1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia dikenal sebagai negara yang multikultural, multi etnik, agama, ras, dan multi golongan. Bhinneka Tunggal Ika mencerminkan kemajmukan budaya
bangsa dalam naungan negara kesatuan republik Indonesia.
1
Sistem nilai budaya merupakan tingkat yang paling tinggi dan paling abstrak dari adat istiadat. Hal itu disebabkan karena nilai-nilai budaya merupakan
konsep mengenai apa yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar masyarakat, mengenai apa yang mereka anggap bernilai, berharga dan penting dalam hidup.
2
Kemajmukan budaya dalam konteks masyarakat Indonesia merupakan pengertian yang majemuk pula, oleh karena pengertian kebudayaan itu sendiri
bergantung pada aspeks di dalam kehidupan masyarakat secara teoritis dianggap pokok untuk pemahaman perilaku warga masyarakat.
3
Setiap manusia mempunyai apa yang dinamakan prilaku bebevior, yakni suatu totalitas dari gerak motoris, persepsi dan fungsi kognitif dari fungsi. Salah
satu unsur dari perilaku adalah gerak sosial, yakni gerak yang terikat oleh empat syarat : Pertama, diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu, Kedua, terjadi
1
I Nyoman Nurjaya, Pengeloaan Sumber Daya Alam Dalam Perfektif Antropologi Hukum, Jakarta:Prestasi Pustaka Publiser,2008, h.2.
2
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta, Aksara Baru, 1980, h.204.
3
E.K.M. Masinabow, Hukum dan Kemajmukan Budaya, Sumbangan Karangan Untuk Menyambut Hari Ultah Tahun Ke-70 prof.T.O. I hromi, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2000, h.6.
pada situasi tertentu, Ketiga, diatur oleh kaidah-kaidah tertentu, Keempat. Terdorong oleh motivasi-motivasi tertentu.
4
Kebiasaan dan kelaziman yang diterima dan dipakai masyarakat secara berulang, yang dijadikan pedoman dan diterapkanya dalam pelaksanaan
mewujudkan kebahagiaan, kesejahtreaan, keseimbangaan, kerukunan, ketertiban, keadilan dan kedamaian dalam melangsungkan kehidupan itu merupakan suatu
sistem kontrol-sosial.
5
Dalam pandangan antropologi, dimana saja ada manusia hidup bermasyarakat harus ada sistem kontrol sosialnya. Sistem kontrol sosial itu akan
mempunyai kekuatan hukum, apabila ia digunakan oleh kekuatan masyarakat guna mengatur perilaku manusia dan masyarakat bersangkutan, supaya kehidupan
mereka teratur. Sepanjang masyarakat itu teratur, karena ada yang mengatur dan mempunyai kekuasaan, maka pada masyarakat itu terdapat hukum.
Sebagai kelanjutan dari usaha manusia dari usaha manusia dalam masyarakat untuk memelihara sistem kemasyarakat, maka ia menghasilkan
kesamaan dan keserasian perilaku dari anggota individu dalam masyarakat atau sebagian dari masyarakat itu. Jadi jelaslah bahwa lapangan penulisan antropologi
hukum ditunjukan pada suatu garis perilaku yang menunjukan kejadian terus- menerus.
4
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2003, h.6.
5
Hilman Hadikusuma, Antropologi Hukum Indonesia, Bandung:PT.Alumni, 2006, h.6.
Budaya kemiskinan seakan menjadi pilihan oleh sebagian masyarakat Cikokol dan kemiskinan sering kali dipahami dalam pengertian sederhana, yakni
dalam keadaan kekuranganuang, rendahnya tingkat pendapatan dan tidak terpenuhinya kebutuhan sehari-hari Padahal kemiskinan adalah masalah yang
sangat komplek, baik dari faktor penyebabnya maupun dampak yang akan ditimbulkan dari masalah kemiskinan tersebut, dari masalah kemiskinan inilah
banyak orang yang mengambil profesi sebagai pengemis. Masalah pengemis adalah masalah yang pelik.
6
Ia tidak bisa dilihat hanya dari satu sudut pandang saja. Di dalam Al-Q
ur’an telah dijelaskan bahwa setiap manusia diperintahkan untuk bekerja dan Al-
Qur’an mendorong mereka melakukan usaha, serta mengarahkan mereka menjadi orang-orang yang bersikap positif dalam menemukan
hidup dengan kesungguhan dan kerajinan agar dapat memberi dan memperoleh manfaat untuk diri sendiri dan orang lain.
7
Fenomena pengemis telah merebak luas dikota-kota besar di Indonesia, khususnya Cikokol. Mereka mengganggu ketertiban umum, seperti kawasan lalu
lintas, dipersimpangan lampu merah, hingga mengganggu kenyamanan pejalan kaki.
Di masyarakat Cikokol kota Tangerang jumlah pengemis setiap tahun semakin meningkat. Ironisnya ada salah satu keluarga yang semua anggota
berprofesi sebagai pengemis dan menjadikan pekerjaan mengemis sebagai budaya,
6
Ali yafie, Nuansa Fiqih SoSial, Bandung : Mizan, 1995 , h.10.
7
Baqir Syarif Qorashi,Keringat Buruh Hak dan Peran Bekerja dalam Islam, Jakarta : Al- Huda, 2007, h.20.
padahal mereka jelas mengetahui bahwa terdapat hukum yang mengatur tentang larangan mengemis di daerah Cikokol.
Mengemis merupakan salah satu jalan pintas bagi orang miskin untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Ada yang benar-benar tidak mampu sehingga ia
harus mengemis di jalanan dan tidak sedikit pula yang berpura-pura mengemis hanya untuk mengambil keuntungan semata. Ia terkadang mempunyai rumah
bahkan telephon selular. Dalam koran jawa pos, seorang bos pengemis mengakui
bahwa kesuksesan yang ia raih berawal dari hasil mengkoordinir pengemis- pengemis disekitar tempat tinggalnya. Menurut pengakuan bos pengemis tersebut,
dari hasil mengkoordinir pengemis ia bisa membeli rumah, alat rumah tangga, dan bahkan ia sanggup membeli mobil. Ia mempunyai anak buah yang dijadikan
sebagai pengemis. Dari hasil anak buah tersebut ia bisa menghasilkan 200 sd 300 ribu perhari.
8
Dikarenakan perbedaan tempat dan lingkungan, perbedaan sejarah dan asal- usulnya, perbedaan semangat dan jiwanya, perbedaan akal dan cara berpikirnya,
perbedaanya budaya dan agama yang mempengaruhinya, maka perilaku budaya manusia itu berbeda-beda antara yang satu dengan yang lain. Jadi tidak ada suatu
sistem pola perilaku manusia yang seragam, dan oleh karenanya tidak ada pula suatu sistem kepribadian personality manusia itu yang sama.
9
8
http www.jawapos.co.idmetropolisindeksphpacd,detail,5773
diakses pada tanggal 2 januarai 2009.
9
Hilman Hadikusuma, Antropologi Hukum Indonesia, h.5.
Di luar persoalan agama dan pelanggaran ketertiban umum, setiap uang yang diberikan kepada para pengemis membuat mereka merasa dihargai dan
menyebabkan menadahkan tanganya kepada orang lain. Sedekah yang kita berikan, justru membuat pengemis semakin tergantung kepada pemberian orang lain tanpa
berusaha untuk mendapatkan sesuatu yang lebih baik dari mengemis. Akhirnya, mereka akan menjadikan kegiatan mengemis sebagai mata pencahariaannya atau
sebagai profesi. Dalam hal ini bukan kemiskinan yang menjadi alasan, tetapi budaya pada diri masyarakat itu sendiri yang sudah melekat. Mereka berfikir bahwa
mengemis adalah profesi yang menjanjikan, walaupun sebenarnya mereka mampu untuk mengambil pekerjaan yang lebih baik selain dari mengemis. Karena itu
mereka berani melanggar peraturan yang terkait dengan larangan mengemis di daerah tersebut. Padahal pemerintah setempat telah berusaha menegakkan hukum
dengan cara mengadakan pembersihan kota dengan menagkap dan mengusir para pengemis tetapi mereka tetap tidak berhenti dan terus menjalankan profesinya.
Oleh karena itu penulis akan membahas apa yang akan menjadi dasar pada perilaku yang ada di masyarakat Cikokol kota Tangerang dan bagaimana
penegakkan hukum terkait tentang masalah pengemis. Berdasarkan uraian di atas maka penulis mencoba mengangkat masalah
mengemis sebagai profesi dan faktor-faktor yang melatar belakangi masalah tersebut, dengan sudut pandang Antropologi Hukum.Pada akhirnya penelitian ini
akan menjadi sebuah skripsi dengan judul
”MENGEMIS SEBAGAI PROFESI Tinjauan Antropologi Hukum pada Masyarakat Cikokol kota Tangerang
”.
B. Batasan dan Rumusan Masalah