Abdur Razzaq Pahlevi : Analisis Perbandingan Pandangan Daur Hidup Tsukagirei Dalam Masyarakat Jepang Dan Betawi, 2009.
USU Repository © 2009
yang terikat hubungan dengan ibunya melalui tali pusar putus dan kemudian membentuk hubungan sosial di dunia ini dengan lingkungannya. Upacara
kelahiran yang dilakukan di Jepang hanya untuk memberitahukan kepada para tetangga atau kerabat ataupun saudara bahwasa nya di rumah ini telah ada
kekotoran. Sehingga para tetangga atau kerabat tersebut tidak akan mengunjung rumah itu, dikarenakan hal kekotoran.
A. Tempat Melahirkan Ubuya
Menurut Situmorang, Hamzon 2006 : 56-57 perubahan tempat melahirkan di Jepang nampak sekali pada 50 tahun belakangan ini. Sekarang
tempat melahirkan bukan lagi di ubuya, tetapi sudah berubah yaitu di rumah sakit dengan menggunakan alat-alat medis yang mutakhir. Oleh karena itu walaupun
seandainya didapati berbagai kelainan dalam kondisi melahirkan, sudah dapat ditangani dengan baik. Demikian juga dengan fasilitas-fasilitas tempat melahirkan
banyak yang sudah menyamai fasilitas hotel. Sebelum perang dunia kedua orang Jepang banyak melahirkan di ubuya, tetapi pada akhir perang dunia kedua
berubah, kebanyakan wanita melahirkan di rumah bukan lagi di ubuya. Di dalam cerita kojiki 712 dan nihonsoki 720, juga sudah ditemui
tentang adanya ubuya, dimana ubuya pada waktu itu didirikan di tepi pantai. Di ubuya ini ada toriagebasan yang bekerja sebagai penolong orang yang sedang
melahirkan. Kemudian dijelaskan bahwa pada zaman dahulu ubuya bukan hanya ditempati oleh orang yang akan melahirkan tetapi juga ditempati oleh orang yang
sedang gekkei datang bulan. Adapun alasan didirikannya ubuya ini adalah karena adanya pemikiran kecemaran dan kesucian dalam pemikiran shintois di Jepang.
Abdur Razzaq Pahlevi : Analisis Perbandingan Pandangan Daur Hidup Tsukagirei Dalam Masyarakat Jepang Dan Betawi, 2009.
USU Repository © 2009
Darah adalah sesuatu yang kotor, oleh karena itu supaya anggota keluarga jangan tercemar maka orang melahirkan di ubuya. Kemudian api yang dipergunakan
untuk memasak di ubuya juga dianggap tercemar, oleh karena itu api tersebut tidak boleh dipergunakan memasak di rumah.
Sampai tahun 1960, kira-kira separuh dari wanita Jepang melahirkan di rumah yang dibantu oleh ibu-ibu tetangga mereka yang berpengalaman.
B. Tabu Pada Saat Kelahiran Ubunoimi
Menurut Situmorang, Hamzon 2006 : 57-58 pada saat melahirkan, si ibu dianggap berada dalam keadaan kotortercemar oleh karena itu beberapa saat
harus hidup terpisah dari masyarakat. Kemudian orang-orang yang dianggap tercemar juga adalah bidan, bayi, suami dan kemudian keluarga yang lainnya.
Kemudian pada waktu sebelum melahirkan, ada tabu yang tidak boleh dimakan, misalnya cumi-cumi dan sotong yaitu dianggap berbahaya karena mempersulit
kelahiran. Kemudian tabu yang lain yaitu tidak boleh melihat kebakaran. Tabu setelah melahirkan, adalah berupa larangan untuk mendekati tempat-
tempat suci seperti ujigamisama, kamidana, dan sebagainya. Kemudian api dianggap sebagai perantara pembawa kekotoran, oleh karena itu api yang
dipergunakan untuk memasak makanan ibu yang sedang melahirkan tidak boleh dipergunakan untuk memasak di tempat lain. Kemudian bagi ibu yang baru
melahirkan tidak boleh menyentuh air di sumur. Bagi suami, dalam waktu sementara tidak boleh bekerja di ladang atau menangkap ikan.
Abdur Razzaq Pahlevi : Analisis Perbandingan Pandangan Daur Hidup Tsukagirei Dalam Masyarakat Jepang Dan Betawi, 2009.
USU Repository © 2009
C. Syukuran Kelahiran Shussan Iwai