus yang berlebihan pada bronkus. Keadaan seperti ini dapat mengurangi efektifitas mukosiler dan membawa partikel-partikel
debu sehingga merupakan media yang baik tumbuhnya bakteri. Asap rokok dapat meningkatkan risiko timbulnya penyakit bronkitis dan kanker paru Yunus, 1997.
Berdasarkan hasil penelitian Suyono 2001, inhalasi asap tembakau baik primer maupun sekunder dapat menyebabkan penyakit saluran pernapasan pada
orang dewasa. Asap rokok mengiritasi paru-paru dan masuk ke dalam aliran darah, sehingga merokok lebih menurunkan kapasitas vital paru dibandingkan
beberapa bahaya kesehatan akibat kerja Depkes RI, 2003. Menurut Dhaise dan Rabi 1997 tenaga kerja yang merokok dan berada di
lingkungan yang berdebu cenderung mengalami gangguan saluran pernapasan dibanding dengan tenaga kerja yang berada pada lingkungan yang sama tetapi
tidak merokok. Kebiasaan merokok dapat menyebabkan gangguan fungsi paru obstruktif yang umumnya ditandai dengan penurunan volume ekspirasi paksa
detik pertama VEP
1
, hal ini selaras dengan pendapat Rahmatullah 2009 yang menyatakan bahwa besarnya penurunan fungsi paru VEP
1
berhubungan langsung dengan kebiasaan merokok. Pada orang dengan fungsi paru normal dan
Universitas Sumatera Utara
tidak merokok mengalami penurunan VEP
1
20 ml pertahun, sedangkan pada orang yang merokok perokok akan mengalami penurunan VEP
1
lebih dari 50 ml pertahunnya. Oleh karena itu sebaiknya pekerja menghentikan kebiasaan merokok
untuk mencegah laju penurunan VEP
1
. Disamping pengaruh rokok, paparan debu dalam waktu lama di lingkungan kerja dapat menyebabkan terjadinya gangguan
fungsi paru obstruktif maupun restriktif. Namun, hasil penelitian tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Mustika 2011, pada pekerja kayu di wilayah Puskesmas Lumpue Pare-Pare, hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 23 responden yang merokok sebanyak 9
orang 39,1 mempunyai kapasitas paru tidak normal, sedangkan dari 7 orang yang tidak merokok sebanyak 1 orang 14,3 mempunyai kapasitas paru tidak
normal. Dari hasil uji statistik yang dilakukan diketahui bahwa tidak ada hubungan antara merokok dengan kapasitas paru pekerja. Sama halnya dengan
penelitian yang dilakukan oleh Lestari 2013 dengan jumlah sampel 42 responden, didapati bahwa responden yang merokok sebanyak 65 memiliki
kapasitas paru tidak normal, sedangkan yang tidak merokok 68,2 juga memiliki kapasitas paru tidak normal. Uji statistik diperoleh p value 0,827 yang berarti
tidak ada hubungan yang bermakna antara kebiasaan merokok dengan kapasitas paru tenaga kerja di PT Eastern Pearl Flour Mills, Makassar. Hal ini berbeda
dengan teori yang menyatakan bahwa kebiasaan merokok akan mempengaruhi penurunan fungsi paru. Hasil yang berbeda dengan penelitian terdahulu ini
kemungkinan disebabkan oleh karena adanya perbedaan baik jumlah sampel maupun karakteristik sampel yang diuji, dan bisa juga dipengaruhi oleh
keberadaan variabel lainnya.
Universitas Sumatera Utara
5.2.3 Keterbatasan Penelitian