Kaitan Pola Makan dan Status Gizi

2.4.2.3. Berat Badan Menurut Panjang Badan BBTB

Berat badan memiliki hubungan yang linear dengan tinggi badan. Dalam keadaan normal, perkembangan berat badan akan searah dengan pertumbuhan tinggi badan dengan kecepatan tertentu. Indeks BBTB merupakan indikator yang baik untuk menilai status gizi saat kini sekarang. Indeks BBTB adalah merupakan indeks yang independen terhadap umur. Keuntungan indeks BBTB: a. Tidak memerlukan data umur b. Dapat membedakan proporsi badan gemuk, normal dan kurus Kelemahan indeks BBTB: a. Tidak dapat memberikan gambaran, apakah anak tersebut pendek, cukup tinggi badan atau kelebihan tinggi badan menurut umurnya, karena faktor umur tidak dipertimbangkan b. Dalam praktek sering mengalami kesulitan dalam melakukan pengukuran panjangtinggi badan pada akelompok balita c. Membutuhkan dua macam alat ukur d. Pengukuran relatif lebih lama.

2.5. Kaitan Pola Makan dan Status Gizi

Konsumsi makanan berpengaruh terhadap status gizi seseorang. Kondisi status gizi baik dapat dicapai bila tubuh memperoleh cukup zat gizi yang akan digunakan secara efisien, sehingga memungkinkan terjadinya pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja untuk mencapai tingkat kesehatan optimal Roesli, 2005. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Munawaroh 2006 di Kabupaten Pekalongan yang menyatakan bahwa balita dengan pola makan yang Universitas Sumatera Utara tidak baik mempunyai risiko untuk mengalami status gizi kurang 8,1 kali lebih besar daripada balita dengan pola makan baik. Pengetahuan ibu tentang makanan yang bergizi akan sangat berperan terhadap baiknya tumbuh kembang anak balita. Pola asuh meliputi sikap dan perilaku ibu dalam hal memberi makanan, merawat, menjaga kebersihan, memberi kasih sayang, sikap dan tindakan ibu terhadap anak yang tidak mau makan dan sebagainya yang kurang memadai dapat menyebabkan anak tidak mau makan sehingga konsumsi makan anak kurang. Sikap ketidak pedulian ibu terhadap gizi dan kesehatan anak juga dapat mempengaruhi status gizi anak balita sehingga anak tidak mendapat makanan yang jumlahnya cukup, beragam dan seimbang. Sementara penelitian Ellyana di Sunggal tahun 2005 menyatakan bahwa praktik pemberian makan yang baik tidak menjamin status gizi anak akan baik pula. Dapat saja terjadi, dengan praktik pemberian makan yang tidak baik status gizi anak akan baik. Praktik pemberian makan yang tidak baik yang dimaksudkan adalah tidak dipenuhinya salah satu syarat praktik pemberian makan yang baik. Hal ini terjadi karena baik tidaknya status gizi anak dipengaruhi oleh konsumsi makanan dan kesehatan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Mastaria di Desa Sipolha Horisan Tahun 1998 diperoleh adanya hubungan yang bermakna antara konsumsi energi dan status gizi balita. Hal ini sesuai dengan pendapat Sediaoetama 1991 bahwa keadaan gizi tergantung pada tingkat konsumsi. Bila konsumsi energi cukup, pemecahan jaringan tidak terjadi dan berat badan dapat dipertahankan bahkan dapat bertambah sehingga status gizi menjadi lebih baik, sebaliknya Universitas Sumatera Utara apabila konsumsi energi kurang, tubuh akan membakar energi tubuh dan menyebabkan pertumbuhan terganggu. Sementara penelitian Arnita di Desa Serapuh Asli Tahun 2007 menyatakan adanya hubungan antara penyapihan dengan status gizi anak, dimana gizi buruk dan gizi kurang terdapat pada anak yang disapih dan mengganti ASInya dengan memberi teh manis dan air tajin. Walaupun terdapat 72,4 anak yang disapih mendapat susu botol, ada kemungkinan ukuran dari susu tersebut tidak sesuai sehingga tidak mencukupi kebutuhannya. Hal ini sesuai dengan penelitian Gambrio 1976 yang menyebutkan adanya hubungan usia penyapihan dengan tingkat gizi anak dan dalam Khumaidi 1994 disebutkan juga bahwa kurang gizi dapat terjadi bila anak terlalu cepat disapih. Begitu juga dengan penelitian yang dilakukan Harsiki di Padang Luar Tahun 1991 menyatakan bahwa timbulnya masalah KKP dalam umur penyapihan dapat diakibatkan dari usia penyapihan yang terlalu dini, atau usia penyapihan yang teralu lama tanpa diimbangi dengan pemberian makanan tambahan yang memadai. Menurut penelitian Harsiki jenis makanan tambahan yang diberikan pada anak, 80,0 ibu menggunakan jenis makanan dapur ibu dengan bentuk dan frekuensi pemberian yang baik. Tetapi jika dilihat dari status gizi anak, gizi buruk dan gizi kurang terdapat pada anak yang diberi makanan dapur ibu. Hal ini disebabkan karena makanan dapur ibu yang diberikan kepada anak diolah menjadi makanan lumat hanya terdiri dari tepung beras tanpa campuran lauk pauk dan sayur. Universitas Sumatera Utara

2.6. Kerangka Konsep