1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Semenjak dilahirkan di dunia, maka manusia telah mempunyai hasrat untuk hidup secara teratur. Hasrat untuk hidup secara teratur tersebut dipunyainya
sejak lahir dan selalu berkembang di dalam pergaulan hidupnya. Namun, apa yang dianggap teratur oleh seseorang, belum tentu dianggap teratur juga oleh pihak-
pihak lainnya. Oleh karena itu, maka manusia sebagai makhluk yang senantiasa hidup bersama dengan sesamanya, memerlukan perangkat patokan, agar tidak
terjadi pertentangan kepentingan sebagai akibat dari pendapat yang berbeda-beda mengenai keteraturan tersebut. Patokan-patokan tersebut, tidak lain merupakan
pedoman untuk berperilaku secara pantas.
1
Patokan-patokan untuk berperilaku secara pantas tersebut, dikenal dengan sebutan norma atau kaidah. Dalam kehidupan bermasyarakat terdapat beberapa
norma yang hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat tersebut, yaitu norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, dan juga norma hukum.
Norma hukum bertujuan agar tecapai kedamaian di dalam kehidupan bersama.
2
Keadilan adalah kebajikan utama dalam institusi sosial, sebagaimana kebenaran dalam sistem pemikiran. Suatu teori, betapapun elegan dan
ekonomisnya, harus ditolak atau direvisi jika ia tidak benar; demikian juga hukum
1
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 2014. Hal. 1
2
Ibid
Universitas Sumatera Utara
dan institusi, tidak peduli betapapun efisien dan rapinya, harus direformasi atau dihapuskan jika tidak adil.
Dalam masyarakat yang adil, kebebasan warga negara dianggap mapan; hak-hak yang dijamin oleh keadilan tidak tunduk pada tawar-menawar politik atau
kalkulasi kepentingan sosial. Satu-satunya hal yang mengijinkan kita untuk menerima teori yang salah adalah karena tidak adanya teori yang lebih baik;
secara analogis, ketidakadilan bisa dibiarkan hanya ketika ia butuh menghindari ketidakadilan yang lebih besar. Sebagai kebajikan utama umat manusia,
kebenaran dan keadilan tidak bisa diganggu gugat.
3
R. W. M. Dias di dalam bukunya “Jurisprudence” berpandangan bahwa secara umum keadilan itu, didasarkan pada pengertian equality persamaan. Di
bidang perlakuan terhadap hukum harus diberikan perlakuan yang sama bagi setiap orang. Dalam kebijakan publik tidak dibenarkan adanya diskriminasi
berdasarkan gender, status sosial, atau keyakinan agama.
4
Indonesia adalah negara hukum hal ini secara jelas dicantumkan dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Indonesia
sebagai negara hukum berpikir secara hukum bagaimana keadilan dan ketertiban dapat terwujud, yaitu dengan pengakuan dan pengukuhan hak asasi manusia.
5
3
John Rawls, Teori Keadilan Dasar-Dasar Filsafat Politik Untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial Dalam Negara, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006, Hal. 3-4
4
R. W. M. Dias, Jurisprudence, dalam Taufiqurrohman Syahuri, Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum, Kencana, Jakarta, 2011, Hal.97
5
Masyhur Effendi, Hak Asasi Manusia dalam Hukum Nasional dan Internasional, Ghalia Indonesia, Bogor, 1993, Hal. 27
Dalam batang tubuh Undang-Undang Dasar Republik Indonesia telah diatur
Universitas Sumatera Utara
mengenai kedudukan dan perlindungan yang sama bagi semua orang dijamin oleh Undang-Undang Dasar. Beberapa diantaranya yaitu:
Pasal 27 ayat 1 menyatakan: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
Pasal 28 G ayat 1 menyatakan: “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan,
martabat dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau
tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.” Pasal 28 I ayat 1 menyatakan:
Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui
sebagai pribadi di hadapan hukum, hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apapun.” Indonesia sebagai negara berkembang diperhadapkan dengan suatu
permasalahan besar yaitu korupsi. Korupsi merupakan masalah yang telah sejak lama mewarnai berbagai aspek dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia.
Selama beberapa dasawarsa, fenomena itu telah menjadi suatu persoalan nasional yang amat sukar ditanggulangi. Bahkan secara sinis, ada komentar di sebuah
jurnal asing yang mengulas kondisi korupsi di negara ini dengan mengatakan,
Universitas Sumatera Utara
bahwa “corruption is way of live in Indonesia”, yang berarti korupsi telah menjadi pandangan dan jalan kehidupan bangsa Indonesia
6
Hal yang memperparah perilaku dan tindakan korupsi semakin menggurita adalah acuh tak acuhnya lingkungan terhadap praktik tersebut. Orang-orang yang
mengetahui praktik-praktik korupsi yang terjadi disekelilingnya seringkali membiarkannya. Pembiaran atau kurang responnya ketika melihat perilaku dan
tindakan korupsi bisa jadi disebabkan karena hal itu tidak terkait dengan kepentingannya. Bisa jadi dikarenakan dia juga mendapatkan “keuntungan” dari
praktik korupsi yang ada pada lingkungan kerjanya, atau ada belenggu yang kuat sehingga mereka melakukan gerakan silent terhadap praktik haram tersebut.
7
Tindak pidana korupsi adalah salah satu jenis kejahatan extra ordinary crime, yaitu merupakan tindak pidana yang termasuk dalam kategori kejahatan
luar biasa dikarenakan adanya implikasi buruk multidimensi kerugian ekonomi dan keuangan negara.
8
Kategori extraordinary crime kejahatan luar biasa bagi tindak pidana korupsi jelas membutuhkan extraordinary measures extraordinary
enforcement penanganan yang luar biasa.
9
6
Elwi Danil, Korupsi: Konsep, Tindak Pidana, dan Pemberantasannya, Rajawali Pers, Jakarta, 2014, Hal. 64
7
Kata Pengantar dari Redaksi, “Penerapan Whistleblower dan Justice Collaborator dalam Prespektif Pengawasan” Majalah Fokus Pengawasan, edisi 38 Triwulan II, 2013, Hal. 4
8
Lilik Mulyadi, Perlindungan Hukum Whistleblower Justice Collaborator Dalam Upaya Penanggulangan Organized Crime, PT Alumni, Bandung, 2015, Hal. 37
9
Adami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Alumni, Bandung, 2008,
Hal. 10
Universitas Sumatera Utara
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bukanlah suatu hal yang mudah. Dari segi represif, kesukaran memberantas korupsi terletak pada kesulitan dalam
hal membuktikan kejahatan korupsi disidang pengadilan.
10
Upaya penanggulangan dan pencegahan terhadap organized crime yang dikerjakan oleh pemerintah tentu tidak sedikit. Upaya-upaya yang telah dikerjakan
yaitu mulai dari penguatan kompetensi aparat penegak hukum, pendirian lembaga negara baru bersifat khusus, hingga rekonstruksi sistem hukum pidana. Selain
melakukan upaya penegakan hukum secara institusional dalam rangka optimalisasi pembaruan sistem pencegahan dan penanggulangan organized crime,
sangat penting juga diatur mengenai peran serta masyarakat. Dalam upaya menumbuhkembangkan partisipasi publik guna mengungkap tindak pidana
terorganisir, harus diciptakan iklim kondusif antara lain dengan cara memberikan perlindungan hukum serta perlakuan khusus kepada setiap orang yang
mengetahui, melaporkan danatau menemukan suatu hal yang dapat membantu aparat penegak hukum untuk mengungkap dan menangani organized crime
tersebut.
11
Upaya Pemerintah untuk memberantas korupsi dengan cara menumbuhkembangkan partisipasi publik salah satunya yang masih baru dikenal
adalah menggunakan peran Justice Collaborator. Justice Collaborator atau yang disebut juga saksi pelaku yang bekerjasama dalam Undang-Undang Nomor 31
Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban adalah tersangka, terdakwa, atau
10
Ibid, Hal. 12.
11
Lilik Mulyadi, op. cit. Hal 38
Universitas Sumatera Utara
terpidana yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana dalam kasus yang sama.
12
Justice Collaborator merupakan langkah baru yang dimunculkan untuk memudahkan mengungkapkan perilaku dan tindakan korupsi. Hal ini dikarenakan
perkembangan modus perilaku korupsi semakin canggih dan bervariatif. Untuk itu perlu didorong upaya yang lebih mengena dalam mengungkap kasus-kasus
korupsi. Dengan peran dari Justice Collaborator diharapkan akan membantu pihak penegak hukum dalam mengungkap praktik dan modus korupsi dari orang-
orang terdekat pelaku tersebut. Sehingga informasi, data, modus serta praktik korupsi dapat diungkapkan.
13
Dilakukannya perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 menjadi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban tentu masih memiliki beberapa kekurangan, salah satunya mengenai pemberian reward
bagi seorang Justice Collaborator , pemerintah belum memberikan stimulus dan iming-iming yang “besar” bagi orang-orang yang rela menjadi pahlawan
pemberantasan korupsi dengan menjadi Justice Collaborator. Perang melawan korupsi sudah seharusnya ditabuh oleh semua masyarakat Indonesia bukan hanya
oleh penegak hukum. Sehingga peran serta masyarakat dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih dapat terwujud. Memang belum ada peraturan yang
12
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
13
Fokus Pengawasan Nomor 38 Tahun X Triwulan II 2013, loc. cit. Hal. 4
Universitas Sumatera Utara
memadai terkait dengan Justice Collaborator. Oleh karena itu perlu didorong peraturan yang mewadahi hal tersebut sehingga akan memaksimalkan peran
Justice Collaborator sebagai langkah preventif dan represif. Langkah preventif dimaksudkan bahwa orang punya niat korupsi akan takut karena apabila
lingkungannya mengetahui akan dilaporkan kepada penegak hukum. Sedangkan langkah represif diartikan apabila orang sudah terjerat hukum terkait dengan
perbuatan pidana korupsi “harus” mengungkapkan bagaimana perbuatan tersebut terjadi dan siapa saja yang terlibat.
14
Peran sebagai Justice Collaborator tentu bukanlah suatu keputusan yang mudah untuk diambil oleh seorang pelaku tindak pidana. Suatu pengungkapan
atau kesaksian kebenaran dalam suatu scandal crime ataupun Serious Crime oleh Justice Collaborator jelas merupakan ancaman nyata bagi pelaku kejahatan.
Pelaku kejahatan akan menggunakan berbagai cara untuk membungkam dan melakukan aksi pembalasan sehingga kebijakan perlindungan seharusnya bersifat
prevensial mencegah sebelum terjadi. Kehadiran Justice Collaborator memang sulit dibantah dapat menjadi alat bantu, sekalipun seorang Justice Collaborator
berani mengambil resiko yang sangat berbahaya bagi keselamatan fisik maupun psikis dirinya, dan keluarganya, resiko terhadap pekerjaan dan masa depannya.
15
Ancaman yang ditujukan terhadap diri seorang Justice Collaborator maupun keluarganya merupakan suatu konsekuensi logis yang akan diterima oleh
seorang Justice Collaborator dari rekan sekerjanya dalam suatu tindak pidana.
14
Ibid
15
Firman Wijaya, Whistle Blower dan Justice Collaborator dalam Perspektif Hukum, Penaku, Jakarta, Hal.17
Universitas Sumatera Utara
Oleh karena itu, diperlukan adanya upaya perlindungan yang dijamin kepastiannya oleh Pemerintah dan juga peraturan perundang-undangan agar tidak
terjadi sesuatu yang buruk baik kepada diri seorang Justice Collaborator maupun keluarganya.
Negara Indonesia sudah mengatur mengenai pemberian perlindungan kepada seorang tersangka, terdakwa, ataupun terpidana dari suatu tindak pidana.
Hal ini dapat dilihat dengan dikeluarkannya SEMA No. 4 Tahun 2011. Menyusul setelah itu dilakukannya perubahan terhadap Undang-Undang No 13 tahun 2006
tentang Perlindungan saksi dan korban menjadi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014.
Perubahan peraturan perundang-undangan mengenai Perlindungan Saksi dan Korban tentu bukan tanpa sebab. Dalam konsideran Undang-Undang Nomor
31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban disebutkan bahwa untuk meningkatkan
upaya pengungkapan secara menyeluruh suatu tindak pidana, khususnya tindak pidana transnasional yang terorganisasi, perlu juga diberikan perlindungan
terhadap saksi pelaku, pelapor dan ahli. Dimana dalam peraturan yang lama belum ada diatur secara khsusus mengenai perlindungan terhadap saksi pelaku.
Lebih lanjut dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban disebutkan bahwa keberadaan saksi dan korban merupakan hal yang sangat menentukan dalam pengungkapan tindak pidana pada
proses peradilan pidana. Oleh karena itu, terhadap Saksi dan Korban diberikan
Universitas Sumatera Utara
Perlindungan pada semua tahap proses peradilan pidana. Ketentuan mengenai subjek hukum yang dilindungi dalam Undang-Undang ini diperluas selaras
dengan perkembangan hukum di masyarakat, dimana selain Saksi dan Korban, ada pihak lain yang juga memiliki kontribusi besar untuk mengungkap tindak
pidana tertentu, yaitu Saksi Pelaku Justice Collaborator, Pelapor Whistle- Blower, dan ahli, termasuk pula orang yang dapat memberikan keterangan yang
berhubungan dengan suatu perkara pidana sehingga terhadap mereka juga perlu diberikan perlindungan. Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban kelemahan yang sebelumnya terdapat dalam peraturan yang lama telah diperbaiki salah satunya yaitu perluasan subjek
perlindungan. Justice Collaborator dalam peranannya sebagai pengungkap fakta dalam
mengungkap suatu tindak pidana tentu perlu dilindungi dan harus benar-benar menjamin keamanan dan kenyamanan mereka dan hal itu harus dituangkan secara
jelas didalam undang-undang, sehingga mereka tidak takut dan berani untuk mengungkap fakta. Melihat betapa urgent hal tersebut sehingga penulis merasa
perlu dibahas untuk melihat bagaimana penerapan jaminan yang diberikan oleh undang-undang tersebut kepada para saksi pelaku pengungkap fakta dan sejauh
mana undang-undang memberikan perlindungan kepada Justice Collaborator tersebut.
B. Perumusan Masalah