46
BAB IV PERAN TAREKAT TIJANIYAH DALAM KEHIDUPAN EKONOMI DI
CEMPAKA PUTIH
A. Ajaran Tarekat Tijaniyah Dalam Kehidupan Ekonomi
Antara agama dan tarekat dengan dunia ekonomi nampakanya ada sesuatu perbedaan yang mendasar. Ilmu ekonomi selalu menfokuskan pada aktivitas
jasmani, mempelajari bagaimana kita memperoleh kepuasan maksimum melalui barang dan jasa-jasa meteril. Sedangkan agama menarik perhatian manusia ke
arah yang bertolak belakang yaitu kepada Tuhan, yang berada di atas dan di luar segala materi; gaib, tidak dapat dilihat, didengar, atau disentuh. Tujuan agama
adalah memulihkan kontak dalam diri manusia yang paling dalam dengan spiritualnya. Agama bersangkut paut dengan kehidupan spiritual manusia,
sedangkan ekonomi berkaitan dengan kehidupan duniawi kita.
1
Perbedaan ini terekspresikan dalam berbagai bentuk ajaran-ajaran agama yang kerap kali merintangi kemajuan ekonomi. Contoh agama Islam
memberitahukan pada orang-orang muslim bahwa hidup di akhirat lebih baik dari pada hidup di dunia. Hidup didunia memberikan sedikit kenyamanan di banding
dengan hidup di akhirat. Hal ini menggambarkan perhatian dan kerinduan seorang muslim pada arah yang berlawanan dengan kehidupan duniawi. Cita-cita spiritual
yang tinggi ini tentu saja berlawanan dengan kerja ekonomi untuk memperoleh kepuasan materi.
1
J. Witteveen, Tasawuf In Action Jakarta: PT. Serambi, 2004, h. 63.
Dunia tasawuf juga mengenal adanya zuhud. Zuhud menurut Al-Ghazali diartikan sebagai sikap mengurangi keterikatan kepada dunia dengan penuh
kesadaran. Al-Ghazali melihat bahwa zuhud dimaksudkan untuk tidak tergantung kepada duniawi, dan hal ini hanya bisa diperoleh melalui tarbiyah ruhani. Al-
Qusyairi mengartikan zuhud sebagai suatu sikap menerima rizki apa adanya. Apabila seseorang diberi kekayaan, maka ia tidak merasa bangga diri dan apabila
miskin ia pun tidak bersedih karenanya. Pengertian ini menunjukan bahwa zuhud berarti menanamkan sikap rasa tidak mengikatkan diri terhadap duniawi dan tidak
diikat nafsu duniawi. Sedangakan Ibnu Taymiyah berpendapat bahwa zuhud adalah meninggalkan segala hal yang tidak bermanfaat bagi kehidupan akhirat
kelak.
2
Tarekat Tijaniyah sendiri tidak menafikan adanya ajaran zuhud. Al-Tijani mengatakan bahwa zuhud
adalah “kosongnya tangan dan hati dari kepemilikan”.
3
Zuhud dalam pandangan tarekat Tijaniyah, bukan berarti semata-mata tidak mau memiliki harta benda dan tidak suka mengenyam nikmat duniawi, tetapi
sebenarnya adalah kondisi mental yang tidak mau terpengaruh oleh harta dan kesenangan duniawi dalam mengabdikan diri kepada Allah SWT. Zuhud bukan
menghindar dari keduniawian akan tetapi lebih kepada pemanfaatan yaitu mempergunakan harta untuk urusan akhirat.
4
Seperti yang disampaikan oleh K.H. Misbahul Anam sebagai berikut :
2
Ahmad Khalil, Merengkuh Bahagia dengan Al- Qur’an, Tasawuf, dan Psikologi,
Malang: UIN Malang Press, 2007, h. 68
3
Ali Harazim Ibnu „Arabi, Jawahirul Ma’ani Mesir: Abbas ibn Salam, 1937, h. 43
4
Wawancara dengan K.H. Misbahul Anam Sebagai Pimpinan Pondok Pesantren al-Umm, Tangerang, 12 April 2011.
“Pengikut Tijaniyah boleh memiliki harta, mempunyai mobil, menjadi pemimpin, berpenampilan layak dan lain-lain dengan alasan untuk
mendekatkan diri kepada Allah. Jadi, zuhud bukan menghindar dari keduniawian akan tetapi lebih kepada pemanfaatan yaitu mempergunakan
harta untuk urusan akhirat”.
5
Pemahaman al-Tijani tentang zuhud, dapat dibuktikan dengan menelusuri kehidupan sehari-hari Syekh Ahmad al-Tijani. Ia
pernah menduduki “Dewan Ulama” Penasihat Sultan ketika ia berada di Maroko. Selain itu, kebiasan hidup
al-Tijani yang dijalaninya sehari-hari sama seperti yang dilakukan orang biasa. Ia memiliki rumah cukup besar dan memakai pakaian yang layak. Al-Tijani juga
dikenal sebagai seorang dermawan yang banyak menyedekahkan hartanya. Dalam kitab
Jawahir al Ma’ani ditemukan riwayat yang mengisahkan kedermawanan al- Tijani. Ia selalu melayani tamunya dengan rasa gembira, dan setiap waktu ia
menghidangkan makanan dan minuman.
6
Selanjutnya dinyatakan bahwa pada setiap hari Jum’at ia mengumpulkan fakir miskin untuk kemudian ia membagi-
bagikan makanan. Bahkan pada setiap hari ketika memasuki waktu duha ia mempunyai kebiasaan menjamu masyarakat yang datang dan fakir miskin yang
ada di sekitar tempat tinggalnya.
7
Gambaran umum tentang sikap hidup al-Tijani di atas, mengantarkan pada satu pemahaman bahwa menurut al-Tijani, zuhud bukanlah ajaran untuk menjauhi
dan menolak duniawi. Tetapi lebih kepada pemanfaatan dan bersikap tidak terikat pada duniawi.
Seorang sufi tidak tertutup untuk mempunyai harta kekayaan yang banyak. Walaupun demikian, kebahagiaan bagi seorang sufi adalah senantiasa
5
Wawancara pribadi dengan K.H. Misbahul Anam, Tangerang, 12 Mei 2011.
6
Ali Harazim Ibnu „Arabi, Jawahirul Ma’ni Mesir: Abbas ibn Salam, 1937, h. 45.
7
http:arbiakbar.blogspot.com. Tanggal 13 Juni 2011.
tetap berada pada lingkungan taqarrub ilallah sehingga harta benda atau duniawi, bukan merupakan hal yang utama dalam kehidupan. Para sufi biasanya merasa
bahagia, apabila mendermakan hartanya kepada orang yang membutuhkan dengan penuh keikhlasan.
Pemahaman zuhud dalam tarekat Tijaniyah memberikan efek dalam kehidupan bermasyarakat. Tarekat Tijaniyah melarang pengikutnya untuk
menjauhkan diri dari masyarakat. Syekh Ahmad al-Tijani sendiri selalu mengaitkan persoalan sosial. Rasulullah SAW. telah memerintahkan kepada
Syekh Ahmad al-Tijani untuk menyebarkan ajaran Tijaniyah dengan cara hidup bermasyarakat tanpa mengisolasikan diri dari kehidupan sosial masyarakat.
و هب دعو ذلا ما م لصت ىتح في خلا نم لزتعا او ةو خ ريغ نم يرطلا ذ زلإ ءايلواا عيمج نع رتاف ةد اجم ةرش او جرح او قيض ريغ نم لاح ى ع نا
. لوا ج يناعملا ر اوج
: ˽˼
Artinya: “Tekunilah tarekat ini tanpa berkhalwat atau mengisolirkan diri dari
kehidupan sosial kemasyarakatan, sampai kamu mencapai kedudukan yang telah dijanjikan kepadamu dengan tanpa merasa sempit, sedih
dan tidak pula banyak berusaha keras maka tinggalkanlah semua wali”.
8
Ajaran tarekat Tijaniyah tentang zuhud, nampaknya sangat berpengaruh terhadap pengikutnya. Pengikut tarekat Tijaniyah di Pondok Pesantren al-Umm
sendiri, tidak pernah mengisolasikan diri mereka dari kehidupan sosial. Justru terlihat sangat akrab dengan masyarakat. Santri Pondok Pesantren al-Umm
menganggap kehidupan masyarakat sebagai ajang transformasi Islam termasuk ajaran tarekat Tijaniyah. Berbaurnya santri dengan masyarakat membawa dampak
8
Ali Harazim Ibnu Arabi, Jawah irul Ma’ni, h. 43.
positif dalam memperbaiki kehidupan moral masyarakat. Karena ilmu-ilmu Islam dapat disampaikan dakwah secara langsung dan riil, tanpa diskriminasi antara
kaya atau miskin, tua atau muda, berpendidikan atau tidak dan lain-lain. Tampaknya, K.H. Misbahul Anam sebagai pimpinan tarekat Tijaniyah di
Pondok Pesantren al-Umm juga ingin menegaskan bahwa zuhud bukan berarti melepaskan diri dari permasalahan kehidupan sosial, apalagi kehidupan zaman
sekarang yang penuh dengan berbagai konflik, baik ekonomi, sains, teknologi, politik atau persoalan agama itu sendiri. Akan tetapi, bagaimana mencari harta
dan memposisikan harta sebagai perantara mendekatkan diri kepada Allah SWT. K.H. Misbahul Anam juga berulang kali mengatakan kepada para santri
dan ikhwan tarekat Tijaniyah yang tinggal di sekitar Pondok Pesantren al-Umm bahwa seseorang itu tidak dilarang untuk memiliki harta yang banyak, hanya saja
ia menekankan agar jangan sampai para ikhwan dan santri terjebak dalam kesenangan harta kekayaan tersebut. Sebab dengan kekayaan itu seseorang dapat
melakukan ibadah dengan lebih banyak. Hanya dengan tersedianya sarana dan prasarana, maka seluruh aspek sosial ekonomi dapat diwujudkan. Hal itu
merupakan realisasi dari ibadahnya kepada Allah SWT. K.H. Misbahul Anam memandang bahwa urusan dunia tidak harus dipisahkan dengan urusan ibadah
yang berdimensi transendental. Karena itu, harta kekayaan sangat penting untuk mendukung kontinuitas ibadah dalam pengertian luas, kepada Allah SWT. secara
totalitas. Kyai juga sering menekankan agar setiap ikhwan Tijani untuk melakukan
setiap langkah dimulai dari diri sendiri, baru kemudian melihat pada orang lain.
Dengan demikian, setiap orang telah berlomba-lomba melakukan kebajikan sesuai dengan kemampuan.
Berbagai macam strategi digunakan untuk melembagakan tarekat dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga akan memberikan dukungan bagi kemajuan
masyarakat. Para pengikut tarekat Tijaniyah di Pesantren al-Umm berasal dari kalangan majemuk, baik ekonomi, sosial pendidikan maupun strata kehidupan
lainnya. Karena itu, Kyai Misbah selaku mursyid atau muqaddam berupaya memberikan kemudahan-kemudahan bagi pengikut Tijaniyah dalam melakukan
kehidupan tarekat. Seperti dalam bidang ekonomi, Kyai Misbah dan ikhwan tijani mendirikan Usaha Bersama al-Syuhada Ubasyada yang terhimpun dalam
kelompok al-Tujar. Koperasi ini adalah Salah satu wadah ekonomi yang berbentuk koperasi dan bertujuan untuk memberikan bantuan modal kepada
masyarakat, khususnya para pedagang. Kehadiran tarekat Tijaniyah dengan dukungan Pesantren yang dipimpin
oleh Kyai Misbahul Anam serta berdirinya koperasi Ubasyada menjadi pelengkap dalam perubahan dan pembaharuan pada kehidupan keberagaman masyarakat,
serta mempunyai dampak positif dalam kehidupan sosial ekonomi yang menyangkut kesejahteraan hidup. Hal ini dirasakan oleh bapak Asep dengan
ungkapan sebagai berikut: “Pada awalnya saya merasa berat menjalani zikir dan ajaran tarekat
Tijaniyah. Tetapi setelah diamalkan, saya merasa tenang dan damai dalam menjalani hidup. Adanya Koperasi Ubasyada juga memudahkan dalam
mencari modal untuk usaha sehingga ekonomi saya menjadi lebih baik”.
9
9
Wawancara Pribadi dengan Bapak Asep sebagai Ikhwan Tijani dan anggota Koperasi Usaha Bersama al-Syuhada, Tangerang 19 Agustus 2011.
B. Peran Pesantren Terhadap Perekonomian