Analisis Perbandingan Konsep Daur Hidup Pada Masyarakat Jepang Dan Batak Toba

(1)

1

PERBANDINGAN KONSEP DAUR HIDUP PADA MASYARAKAT JEPANG DAN BATAK TOBA

NIHON TO BATAKKU NO TSUKAGIREI NO HIKAKU SKRIPSI

Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu persyaratan mengikuti ujian

sarjana bidang ilmu Sastra Jepang

Oleh

Victor Julianto Simanullang 060708035

DEPARTEMEN SASTRA JEPANG FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2012


(2)

2

PERBANDINGAN KONSEP DAUR HIDUP PADA MASYARAKAT JEPANG DAN BATAK TOBA

NIHON TO BATAKKU NO TSUKAGIREI NO HIKAKU

OLEH

VICTOR JULIANTO SIMANULLANG 060708035

PEMBIMBING I PEMBIMBING II

Prof. Hamzon Situmorang, MS,Ph.D

NIP: 19580704 1984 12 1 001 NIP: 19600919 1988 03 1 001 Drs. Eman Kusdiyana, M. Hum

DEPARTEMEN SASTRA JEPANG FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2012


(3)

3 Disetujui oleh :

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan

Departemen Sastra Jepang Ketua

NIP: 19600919 1988 03 1 001 Drs. Eman Kusdiyana, M. Hum


(4)

4 PENGESAHAN

Diterima Oleh :

Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana dalam Bidang ilmu Sastra Jepang pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara

Pada : Pukul 14. 00 Wib Tanggal : 12 September 2012

Hari : Rabu

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara

Dekan,

Dr. Syahron Lubis, M. A NIP : 19511013 1976 03 1 001

Panitia

No. Nama TandaTangan

1. Drs. Eman Kusdiyana, M. Hum. ( ...) 2. Prof. Hamzon Situmorang, MS,Ph.D ( ...) 3. Zulnaidi, S.S, M. Hum. ( ...)


(5)

5

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyeleseaikan skripsi yang berjudul “ANALISIS PERBANDINGAN KONSEP DAUR HIDUP PADA MASYARAKAT JEPANG DAN BATAK TOBA.”

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki kekurangan baik dari segi penulisan, pembahasan maupun pemahaman. Untuk itu, penulis secara terbuka menerima kritik dan saran dari pembaca agar dapat menutupi kekurangan-kekurangan tersebut.

Dalam penulisan skripsi ini penulis menerima banyak bantuan dan dorongan dari berbagai pihak. Maka dari itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya, terutama kepada:

1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A,selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Eman Kusdiyana, M. Hum, selaku Ketua Departemen Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara, sekaligus dosen pembimbing II saya. 3. Bapak Prof.Hamzon Situmorang, MS, Ph.D selaku dosen pembimbing I

yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, arahan, dan dorongan kepada penulis hingga selesainya skripsi ini.

4. Seluruh staf pengajar Departemen Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya yang telah memberikan pendidikan dan bimbingan kepada penulis selama menjadi mahasiswa.


(6)

6

5. Seluruh staf pegawai Departemen Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya yang telah membantu penulis dalam hal non-teknis dalam penulisan skripsi ini. 6. Orang tua penulis yang telah memberikan dukungan moril dan materil

selama masa pendidikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

7. Sahabat-sahabatku Randy Simanjuntak, Hyantez Pasaribu, Freddy Walis Sembiring, Ferdian Pardede, Frida Winata Togatorop, Friska Sagala, Novaria Tampubolon, Jessi Mega Simanjuntak terimakasih udah jadi kelurga dan sahabat terbaikku yang selalu memberi semangat dan dukungan. 8. Teman-teman seangkatan di Departemen Sastra Jepang USU, terima kasih

atas motivasi dan sarannya kepada penulis.

9. Terima kasih juga buat seseorang yang tidak bisa disebutkan namanya yang telah banyak memberikan waktu, tenaga, dan motivasi kepada penulis selama proses penulisan skripsi ini, yang telah banyak melungkan waktu untuk membantu dalam proses pengerjaan skripsi ini.

10. Serta seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini. Semua pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini, yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, baik dari isi maupun uraianya. Hal ini disebabkan karena keterbatasan kemampuan dan pengetahuan yang penulis miliki. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan masukan-masukan berupa saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan skripsi ini.


(7)

7

Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk menambah wawasan dan pengetahuan bagi pembaca serta penulis sendiri.

Medan, Agustus 2012


(8)

8 DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 8

1.3. Ruang Lingkup Pembahasan ... 8

1.4. Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori ... 9

1.5. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 11

1.6. Metode Penelitian ... 11

BAB II RITUS-RITUS DAUR HIDUP ... 13

2.1. Teori Van Gennep ... 13

2.2. Daur Hidup Menurut Masyarakat Jepang ... 15

2.3. Daur Hidup Menurut Masyarakat Batak Toba ... 19

BAB III ANALISIS PERBANDINGAN KONSEP DAUR HIDUP PADA MASYARAKAT JEPANG DAN BATAK TOBA ... 27

3.1. Ritus-Ritus Daur Hidup Pada Masyarakat Jepang ... 27

3.1.1. Ritus-Ritus Kelahiran-Pendewasaan ... 27

3.1.2. Ritus-Ritus Perkawinan ... 35

3.1.3 Ritus-Ritus Kematian ... 40

3.2. Ritus-Ritus Daur Hidup Pada Masyarakat Batak Toba ... 46


(9)

9

3.2.2. Ritus-Ritus Perkawinan ... 51

3.2.3. Ritus-Ritus Kematian ... 54

3.3. Analisis Perbandingan ... 69

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN... 72

4.1. Kesimpulan ... 72

4.2. Saran ... 74

DAFTAR PUSTAKA ABSTRAK


(10)

87 ABSTRAK

Setiap manusia mengalami hal atau proses yang disebut daur hidup, yaitu proses dimana seseorang mulai lahir, menjadi dewasa, tua dan akhirnya meninggal. Daur hidup dalam masyarakat Jepang disebut Tsuka Girei. Tsuka yang artinya bertahap atau tahapan sedangkan Girei artinya upacara atau perayaan, sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa pengertian dari Tsuka Girei adalah perayaan-;perayaan yang dilakukan secara bertahap mulai dari proses kelahiran sampai menjadi dewa.

Daur hidup dalam masyarakat Jepang berhubungan dengan pandangan akan roh orang Jepang, yaitu pandangan tradisional yang di pengaruhi oleh Shinto dan Budha. Adapun acara yang dilakukan yaitu seperti acara-acara menuju kedewasaan yang disebut Shussan (acara kelahiran), Nazuke Iwai (pemberian nama) Okuizome (pemberian makan pertama) yaitu setelah anak berusia seratus hari, Hattanjou (ulang tahun pertama) di sini dilakukan pemilihan masa depan anak, Shichigosan (acara 3 tahun, 5 tahun, 7 tahun) yaitu acara untuk mendatangi kuil pada tanggal 15 November bagi anak umur 3, 5 dan 7 tahun, dan acara kedewasaan (20 tahun) pada tanggal 15 Januari bagi semua anak yang berusia 20 tahun pada tahun tersebut.

Setelah masa kekotoran berlalu seseorang tersebut memasuki kehidupan perkawinan. Pada masa ini, roh seseorang tersebut berada dalam keadaan stabil. Kemudian ada acara khusus setelah memasuki kehidupan dalam pernikahan misalnya, Yakudoshi yaitu acara bagi orang yang memasuki usia bahaya pada tahun tersebut, misalnya usia 42 pada laki-laki dan usia 33 bagi wanita. Toshi


(11)

88

Iwai bagi orang yang berusia 66 tahun (Gareki), usia 70 tahun (Kouki), usia 88 (Maiju), dan usia 99 (Hakuju).

Kematian diartikan sebagai suatu keadaan dimana seseorang tidak bernyawa dan rohnya pergi meninggalkan tubuhnya untuk selamanya. Untuk memastikan apakah seseorang telah mati atau hanya pingsan (hansi), masyarakat tradisional melakukan upacara pemanggilan roh agar kembali lagi ke jasad (tamayobai). Tamayobai disebut juga Mogari, yaitu suatu acara untuk menentukan seseorang tidak hidup lagi. Dasar pemikiran mogari adalah manusia meninggal karena rohnya pergi meninggalkan badan kemudian pergi ke dunia sana, apabila belum terlalu jauh, maka masih dapat dipanggil kembali.

Kemudian setelah acara tamayobai dilakukan, tetapi orang yang telah pergi rohnya itu tidak hidup lagi, maka orang tersebut dipastikan telah mati. Setelah dipastikan seseorang itu mati, maka diumumkan kepada seluruh keluarga, kerabat dan tetangga bahwa orang tersebut telah meninggal.

Setelah seluruh upacara kematian selesai dilaksanakan, keluarga yang diitinggalkan melakukan ritus peringatan terhadap orang yang telah meninggal yaitu pada hari ke-7 (hatsunanoka), upacara hari ke-35 (sanjugonichi), sampai upacara hari ke-49 (shijukunichi).

Kemudian dilakukan upacara penyucian roh setelah hari ke-49. Yaitu upacara peringatan kematian yang perlakuannya sama dengan upacara hari ke-49 dilakukan pada ulang tahun kematian yang pertama (isshuki), acara 3 tahun (sankaiki), acara 7 tahun (nanakaiki), acara 13 tahun (jusankaiki), acara 17 tahun (junanakaiki), kemudian 33 tahun (sanjusaikaiki). Dalam upacara penyucian roh


(12)

89

dilakukan pemberian kuyou kepada roh leluhur yang telah meninggal sampai roh yang telah meninggal dipercaya telah menjadi sousen yaitu pada usia kematian 33 tahun dalam konsep budha atau 50 tahun pada konsep Shinto.

Kebiasaan-kebiasaan suku Batak Toba yaitu berupa upacara adat dimulai dari masa dalam kandungan, kelahiran, penyapihan, penyakit, malapetaka, hingga kematian. Peralihan dari setiap tingkat hidup ditandai dengan pelaksanaan suatu upacara adat khusus. Upacara adat dilakukan agar terhindar dari bahaya/celaka yang akan menimpa, memperoleh berkat, kesehatan dan keselamatan. Inilah salah satu prinsip yang terdapat di balik pelaksanaan setiap upacara adat suku Batak Toba.

Pada saat kelahiran sudah merupakan kebiasaan, apalagi menjelang lahirnya anak pertama, orang tua dari si isteri disertai rombongan kecil kaum kerabat datang menjenguk putrinya dengan membawa makanan ala kadarnya; salah satu istilah untuk kunjungan ini ialah mangirdak, yang artinya membangkitkan “semangat”.

Sesudah lahir anak yang dinanti-nantikan itu adakalanya diadakan lagi makan bersama ala kadarnya di rumah keluarga yang berbahagia itu, dinamai mangharoani, artinya “menyambut tibanya (sang anak)”. Ada juga yang menyebutnya mamboan aek si unte, karena pihak hula-hula membawa makanan yang akan memperlancar air susu sang ibu.

Pada zaman animisme di bona pasogit mengikuti suatu upacara yang dinamai martutu aek, yakni dipermandikan sang bayi ke mata air. Pada hari yang telah ditentukan oleh datu (dukun), pagi-pagi waktu matahari baru terbit.


(13)

90

Pada umur belasan tahun, yaitu pada pada waktu seorang pemuda atau pemudi mencapai tahap pubertas, ia harus lagi menempuh ujian mental yang di zaman animisme dinamai mangalontik ipon, sesudah memeluk agama kristen gereja mengharuskan pemuda dan pemudi menempuh ujian setelah mendapat pelajaran agama selama kira-kira satu tahun.

Pada saat meninggal, orang Batak pra-kristen memberikan perhatian yang sangat besar kepada peristiwa kematian. Upacara kematian pada masyarakat Batak Toba itu sendiri juga merupakan pengakuan bahwa masih ada kehidupan lain dibalik kehidupan di dunia ini. Dalam kepercayaan masyarakat Batak Toba, alam dibagi atas tiga banua, yaitu : banua ginjang (atas) merupakan banua kuasa kemuliaan Mulajadi Na Bolon, yang dihuni oleh roh-roh suci. Banua tonga (tengah) merupakan alam raya yang dihuni oleh manusia dan makhluk hidup lainnya. Banua toru (bawah) merupakan alam bawah yang penuh penderitaan yang dihuni oleh roh-roh jahat.

Keyakinan masyarakat Batak akan adanya hubungan antara orang yang hidup dengan roh orang mati, tercermin dalam berbagai upacara adat yang dilakukan terhadap orang-orang yang akan dan telah mati, seperti: manulangi (menyulangi orang yang akan mati), hamatean (kematian), mangongkal holi (menggali tulang belulang), dan pesta pendirian tugu serta pesta tahunan di tugu-tugu marga. Keyakinan ini merupakan dasar utama bagi diselenggarakannya upacara adat.


(14)

91

要旨

人間は必ず『ライフサイクル』というかてい,過程を経験している。

『ライフサイクル』というのは人間が世界に生まれてから、大人になって、 そして老人になってきて、最後は死ぬまでという過程である。日本社会で

『ライフサイクル』は『つかぎれい』と言う。『つか』は『だんかい,段階』

という意味で『ぎれい,儀礼』は『儀式』という意味であり、『

つかぎれい

,塚儀礼』

とは生まれてきてから神になるまでによく行われているぎしき,儀式

日本社会によっては、『ライフサイクル』が日本人の

という意 味である。

れい

,霊と関係

があるそうであり、ぶっきょう,仏教と しんとう

,神道に

えいきょう

,影響されている伝統的

な考えという意味である。大人になるまでに日本人がよく行われてい るぎしきるい,儀式類は『

しゅっさん

,出産(生まれることの儀式)』とか『なずけ祝

い(名前をあげること)』とか『おくいぞめ(始めに食べ物をあげるこ

と)』で、おくいぞめとは子供のねんれい,年齢は100日になってきたらよ

く行われている儀式ということであり、そして『はったんじょう,八誕生(最初の

誕生日)』。この『八誕生』で子供の将来を選ぶことは最初にやれる。そ して『七五三(7歳、5歳、3歳の子供)』。この儀式で7歳、5歳、3

歳の子供たちのために11月15日にお寺を訪問されているぎしき,儀式

そちら時代を自然に過ごしてから、誰かが

であ る。最後は『大人になるまでの儀式(20歳)。この儀式で、1月15日 にちょうど20歳になった人々のためによく行われている儀式である。

けっこんせいかつ

,結婚生活を入

り始めた。この時には人間のれい,霊の状態は

あんてい

,安定となった。そして、


(15)

92

一つである。『厄年』とはその年に危ない年齢に入ってしまった人々のた めに行われている儀式であり、例えば、42歳(男)と33歳(女)であ る。他の祝いは『年祝い』というお祝いである。年祝いとは66歳(がれ き)、70歳(こうき)、88歳(まいじゅ)、99歳(はっじゅく)の 人々のために行われているお祝いである。

『死ぬ』とは霊が体を残していったという意味であって人間の体は

命がもうなくなってきた。人間がもう死亡するかきぜつ,気絶だけかを決める

ためにでんとうしゃかい,伝統社会は霊が体に もど

,戻

そして、『たまよばい』をやっても、死亡した人間の霊を戻らなか ったら、その人が本当に死亡したと決められた。その人がもう死亡したら 他の家族や近所の人に知らせてあげる。

れるように『たまよばい』とい う霊の呼びかけの儀式を行い始める。『たまよばい』または『もがり』は 人間がもう死亡したかどうか決めるために行われている儀式という意味で ある。『もがり』の基本的な考えは人間の霊は体を残していったら、人が 死亡することになったけど、その霊はまだ遠く行かないなら、また呼んで くることができるそうである。

葬式をやってから、死亡したに対する残されていた家族が大切な儀 式を行うことになって、それは7日目の儀式(はつなのかと言う)、35 日目の儀式(三十五日)、49日目の儀式(しじゅくにち)という。

そして、49日目の後で、霊がじゅんけつ,純潔になるように、

ぎしき

,儀式

を行われる。その儀式の方法は49日目の儀式の方法とほとんど同じ で、さいしょ,最初の

しぼうたんじょうび

,死亡誕生日『

いっしゅうき

,一周忌』の時に行われて、

3年後の儀式『さんかいき,三回忌』、7年後の儀式『七回忌』、13年後の儀

式『十三回忌』、17年後の儀式『十七回忌』、それから33年後の儀式


(16)

93

まで、死亡した霊に『くよう,供養

バタクトバの人々がよく行われている

』をあげて、仏教によると33歳であり、 神道によると50歳である。

でんとうぎしき

,伝統儀式は たいじ

,胎児

の中から、しゅっさん,出産、 ちばな

,乳離れをすること、病気、

ひがい

,被害、そして

死亡するまでである。ライフの段階からの移動するたびに特別な伝統儀式

をよくやっている。その伝統儀式の目的は社会が災害をさ,避けることがで

きたり、神様がめぐ,恵みを あた

,与えたり、 けんこう

,健康や

あんぜん

,安全

出産のことが習慣になった場合はさらに長男か長女がもうすぐ生ま れる時には御妻の両親と他の家族は食物を持ちながら、訪問に来てくれる。

この訪問は『Mangindrak』と言い、『もっともっと頑張る』という意味で

ある。

なことを与え たりするためである。これはバタクトバの人々が伝統儀式をよくやるとい う理由の一つである。

長い時間に待っていた子供が生まれたら、時々その幸せな家族の家

で皆と一緒に飲食することもあり、それは『Mangraohani』と言い、子供

に対して『ようこそ』という意味である。しかし、時々『Mamboan Aek Si

Unte』と呼ぶことも多くて、母乳を早く動かすと信じられている。

アニミズムの時代の時には『Bona Pasogit』という場所で『Martutu

Aek』という伝統儀式を行われて、『泉で赤ちゃんを浴びてあげること』

という意味である。旧式の医師という人が決められた日であり、それは朝、 太陽が出てきたばかりである。

10歳代の時、人間が大人になった場合は、彼または彼女がメンタ

ルトレーニングをまた受けて、アニミズムの時代の時には『Mangalontik

Ipon』と呼ばれて、彼らは教会でキリスト教に入ったり、1年間ぐらいキ


(17)

94

死亡した場合は、キリスト教のバタク人が葬式に大きな興味を与え る。バタクトバの人々にとって、葬式とは世界で生きてから、他の世界に まだ他の生活があるそうである。バタクトバの人々の信用で、全世界は3

類に『Banua』という分割があり、それは『Banua Ginjang

(上)』、じゅんけつ,純潔な れい

,霊

生きているものと死亡した人との関係に対してバタクトバの人々の 信用では死亡する人と死亡した人に対してよく行われている伝統儀式から

見られる。例えば、『Manulangi』という儀式で、『手でもうすぐ死亡す

る人に食物をあげること』という意味であり、『Hamatean』、『死亡す

ること』という意味であり、それで、『Mangongkal Holi 』、『死亡した

人の骨をお

が住んでいる『Mulajadi na bolon』という一

番いい場所であり、『Banua Tonga(中)』、人間や他の生き物が住んで

いる場所であり、『Banua Toru(下)』、悪い霊が住んでいる場所という

ことである。

はか

,墓に

ほうむ

,葬ること』という意味であり、最後

はしぼうきねんとう,死亡記念塔を建てる儀式と とうぞく

,塔族の建ての儀式である。こ

のすべては、バタクトバの人々にとって伝統儀式を行うために基本的な考 えになってきた。


(18)

10 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Setiap manusia mengalami hal atau proses yang disebut daur hidup, yaitu proses dimana seseorang mulai lahir, menjadi dewasa, tua dan akhirnya meninggal. Tetapi ada beberapa perbedaan yaitu menyangkut cara dan proses yang terjadi di berbagai daerah ataupun suku di setiap negara, keseluruhan hal ini dikarenakan adanya unsur kebudayaan di dalamnya.

Manusia adalah mahluk yang memiliki akal dan pikiran serta kebudayaan, kebudayan tersebut adalah hasil dari aplikasi akal dan pikiran manusia itu sendiri yang didasari oleh ide ataupun gagasan. Koentjaraningrat (1976:28) mengatakan bahwa kebudayaan berarti keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakan dengan belajar serta keseluruhan dari hasil budi pekertinya.

Menurut koentjaraningrat dalam Takari,dkk (2008:5), konsep tentang kebudayaan itu adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan belajar. Kata kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta buddayah, yaitu bentuk jamak dari kata buddhi yang berarti budi atau akal. Sehingga, kebudayaan dapat diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan akal. Oleh karenanya, budaya selalu dibedakan dengan kebudayaan.

Pendapat lain mengatakan, budaya adalah sesuatu yang semiotik, tidak kentara atau bersifat laten. Sedangkan kebudayaan adalah sesuatu yang konkret. Menurut Ienaga Saburo dalam Situmorang (2006:2-3) membedakan pengertian kebudayaan dalam arti luas dan dalam arti sempit. Dalam arti luas, kebudayaan adalah seluruh cara hidup manusia (ningen no seikatsu no itonami kata). Ienaga


(19)

11

menjelaskan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan hal yang bukan alamiah. Sedangkan kebudayaan dalam arti sempit adalah terdiri dari ilmu pengetahuan, sistem kepercayaan dan seni. Oleh karena itu, Ienaga mengatakan kebudayaan dalam arti luas adalah segala sesuatu yang bersifat konkret yang diolah manusia untuk memenuhi kebutuhannya. Sedangkan kebudayaan dalam arti sempit adalah sama dengan budaya yang berisikan sesuatu yang tidak kentara atau yang bersifat semiotik.

Jepang dikenal sebagai bangsa yang homogen, homogen dibidang bahasa dan kebudayaannya. Artinya bahwa cara hidup masyarakat di Utara tidak begitu berbeda dengan masyarakat di Selatan, walaupun tantangan alam di selatan Jepang berbeda dengan tantangan alam di daerah Utara, (Situmorang, (2006:2)

Reischauer (1982:192) menyatakan bahwa sifat bangsa Jepang adalah menunjukkan naluri yang sangat kuat untuk menjamin kelangsungan hidupnya serta meneruskan nilai-nilai budaya bangsa. Pemeliharaan kebudayaan ini berlanjut dan dilaksanakan sejak seseorang dilahirkan bahkan sampai ia mati.

Dalam kehidupan masyarakat Jepang mengenal istilah daur hidup. Van Gennep dalam Oktolanda (2005:34) menyatakan bahwa daur hidup merupakan perubahan manusia dari suatu tahap ke tahap lainnya menuju kedewasaan melalui proses inisiasi. Sejak orang jepang dilahirkan, ia sudah menjalankan budayanya dalam ritual shussan iwai atau syukuran kelahiran. Melalui ritual shussan iwai anak mendapatkan status sebagai anggota baru dalam suatu lingkungan keluarga dan masyarakat.

Situmorang (2006 : 59) menjelaskan: “Shussan iwai merupakan acara selamatan pertama yang ditujukan kepada si bayi. Dimana kedua orang tua si bayi


(20)

12

ingin memperkenalkan bayinya kepada keluarga, kenalan juga pada tetangga-tetangga mereka”. Kemudian selanjutnya diikuti oleh proses pendewasaan sampai proses pendewaan. Dimana beberapa ritual yang dilakukan dalam setiap daur kehidupan orang Jepang itu menunjukkan status orang Jepang tersebut dalam kehidupan lingkungannya.

Begitu rumit dalam hal menunjukkan status seseorang dalam kehidupan lingkungan masyarakat Jepang khususnya masyarakat tradisional Jepang, seseorang harus menjalankan begitu banyak ritus sepanjang hidupnya, bahkan sampai ia mati pun masih saja orang melakukan ritus baginya.

Ritus itu menjadi sangat penting bagi orang Jepang tradisional karena berhubungan dengan rasa tabu dan ucapan syukur. Ada ritus yang sengaja dilakukan untuk menunjukkan status seseorang itu dalam lingkungan kehidupannya, namun tidak dipungkiri juga ada ritus yang dilakukan karena ada ketabuan sehingga secara tidak langsung menunjukkan jati diri seseorang.

Masyarakat Indonesia di beberapa kebudayaan juga mengenal siklus daur hidup, proses pengenalan anggota keluarga baru melalui proses inisiasi, salah satunya pada masyarakat Batak Toba. Masyarakat Batak Toba mengenal adanya daur hidup yang melalui proses inisiasi yang dilakukan sejak lahir bahkan sampai setelah ia mati.

Selain itu, yang senantiasa efektif penggunaanya dalam adat Batak adalah mengenai urusan siriaon dan siluluton. Siriaon adalah kegiatan yang berkenaan dengan upacara adat bercorak kegembiraan seperti pesta perkawinan, mendirikan dan memasuki rumah baru, sedangkan siluluton adalah kegiatan adat yang bersifat duka cita seperti kematian. Dua macam peristiwa tersebut dipandang tidak dapat


(21)

13

terlaksana dengan baik tanpa partisipasi seluruh komponen adat DNT. (M.D. Harahap 1986:93) dalihan-na-tolu.html).

Hidup masyarakat Batak didominasi ritual. Setiap perilakunya diliputi sifat ritual, baik terhadap tuhan maupun terhadap alam, manusia, waktu, ilmu pengetahuan dan pekerjaan. Orang Batak memuliakan Tuhan bukan sekedar untuk dirinya sendiri tetapi demi turunannya. Orang Batak menghargai alam, tidak merusak alam itu bukan demi dirinya tetapi adalah untuk turunannya. Orang Batak menghargai waktu, belajar untuk menuntut ilmu dan melakukan segala pekerjaan yang baik adalah demi masa depan turunannya. Anakhon hi do naumarga di ahu yang artinya bahwa anaknya itulah harta yang paling berharga pada suku Batak.

Salah satu sikap perilaku dari hikmad keturunan itu, diwujudkan pada saat menyambut kelahiran anak pertama. Keluarga akan selalu peka mendengar berita apakah putrinya itu telah dibenahi turunan, dan mereka akan selalu meminta nasehat dari boru sibasosemacam bidan yang erat kaitannya dengan spiritual. Pertama-tama jalan pikiran mereka tertuju pada kehidupan spiritual, apakah tondimereka sekeluarga tidak sejajar dengan pengharapan sekeluarga. Oleh sebab itu roh atau tondi mereka diupa,agar ada ketulusan tondi meminta berkat dari Tuhan. Upacara ketulusan tondi ini agar sejajar dengan pengharapan mereka disebut mardengke nilaean.

Hal serupa juga terlihat pada perkawinan, pada dasarnya, adat perkawinan Batak mengandung nilai sakral. Pernikahan Batak dikatakan sakral karena dalam pemahaman pernikahan Batak, bermakna pengorbanan bagi parboru (pihak


(22)

14

pengantin perempuan) karena ia "berkorban" memberikan satu nyawa manusia yang hidup yaitu anak perempuannya kepada orang lain pihak paranak (pihak pengantin pria), yang menjadi besannya nanti, sehingga pihak pria juga harus menghargainya dengan mengorbankan/mempersembahkan satu nyawa juga yaitu menyembelih seekor hewan (sapi atau kerbau), yang kemudian menjadi santapan (makanan adat) dalam ulaon unjuk/adat perkawinan itu.

Sebagai bukti bahwa santapan/makanan adat itu adalah hewan yang utuh, pihak pria harus menyerahkan bagian-bagian tertentu hewan itu (kepala, leher, rusuk melingkar, pangkal paha, bagian bokong dengan ekornya masih melekat, hati, jantung dll). Bagian-bagian tersebut disebut tudu-tudu sipanganon (tanda makanan adat) yang menjadi jambar yang nanti dibagi-bagikan kepada para pihak yang berhak, sebagai tanda penghormatan atau legitimasi sesuai fungsi-fungsi (tatanan adat) keberadaan /kehadiran mereka di dalam acara adat tersebut, yang disebut parjuhut.

Sebelum misionaris/zending datang dan orang Batak masih menganut agama tradisi lama, lembu atau kerbau yang dipotong ini (waktu itu belum ada pinahan lobu) tidak sembarang harus yang terbaik dan dipilih oleh datu. Barangkali ini menggambarkan hewan yang dipersembahkan itu adalah hewan pilihan sebagai tanda/simbol penghargaan atas pengorbanan pihak perempuan tersebut. Cara memotongnya juga tidak sembarangan, harus sekali potong/sekali sayat leher sapi/kerbau dan disaksikan parboru (biasanya borunya) jika pemotongan dilakukan ditempat paranak (ditaruhon jual). Kalau pemotongan ditempat parboru (dialap jual), paranak sendiri yang menggiring lembu/kerbau itu hidup-hidup ketempat parboru. Daging hewan inilah yang menjadi makanan


(23)

15

pokok parjuhut dalam acara adat perkawinan (unjuk itu). Baik acara adat diadakan di tempat paranak atau parboru, makanan/juhut itu tetap paranak yang membawa/mempersembahkan.

Berikut ini adalah gambaran perbandingan daur hidup antara masyarakat Jepang dengan masyarakat Batak Toba, dimana terdapat perbedaan maupun persamaan diantara keduanya.

Mungkin sekarang sudah banyak paket pernikahan Batak. Namun kalau makanan tanpa namargoar bukan makanan adat tetapi makanan rambingan biar bagaimanpun enak dan banyaknya jenis makananannya itu. Sebaliknya namargoar/tudu-tudu sipanganon tanpa juhutnya bukan namargoar tetapi namargoar rambingan yang dibeli dari pasar. Kalau hal ini terjadi di tempat paranak bermakna paranak telah melecehkan parboru, dan kalau ditempat parboru (dialap jual) parboru sendiri yang melecehkan dirinya sendiri.

Pada masyarakat Jepang ritus-ritus yang terjadi mulai dari kelahiran sampai perkawinan disebut ritus-ritus pendewasaan. Ritus pendewasaan ini terdiri

Daur hidup Jepang Daur hidup Batak Kawin

Lahir

Menjadi dewa

Mati Mati Lahir

Kawin

Mangokkal holi


(24)

16

dari obi iwai, shussan iwai, okuizome, shichigosan, seijinshiki, sampai pada ritus kekkonshiki menunjukkan tahap-tahap perubahan dari anak-anak menjadi orang dewasa. Konsep dewasa bagi orang Jepang tercermin pada ritus seijinshiki. Pada masa tua juga dilakukan beberapa ritus, ritus ini dapat dikatakan ritus ulang tahun. Namun, perayaan ulang tahun tersebut dirayakan pada ulang tahun tertentu saja yang dianggap usia paling rawan dan usia yang sangat lanjut. Yaitu pada saat usia 61 tahun melakukan perayaan kanreki (還暦), usia 70 merayakan koreki (古希), usia 77 melakukan perayaan kiju (喜寿), usia 80 merayakan sanju (傘寿), usia 88 tahun merayakan beiju iwai (米寿), usia 90 merayakan sotsuju (卒儒), dan usia 99 disebut dengan perayaan hakuju (白寿). Pada saat mati dan sampai menjadi dewa, orang Jepang juga melakukan berbagai ritus diantaranya; hatsunanoka, sanjugonichi, shijukunichi, hyakanichi, isshuki, sankaiki, nanakaiki, jusankaiki, junanakaiki, sanjusannenki.

Masyarakat Batak Toba melakukan berbagai ritus menyangkut hubungan timbal balik dengan alam dan keyakinan. Pada saat lahir ada beberapa ritus yang dilakukan yaitu, manghuti pagar, ulos tondi, esek-esek, robo-roboan, mamboan aek unte, tardidi, sidi. Begitu juga pada kematian, ritus yang dilakukan yaitu, mate,mangongkal holi patangkokhon saring-saring.

Berbagai perbedaan dan persamaan dari kedua budaya tersebut membuat penulis merasa tertarik untuk meneliti apa saja proses daur hidup dalam kedua kebudayaan tersebut melalui skripsi yang berjudul “PERBANDINGAN KONSEP DAUR HIDUP PADA MASYARAKAT JEPANG DAN BATAK TOBA”.


(25)

17 1.2 Perumusan Masalah

Daur hidup merupakan sesuatu yang sangat menarik untuk diteliti. Hal ini dapat dilihat dari ritus-ritus yang terjadi di dalalamnya dan apa yang melatar-belakangi proses tersebut dan bagaimana perbandingan kedua kebudayaan, yaitu antara masyarakat Jepang dengan masyarakat Batak Toba.

Oleh karena itu, penelitian ini akan mengkaji perbandingan konsep daur hidup antara masyarakat Jepang dengan masyarakat Batak Toba yang ditinjau dari segi ritus-ritus yang dilaksanakan.

Beberapa permasalahan dalam bentuk pertanyaan adalah sebagai berikut: 1) Seperti apa ritus-ritus daur hidup dalam masyarakat Jepang? 2) Seperti apa ritus-ritus daur hidup dalam masyarakat Batak Toba?

3) Bagaimanakah perbandingan kedua konsep pemikiran masyarakat jepang dan masyarakat Batak Toba dalam hal ritus daur hidup?

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan

Agar penelitian ini tidak terlalu luas, maka penelitian ini hanya akan dibatasi pada perbandingan konsep daur hidup antara masyarakat Jepang dengan masyarakat Batak Toba saja. Adapun untuk mendukung pembahasan akan di uraikan juga tentang ritus yang terjadi dalam proses daur hidup masyarakat Jepang dan masyarakat Batak Toba, sehingga dapat mengantarkan penulis untuk dapat mengerti dan memahami bagaimana proses daur hidup yang terjadi di dalam kedua kebudayaan tersebut. Dalam hal ini, ritus yang akan dibahas disempitkan pada ritus daur hidup saja.


(26)

18 1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori

1. Tinjauan Pustaka

Di dalam proses menunjukkan statusnya sebagai anggota masyarakat, orang Jepang melakukan ritus-ritus dalam kehidupannya. Dalam proses menunjukkan statusnya sebagai anggota masyarakat, suku Batak Toba juga melakukan ritus ritus dalam kehidupannya. Masyarakat adalah golongan besar atau kecil terdiri dari beberapa manusia, yang dengan sendirinya akan terikat satu dengan yang lainnya dan akan saling mempengaruhi.

Masyarakat luas merupakan seluruh manusia yang hidup bersama di suatu tempat pada suatu waktu, yang di dalamnya terdapat kelompok-kelompok, golongan-golongan lainnya yang dinamakan keluarga, kelas, mungkin juga ada sedikit kasta, dimana terdapat aksi-reaksi dan kesadaran akan adanya anggota-anggota lain yang menyebabkan orang-orang itu berhati-hati dalam kepentingan-kepentingan sesamanya di dalam kelompok itu masing-masing dan terhadap masyarakat luas (Shadily, 1993 : 47).

Ritus-ritus itu dilaksanakan sejak seseorang itu lahir sampai ia mati dan menjadi leluhur. Sedangkan ritus merupakan tata cara di upacara keagamaan (Moeliono, 1989 : 751). Sementara itu, orang Jepang dalam melaksanakan ritual-ritualnya berbeda-beda prosesi dan aturan menurut agama yang dipakainya pada saat melakukan ritus itu. Dalam kehidupan orang jepang, mereka bisa menggunakan lebih dari satu agama, dalam ritus kelahiran dilaksanakan secara Shinto, pada saat menikah secara Kristen, dan pada saat meninggal ritusnya dilaksanakan secara Budha.


(27)

19

Pada masyarakat Batak Toba prosesi dan aturan yang dipakai pada saat melakukan ritus-ritus kelahiran, pernikahan, kematian adalah aturan Ugamo. Gultom, 1992 mengatakan bahwa Ugamo adalah pandangan Suku Batak terhadap alam spiritual yang dipergunakan menjadi pedoman hidupnya sehari-hari.

2. Kerangka Teori

Dalam melakukan dan menyusun sebuah penelitian, dibutuhkan kerangka teori yang memuat pokok-pokok persoalan, namun tidak menyimpang dan melebar. Hal ini untuk memberi arah dan acuan sementara terhadap jalannya suatu penelitian (Bungin, 2001). Dengan melihat judul yang diangkat penulis, maka teori yang digunakan adalah analisis komparatif.

Dalam ilmu sosial, penelitian komparatif adalah cara penelitian dengan membandingkan masyarakat satu dengan masyarakat yang lain, untuk mengetahui perbedaan dan persamaan, juga untuk mengetahui sebab-sebab terjadinya kondisi masyarakat tersebut (Malo Manase, 1985). Selain menggunakan teori analisis komparatif, penulis juga menggunakan konsep religi daam menjawab pokok permasalahan penelitian.

Menurut Koentjaraningrat dalam Bungin 2001, konsep religiadalah sistem kepercayaan yang mengandung keyakinan yang bertujuan untuk mencari hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan dewa-dewa atau makhluk halus yang mendiami alam gaib.


(28)

20 1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dibuat dengan tujuan

1) Mendeskripsikan bagaimana ritus daur hidup dalam dua masyarakat yang berbeda (Jepang dan Batak Toba)

2) Mendeskripsikan konsep pemikiran kedua masyarakat (Jepang dan Batak Toba) dalam hal ritus daur hidup

3) Membandingkan pandangan masyarakat Jepang dan Batak Toba akan ritus daur hidup

2. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk :

1) Menambah wawasan penulis dan pembaca mengenai konsep pemikiran kedua masyarakat Jepang dan Batak Toba dalam hal ritus daur hidup. 2) Menambah wawasan penulis dan pembaca dalam memahami proses yang

terjadi di dalam daur hidup kedua masyarakat Jepang dan batak Toba. 3) Dapat dijadikan sebagai informasi untuk penelitian lain yang berhubungan

dengan ritus-ritus daur hidup. 1.6 Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah metode deskriptif, yaitu metode yang menggambarkan suatu gejala sosial tertentu (Bungin, 2001). Dalam hal ini Penulis mencoba menggambarkan perbedaan konsep daur hidup melalui ritus yang terjadi pada masyarakat Jepang dan Batak Toba. Menurut Koentjaraningrat (1976:30) bahwa penelitian yang bersifat deskriptif adalah memberikan gambaran yang secermat mungkin mengenai


(29)

21

individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu. Selain itu, penulis juga menggunakan analisis komparatif, dengan membandingkan kedua konsep pemikiran masyarakat Jepang dan Batak Toba.

Penelitian ini dilakukan dengan mengamati objek masalah yang terjadi, kemudian mengumpulkan data berdasarkan fakta-fakta yang ada, kemudian mengembangkan data yang telah didapat sesuai dengan informasi dan data yang sesuai dan berhubungan dengan masalah dalam skripsi ini. Data-data yang berhubungan dan dibutuhkan dalam penelitian ini didapat dan dikumpulkan melalui metode Penelitian Kepustakaan atau Library Research. Menurut Nasution (1996 : 14), metode kepustakaan atau Library Research adalah mengumpulkan data dan membaca referensi yang berkaitan dengan topik permasalahan yang dipilih penulis. Kemudian merangkainya menjadi suatu informasi yang mendukung penulisan skripsi ini. Studi kepustakaan merupakan aktivitas yang sangat penting dalam kegiatan penelitian yang dilakukan. Beberapa aspek yang perlu dicari dan diteliti meliputi : masalah, teori, konssep, kesimpulan serta saran. Metode kepustakaan merupakan metode yang mengutamakan pengumpulan data dari beberapa buku atau referensi yang berkaitan dengan pembahasan untuk mencapai tujuan penelitian (Mulyadi dalam Syahwani, 2006:13).

Data dihimpun dari berbagai literatur buku yang berhubungan dengan masalah penelitian. Survey book dilakukan diberbagai perpustakaan,seperti : Perpustakaan Jurusan Sastra Jepang USU, Perpustakaan USU, dan beberapa perpustakaan lainnya.


(30)

22 BAB II

RITUS-RITUS DAUR HIDUP 2.1 Teori Van Gennep

Van Gennep (1960) observed that important role transitions generally consist of three phases:

1) separation, in which a person disengages from a social role or status, 2) transition, in which the person adapts and changes to fit new roles, and 3) incorporation, in which the person integrates the new role or status into the self.

Van Gennep (1960) mengamati bahwa transisi peran penting umumnya terdiri dari tiga fase:

1) pemisahan, di mana seseorang tidak terlibat dari peran atau status sosial,

2) transisi, di mana seseorang beradaptasi dan perubahan agar sesuai dengan peran baru, dan

3 ) penggabungan, dimana orang tersebut mengintegrasikan peran baru atau status ke dalam diri.

Van Gennep dalam Dhavamony (1995:176-177) beranggapan bahwa ritual-ritual yang berhubungan dengan perpindahan orang-orang dan kelompok-kelompok dalam wilayah dan perpindahan menuju status baru, misalnya karena kehamilan dan kelahiran, pada waktu inisiasi, masa pertunagan dan perkawinan, dan dalam upacara-upacara pemakaman, juga dalam ritual-ritual dalam peralihan


(31)

23

musim dan fase-fase bulan, masa-masa tanam dan buah pertama serta panen, saat pentahbisan dan pelantikan, semuanya itu menyajikan tatanan yang sama. Pertama ada pemisahan dari yang keadaan yang lama atau situasi sosial sebelumnya, kemudian suatu masa ‘marginal’ dan akhirnya tahap ‘penyatuan’ kepada kondisi yang baru atau penyatuan kembali dengan kondisi yang lama.

Van gennep dalam Dhavomony (1995:179) menjelaskan bahwa semua kebudayaan memiliki suatu kelompok ritual yang memperingati masa peralihan individu dari suatu status sosial ke status sosial yang lain. Dalam setiap ritual penerimaan ada tiga tahap : perpisahan, peralihan, dan penggabungan. Pada tahap pemisahan, individu dipisahkan dari satu tempat atau kelompok atau status; dalam tahap peralihan, ia disucikan dan menjadi subjek dari prosedur-prosedur perubahan; sedangkan pada masa penggabungan ia secara resmi ditempatkan ke pada suatu tempat, kelompok atau status baru.

Tujuan pelaksanaan ritual itu biasanya untuk mencegah perubahan yang tidak diinginkan. Kadang terget dari pelaksanaan ritual itu adalah suatu aspek hakikat bukan manusia, kadang manusiawi; kadang individu; atau suatu kelompok. Perubahan yang dimaksud kadang merupakan perubahan yang kecil, suatu koreksi yang akan memulihkan keseimbangan dan status quo, melestarikan gerakan sistem ikatan-ikatan, misalnya ritual pernikahan; kadang menyangkut perubahan sistem yang radikal, tercapainya level keseimbangan yang baru, atau bahkan kualitas baru dalam organisasi, misalnya ritual masuk sekolah atau kenaikan pangkat.


(32)

24

Ritual sebagai kontrol sosial bermaksud mengontrol perilaku dan kesejahteraan individu demi dirinya sendiri sebagai individu ataupun individu bayangan. Hal itu semua dimaksudkan untuk mengontrol, secara konservatif, perilaku, keadaan hati, perasaan dan nilai-nilai dalam kelompok demi komunitas secara keseluruhan.

Selanjutnya, ritus merupakan suatu kegiatan, biasanya dalam bidang keagamaan, yang bersifat seremonial dan bertata. Ritus terbagi menjadi tiga golongan besar, yaitu:

1. Ritus peralihan, umumnya mengubah status sosial seseorang, misalnya: pernikahan, pembabtisan, atau wisuda.

2. Ritus peribadatan, di mana suatu komunitas berhimpun untuk beribadah bersama-sama, misalnya: umat Muslim shalat berjamaah, umat Yahudi di sinagoga dan umat Kristen menghadiri Misa.

3. Ritus devosi pribadi, di mana seseorang melakukan ibadah pribadi, termasuk berdoa dan berziarah, misalnya Muslim dan Muslimah menunaikan ibadah haji

ritus bagi orang Jepang pada umumnya dilakukan secara Budha.

2.2 Daur Hidup Menurut Masyarakat Jepang

Daur hidup dalam masyarakat Jepang disebut Tsuka Girei. Tsuka yang artinya bertahap atau tahapan sedangkan Girei artinya upacara atau perayaan, sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa pengertian dari Tsuka Girei adalah


(33)

25

perayaan-;perayaan yang dilakukan secara bertahap mulai dari proses kelahiran sampai menjadi dewa.

Daur hidup dalam masyarakat Jepang berhubungan dengan pandangan akan roh orang Jepang, yaitu pandangan tradisional yang di pengaruhi oleh Shinto dan Budha. Tsuboi, Yobumi dalam Situmorang (2000 : 30) mengatakan adalah suatu kepercayaan dalam kerangka agama Budha yang disesuaikan dengan kondisi alam Jepang.

Tsuboi menjelaskan pemikiran-pemikiran Yanagita Kunio (1875-1962) yang mengatakan bahwa manusia memiliki roh, dan roh tersebut masuk kedalam tubuh manusia pada waktu lahir dan meninggalkan tubuh manusia pada waktu meninggal. Roh itu mengalami proses perjalanan seperti arah jarum jam terbalik. Dalam setiap kondisi, roh tersebut mengalami perubahan, perubahan tersebut adalah perubahan dari kekotoran menuju kesucian dengan bantuan acara-acara dan persembahan (kuyo). Proses perjalanan roh manusia tersebut dimulai pada masa kelahiran.

Pada waktu seseorang lahir penuh dengan kekotoran, yaitu karena darah ibu yang melahirkan masih berada diseluruh badan seseorang tersebut, karena berada dalam kondisi kekotoran tersebut, maka rohnya berada dalam keadaan labil. Keadaan ini akan berlangsung sampai seseorang tersebut dewasa. Keadaan labil ini akan akan berlangsung selama seseorang tersebut masih dalam keadaan kekotoran, kondisi tersebut baru akan semakin berkurang dengan adanya acara-acara daur hidup. Dalam teorinya Van Gennep dalam Situmorang (2000 : 30) dikatakan “Li Rites de passadge” atau dalam bahasa Jepang disebut Tsuka Girei.


(34)

26

Adapun acara yang dilakukan yaitu seperti acara-acara menuju kedewasaan yang disebut Shussan (acara kelahiran), Nazuke Iwai (pemberian nama) Okuizome (pemberian makan pertama) yaitu setelah anak berusia seratus hari, Hattanjou (ulang tahun pertama) di sini dilakukan pemilihan masa depan anak, Shichigosan (acara 3 tahun, 5 tahun, 7 tahun) yaitu acara untuk mendatangi kuil pada tanggal 15 November bagi anak umur 3, 5 dan 7 tahun, dan acara kedewasaan (20 tahun) pada tanggal 15 Januari bagi semua anak yang berusia 20 tahun pada tahun tersebut (Situmorang, Hamzon, 2000 : 31)

Setelah masa kekotoran berlalu seseorang tersebut memasuki kehidupan perkawinan. Pada masa ini, roh seseorang tersebut berada dalam keadaan stabil. Kemudian ada acara khusus setelah memasuki kehidupan dalam pernikahan misalnya, Yakudoshi yaitu acara bagi orang yang memasuki usia bahaya pada tahun tersebut, misalnya usia 42 pada laki-laki dan usia 33 bagi wanita. Toshi Iwai bagi orang yang berusia 66 tahun (Gareki), usia 70 tahun (Kouki), usia 88 (Maiju), dan usia 99 (Hakuju) (Suzuki dalam Situmorang, 2000 : 32)

Menurut Situmorang, Hamzon (2000 : 28) masyarakat Jepang berkepercayaan majemuk. Mereka menyembah banyak dewa atau tuhan. Sistem kepercayaan Jepang hanya bersifat dasar saja, yaitu hanya yang bersifat praktis dalam kehidupan sehari- hari.

Menurut Situmorang, Hamzon (2006 : 42-43) dalam kepercayaan tradisional Jepang dibedakan antara roh alam dan roh manusia. Roh manusia dibedakan antara roh orang hidup dan roh orang mati. Roh manusia disebut juga


(35)

27

dengan roh orang hidup, sedangkan roh alam disebut juga dengan animisme dimana semua roh-roh di atas dipercaya memiliki kekuatan misterius.

Menurut Suzuki, Iwayumi dalam situmorang (2000 : 29) mengatakan bahwa pandangan hidup dan mati orang Jepang berada dalam suatu circle (lingkaran). Manusia semenjak lahir hingga menikah berada dalam posisi tidak tenang, atau berada dalam posisi kekotoran. Oleh karena itu perlu diadakan upacara selamatan (ritus) supaya mereka beroleh selamat. Upacara-upacara tersebut misalnya, upacara sushan, okuizome, hattanjo, shichigosan, dan sebagainya. Dalam acara okuizome, atau makan pertama diadakan juga mono erabi, yaitu memilih benda-benda yang dibuat sebagai simbol masa depan. Jika si anak memilih benda tersebut, diramalkan bahwa masa depan si anak sesuai dengan benda yang dipilih tersebut. Oleh karena itu kepercayaan masyarakat Jepang masih kental dengan unsur-unsur tahayul.

Menurut Sasaki dalam Situmorang (2006 : 45), dalam kepercayaan masyarakat Jepang, yang tercemar itu adalah mayat, kelahiran dan keluar darah. Oleh karena itu ibu yang sedang melahirkan juga karena mengeluarkan darah maka berada dalam kondisi tercemar.

Menurut Hori Ichiro dalam Situmorang (2006 : 40) mengatakan bahwa agama-agama rakyat Jepang sebagai Folk Belief adalah kepercayaan yang sudah ada sebelum agama-agama melembaga masuk ke Jepang. Agama-agama rakyat yang belum melembaga yang ada di Jepang primitive tersebut adalah agama Proto Shinto. Shinto adalah suatu kepercayaan tradisional yang lahir di Jepang. Kalau kita melihat dari huruf kanjinya, dapat kita terjemahkan menjadi suatu cara


(36)

28

kehidupan bertuhan. Shin adalah Tuhan atau Dewa, kemudian To adalah jalan, atau dapat diterjemahkan sebagai konsep cara ber Tuhan. Oleh karena itu dalam kepercayaan masyarakat Jepang jumlah Kami (dewa) sangat banyak

2.3 Daur Hidup Menurut Masyarakat Batak Toba

Kebiasaan-kebiasaan suku Batak Toba yaitu berupa upacara adat dimulai dari masa dalam kandungan, kelahiran, penyapihan, penyakit, malapetaka, hingga kematian. Peralihan dari setiap tingkat hidup ditandai dengan pelaksanaan suatu upacara adat khusus. Upacara adat dilakukan agar terhindar dari bahaya/celaka yang akan menimpa, memperoleh berkat, kesehatan dan keselamatan. Inilah salah satu prinsip yang terdapat di balik pelaksanaan setiap upacara adat suku Batak Toba (Merliana, 2010)

Dalam upacara adat Batak tampak sekali perasaan komunal berdasarkan prinsip DALIHAN NA TOLU, dan kalau tidak berdasarkan adat Dalihan Na Tolu bukanlah upacara adat Batak. Pihak pengundang, baik suami maupun isteri, dinamai suhut, dinamai hal itu sisada hasuhuton sehingga untuk membedakan disebutlah tuan rumah itu suhut tangkas (baca: suhut takkas) atau suhut sihabolonan. Pasif saja peranan suhut dalam mengatur acara-acara. Ia hanya diberi kesempatan mangampu (baca: mangappu), yaitu mengucapkan terima kasih kepada para hadirin sebelum berakhir upacara itu. Yang mewakilinya terhadap dongan sabutuha dinamai suhut paidua. Dalam pesta adat yang diadakan di rumah, dia itu boleh saudara semarga yang masih turunan satu kakek dengan tuan rumah, sedang dalam pesta kawin atau upacara kematian biasanya yang lebih jauh lagi hubungan darahnya dengan tuan rumah. Sahabat karib dari tuan rumah, yang


(37)

29

bukan kerabat semarga, tidak boleh mewakili tuan rumah dalam upacara adat Batak, baik ke dalam maupun ke luar ialah dongan sabutuha (dongan tubu)

Dalam pesta adat di rumah hanya satu pihak pengundang, yaitu tuan rumah. Pihak mertua tidak hanya mengajak dongan sabutuha dari pihaknya untuk menyertainya, tetapi selalu turut juga boru dari pihaknya. Di rumah tempat upacara itu dilakukan duduk di atas tikar dua pihak berhadap-hadapan. Pada satu baris panjang duduk suhut, diapit oleh dongan sabutuha serta boru dari pihaknya. Dihadapan mereka ini duduk berderet pihak mertua tadi yang juga diapit oleh dongan sabutuha dari pihaknya, kesemuanya merupakan hula-hula dari tuan rumah, dan selain itu lagi boru dari pihak mertua tersebut.

Dalam pesta kawin ada pengecualian, ada dua pihak pengundang, yaitu orang tua mempelai pria. Di sini juga selalu duduk terpisah para tamu yang diundang oleh parboru (orang tua siputeri) dari para tamu yang diundang oleh paranak (orang tua siputera). Mertua beserta rombongannya, dan ada kalanya juga beberapa pihak hula-hula lainnya beserta rombongan masing-masing, kalau datang ke upacara adat dari boru selalu membawa beras. Di bona pasogit setiap rombongan itu berbaris mulai dari gerbang kampung menuju ke rumah pengundang tersebut, dan biasanya disambut di depan rumah itu oleh pihak boru tersebut sambil berdiri. Kaum wanita dalam rombongan tadi semuanya menjunjung semacam sumpit yang dinamai tandok berisi beras. Beras ini digelar boras sipir ni tondi, artinya “beras penguatkan jiwa”, sengaja beras itu diberi diatas kepala supaya mengandung kekuatan magis.


(38)

30

Ada lagi yang disodorkan oleh mertua dalam suatu acara khusus kepada sang menantu, yaitu ikan emas di atas baki, yang dinamai dekke sitio-tio (artinya: ikan jernih). Ikan itu melambangkan kesuburan karena banyak telurnya. Masyarakat Batak mendambakan berkembang biak keturunan dan berbuah apa yang hendak dikerjakan untuk hidup sehari-hari, yang dapat disimpulkan dengan satu kata, yaitu gabe. Ulos juga dari pihak hula-hula, yang dililitkannya pada tubuh boru untuk menghangatkan tubuh dan jiwa, merupakan perlambang dari totalitas kosmos, semua itu yang disampaikan oleh hula-hula dalam setiap upacara adat adalah sesuai dengan semboyan yang berbunyi horas jala gabe, yang dapat kiranya di terjemahkan dengan “selamat serta sejahtera” dalam bahasa Indonesia. Pihak tuan rumah sebagai boru tidak hanya tahu menerima saja, tetapi harus memberi juga, yaitu daging, yang bermakna (namargoar). Di perantauan pada umumnya, binatang yang dipotong bukan kerbau tetapi substitutnya, yakni “kerbau pendek” (babi) di kalangan orang Batak yang beragama Kristen atau kambing di kalangan orang Batak yang beragama Islam. Walaupun demikian untuk dapat memahami makna yang dalam dari na margoar tadi kita harus bertolak dari binatang kerbau, kerbau dalam upacara bius dan kerbau sajian untuk memuja arwah leluhur di zaman animisme; dalam hal yang disebut terakhir ini kepala kerbau disajikan di tempat kuburan leluhur itu. Selain itu merupakan tradisi juga di zaman dulu menanam kepala kerbau di suatu tempat sebagai sajian kepada dewa tanah. Memang kepala adalah bagian tubuh yang paling mulia, digunakan juga oleh manusia untuk menyembah orang lain dengan cara menundukkan kepala. Sudah jelas kiranya mengapa kepala kerbu disajikan oleh boru untuk menghormati hula-hula. Yang diterimanya ini dinamai jambar. Selain


(39)

31

untuk hula-hula ada juga jambar-jambar untuk dongan sabutuha (dongan tubu), boru dan lainnya.

Jambar ialah bagian yang harus diterima oleh setiap kelompok kerabat berdasarkan peranan komunal sesuai dengan adat Dalihan Na Tolu. Selain jambar daging tersebut ada lagi jambar hata, yaitu hak angkat bicara. Sebagai acara penutup dalam setiap upacara adat ialah marhata, yaitu dialog resmi diantara boru di satu pihak dan hula-hula di pihak lain. Tanpa ada acara marhata tersebut bukanlah upacara adat namanya. Dialog resmi itu sudah standar tata tertibnya dari zaman ke zaman.

Sering kali terdengar dalam setiap upacara adat Batak semboyan yang berbunyi MANAT MARDONGAN TUBU, ELEK MARBORU, SOMBA MARHULA-HULA, artinya “Hendaklah berhati-hati bicara dengan teman semarga, jangan suka bertengkar! Terhadap boru jangan suka memerintah untuk dilayani, sopanlah bicara! Berhadapan dengan hula-hula haruslah dengan sikap menyembah!”

Setiap orang Batak digelari raja dalam upacara adat. Kadang-kadang raja ni hula-hula, dan Kadang-kadang pula raja ni dongan sabutuha. Hal itu tergantung pada statusnya di suatu upacara adat, apakah ia boru atau hula-hula atau dongan sabutuha. Biar pangkatnya jenderal tetapi hal ini tidak berlaku dalam suatu upacara adat, tetapi statusnya yang disebut tadi

Prinsip yang masih dimuat dalam masyarakat adat batak toba adalah sisolisoli do adat, artinya sebagai salah satu unit gotong-royong dalam upacara-upacara adat maka masing-masing anggotanya haruslah rajin berpartisipasi. Orang


(40)

32

yang rajin berpartisipasi akan dibalas demikian kalau ia pada suatu waktu mengadakan pesta adat, akan tetapi orang yang malas berpartisipasi, walaupun ia kaya raya atau tinggi pangkatnya, pestanya akan sepi. Lain halnya kalau ada kesedihan, misalnya rumahnya terbakar atau anaknya meninggal atau orang yang belum mempunyai cucu meninggal (pria atau wanita). Dalam hal ini berlaku pepatah pajumpang di tano rara, jadi hendaklah turut menunjukkan perhatian walaupun orang yang ditimpa kesedihan tadi malas berpartisipasi dalam upacara-upacara adat atau pernah timbul perselisihan yang gawat dengan orang yang bersangkutan, semoga orang tersebut berubah kelakuannya.

Pesta perkawinan adalah upacara adat yang terpenting bagi orang Batak, oleh karena hanya orang yang sudah kawin berhak mengadakan upacara adat, dan upacara-upacara adat lainnya seperti menyambut lahirnya seorang anak, pemberian nama kepadanya dan lain sebagainya adalah sesudah pesta kawin itu. Tambahan lagi adapun pesta perkawinan dari sepasang pengantin merupakan semacam jembatan yang mempertemukan Dalihan Na Tolu dari orang tua pengantin lelaki dengan Dalihan Na Tolu dari orang tua pengantin perempuan. Artinya karena perkawinan itulah maka Dalihan Na Tolu dari orang tua pengantin pria merasa dirinya berkerabat dengan Dalihan Na Tolu dari orang tua pengantin wanita, demikian pula sebaliknya. Segala istilah sapaan dan acuan yang digunakan oleh pihak yang satu terhadap pihak yang lain, demikian pula sebaliknya, adalah istilah-istilah kekerabatan berdasarkan Dalihan Na Tolu.

Hal ini disebabkan karena perkawinan bagi orang Batak bukanlah merupakan persoalan pribadi suami isteri melulu, termasuk orangtua serta saudara saudara kandung masing-masing, akan tetapi merupakan ikatan juga dari marga


(41)

33

orangtua suami dengan marga orang tua isteri, ditambah lagi dengan boru serta hula-hula dari masing-masing pihak. Akibatnya ialah kalau cerai perkawinan sepasang suami isteri maka putus pulalah ikatan diantara dua kelompok tadi. Kesimpulannya ialah perkawinan orang batak haruslah diresmikan secara adat berdasarkan adat Dalihan Na Tolu, dan upacara agama serta catatan sipil hanyalah perlengkapan belaka. Perkawinan orang Batak yang hanya di absahkan dengan upacara agama serta catatan sipil boleh dikatakan masih dianggap perkawinan gelap oleh masyarakat Batak dilihat dari sudut adat Dalihan Na Tolu. Buktinya ialah apabila timbul keretakan di dalam suatu rumah tangga yang demikian, maka sudah pasti marga dari masing-masing pihak tidak merasa ada hak dan kewajiban untuk mencampurinya.

Pada saat kelahiran sudah merupakan kebiasaan, apalagi menjelang lahirnya anak pertama, orang tua dari si isteri disertai rombongan kecil kaum kerabat datang menjenguk putrinya dengan membawa makanan ala kadarnya; salah satu istilah untuk kunjungan ini ialah mangirdak, yang artinya membangkitkan “semangat”. Adapula lagi yang melilitkan selembar ulos yang dinamai ulos tondi, artinya “ulos untuk menguatkan jiwa” ke tubuh si putri dan suaminya dalam acara sesudah makan. Tentu saja tuan dan nyonya rumah didampingi kaum kerabat dalm upacara sederhana tadi.

Sesudah lahir anak yang dinanti-nantikan itu adakalanya diadakan lagi makan bersama ala kadarnya di rumah keluarga yang berbahagia itu, dinamai mangharoani, artinya “menyambut tibanya (sang anak)”. Ada juga yang menyebutnya mamboan aek si unte, karena pihak hula-hula membawa makanan yang akan memperlancar air susu sang ibu.


(42)

34

Pada zaman animisme di bona pasogit mengikuti suatu upacara yang dinamai martutuaek, yakni dipermandikan sang bayi ke mata air. Pada hari yang telah ditentukan oleh datu (dukun), pagi-pagi waktu matahari baru terbit, sang ibu yang menggendong anaknya beserta rombongan para kerabat menuju ke suatu mata air dekat kampung mereka itu. Kemudian datu (dukun) menceduk air lalu menuangkannya ke tubuh sianak, yang terkejut karenanya dan menjerit terhiba-hiba. Pada umur belasan tahun, yaitu pada pada waktu seorang pemuda atau pemudi mencapai tahap pubertas, ia harus lagi menempuh ujian mental yang di zaman animisme dinamai mangalontik ipon, sesudah memeluk agama kristen gereja mengharuskan pemuda dan pemudi menempuh ujian setelah mendapat pelajaran agama selama kira-kira satu tahun.

Pada saat meninggal, orang Batak pra-kristen memberikan perhatian yang sangat besar kepada peristiwa kematian. Upacara kematian pada masyarakat Batak Toba itu sendiri juga merupakan pengakuan bahwa masih ada kehidupan lain dibalik kehidupan di dunia ini. Dalam kepercayaan masyarakat Batak Toba, alam dibagi atas tiga banua, yaitu : banua ginjang (atas) merupakan banua kuasa kemuliaan Mulajadi Na Bolon, yang dihuni oleh roh-roh suci. Banua tonga (tengah) merupakan alam raya yang dihuni oleh manusia dan makhluk hidup lainnya. Banua toru (bawah) merupakan alam bawah yang penuh penderitaan yang dihuni oleh roh-roh jahat.

Keyakinan masyarakat Batak akan adanya hubungan antara orang yang hidup dengan roh orang mati, tercermin dalam berbagai upacara adat yang dilakukan terhadap orang-orang yang akan dan telah mati, seperti: manulangi (menyulangi orang yang akan mati), hamatean (kematian), mangongkal holi


(43)

35

(menggali tulang belulang), dan pesta pendirian tugu serta pesta tahunan di tugu-tugu marga. Keyakinan ini merupakan dasar utama bagi diselenggarakannya upacara adat.

Upacara-upacara di atas pada hakekatnya merupakan upacara agama hasipelebeguon yang masih tetap dilakukan oleh kebanyakan orang-orang kristen dalam masyarakat Batak sekarang. Sebagian dari mereka melakukannya mungkin saja mengerti akan makna dari upacara tersebut, namun sebagian besar mungkin tidak memiliki pengertian akan latar belakang dan tujuan upacara adat (Gultom, 1992).


(44)

36 BAB III

ANALISIS PERBANDINGAN KONSEP DAUR HIDUP PADA MASYARAKATJEPANG DAN BATAK TOBA

3.1 Ritus-Ritus Daur Hidup Pada Masyarakat Jepang 3.1.1 Ritus-Ritus Kelahiran-Pendewasaan

Daur hidup orang jepang dapat dibagi ke dalam dua bagian, yaitu ritus pendewasaan yang dimulai sejak masih janin berusia 5 bulan sampai seseorang itu menikah, dan ritus kematian sejak seseorang meninggal sampai ia menjadi Hotoke di usia kematian yang ke-33 tahun. Tsuboi Yobumi dalam Situmorang (2007:148).

Ritus pendewasaan yang terdiri dari obi iwai, shussan iwai, okuizome, shichigosan, seijinshiki, sampai pada ritus kekkonshiki menunjukkan tahap-tahap perubahan dari anak-anak menjadi orang dewasa. Konsep dewasa bagi orang jepang tercermin pada ritus seijinshiki. Berikut ini ritus-ritus pendewasaan yang dilakukan orang Jepang.

a. Obi Iwai

Pada saat kehamilan 5 bulan diadakan obi iwai(acara memakai stagen) pada wanita yang sedang hamil. Ritus obi iwai ini bukan ditujukan kepada ibu yang sedang hamil, kepada janin yang berusia 5 bulan. Ini merupakan ritus pertama yang dilaksanakan dalam lingkaran hidup orang Jepang.

Ritus ini merupakan kebiasaan yang dilakukan orang Jepang untuk menyambut kedatangan bayi sebelum ia lahir ke dunia. Janin yang berusia 5 bulan sudah berbentuk manusia dengan anggota tubuh yang lengkap. Dengan demikian janin tersebut sudah mulai dapat diterima sebagai anggota yang akan hadir dalam


(45)

37

kelompok suatu masyarakat. Untuk itu, dilakukan penyambutan karena ada rasa suka cita terhadap anggota baru yang akan lahir.

Obi iwai merupakan salah satu ritus konstitutif karena mengungkapkan hubungan janin yang merupakan anggota baru yang akan disambut kedatangannya dalam kelompoknya. Obi iwai merupakan ritus penerimaan dalam tahap peralihan. Janin menjadi subjek dari prosedur perubahan, dari yang tidak ada menjadi ada dan dilakukan penyucian dalam penyambutannya.

b. Shussan Iwai

Shussan adalah kelahiran. Shussan atau kelahiran disini bukan dilihat dari kedudukan anak yang dilahirkan, melainkan ibu yang melahirkan. Sedangkan untuk anak disebut tanjou. Dalam pemikiran masyarakat Jepang, shussan adalah suatu keadaan yang sangat rawan bagin perempuan. Hal ini dikarenakan adanya pendarahan pada saat persalinan yang mengakibatkan ancaman jiwa bagi yang melahirkan. Terlebih lagi pada saat teknologi kedokteran yang belum maju. Oleh karena itu saat melahirkan dianggap saat yang paling rawan sepanjang hidup perempuan.

Pada saat persalinan, meskipun si Ibu yang melahirkan dan anak yang dilahirkan berada dalam situasi yang tidak sama, namun keduanya dianggap sedang pada keadaan yang sama yaitu melewatkan waktu antara dunia sini dan dunia sana. Si anak yang terikat hubungan dengan ibunya melalui tali pusar, pada saat si anak itu lahir, tali pusar tersebut putus dan kemudian membentuk hubungan sosial di dunia ini dengan lingkungannya.


(46)

38 c. Okuizome

Ketika bayi berusia 100 hari, dilaksanakan ritus kuizome atau makan pertama. Dulunya perayaan ini dilaksanakan ketika bayi berumur 120 hari. Ketika bayi berumur 100 hari, bayi berhenti menggunakan kimono putih, dan selanjutnya dikenakan kimono berwarna. Baru pada usia 120 hari dilakukan ritual menyulang makanan ke mulut bayi untuk pertama kalinya. Pada umumnya ritual ini disebut kuizome, namun pada keluarga Bushi disebut hashizome. Maknanya bisa sebagai upacara memberi makan pertama kali atau upacara memperkenalkan sumpit pertama kali kepada bayi. Namun, sekarang ini kedua upacara itu disatukan, pada usia ke-100 hari atau ke-120 hari menjadi upacara okuizome.

Pada upacara okuizome, meminta orang tertua di daerah itu untuk menerima kewajiban orang tua asuh. Kalau bayi itu laki-laki maka meminta orang tertua yang laki-laki, dan kalau bayi itu perempuan akan meminta orang tertua perempuan. Hal ini dilakukan dengan harapan bayi ini akan berumur panjang seperti orang tertua di daerahnya itu.

Makanan yang akan diberikan kepada bayi disusun di meja sajian khusus (ozen) untuk satu orang. Makanan yang disusun adalah beras merah, sup bening, ikan bekukung, plum yang dilumuri garam, dan yang lainnya. Di sekeliling ozen itu diletakkan batu kerikil. Kerikil ini katanya adalah jimat untuk menguatkan gigi bayi. Kerikil ini diambil dari dekat sungai atau pantai. Ada satu ozen lain lagi, di atasnya diletakkan 5 kue mochi merah dan putih.

Karena bayi belum bisa makan, orang tua memeluk bayi, menyulang makanan dengan sumpit, dan menirukannya pada bayi, seolah-olah dimasukkan


(47)

39

ke mulut bayi. Dengan melakukan ritus ini, mendoakan agar tidak ada kesulitan makanan seumur hidup bayi dan agar bayi itu panjang umur.

Okuizome ini dilaksanakan untuk mendoakan agar pertumbuhan bayi dapat berjalan dengan baik sampai ia besar dan agar bayi panjang umur. Perayaan ini dilakukan orang tua dan bayi menjadi tuan dalam ritus ini. Orang tua memberi bayi makan makanan lezat dan mendoakannya kepada dewa.

Dalam ritus ini anak yang menjadi tuan, dan orang tua melakukan setiap upacara dengan tujuan membahagiakan bayinya. Karena tujuannya agar bayi mendapat umur yang panjang dan hidup sejahtera, maka ritus ini merupakan ritus faktitif, yaitu ritus yang meningkatkan produktivitas atau kekuatan.

d. Hattanjou

Pada masyarakat tradisional Jepang, ulang tahun hanya dilaksanakan pada ulang tahun pertama saja. Ulang tahun pertama pada bayi disebut Hattanjou. Pada acara hattanjou ini diadakan acara untuk meramal masa depan bayi. Perayaan hattanjou berbeda disetiap daerah. Biasanya pada perayaan hattanjou ada pembuatan kue mochi, anak disuruh menginjak atau menggendong kue mochi yang besar. Kalau telah berusia 1 tahun, anak sudah bisa berjalan sendiri, tapi anak yang telah mulai berjalan selama tidak dilaksanakan hattanjou, katanya setelah pertumbuhan akan pergi keluar rumah, waktu anak mulai berjalan, hal yang tidak menggembirakan adalah kecepatan. Bagi anak yang cepat berjalan, pada hari hattanjou, dengan sengaja menjatuhkan kue mochi yang besar, dan orang dewasa melemparkan kue mochi yang kecil kepada anak.


(48)

40

Selanjutnya di depan anak laki-laki diletakkan sempoa, kuas, dan yang lainnya, sementara itu di depan anak perempuan diletakkan penggaris, kotak menjahit, dan yang lainnya. Kemudian anak akan menggenggam barang-barang yang ada di sekitarnya itu. Barang-barang itu menunjukkan suatu pekerjaan di masa mendatang. Ini dimaksudkan apabila bayi tersebut meraih benda tertentu maka profesinya di masa mendatang diramalkan akan berhubungan dengan benda yang diraihnya tersebut.

Ritus ini dilakukan pada anak yang berusia 1 tahun, karena anak yang berusia 1 tahun sudah dapat bergerak bahkan sudah ada yang dapat berjalan, bayi yang berusia 1 tahun masih polos, belum tahu barang apa yang diraihnya dan belum memikirkan masa depan. Sehingga dapat melaksanakan ritual meramal masa depan pada ritus hattanjou ini. Tujuan ritus ini mendoakan agar bayi mendapat masa depan yang baik. Bayi yang berulang tahun yang pertama tersebut menjadi tuan dalam ritus ini, dan orang tua menjadi pelaksana ritus ini. Ritus ini merupakan perayaan sukacita yang dilaksanakan secara Shinto. Hattanjou juga merupakan ritus faktitif, karena mengharapkan produktivitas yang terbaik bagi anak di masa mendatang.

e. Shichigosan

Setiap tanggal 15 November anak perempuan berumur 3 dan 7 tahun dan anak laki-laki umur 5 tahun memakai pakaian cerah dan mewah diajak orang tua ke Jinja untuk bersembahyang. Pada zaman Edo acara shichigosan hanya dilakukan dikalangan bushi, kemudian menyebar di kalangan masyarakat lain pada zaman Meiji. Sebelumnya, perayaan pada anak yang berusia 3 tahun adalah perayaan kamioki (menata rambut), pada saat ini, rambut anak dibiarkan panjang,


(49)

41

kemudian perayaan 5 tahun berasal dari perayaan hakamaginoiwai (upacara memakai hakama) untuk anak laki-laki, upacara ini bermakna pertama kali memakai hakama pada tempat-tempat resmi, sedangkan perayaan 7 tahun adalah perayaan obitoki (memakai obi) bagi anak perempuan. Masing-masing perayaan tersebut awalnya dilaksanakan pada hari yang berbeda-beda. Kemudian disatukan menjadi tanggal 15 November. Sebutan untuk perayaan ini berbeda di setiap daerah.

Usia 3, 5, dan 7 dipilih karena ketiganya merupakan angka ganjil yang dipercaya membawa keberuntungan. Pada hari ini orang tua mendoakan kesehatan dan pertumbuhan anak. Anak-anak tersebut akan mendapat permen khusus yang disebut chitose ame, yang dimasukkan ke dalam kantong yang bergambar bangau dan kura-kura. Chitose berarti seribu tahun, bangau dan kura-kura juga merupakan lambang panjang umur.

Selain merupakan angka keberuntungan ritus shichigosan dilakukan pada usia 3 tahun, karena anak-anak pada usia seperti itu sudah bisa mendapat pengajaran mengenai bersosialisasi secara sederhana dan sudah dapat berkomunikasi, sehingga bisa diajari untuk berdoa dan bersembahyang kepada Tuhan.

Ritus suka cita ini dilakukan secara Shinto karena anak-anak dibawa ke Jinja yang merupakan kuil Shinto. Melalui ritus ini anak diakui dan dirasakan secara langsung keberadaannya sebagai tuan dalam suatu upacara yang menunjukkan statusnya sebagai anggota masyarakat yang berusia 3, 5, dan 7 tahun. Hal ini terlihat dari pakaian tradisional yang dikenakan oleh anak-anak pada ritual ini. Anak-anak pertama kali mengenakan pakaian resmi dalam suatu


(50)

42

acara. Ini merupakan ritus konstitutif yang menunjukkan keadaan hubungan seseorang dalam kelompoknya.

f. Seijin Shiki

Seijin shiki merupakan upacara kedewasaan, dan meninggalkan masa kanak-kanak. Seijin shiki dilakukan untuk orang-orang yang telah genap berusia 20 tahun. Kebiasaan ini dimulai pada tanggal 22 November 1946 di Siatama. Kemudian Hukum Jepang menetapkan ritus kedewasaan ini menjadi acara nasional. Dan dirayakan setiap tanggal 15 Januari.

Pada perayaan seijin shiki, biasanya laki-laki berpakaian ala barat, dan wanita memakai pakaian tradisional Jepang (kimono). Ini adalah suatu sikap dan kebiasaan yang perlu ditiru. Terlihat jelas kebanggaan generasi muda Jepang dengan budaya tradisionalnya melalui perayaan seijin shiki ini. Mereka tidak malu dan canggung menggunakan pakaian tradisional mereka.

Dulunya upacara orang dewasa adalah genpuku. Genpuku diambil dari dinasti Tang, dan tercatat sudah dilaksanakan di zaman Nara. Genpukutercatat dilaksanakan sejak zaman Nara sampai zaman Heian oleh keluarga Tenno dan bangsawan. Pada waktu itu pria dan wanita melaksanakan upacara genpuku. Anak laki-laki dari umur 13 tahun sampai 16 tahun, anak perempuan umur 12 tahun sampai 16 tahun melaksanakannya. Laki-laki maupun perempuan pada saat upacara tersebut mulai menata rambutnya dalam tatanan dewasa. Sejak saat itu memasuki zaman Samurai, kata genpuku hanya menunjukkan laki-laki. Kemudian pada keluarga samurai pada saat genpuku, membuang nama kecil dan mengenakan nama militer dewasa. Pada permulaan zaman samurai, pada saat genpuku, bangsawan yang menggunakan topi pakaian resmi pada bangsawan


(51)

43

(kanmuri), ada kekhususan bagi bushi pada umumnya yang menggunakan topi pada bangsawan dan samurai (ebashi), sejak zaman Muromachi mencukur rambut depan menjadi populer di antara para bushi, hasilnya rambut depan menjadi tanda genpuku. Pada zaman Edo, bentuk rambut ini juga terkenal di antara para petani dan pedagang dan menjadi zaman jambul.

“Kokumin no iwaijitsu ni kansuru houritsu” menetapkan bahwa hari pendewasaan adalah tanggal 15 Januari ditetapkan sebagai Seijin no hi. Melalui seijin shiki ini seseorang berhak memilih dalam pemilihan umum. Kemudian usia 20 tahun menjadi sangat perlu karena telah menjadi batas yang jelas untuk dewasa secara hukum. Orang yang berusia di bawah 20 tahun, tidak diberikan izin mengemudi, tidak boleh menikah, dan tidak boleh bekerja.

Seijin shiki dilakukan untuk memberitahukan kepada masyarakat bahwa seseorang telah dewasa karena telah genap berusia 20 tahun. Batas kedewasaan di usia 20 tahun ini menjadi kesepakatan dalam masyarakat Jepang dan menjadi ketetapan dalam hukum Jepang. Orang yang melakukan ritus ini keluar dari kelompok anak-anak dan memasuki kelompok dewasa. Dan telah mendapatkan hak dan kewajiban sebagai orang dewasa. Berhak mengeluarkan pendapat, memilih dan dipilih, tetapi kewajibannya pun telah diterimanya begitu ia berusia 20 tahun. Orang yang telah berusia 20 tahun diharapkan bersikap mandiri. Ritus ini adalah ritus yang terus dilaksanakan setiap tahunnya. Karena itu, setiap orang yang telah genap berusia 20 tahun wajib melakukannya.

Seijin shiki merupakan ritus konstitutif yang menunjukkan status dewasa bagi pelaku ritus ini. Ritus ini dilaksanakan dengan tahap meninggalkan status anak-anak dan berpisah dari kelompok anak-anak, kemudian beralih ke tahap


(52)

44

mendapatkan prosedur-prosedur perubahan, berubah cara berpikir, perlakuan hukum, bersikap, dan akhirnya bergabung dengan kelompok dewasa.

3.1.2 Ritus-Ritus Perkawinan

Dulunya, upacara pernikahan biasanya dilaksanakan di rumah, tapi sekarang, banyak orang yang menggunakan gedung khusus untuk resepsi pernikahan dan hotel. Pesta pernikahan orang Jepang biasa diadakan di awal dan akhir musim panas, sekitar bulan Juni dan Oktober. Pada bulan-bulan tersebut suhu udara tidak terlalu panas dan dingin, paling nyaman dalam setahun.

Selain musim, tanggal pernikahan juga ditentukan oleh penanggalan Jepang. Seperti kalender Jawa yang memiliki siklus Wetonan untuk tiap hari dalam seminggu, yaitu Legi, Pahing, Pon, Wage, dan Kliwon, kalender mingguan Jepang ditandai dengan siklus Rokuyou, Senshou, Tomobiki, Senbu, Butsumetsu, Taian dan Shakkou. Masing-masing menunjukkan kadar keberuntungan hari tersebut. Pesta pernikahan biasa diadakan pada hari Taian, dimana satu hari penuh dipercaya membawa keberuntungan. Oleh karena itu di Jepang banyak pesta pernikahan diadakan pada hari Taian di musim panas.

Pertunangan dan acara pernikahan selang waktunya biasanya 9 bulan. Pernikahan ada yang dilaksanakan secara Shinto, Kristen dan Budha. Pernikahan secara Shinto menjadi pernikahan secara Kristen dimulai sejak Meiji tahun 33 (1990).

Pada pernikahan Shinto, pengantin, comblang (perantara perjodohan), keluarga, sanak saudara duduk berbaris. Setelah pemimpin agama Shinto membacakan doa di hadapan dewa, pasangan pengantin mengucapkan sumpah


(53)

45

pernikahan di hadapan dewa. Setelah itu pengantin melakukan sansankudo atau bertukar cawan pengantin (bersulang). Mempelai pria, mempelai wanita dan orang tua mempelai pria bertukar cawan kecil sebanyak 3 kali yang dibawakan oleh seorang biarawati. Kemudian giliran mempelai wanita, mempelai pria dan orang tua mempelai wanita bertukar cawan yang berukuran sedang, cawan yang paling besar adalah giliran mempelai pria, mempelai wanita dan mempelai pria saling bertukar dan segera meminum arak suci. Setelah itu keduanya telah menjadi suami istri. Kemudian kedua mempelai bersulang sake yang menandakan kedua keluarga telah bersatu.

Setelah upacara pernikahan selesai, dilanjutkan dengan pesta resepsi pernikahan. Resepsi pernikahan disebut juga kekkon hiroen. Resepsi selain dilaksanakan di gedung khusus upacara pernikahan, ada juga yang melaksanakan resepsi pernikahan di hotel. Resepsi pernikahan biasanya dihadiri 50 orang. Orang Jepang dalam memilih tamu yang akan diundang untuk menghadiri pesta pernikahannya sangat hati-hati dan memilih-milih. Biasanya yang diundang hanya kerabat amat dekat dan beberapa orang saja dari petinggi di tempat kerja, jarang sekali mengundang teman, bahkan teman akrab sekalipun sering tidak termasuk nominasi undangan. Pernikahan di Jepang sudah dibilang besar kalau dihadiri seratus orang.

Undangan harus disebar jauh-jauh hari sebelum hari pernikahan, bisa sampai sebulan sebelum hari H, karena tuan rumah menanti “balasan” undangan, apakah sipenerima undangan benar-benar dapat menghadiri acara atau tidak bisa hadir. Sekaligus mencantumkan siapa yang akan hadir (kalau bisa hadir) pada upacara pernikahan nanti.


(54)

46

Hal ini dimaksudkan agar tuan rumah tidak salah menyediakan jumlah kursi yang akan disiapkan pada hari H, dimana kursi-kursi tersebut dicantumkan nama-nama para undangan yang telah menyatakan siap hadir. Karena biasanya pesta pernikahan di Jepang biayanya sangat mahal, bisa menghabiskan 50.000 yen perorang (tamu).

Resepsi pernikahan dimulai dengan pidato dari comblang, ucapan selamat dari tamu kehormatan, setelah bersulang (kanpai), kemudian memotong kue pernikahan. Dilanjutkan dengan memakan hidangan, tetapi selagi makan ada teman yang memberikan pidato pendek. Di tengah resepsi, pasangan pengantin bisa meninggalkan resepsi. Ini disebut oironaoshi atau mengganti pakaian pengantin selagi resepsi. Akhirnya keluarga memberikan ucapan terima kasih (perayaan) dan menyatakan bahwa upacara pernikahan berakhir kepada para undangan. Para undangan pulang dengan membawa cindera mata (hikidemono) (Itami, 1969:18).

Pelaksanaan ritus pernikahan (kekkonshiki) ini bertujuan menunjukkan perubahan status seseorang dari status lajang menjadi seorang yang telah berkeluarga. Karena itu ritus ini termasuk ritus konstitutif. Kekkonshiki merupakan ritus penerimaan yang dilakukan dalam 3 tahap. Yaitu pemisahan dari status dan kelompok lajang, beralih menjadi orang yang telah menikah dan mengalami perubahan dalam perlakuan sosial sekaligus bergabung ke dalam kelompok orang yang telah menikah.

Secara tidak langsung pasangan yang melakukan ritus ini mendapatkan hak dan kewajiban secara adat maupun secara hukum. Misalnya, hak untuk tinggal serumah, memiliki dan merawat anak, memiliki harta bersama, dan


(55)

47

kewajiban untuk saling menjaga dan melindungi, meskipun nyatanya dalam lingkungan bangsa Jepang hal-hal seperti ini tidak mendapat kontrol dari lingkungan, tapi hal ini diatur dan terlihat jelas dalam hukum. Ada juga hak dan kewajiban pasangan yang telah menikah tersebut dalam keluarga besarnya. Pasangan tersebut mendapatkan peran baru dalam keluarga besarnya juga. Misalnya, sebagai wanita yang telah menikah tersebut, menikah dengan anak pertama dalam suatu keluarga maka, ia akan menjadi menantu sulung yang berperan sebagai pengganti ibu mertuanya jika ibu mertuanya itu telah meninggal atau tidak bisa melakukan tugasnya.

Setelah menjalani banyak hal dalam perkembangan hidupnya, di masa tua, orang Jepang pun masih tetap melakukan beberapa ritus. Ritus ini dapat dikatakan ritus ulang tahun. Namun, perayaan ulang tahun tersebut dirayakan pada ulang tahun tertentu saja yang dianggap usia paling rawan dan usia yang sangat lanjut. Yaitu pada usia 61 tahun melakukan perayaan kanreki (還暦), usia 70 merayakan koreki (古希), usia 77 tahun disebut perayaan kiju (喜寿), usia 80 tahun merayakan sanju (傘寿), usia 88 tahun merayakan beiju iwai (米寿), usia 90 tahun merayakan sotsuju (卒儒), dan usia 99 tahun disebut dengan perayaan hakuju (白寿). Berikut ini penjelasan beberapa ritus di usia lanjut.

a. Kanreki Iwai

Toshi iwai pada usia 61 tahun dilakukan karena dipercaya usia 61 tahun adalah tahun kembali ke tahun kelahiran. Maksudnya orang tua itu kembali kepada keadaan anak-anak, yaitu tidak sanggup melakukan pekerjaan, harus dirawat dan sudah pensiun dari pekerjaan. Maka anak melakukan ritus


(56)

48

kanrekibagi orang tuanya. Seluruh anak dan cucunya berkumpul kemudian orang tua tersebut memakai akai cancan ko.

Namun, sekarang ini meskipun telah berusia 60 tahun, orang tua Jepang masih melakukan pekerjaan. Jadi, sekarang orang Jepang lebih banyak merayakan toshi iwai pada usia 70 tahun (koki).

b.Beijuu Iwai

Di Jepang kalau telah berusia 88 tahun akan mengadakan perayaan beiju. Kata beiju dalam huruf kanji dituliskan dengan kata kome (米) atau beras, karena kalau huruf kome (米) dalam huruf kanji dipisah-pisah, maka akan menjadi huruf 88 dalam huruf kanji (八+八) yang disebut beiju. Perayaan ini dihadiri keluarga dan teman-teman dari yang berulang tahun.

c. Hakujuu Iwai

Hakujuu Iwai merupakan upacara syukuran atas kehidupan. Hakujuu Iwai dilaksanakan ketika orang tua berusia 99 tahun atau upacara ulang tahun ke-99 tahun. Upacara ini dilakukan anak-anak kepada orang tuanya sebagai ucapan terima kasih. Dimana status orang tua yang sebelumnya merupakan kepala keluarga berubah menjadi penasihat di dalam keluarga. Pada ritus ini anak yang mengadakan upacara selamatan kepada orang tuanya.

Upacara selamatan ulang tahun di usia lanjut ini dilakukan sebagai ucapan terimakasih kepada dewa atas umur yang panjang dan pertolongan dewa sepanjang usianya. Pada ritual ini orang tua yang menjadi tuan, dan menjadi giliran anak untuk membahagiakan orang tuanya. Ini merupakan acara penghormatan terima kasih kepada orang tua yang telah bekerja keras bagi


(57)

49

keluarga dan masyarakat selama bertahun-tahun dan merayakan panjangnya usia orang tua tersebut.

Di usia pensiun sejak usia 60 tahun, orang tua menyerahkan tugas sebagai pemimpin keluarga kepada anaknya dan beralih menjadi pembimbing bagi anak-anaknya dan bergabung kepada kelompok orang yang dituakan. Orang tua tidak lagi memimpin keluarganya, tapi mengikuti segala keputusan anaknya dan hanya bertindak sebagai pembimbing. Pada usia ini orang tua tidak lagi bekerja dan hanya bersenang-senang dengan cucunya.

3.1.3 Ritus-Ritus Kematian

Inouguchi dalam Situmorang (2006:48) mengatakan, kematian diartikan sebagai suatu keadaan dimana seseorang tidak bernyawa dan rohnya pergi meninggalkan tubuhnya untuk selamanya. Untuk memastikan apakah seseorang telah mati atau hanya pingsan (hansi), masyarakat tradisional melakukan upacara pemanggilan roh agar kembali lagi ke jasad (tamayobai). Tamayobai disebut juga Mogari, yaitu suatu acara untuk menentukan seseorang tidak hidup lagi. Dasar pemikiran mogari adalah manusia meninggal karena rohnya pergi meninggalkan badan kemudian pergi ke dunia sana, apabila belum terlalu jauh, maka masih dapat dipanggil kembali.

Situmorang (2006:77) menjelaskan bahwa setelah seseorang tidak bernapas lagi, maka rohnya dianggap sudah keluar dari tubuhnya. Kemudian keluarga melakukan pemanggilan roh (tamayobai) agar rohnya kembali ke tubuh lagi. Cara melakukan tamayobai berbeda-beda di tiap daerah, ada yang menghidangkan makanan di samping mayat kemudian memanggil roh orang


(1)

81 BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan

Daur hidup adalah proses perubahan, pemisahan, di mana seseorang tidak terlibat dari peran atau status sosial,transisi, di mana seseorang beradaptasi dan perubahan agar sesuai dengan peran baru, dan penggabungan, dimana orang tersebut mengintegrasikan peran baru atau status ke dalam diri.

Daur hidup pada masyarakat Jepang dibagi ke dalam dua bagian, yaitu ritus pendewasaan yang dimulai sejak masih janin berusia 5 bulan sampai seseorang itu menikah, dan ritus kematian sejak orang itu meninggal sampai ia menjadi Hotoke di usia kematian yang ke-33 tahun.

Daur hidup pada masyarakat Batak Toba jugadibagi dalam dua bagian yaitu pada ritus kelahiran sampai menikah dan ritus kematian. Kebiasaan-kebiasaan suku Batak Toba yaitu berupa upacara adat dimulai dari masa dalam kandungan, kelahiran, penyapihan, penyakit, malapetaka, hingga kematian.

Peralihan dari setiap tingkat hidup ditandai dengan pelaksanaan suatu upacara adat khusus. Upacara adat dilakukan agar terhindar dari bahaya/celaka yang akan menimpa, memperoleh berkat, kesehatan dan keselamatan. Inilah salah satu prinsip yang terdapat di balik pelaksanaan setiap upacara adat suku Batak Toba.

Pada masyarakat Jepang perubahan status dari anak-anak menjadi dewasa terlihat jelas pada ritus seijinshiki. Ritus pendewasaan ini merupakan ritus suka cita dan pada umumnya dilaksanakan secara shinto.


(2)

82

Pada masyarakat Batak Toba perubahan status anak-anak menjadi dewasa terlihat jelas pada ritus mangalontik ipon (pada zaman animisme) atau sidi (setelah beragama kristen). Ritus pendewasaan ini juga merupakan ritus suka cita.

Masyarakat Jepang dalam memilih tamu yang akan diundang untuk menghadiri pesta pernikahannya sangat hati-hati dan memilih-milih. Pernikahan di Jepang sudah dibilang besar kalau dihadiri seratus orang.

Dulunya, upacara pernikahan biasanya dilaksanakan di rumah, tapi sekarang, banyak orang yang menggunakan gedung khusus untuk resepsi pernikahan dan hotel. Pesta pernikahan orang Jepang biasa diadakan di awal dan akhir musim panas.

Perkawinan meupakan suatu peristiwa besar pada suku bangsa Batak. Sehingga upacara itu selalu diperlihatkan didalam pelaksanaan upacara-upacara adat peresmiannya. Tetapi disamping perkawinan yang dilaksanakan didalam pesta adat, ada juga perkawinan mangalua (kawin lari) yang terjadi karena beberapa faktor penyebab misalnya kedua pihak orang tua tidak setuju.

Penentuan tempat pesta dapat ditandai dengan istilah dialap jual dan ditaruhon jual. Jika disebut dialap jual pestanya di kampung/rumah pengantin perempuan. Sedangkan ditaruhon jual pestanya di kampung/rumah pengantin laki-laki.

Masyarakat Jepang dan Batak Toba memiliki pandangan yang sama terhadap kehormatan leluhur atau nenek moyang. Masyarakat Jepang melakukan ritus untuk menghormati leluhur sampai menjadi dewa dan ritus itu dilakukan sampai ulang tahun kematian yang ke-33


(3)

83

Masyarakat Batak Toba dalam menghormati leluhur atau nenek moyang, mendirikan tugu tempat penguburan kedua bagi leluhurnya tersebut. Pada ritus ini tulang belulang nenek moyang atau leluhur digali dan kemudian dipindahkan ke tugu (kuburan permanen) dan diadakan upacara besar yang mengundang seluruh warga kampung.

4.2 Saran

Sebagai penutup dari penulisan karya tulis mengenai perbandingan konsep daur hidup masyarakat Jepang dan Batak Toba ini, adapun beberapa saran sebagai masukan kepada pembaca adalah sebagai berikut :

1. Dengan mempelajari tulisan ini, diharapkan pembaca dapat mengerti mengenai ritus-ritus yang dilakukan masyarakat Jepang dan Batak Toba dalam proses kehidupannya.

2. Sebaiknya kita lebih menghargai budaya dan tradisi yang ada pada kebudayaan masyarakat kita masing-masing tanpa meninggalkan keyakinan kita kepada Tuhan Yang Maha Esa.

3. Diharapkan juga tulisan ini dapat menambah wawasan pembaca, khususnya bagi orang yang melakukan studi atau penelitian tentang kejepangan di Indonesia.


(4)

84

DAFTAR PUSTAKA

Bungin, Burhan. 2001. Metode Penelitian Sosial. Surabaya: Universitas Airlangga.

Dananjaja, James. 1997. Foklor Jepang dilihat Dari Kacamata Indonesia.

Jakarta : Pustaka Utama Grafiti.

Dhavamony, Mariasusai. 1995. Fenomenologi Agama. Yogyakarta: Penerbit

Kansisus.

Gultom Raja Marpodang, D.J. 1987. Dalihan Na Tolu Nilai Budaya Suku Batak.

Medan: CV Armada.

Hutasuhut, Irwansyah. 1990. “Analisis Komperatif Bentuk (penggarapan) dan

Tehnik Permainan dari Sebuah Gondang”. (Skripsi). Fakultas Sastra

Jurusan Etnomusikologi USU.

Itami, Reiko dan Isao Shishido. 1996. Facts about Japan (Nihon no Issho)

Koentjaraningrat. 1976. Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT. Gramedia

Pustaka Utama.

Merliana, Efrida. (2010). Pelaksanaan Tugas Kesehatan Keluarga Suku Batak

Toba di Kelurahan Kenangan Kecamatan Percut Sei Tuan. Diakses 20


(5)

85

Malo, Manase dkk.1985. Metode Penelitian Sosial. Jakarta: Farunika Universitas

Terbuka.

Moeliono, Anton M, dkk. 1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai

Pustaka.

Nasution, Duma Sari. 2005. Upacara Obon Sebagai Wahana Pelestarian

Kekerabatan Masyarakat Jepang Dewasa Ini. (Skripsi). Medan: Fakultas

Sastra USU.

Oktolanda, Siska. 2005. Perilaku Beragama Masyarakat Jepang Dilihat dari

Ritus-Ritus Kemanusiaannya (Rites of The Passage). Medan: Fakultas Sastra USU.

Reischauer, O Edwin. 1982. Manusia Jepang. Jakarta: Sinar Harapan.

Shadily, Hasan. 1993. Sosiologi untuk Masyarakat Indonesia. Jakarta: PT. Rineka

Cipta.

Siahaan, Bisuk. 2005. Kehidupan di Balik Tembok Bambu. Jakarta: Kemapala

Foundation.

Situmorang, Hamzon. 2005. Ilmu Kejepangan. Medan: USU Press.

Situmorang, Hamzon. 2006. Ilmu Kejepangan. Medan: Universitas Sumatera


(6)

86

Situmorang, Hamzon. 2007. Perubahan Makam dan Pemakaman Tradisional di

Jepang (Studi Kasus Sendai Kurisuchan Bochi)

www.usu.ac.id/../hamzon.pdf

Takari, Muhammad,dkk. Masyarakat Kesenian di Indonesia. Medan: Studia

Kultura, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara.