19
BAB III TAREKAT TIJANIYAH DI DESA CEMPAKA PUTIH CIPUTAT
A. Asal Usul Tarekat Tijaniyah
Tarekat Tijaniyah adalah salah satu Thariqah al-Auliya yang dirintis oleh wali besar akhir zaman yaitu Syekh Ahmad bin Muhammad al-Tijani
1
yang lahir pada hari Kamis,
13 Shafar 1150 H1730 M di „Ain Madi, Aljazair Selatan. Ia adalah seorang bangsawan yang tergolong ahlulbait Rasulullah SAW. yaitu
keturunan ke 24 dari Rasulullah SAW. dengan nasab dari Siti Fatimah dan Sayyidina Ali bin Abi Thalib dari garis Sayyidina Hasan. Sedangkan ayahnya
bernama Muhammad bin Mukhtar, seorang yang saleh yang tinggal dan mengajar di „Ain Madi. Kata al-Tijani berasal dari sebuah nama suku kelahiran dan
keluarga besar beliau yang bernama Tijanah.
2
Pada usia 7 tahun, Syekh Ahmad al-Tijani telah hafal al- Qur‟an dalam
Qira‟at Imam Nafi di bawah bimbingan Sayyid Muhammad bin Hamawi Al- Tijani. Kemudian ia menyibukan diri dengan mendalami ilmu ushul akidah,
furu’ fikih dan adab etika. Selain itu, Ahmad bin Muhammad al-Tijani mempelajari ilmu zahir yaitu Mukhtashar al-Syaikh Khalil ringkasan
yurisprudensi Imam Malik, ar-Risalah al- Jama’ah al-Sufiyah bi Bilad al-Islam
1
Nama lengkapnya adalah Ahmad bin Muhammad bin Muhtar bin Ahmad bin Muhammad bin Salim bin Ahmad Ali al-Wanny bin Ahmad bin Ali bin Abdillah bin Abbas bin
Abdul Jabbar bin Idris bin Ishaq bin Zainal Abidin bin Ahmad bin Muhammad al-Nafsuz Zakiyah bin Abdullah al-Kamil bin Hasan al-Muasanna bin Hasan al-Sibti bin Ali bin Abi Thalib dari
Sayyidina Fatimah al-Zahra r.a binti Rasulullah SAW. Lihat Sholeh Basalamah dan Misbahul Anam, Tijaniyah Menjawab dengan Kitab dan Sunnah Jakarta: Kalam Pustaka, 2006, h. 22.
2
Al-Faidh ar-Rabbani, Manaqib al-Qutubul Kamil Khotmul Auliya al-Maktum Sayyidina Syekh Ahmad bin Muhammad al-Hasani al-Tijani, Penerjemah al-Fakir Miftahuddin asy-
Syafi‟i al-Tijani bin Qusthoni T.tp., T.pn., 2009, h. 5.
karya Abu Qasim al-Qusyairi, Muqaddimah karya Ibn Rusyd dan Muqaddimah karya al-Akhdari. Dengan karunia Allah SWT. yang melimpah, ia dapat
menguasai berbagai ilmu dengan sempurna. Sehingga pada usia yang relatif muda, Ia sudah bisa menjawab berbagai pertanyaan dari masyarakat dan bisa
mengajarkan beberapa cabang ilmu keislaman seperti tafsir, hadits, fikih, tauhid dan yang lainnya.
3
Pada usia 21 tahun, ia mulai terpanggil untuk mengikuti jejak kehidupan para sufi dalam dunia tasawuf dan mengunjungi berbagai daerah di Faz, Maroko
pada tahun 1171 H1757 M. Pertemuan dengan para tokoh sufi inilah Syekh Ahmad al-Tijani mempelajari berbagai tarekat yang berkembang pada masa itu.
Seperti, tarekat Qadariyah, Khalwatiyah, Syadziliyyah, Nashiriyah dan tarekat yang bersumber dari Ahmad al-Habib bin Muhammad.
4
Proses lawatan inilah yang mempertemukan Syekh al-Tijani dengan beberapa wali-wali besar. Seperti Abu Muhammad al-Thoyib bin Muhammad bin
Ibn Abdillah r.a, yang masyhur dengan panggilan Sayyid Alwani. Ia juga bertemu dengan Muhammad Wanjali r.a di gunung Zabib, salah seorang tokoh dari tarekat
Syadziliyah. Ia membukakan banyak visual kasyaf yang ada dalam batin al- Tijani dan memberikan pernyataan bahwa al-Tijani akan menemukan kedudukan
Imam Syadzili pendiri tarekat Syadziliyah.
5
3
Ahmad Rohman, ed., Ensiklopedi Tasawuf Jakarta: Angkasa, 2008, h. 1325.
4
Ahmad Rohman, ed., Ensiklopedi Tasawuf , h. 1325.
5
Fakhrudin Ahmad al-Uwaisi dan Sholeh Basalamah Syekh Ahmad Al-Tijani: Keturunan Rasulullah yang Mirip Rasulullah SAW Jatibarang: TIM Santri Pondok Pesantren Darussalam,
2009, h. 10.
Selanjutnya, Syekh bertemu dengan Sayyid Abdullah bin al-Arabi bin Ahmad bin Muhammad bin Abdullah al-Andalusi. Pertemuan ini banyak
memperbincangkan masalah. Konon sebelum berpisah, Sayyid Abdullah bin al- Arabi berkata kepada Ahmad al-Ti
jani bahwa “Allah akan selalu menuntunmu menolongmu” sampai tiga kali. Kemudian bertemu Abul Abbas Ahmad al-
Thawasy dan Syekh Abdul Qadir al-Jailani sehingga mengambil tarekat Qadiriyah.
6
Pada tahun 1187 H1773 M, Syekh Ahmad al-Tijani menuju Tunisia terus ke Mekah untuk ibadah haji. Dalam perjalanannya, ia singgah di Azwawi, dekat
Aljazair dan belajar tarekat Khalwatiyah pada Abu Abdillah bin Abdurrahman al- Azhary. Ia menetap di Tunisia. Kemudian ia pergi ke Mesir untuk menemui
Syekh Mahmud al-Kurdi, pemimpin Khalwatiyah di Kairo.
7
Abu Abbas Ahmad al-Tijani sampai di Mekah pada bulan Syawal 1187 H untuk mengerjakan haji.
Sufi besar India Ahmad bin Abdullah al-Hindy ditemuinya secara ruhani. Maksudnya guru sufi tersebut secara mistis telah memberikan pelajaran kepada
Ahmad al-Tijani, cukup melalui risalah-risalah yang disampaikan oleh khadamnya yang mengatakan bahwa: “Engkau yang mewarisi ilmuku, asrorku, wibawaku,
dan cahayaku.”
8
Setelah melaksanakan ibadah haji, Ahmad al-Tijani pergi ke Madinah untuk berziarah ke makam Nabi Muhammad dan bertemu dengan Syekh Abdul
Karim al-Saman, seorang pemimpin tarekat Samaniyah, salah satu cabang
6
Sholeh Basalamah dan Misbahul Anam, Tijaniyah Menjawab dengan Kitab dan Sunnah Jakarta: Kalam Pustaka, 2006, h. 22.
7
Ahmad Rohman, ed., Ensiklopedi Tasawuf Jakarta: PT. Anakasa, 2008, h. 1325.
8
M. Yunus A. Hamid, Risalah Singkat Thariqah al-Tijany Jakarta: Yayasan Pendidikan dan Dakwah Tarbiyah Al-Tijaniyah, 2008, h. 11.
Khalwatiyah. Syekh itu mengatakan bahwa Ahmad al-Tijani mempunyai potensi sebagai wali qutub
9
yang dominan. Ahmad al-Tijani meninggalkan tanah Arab pada tahun 1191 H, Ahmad al-Tijani menetap di Tilmisan. Setelah itu, ia pergi ke
Syalalah dan tinggal di Sidi Abi Samghun.
10
Deskripsi di atas menggambarkan bahwa Syekh Ahmad al-Tijani telah memiliki berbagai keilmuan yang cukup mendalam sebagai seorang pemimpin
tarekat dan berbagai isyarat yang diterima oleh guru-guru tarekat semakin mempertegas dirinya menjadi seseorang yang mempunyai tingkat derajat yang
agung di sisi Allah SWT. Akan tetapi, Syekh Ahmad al-Tijani nampaknya tidak mengambil salah satu tarekat yang di pelajari sebagai tarekatnya, walaupun guru-
gurunya telah memberikan izin talkin kepadanya. Puncak perjalanannya dalam berimplementasi dengan berbagai bentuk
tarekat baik wirid, amalan-amalan tarekat, puasa dan uzlah mengasingkan diri dari kehidupan sosial membawa Syekh Ahmad al-Tijani berjumpa dengan
Rasulullah SAW. dalam keadaan terjaga, sadar Yaqzah, bukan mimpi. Dalam tradisi tasawuf, melihat Rasulullah SAW. walaupun sudah wafat
bisa terjadi dan bisa dilakukan oleh seorang wali. Paham demikian didasarkan pada beberapa hadis yang menyebutkan bahwa seorang wali dapat melihat
Rasulullah SAW. secara sadar Yaqzah ataupun dalam mimpi. Melihat
9
Wali qutub adalah manusia terbaik yang mengumpulkan seluruh keutamaan. Baik dalam sifat kemanusiaan, ibadah dan kedekatannya dengan Allah. Seorang qutub merupakan khalifah
Rasulallah SAW. dalam menjaga keseimbangan alam. Kedudukan wali qutub merupakan kedudukan tertinggi yaitu sebagai poros dan markas dari seluruh wali dan dalam setiap masa
hanya ada satu orang qutub. Lihat Sholeh Basalamah dan Misbahul Anam, Tijaniyah Menjawab dengan Kitab dan Sunnah Jakarta: Kalam Pustaka, 2006, h. 27 dan Usman Said, dkk., Pengantar
Ilmu Tasawuf Sumatera Utara: Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Institut Agama Islam Negeri, 1982, h. 126.
10
Ahmad Rohman, ed., Ensiklopedi Tasawuf JakartaAnakasa, 2008, h. 1325.
Rasulullah SAW. secara sadar ataupun dalam mimpi berarti melihat Rasulaullah SAW. secara benar, bukan khayalan. Hadis yang dijadikan sebagai sumber acuan
para sufi dan ahli tarekat tentang paham melihat Rasulullah SAW. adalah Hadis dari Imam Bukhari
11
dan Hadis dibawah inilah yang dijadikan referensi oleh para jamaah tarekat Tijaniyah yang meyakini bahwa seseorang dapat bertemu dengan
Rasulullah SAW.
ظ يلا ىف ىنريسف انملا ىف ىنار نم
Artinya: “Siapa yang melihatku dalam tidurnya, maka akan melihatku dalam
terjaga”.HR. Imam Bukhari
اسلا هي ع را ىتح يحور ي ع ها ر اا ي ع سي دحا نم ام
Artinya : “Tidak ada seorangpun yang menyampaikan salam kepadaku, kecuali
Allah mengembalikan ruhku. Sehingga aku dapat menjawab salamnya”. HR. Abu Daud
Ketika pertemuan itu, Rasulullah SAW. mentalkinkan zikirwirid berupa istighfar 100 kali dan shalawat 100 kali. Pada waktu itu, Syekh Ahmad al-Tijani
mendapatkan izin penuh dari Rasulullah SAW. untuk mentalkinkan wirid tarekat Tijaniyah kepada setiap orang yang memintanya dan sejak saat itu juga Rasulullah
SAW. selalu mendampinginya dan tidak pernah hilang dari pandangannya. Peristiwa ini kemudian dikenal dengan sebutan al-Fath al-Akbar yaitu
terbukanya tirai yang menghalangi antara seseorang dengan Rasulullah SAW. Hal ini terjadi pada usia 46 tahun bertepatan dengan tahun 1196 H1776 M, sewaktu
beliau melakukan perjalanan dari Desa Tilmisan ke Syalalah dan Abi Samghun.
11
Sholeh Basalamah dan Misbahul Anam, Tijaniyah Menjawab dengan Kitab dan Sunnah. Jakarta: Kalam Pustaka, 2006, hal. 118.
Syalalah dan Abi Samghun adalah sebuah desa yang berdekatan dengan sahara timur Negara Maroko. Syekh Ahmad al-Tijani tinggal di Syalalah sampai tahun
1199 H, kemudian ke Abi Samghun. Pada tahun 1200 H, Rasulallah SAW. menemui Syekh Ahmad al-Tijani
lagi dengan menyempurnakan pengajaran wiridnya dengan bacaan tahlil. Wirid inilah yang merupakan embrio cikal-bakal tarekat Tijaniyah, yang kemudian
para jamaah tarekat Tijaniyah mengamalkannya dan menyebutnya dengan wirid lazim yaitu
Istighfar Shalawat Nabi
Hailallah
Sejak peristiwa itu, Syekh Ahmad Tijani mengakhiri afiliasinya dengan berbagai tarekat yang sebelumnya telah ia jalani yakni Qadariyah, Khalwatiyah,
Syadziliyyah, Nashiriyah dan tarekat yang bersumber dari Ahmad al-Habib bin Muhammad. Keputusannya ini ia ambil dengan alasan Rasulullah SAW.
memerintahkan dirinya untuk memutuskan afiliasinya dengan empat tarekat ini dan mendapatkan perintah untuk mengajarkan wirid yang ia peroleh dari
Rasulullah SAW. secara Yaqzah Sadar. Al-Tijani mengaku hanya Rasulullah SAW. satu-satunya guru baginya.
رتاف قي حتلا ى ع دممو طساو انأف قيرطلا خياشم نم ي ع قو خمل نما قيرطلا عيمج نم دخأام عيمج نع
.
Artinya : “Tak ada pemberian untuk guru-guru tarekat atas kamu. Maka akulah
wasithah perantaramu dan pemberi pembimbingmu. Karena itu, tinggalkanlah se
mua yang kamu ambil dari semua tarekat”
.
12
Pada bulan Muharram tahun 1214 H1794 M, Syekh Ahmad Al-Tijani telah sampai pada martabat kutub teragung al-Quthbaniyat al-
‘udhma yang artinya ia telah memperoleh derajat tertinggi diantara yang tinggi dalam hirarki
wali yang ada. Pada tanggal 18 tahun 1214 H, ia juga di anugrahi sebagai al- Khatmu al-Auliya al-Maktum penutup para wali yang tersembunyi. Kedudukan
ini menyiratkan bahwa tidak ada lagi wali yang lebih tinggi dari pada dirinya. Peristiwa inilah yang diperingati setiap tahun sekali yang lazim disebut Iedul
Khatmi al-Tijani. Akhirnya Syekh Ahmad Al-Tijani melakukan perjalanan ke kota Fez kemudian tinggal disana sampai meninggal dunia pada tanggal 12
Syawal 1230 H22 September 1815 pada usia 80 tahun dan dimakamkan di Fez, Maroko.
B. Sejarah Masuknya Tarekat Tijaniyah Di Cempaka Putih