13
BAB II HUKUM DALAM PERSPEKTIF ANTROPOLOGI HUKUM
A. Hukum dalam Perspektif Antropologi Hukum
Satu masalah yang belum mencapai kata putus di antara para ahli hukum ialah tentang pendefinisian hukum. Bahkan Immanuel Kant ±150
tahun yang lalu berkata, “Noch suchen die Juristen eine Definition zu ihrem Begriffe von Recht
”. Pernyataan ini jika diterjemahkan berbunyi, “tidak seorang ahli hukum pun yang mampu membuat definisi tentang hukum
”.
1
Namun demikian, para ahli hukum tetap mencoba mendefinisikan hukum dilihat dari sudut pandang yang berbeda, yakni dari sudut pandang filsafat,
sosiologi, politik dan sejarah, dll. Para ahli filsafat mendefinisikan hukum sebagai nilai yang
merupakan salah satu unsur pandangan manusia mengenai hal-hal yang harus dianuti karena dianggap baik, dan hal-hal yang seharusnya dihindari karena
dianggap buruk. Ahli sosiologi hukum atau sosiolog mendefinisikan hukum yang
secara umum berarti ilmu pengetahuan hukum yang menekankan pada studi dan analisa secara empiris, terhadap hubungan timbal balik antara hukum
dengan gejala-gejala sosial lainnya.
2
1
Lili Rasjidi, Filsafat Hukum “Apakah itu?”, Bandung: Remadja Karya, 1985 cet.II,
h.1.
2
Sudjono Dirdjosisworo, Sosiologi Hukum, Jakarta: CV. Rajawali, 1983, h. XI.
Ahli politik atau politikus mendefinisikan “hukum sebagai produk
politik ”. Sebagai fakta sebenarnya, bukan hanya hukum dalam arti Undang-
undang yang merupakan produk politik, tetapi juga bisa mencakup hukum dalam arti-arti yang lain, termasuk konstitusi atau Undang-Undang Dasar.
3
Ahli antropologi hukum, Pospisil
4
menyebutkan bahwa hukum sebagai bagian yang integral dari kebudayaan secara keseluruhan, dan karena
itu hukum dipelajari sebagai produk dari interaksi sosial yang dipengaruhi oleh aspek-aspek kebudayaan yang lain, seperti politik, ekonomi, ideologi
dan religi, sedangkan Moore
5
berpendapat bahwa hukum dipelajari sebagai proses sosial yang berlangsung dalam kehidupan masyarakat. Karena itu,
hukum dalam perspektif antropologi bukan semata-mata berwujud peraturan perundang-undangan yang diciptakan oleh negara state law, tetapi juga
hukum dalam wujudnya sebagai peraturan-peraturan lokal yang bersumber dari suatu kebiasaan masyarakat customary lawfolk law, termasuk pula di
dalamnya mekanisme-mekansime pengaturan dalam masyarakat self regulation yang juga berfungsi sebagai sarana kontrol sosial control
social.
6
Hukum sebagai aspek kebudayaan, mempunyai beberapa fungsi fundamental untuk memelihara kedudukan masyarakat, yaitu:
3
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 2009, h.6.
4
Nama lengkapnya Leopold Pospisil. Ia adalah antropolog pertama yang melakukan penelitian lapangan di Papua New Guinea pada tahun 1950-an dan menuliskan buku tentang hasil
penelitiannya Kapauku Papuans and Their Law yang diterbitkan oleh Yale University Press.
5
Henrietta Moore adalah seorang ahli teori terkemuka antropologi feminist. Beberapa karyanya adalah Feminisme dan Antrolopi, Anthropological Theory Today.
6
http:www.antropologiantropologihukum.com
1. Merumuskan pedoman bagaimana warga masyarakat seharusnya
berperikelakuan, sehingga terjadi integrasi minimal dalam masyarakat, 2.
Menetralisasikan kekuatan-kekuatan dalam masyarakat, sehingga dapat dimanfaatkan untuk mengadakan ketertiban,
3. Mengatasi persengketaan, agar keadaan semula pulih kembali, dan
4. Merumuskan kembali pedoman-pedoman yang mengatur hubungan
antara warga masyarakat dan kelompok-kelompok, apabila terjadi suatu perubahan-perubahan.
7
Antropologi hukum merupakan ilmu pengetahuan logos tentang manusia tropos yang bersangkutan dengan hukum. Manusia yang dimaksud
adalah individu yang hidup bermasyarakat, bergaul antara yang satu dengan yang lain, baik masyarakat yang masih sederhana budayanya primitif
maupun masyarakat yang sudah modern maju. Budaya yang di maksud adalah budaya hukum, yaitu segala bentuk perilaku budaya manusia yang
mempengaruhi atau yang berkaitan dengan masalah hukum. Hukum dalam perspektif antropologi memiliki arti luas. Ia bukan saja
hukum dalam arti dan bentuk perilaku sebagai bentuk kebiasaan yang berulang-ulang terjadi, sebagaimana dalam hukum adat, atau hukum dalam
arti dan bentuk dan bentuk kaidah peraturan perundangan, seperti hukum dalam arti dan pendekatan normatif. Tetapi masalah hukum juga dilihat dari
segi kecendikiawanan intelektual, filsafat, ilmu jiwa dan beberapa faktor
7
Soerjono soekanto, Antropologi Hukum, Jakarta: Grafindo, 1982, h. 25.
yang melatar belakangi hukum tersebut, serta cara-cara menyelesaikan sesuatu yang timbul dalam masyarakat.
8
Dalam antropologi hukum, hukum ditinjau sebagai aspek dari kebudayaan. Manusia dalam kehidupan bermasyarakat dibekali untuk berlaku
dengan menjunjung nilai-nilai budaya, yang mana dalam masyarakat tertentu harus dijunjung tinggi. Nilai-nilai budaya tercakup secara lebih konkrit dalam
norma-norma sosial, yang diajarkan kepada setiap warga masyarakat supaya dapat menjadi pedoman berlaku pada waktu melakukan berbagai peranan
dalam berbagai situasi sosial. Norma-norma sosial sebagian tergabung dalam kaitan dengan norma lain, dan menjelma sebagai pranata atau lembaga sosial
yang semuanya lebih mempermudah manusia dalam mewujudkan perilaku yang sesuai dengan tuntunan masyarakatnya atau yang sesuai dengan
gambaran ideal mengenai cara hidup yang dianut dalam kelompoknya. Gambaran ideal atau desain hidup ini, yang merupakan kebudayaan dari
masyarakat itu, hendak dilestarikan melalui cara hidup warga masyarakat. Salah satu cara untuk mendorong para anggota masyarakat supaya
melestarikan kebudayaan itu adalah hukum.
9
Dengan demikian, kebudayaan dalam suatu masyarakat merupakan sistem nilai tertentu yang dijadikan pedoman hidup oleh warga yang
mendukung kebudayaan tersebut, karena dijadikan kerangka acuan dalam
8
Hilman Hadikusuma, Antropologi Hukum Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2006, h. 4.
9
T.O. Ihromi, Antropologi dan Hukum, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2000, cet III, h. 4.
bertindak dan bertingkah laku, maka kebudayaan cenderung menjadi tradisi dalam suatu masyarakat.
Tingkah laku manusia menjadi sorotan utama dalam menilai hukum yang berlaku di dalam masyarakat. Sementara masyarakat sendiri adalah
unsur kategori yang pertama dari hukum. Menurut sifat kodratnya, masyarakat adalah sebuah kesatuan yang terbentuk dari sekelompok orang
yang secara bersama-sama terikat oleh usaha untuk saling mencukupi kebutuhan hidup satu sama lain. Masyarakat bukan sekedar kumpulan orang
melainkan merupakan sebuah kesatuan. Dari uraian di atas, masalah hukum dalam antropologi hukum berarti
bukan semata-mata masalah hukum yang normatif sebagaimana terdapat dalam perundangan-undangan, atau masalah hukum yang merupakan pola
ulangan perilaku yang sering terjadi sebagaimana terdapat pada hukum adat, tetapi hal yang terpenting hukum dilihat dari aspek budaya perilaku manusia
dan faktor- faktor yang mempengaruhinya. Jadi antropologi melihat hukum itu sebagai aspek dari kebudayaan,
yaitu suatu aspek yang digunakan oleh kekuasaan masyarakat yang teratur dalam mengatur perilaku masyarakat agar tidak terjadi penyimpangan yang
terjadi dari norma-norma sosial yang telah ditentukan dapat diperbaiki.
10
B. Kesadaran dan Kepatuhan Hukum