Abdur Razzaq Pahlevi : Analisis Perbandingan Pandangan Daur Hidup Tsukagirei Dalam Masyarakat Jepang Dan Betawi, 2009.
USU Repository © 2009
bahwa upacara nujuh bulanan merupakan penangkal agar anak yang akan dilahirkan kelak patuh kepada orang tuanya dan tidak nakal.
Upacara nujuh bulanan dilakukan pada saat mengandung kehamilan pertama, dan usia kandungannya sudah tujuh bulan. Karena itulah upacara ini
disebut dengan “nujuh bulanan”. Pada kehamilan kedua dan seterusnya dilakukan upacara semacam ini lagi.
Upacara ini selalu menggunakan sajian, dan salah satu sajian yang terpenting adalah bunga yang berjumlah tujuh macam. Bunga ini bermakna bila
bayi yang lahir kelak laki-laki akan dapat membawa nama yang harum bagi orang tuanya sebagai harumnya bunga, dan kalau bayi tersebut wanita, supaya cantik
seperti cantiknya bunga. Menurut kepercayaan mereka, sajian terutama bunga harus lengkap, apabila sajian tidak lengkap kemungkinan besar, bayi akan lahir
dengan sulit atau setelah dewasa nanti, si anak tidak menurut kepada orang tua. Ketujuh macam bunga tadi di masukkan ke dalam sebuah ember yang beisi air,
kemudian air tersebut digunakan oleh sang ibu yang sedang hamil untuk mandi. Upacara nujuh bulanan ini dilaksanakan di rumah yang punya hajad, apabila
mereka telah memiliki rumah. Bila tempatnya kurang mengijinkan, adakalanya diselenggarakan di rumah orang tuanya atau di rumah mertuanya. Dukun beranak
serta pembaca doa kelompok pengajian ibu-ibu dipanggil supaya hadir pada hari yang telah ditetapkan.
A. Doa Ketika Kehamilan
Sang ibu yang mengandung akan didoakan dengan tujuan si ibu dan si bayi mendapatkan keselamatan ketika melahirkan nanti. Doa yang dipanjatkan
Abdur Razzaq Pahlevi : Analisis Perbandingan Pandangan Daur Hidup Tsukagirei Dalam Masyarakat Jepang Dan Betawi, 2009.
USU Repository © 2009
dibaca ketika upacara nujuh bulanan. Adapun doa nya yaitu, pembacaan ayat-ayat suci Al Quran terutama Surat Yusuf, serta memanjatkan doa kepada Tuhan Yang
Maha Esa. Pembacaan ayat Surat Yusuf dimaksudkan agar bayi yang akan lahir kelak dapat meneladani sifat-sifat Nabi Yusuf serta mempunyai paras yang
rupawan Soimon 1993 : 27
B. Tabu Saat Kehamilan
Menurut Soimon 1993 : 29-30 berdasarkan kepercayaan masyarakat Betawi selama istri sedang hamil berlaku larangan-larangan yang menurut istilah
mereka disebut “pamali”. Pantangan ini tidak boleh dilanggar kalau ingin persalinan berlangsung dengan lancar dan selamat kelak. Dengan demikian, maka
suami istri harus saling mengingatkan untuk tidak melakukan perbuatan yang terlarang. Bagi suami dan istrinya yang sedang hamil berlaku pantangan-
pantangan antara lain : a. Tidak boleh keluar rumah pada waktu magrib.
b. Tidak boleh duduk di ambang pintu. c. Tidak boleh mandi setelah dan pada waktu magrib.
d. Tidak boleh mengisi kapuk dalam bantal guling. e. Tidak boleh membunuh binatang.
f. Tidak boleh menyembelih hewan, misalnya ayam, kambing, dan lain-lain. g. Tidak boleh mencela bentuk-bentuk yang aneh, terutama apabila hal ini
terdapat pada seseorang, misalnya kaki pincang, mata buta, bibir sumbing, dan cacat tubuh lainnya.
Abdur Razzaq Pahlevi : Analisis Perbandingan Pandangan Daur Hidup Tsukagirei Dalam Masyarakat Jepang Dan Betawi, 2009.
USU Repository © 2009
Suami dan istri yang hamil selama bayi di dalam kandungan diharapkan agar selalu berbuat kebajikan, dermawan, selalu beribadah dan mencari kegemaran
yang bermanfaat, seperti membersihkan rumah pekarangan, memperbaiki rumah, dan lain-lain.
3.1.2. Kehamilan Dalam Masyarakat Jepang
Menurut Situmorang, Hamzon 2000 : 30 kehamilan bagi orang jepang merupakan masuknya roh ke dalam tubuh manusia dan akan meninggalkan tubuh
manusia waktu meninggal nanti. Kehamilan dan kelahiran merupakan kekotoran yang harus dibersihkan dari tubuh sang ibu dan si anak, dengan melalui beberapa
upacara yang bertahap-tahap sesuai dengan kepercayaan orang Jepang. Pada akhir perang dunia ke II system Ie system keluarga tradisional Jepang secara hukum
sudah diakhiri. Tetapi dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, masalah pewarisan dan penyembahan leluhur masih mengikuti system Ie. Oleh karena itu
perempuan tidak akan mempunyai harga diri di masyarakat jikalau tidak dapat melahirkan, wanita yang tidak dapat melahirkan dijuluki dengan umezume.
Ketidakbiasaan melahirkan anak menjadi alasan perceraian bagi suami istri. Dalam kepercayaan Jepang masalah kehamilan dianggap sebagai yang
supra alami Choushizenteki, mereka memohonkan kehamilan ke kuil Shinto seperti ke kuil Shiogama, kuil Suitenggu, atau kuil Awashimasawa.
A. Doa Untuk Kehamilan Ninshin Igan