timbulnya pengungsi akibat konflik di berbagai daerah, pemerintah pun terpaksa menyediakan bantuan bagi para pengungsi. Pengelolaan dana sosial
ini juga telah membuka dugaan terjadinya penyimpangan. 13.
Reformasi tidak hanya membuka jalan bagi terbentuknya pemerintahan sipil dan lapisan politisi sipil, tetapi juga timbulnya peluang bagi pengelolaan
ekonomi daerah yang lebih besar. Selain ditunjukkan oleh peningkatan jumlah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBD, daerah-daerah
yang kaya akan Sumber Daya Alam SDA. Seperti Aceh, Riau, Papua, dan Kalimantan Timur juga telah menjadi incaran bagi praktik penyimpangan
dalam pengelolaan anggaran dan SDA tersebut.
C. Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia
Korupsi adalah salah satu dari sekian banyak tantangan besar yang kita hadapi di zaman kita ini. Korupsi telah mewabah dan ada dimana-mana. Darimana
dan bagaimana memulai pemberantasan korupsi, ketika penyimpangan kekuasaan itu sudah sistemik merasuk ke semua sektor di berbagai tingkatan, dalam
lingkungan politik dan birokrasi yang tidak mendukung. Korupsi merupakan masalah yang telah sejak lama mewarnai berbagai
aspek dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia. Selama beberapa dasawarsa, fenomena itu telah menjadi suatu persoalan nasional yang amat sukar
ditanggulangi. Bahkan secara sinis, ada komentar di sebuah jurnal asing yang mengulas kondisi korupsi di negara ini dengan mengatakan, bahwa “corruption is
way of live in Indonesia”, yang berarti korupsi telah menjadi pandangan dan jalan
Universitas Sumatera Utara
kehidupan bangsa Indonesia.
50
Oleh karena itu, pandangan pesimistis akan menyatakan hampir tidak mungkin untuk memberantas praktik korupsi di
Indonesia.
51
Kebijakan pemberantasan tindak pidana korupsi telah dilakukan di setiap masa kepemimpinan nasional di Indonesia. Berikut akan dijelaskan secara singkat
kebijakan-kebijakan yang digulirkan pemimpin bangsa ini mulai dari masa kepemimpinan Soekarno sampai masa kepemimpinan Susilo Bambang
Yudhoyono. Perkembangan modus salah satu kejahatan, yakni korupsi, akhir-akhir ini
menunjukkan skala yang semakin meluas dan juga semakin canggih. Dampak yang ditimbulkan oleh pelaku korupsi demikian mengguncang moralitas norma
dan praktek peradilan. Kategori extra ordinary crime kejahatan luar biasa bagi tindak pidana korupsi tentu saja membutuhkan extra ordinary measures extra
ordinary enforcement penanganan yang luar biasa. Memerangi korupsi adalah tugas utama yang harus diselesaikan di masa
reformasi, mustahil mereformasi suatu negara jika korupsi masih merajalela. Sangat naif memberantas kemiskinan, meningkatkan pelayanan kesehatan, atau
mempertinggi mutu pendidikan jika korupsi tetap dibiarkan merajalela.
52
1. Masa pemerintahan Soekarno 1945-1966
Dalam kurun waktu 1956-1957 muncul gerakan anti korupsi yang dipimpin oleh Kolonel Zulkifli Lubis, Wakil Kepala Staf Angkatan Darat.
Kampanye anti korupsi, memberantas orang-orang yang dianggap “tak tersentuh”
50
Elwi Danil, ibid
51
O. C. Kaligis, Antologi Tulisan Ilmu Hukum, PT Alumni Bandung, 2007, hal. 193
52
Aziz Syamsuddin, Tindak Pidana Khusus, Sinar Grafika, Jakarta 2011, hal. 182-190
Universitas Sumatera Utara
dan kebal hukum, baik di kalangan politisi, pengusaha maupun pejabat. Zulkifli bekerjasama dengan Jaksa Agung Suprapto dan melibatkan pemuda-pemuda
mantan tentara pelajar. Konon, alasan Zulkifli waktu itu aparat hukum tidak berjalan dan tidak berfungsi, sehingga dia harus bertindak dengan caranya sendiri
dengan membentuk “pasukan khusus”. Pada masa itu dikeluarkan Peraturan Penguasa Militer Nomor PRTPM061957 tentang Pemberantsan Korupsi. Dalam
aturan itu muncul istilah korupsi. Peraturan itu dibuat karena KUH Pidana dianggap tidak mampu menanggulangi meluasnya praktik-praktik korupsi ketika
itu. Satu tahun kemudian dikeluarkan Peraturan Penguasa Perang Pusat
Angkatan Darat Nomor PRTPEPERPU0131958 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Perbuatan Korupsi dan Pemilikan Harta Benda.
Terakhir pada 1960, Presiden Soekarno mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Perpu Nomor 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan,
Penuntutan, Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Pada 1961, Pemerintah dan DPR Gr menerbitkan Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1961 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Perpu Nomor 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan,
Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi menjadi Undang-Undang. 2.
Masa pemerintahan Soeharto 1967-1998 Kebijakan dan gerakan pemberantasan Tipikor di masa pemerintahan
Soeharto dapat dibagi ke dalam beberapa periode, yaitu sebagai berikut: a.
Periode 1967
Universitas Sumatera Utara
Sebagai Pejabat Presiden waktu itu, Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 228 Tahun 1967 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, sekaligus payung hukum untuk membentuk Tim Pemberantasan Korupsi. Tim ini bertanggungjawab kepada Jaksa
Agung. Pada Tahun 1982, Tim Pemberantasan Korupsi dibubarkan. b.
Periode 1970 Presiden Soeharto mengeluarkan Surat Keputusan Presiden Nomor 12
Tahun 1970 tentang Pembentukan Komisi Empat. Komisi yang dibentuk pada Januari 1970 itu bertugas meneliti dan mengkaji
kebijakan dan hasil yang dicapai dalam pemberantasan korupsi. Usia Komisi Empat sangat singkat. Pada Mei 1970, Komisi Empat
dibubarkan. c.
Periode 1971 Presiden Soeharto membentuk Komite Anti Korupsi, menggantikan
Komisi Empat, pada Juni 1970. Namun, Komite Anti Korupsi juga dibubarkan tiga bulan kemudian persisnya pada Agustus 1970.
Kemudian Pemerintah dan DPR menerbitkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana orupsi. Untuk pertaa
kalinya, Indonesia memiliki Undang-Undang khusus Tindak Pidana Korupsi.
d. Periode 1977
Presiden Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 1977 tentang Pembentukan Tim Operasi Tertib Opstib,
Universitas Sumatera Utara
menindaklanjuti langkah Pemerintah mencanangkan Operasi Tertib. Tim itu dibentuk untuk meningkatkan daya dan hasil gunaserta
meningkaatkan kewibawaan aparatur pemerintah dan mengikis habis praktik-praktik penyelewengan dalam segala bentuk. Tim Operasi
Tertib yang dibentuk pada Juli 1977 dibubarkan pada Maret 1988. e.
Periode 1980 Pemerintah dan DPR menerbitkan Undang-Undang Nomor 11 tahun
1980 Tentang Tindak Pidana Suap. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1980 mengatur bahwa baik pemberi maupun penerima suap bisa
didakwa melakukan kejahatan. Kemudian Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 Tentang Disiplin Pegawai
Negeri. f.
Periode 1982 Presiden Soeharto membentuk Tim Pemberantasan Korupsi, namun
tidak dilandasi surat Keputusan presiden sebagai payung hukumnya. 3.
Masa pemerintahan B. J. Habibie 1998-1999 a.
Periode 1998 Pemerintahan pertama pascareformasi yang dipimpin oleh B. J. Habibie
memotori upaya pemberantasan korupsi dengan menerbitkan setidak- tidaknya dua peraturan perundang-undangan bernuansa pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, yaitu:
Universitas Sumatera Utara
1 Tap MPR RI No. XIMPR1998 tentang Pemerintahan yang Bersih
dan Bebas dari Korupsi, olusi, dan Nepotisme KKN, dihasilkan dalam Sidang Umum MPR RI 1998, dan
2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1998 tentang Pennyelenggaraan
Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN, dihasilkan oleh Pemerintah dan DPR.
b. Periode 1999
Pemerintah dan DPR menerbitkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai
penyempurnaan dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971. Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 mengamanatkan pembentukan Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 4.
Masa pemerintahan Abdurrahman Wahid 1999-2001 Pada masa kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid dibentuk sejumlah
peraturan perundang-undangan tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, termasuk Tim Pemberantasan Tipikor, meliputi antara lain sebagai
berikut: a.
Periode 1999 1
Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan Surat Keputusan Presiden Nomor 127 Tahun 1999, sebagai dasar hukum
Pemerintahan membentuk Komisi Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara KPKPN.
Universitas Sumatera Utara
2 Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan Surat Keputusan
Presiden, bertanggal 13 Oktober 1999, tentang Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara berdasarkan Standar Pemeriksaan
yang Telah Ditetapkan. b.
Periode 2000 1
Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan Surat Keputusan Presiden Nomor 44 tahun 2000, bertangggal 10 Marret 2000
tentang Komisi Ombudsman Nasional KON 2
Presiden Abdurrrahman Wahid menerbitkan Peraturan Pemerintah PP Nomor 19 Tahun 2000 tentang Pembentukan Tim Gabungan
Pemberantasan Tindak Pidana Teroris TGPTPK pada 5 April 2000. Tim gabungan beranggotakan 24 orang dari berbagai unsur
ini berada di bawah koordinasi Jaksa Agung dan merupakan cikal bakal dari Komisi Pemberantasan Korupsi.
3 Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Departemen
Kehakiman dan HAM, tanggal 7 Juli 2000, menerbitkan Surat Keputusan untuk menetapkan Pembentukan Tim Persiapan
Pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999. 5.
Masa pemerintahan Megawati Soekarno Putri 2001-2004 a.
Periode 2001
Universitas Sumatera Utara
1 Pemerintah dan DPR RI menerbitkan Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Maksud dari dibentuknya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 adalah:
a Memberikan pijakan hukum untuk mencegah dan
memberantas Tindak Pidana Korupsi yang nyata-nyata merugikan keuangan negara, dan
b Memberikan pijakan hukum untuk pembentukan Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi KPK sebagai komisi yang bersifat independen.
2 Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi TGPTPK
yang dibentuk pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, pada 5 April 2000, terpaksa dibubarkan menyusul keputusan Mahkamah
Agung MA yang membatalkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000 tersebut pada Juli 2001.
b. Periode 2002
1 Pemerintah dan DPR RI menerbitkan Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. 2
Pemerintah dan DPR RI menerbitkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi KPK. KPK dibentuk atas dasar ketentuan Pasal 43 ayat 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Universitas Sumatera Utara
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
3 Pemerintah membentuk Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang
berkedudukan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang dibentuk berdasarkan ketentuan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2002 tentang KPK. c.
Periode 2003 1
Presiden Megawati Soekarno Putri mengeluarkan Surat Keputusan Presiden Nomor 73 Tahun 2003 tentang Pembentukan Panitia
Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pada tanggal 21 September 2003. Hasil panitia seleksi,
diperoleh 10 nama dan diserahkan ke Presiden pada 6 Desember 2003. Dari 10 nama itu, DPR memilih lima sebagai pimpnan KPK.
2 DPR pada 19 Desember 2013 mengesahkan lima pimpinan KPK
hasil pilihan anggota Komisi Hukum DPR. 3
Pemerintah Indonesia, diwakili Menteri Kehakiman dan HAM, Yusril Ihza Mahendra menandatangani Konvensi PBB tentang
Pemberantasan Korupsi 2003, di New York, AS, pada 18 Desember 2003.
6. Masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono 2004-2009
Semangat memberantas korupsi pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, di awal pemerintahannya, diperkuat dengan menerbitkan
sejumlah undang-undang serta keputusan instruksi khusus presiden
Universitas Sumatera Utara
berkaitan dengan upaya pemberantasan Tipikor, dan tidak ketinggalan pula membentuk “tim khusus”.
a. Periode 2004-2005
1 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono SBY mengeluarkan Surat
Instruksi Presiden Inpres Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi.
2 Presiden SBY membentuk Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi Timtas Tipikor dimana dasar hukumnya diatur dalam Keputusan Presiden Keppres Nomor 11 Tahun 2005,
bertanggal 2 Mei 2005. Dalam pelaksanaan tugasnya Timtas Tipikor menjalankannya sesuai dengan fungsi dan wewenangnya
masing-masing serta bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Keppres tersebut menegaskan, Timtas Tipikor dibentuk untuk
mendukung lembaga-lembaga penegak hukum dalam rangka meningkatkan upaya percepatan pemberantasan Tipikor.
3 Presiden SBY mengeluarkan surat Keputusan Presiden Keppres
Nomor 50 M 2006, bertanggal 19 Mei 2006, tentang Pembentukan Komisi Kepolisian Nasional Kompolnas.
Pembentukan Kompolnas adalah tindak lanjut Pasal 37 Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara. Tujuan
dibentuknya Kompolnas adalah untuk mengawasi kinerja Polri agar sesuai dengan kapasitasnya, yaitu sebagai pelayan, pengayom, dan
pelindung masyarakat dengan penuh kewibawaan. Bentuk
Universitas Sumatera Utara
pengawasan itu adalah dilibatkannya partisipasi aktif masyarakat untuk menyampaikan laporan, kritik, dan saran perihal kinerja
aparat Polri di lapangan kepada Kompolnas. 4
Presiden SBY mengeluarkan Surat Peraturan Presiden Perpres Nomor 18 Tahun 2005 tentang Komisi Kejaksaan. Melalui
Keputusan Presiden Nomor 116 M 2005, Presiden menetapkan tujuh orang anggota Komisi Kejaksaan yanga akan mengawasi
jaksa dan kinerja kejaksaan. Komisi Kejaksaan dapat memberikan rekomendasi kepada Presiden atau Jaksa Agung mengenai
pemberhentian jaksa dari tugasnya. 5
Pemerintah dan DPR RI menerbitkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Pertama atas Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. 6
Pemerintah dan DPR RI menerbitkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
7 Pemerintah dan DPR RI menerbitkan Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, dimana komisi ini bertujuan melakukan pengawasan dalam rangka menjaga kehormatan,
keluhuran martabat serta perilaku hakim. Berbeda dengan komisi- komisi lain, pembentukan Komisi Yudisial merupakan amanat
langsung Konstitusi Negara, yaitu Pasal 24B UUD 1945, untuk memberikan landasan kuat bagi reformasi hukum lembaga
Universitas Sumatera Utara
peradilan dan dipertegas lagi dalam Pasal 34 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
b. Periode 2006-2008
1 Pemerintah dan DPR RI menerbitkan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana. 2
Pemerintah dan DPR RI menerbitkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan Konvensi PBB Menentang
Korupsi, 2003. 3
Pemerintah dan DPR RI menerbitkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
4 Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan MK Nomor: 012-
016-019 PUU-IV 2006, bertanggal 19 Desember 2006, berisi pembatalan atas keberadaan Pengadilan Tipikor. MK menilai,
Pengadilan Tipikor yang dasar pembentukannya adalah ketentuan Pasal 53 Undang-Undang Nomor30 Tahun 2002 bertentangan
dengan UUD 1945 sehingga perlu diatur kembali Pengadilan Tipikor dengan Undang-Undang khusus sebagai payung
hukumnya. 5
Presiden SBY membubarkan Timtas Tipikor –setelah bekerjasama selama dua tahun- mellui Keppres nomor 10 Tahun 2007,
bertanggal 11 Juni 2007. Selama dua tahun bekerja Timtas Tipikor menghasilkan prestasi tinggi karena berhasil menyelamatkan aset
dan kekayaan negara senilai hampir 4 triliun rupiah.
Universitas Sumatera Utara
6 Pemerintah dan DPR RI menerbitkan Undang-Undang Nomor 37
Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia. 7.
Masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono 2009-2014 a.
Presiden SBY membentuk UPK3R dipimpin Koentoro Mangkusubroto dibentuk Presiden SBY.
b. Presiden SBY membentuk Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum.
c. Pemerintah dan DPR RI menerbitkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
d. Pemerintah dan DPR RI menerbitkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun
2009 tentang Pengesahan United Nations Convention Againts Transnational Organized Crime Konvensi PBB menentang Kejahatan
Transnasional yang Terorganisasi e.
Pemerintah dan DPR RI menerbitkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
f. Pemerintah dan DPR RI menerbitkan Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, menggantikan Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
g. Pemerintah dan DPR RI menerbitkan Undang-Undang Nomor 49
Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Indonesia Corruption Watch dalam tulisannya “Catatan Setahun Kinerja
Pemerintahan Jokowi-JK Bidang Pemberantasan Korupsi” terhitung mulai tanggal 20 Oktober 2014 sampai pada 20 Oktober 2015 menuliskan masih lemahnya
Universitas Sumatera Utara
kinerja Jokowi-JK dalam bidang pemberantasan Korupsi. Padahal dalam program visi dan misi Jokowi-JK yang dikenal dengan Program Nawacita salah satu
agenda yang erat dengan isu pemberantasan korupsi adalah program Nawacita nomor 4 yaitu “Menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan
penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya”. Lemahnya kinerja Jokowi-JK dalam upaya pemberantasan Korupsi dapat dilihat dalam
beberapa hal, misalnya penanganan perkara korupsi yang dilakukan oleh Kejaksaan dan Kepolisian harus dikatakan belum memuaskan dan masih jauh dari
harapan. Kinerja pemberantasan korupsi pemerintahan Jokowi-JK justru tenggelam dibalik sejumlah kegaduhan di bidang hukum khususnya soal
kriminalisasi dan pelemahan terhadap KPK. Lemahnya kinerja Jokowi-JK dalam pemberantasan korupsi juga dapat
dilihat dengan berbagai tindakan kontroversial yang dilakukan oleh Menteri Hukum dan HAM yaitu Yasona Laoly. Salah satunya yaitu mengenai gagasan
melonggarkan kebijakan pemberian remisi untuk koruptor yang selama ini diatur ketat melalui Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 Tentang Perubahan
Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, dimana tindakan ini
dianggap sebagai tindakan yang pro koruptor. Namun ditengah-tengah banyaknya penolakan dan kecaman dari berbagai pihak, pemberian remisi tetap saja diberikan
pada pemerintahan Jokowi-JK dan hal tersebut dinilai menyimpang dari PP Nomor 99 Tahun 2012 yang menjadi dasar hukum pemberian remisi.
Universitas Sumatera Utara
Terakhir, pemberian remisi oleh pemerintah yaitu remisi dasawarsa kemerdekaan unuk 1938 narapidana korupsi.
53
Remisi sebenarnya sah-sah saja ketika narapidana telah melakukan Justice Colaborator di mana syarat sebagai
Justice Collaborator telah diatur dalam PP Nomor 99 Tahun 2012. Namun kita harus mempertanyakan apakah dari total 1.938 narapidana korupsi tersebut telah
melakukan Justice Colaborator ataukah tidak. Dan kalau tidak hal ini tentu menjadi catatan buruk pemberantasan korupsi pada masa pemerintahan Jokowi-
JK.
54
Peran sebagai Justice Collaborator yang diatur dalam PP Nomor 99 Tahun 2012 merupakan salah satu syarat pemberian remisi, hal ini dapat dilihat dalam
ketentuan Pasal 34 A ayat 1 huruf a, dimana disebutkan bahwa Pemberian Remisi bagi Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme,
narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan
transnasional terorganisasi lainnya, selain harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 juga harus memenuhi persyaratan bersedia
bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya. Dari ketentuan ini sebenarnya dapat dilihat
bagaimana semangat pemberantasan korupsi dengan peranan seorang Justice Collaborator. Justice Collaborator atau yang dikenal juga dengan Saksi pelaku
53
http:www.antikorupsi.orgidcontentcatatan-setahun-kinerja-pemerintahan-jokowi-jk- bidang-pemberantasan-korupsi, diakses pada 12 Agustus 2016
54
http:lpmarena.com20160102refleksi-akhir-tahun-pemberantasan-korupsi-jokowi-jk, diakses pada 12 Agustus 2016
Universitas Sumatera Utara
yang bekerjsama dalam Undang-Undang Nomor 31 tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban menyebutkan Saksi Pelaku adalah tersangka, terdakwa, atau terpidana yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak
pidana dalam kasus yang sama.
55
D. Pengaturan