Faaliyah wasaail ash shurah fii tadriis maharad al-kalam lada talamidz as shofi al-awal main madrasah daarul maarif mutawashitoh Islamiya Jakarta

(1)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah Dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Disusun oleh: Hotifah Hartati 106043101301

KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIQH PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1431 H/ 2010 H


(2)

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan skripsi ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya penulisan skripsi ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 03 oktober 2010


(3)

i

Segala pujian serta rasa syukur yang tak terhingga penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang senantiasa memberikan limpahan rahmat dan kasih sayang-Nya, dzat yang menggenggam langit dan bumi, yang merajai hati manusia dan mampu meluluhkan dan menguasai hati yang lirih dan yang memberikan kepada penulis kekuatan dan kesabaran sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Shalawat teriring salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah menebarkan cahaya Islam ke seluruh penjuru dunia sehingga penulis dapat menikmati indahnya hidup dalam naungan cahaya Islam. Semoga dihari akhirat nanti seluruh umat Islam mendapatkan Syafa’atul Uzma dari beliau. Amiin

Skripsi ini sebagai bentuk nyata dari perjuangan penulis selama menuntut ilmu di bangku kuliah Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta. Berbagai hambatan dan kesulitan selama proses penulisan skripsi ini dapat penulis lalui. Semua ini karena do’a dan dukungan orang-orang yang ada di sekitar penulis. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan ucapan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada para pihak yang telah mendukung penulis dalam penulisan skripsi ini, diantaranya adalah:

1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM., selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Dr. Mukri Aji, MA dan Bapak Dr. M. Taufiki selaku Ketua Jurusan dan Sekretaris Jurusan program studi Perbandingan Mazhab dan Hukum yang


(4)

ii

membimbing penulis dengan sabar dari awal hingga selesainya penulisan skripsi ini.

4. Bapak/Ibu dosen pengajar Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberi ilmu, pengalaman dan nasehat kepada penulis. Semoga ilmu yang penulis dapatkan dari Bapak/Ibu dapat bermanfaat dunia dan akhirat serta menjadi amal kebaikan bagi Bapak/Ibu dosen.

5. Pimpinan dan segenap staff Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membantu dalam kelancaran penulisan skripsi ini.

6. Bapak lurah beserta staff kelurahan Cikokol Tangerang yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan riset di kelurahan Cikokol serta telah membantu dalam kelancaran birokrasi.

7. Sebagian masyarakat kelurahan Cikokol yang telah bersedia menjadi responden guna mengumpulkan data untuk menyeselesaikan skripsi ini.

8. Ucapan terima kasih juga penulis hanturkan kepada ayahanda dan ibunda tercinta, Bpk, Hamzah dan Ibu Titi muryati terimakasih yang seagung-agungnya atas perhatian, cinta, kasih sayang, pengorbanan, keiklasan, kesabaran yang tak pernah habis serta doa-doa yang tak henti-hentinya mereka panjatkan kepada allah SWT agar penulis senantiasa mendapatkan kesuksesan dalam belajar, bekerja, dan dalam hidup yang hanya sementara ini, juga atas perjungan mereka


(5)

iii

9. Seluruh keluarga besar penulis kakak dan adik-adikku, kepada kakaku Amirudin Spd. MA. teh karmilati S.E dan adik-adikku, syarif, zay, fikri dengan kecerian, canda tawa mereka memberikan semangat kepada penulis agar penulis cepat menyelesaikan skripsi ini.

10.Teman-teman seperjuangan PMF 2006. Selama 4 tahun kenal dan kuliah bersama kalian merupakan hal terindah dalam hidup penulis.

11.Khusus untuk teman terbaik dan tersayang, anis dan raden, rival terima kasih untuk motivasi yang tidak pernah dan henti kalian limpahkan untuk penulis. Semoga semua pengorbanan dan kebaikan yang diberikan mendapatkan nilai kebaikan di sisi Allah SWT dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan.

Tak ada gading yang tak retak, skripsi ini jauh dari kesempurnaan, saran dan kritik sangat penulis harapkan demi kebaikan ke depan.

Ciputat, 3 Juni 2010


(6)

iv

Daftar Isi ... iv

Daftar Tabel ... vi

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah ... 1

B.Pembatasan dan Rumusan Masalah ... 6

C.Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

D.Metode Penelitian ... 8

E.Review Studi Terdahulu ... 9

F. Sistematika Penulisan ... 12

BAB II HUKUM DAN BUDAYA DALAM PERSPEKTIF ANTROPOLOGI HUKUM DAN HUKUM ISLAM A. Hukum dalam Perspektif Antropologi Hukum ... 13

B. Kesadaran Hukum dan Ketaatan Hukum ... 17

C. Hukum dalam Perspektif Hukum Islam ... 20

D. Budaya Kemiskinan dan Mengemis Pandangan Hukum Islam .... 24


(7)

v

C. Kedaan sosiologis kelurahan Cikokol………..…………... 38

BAB IV MENGEMIS SEBAGAI PROFESI PADA MASYARAKAT CIKOKOL KOTA TANGERANG

A. Komunitas Pengemis Cikokol………. 44

B. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Budaya Mengemis………... 63 C. Mengemis Tinjauan Antropologi Hukum dan Hukum Islam…… 65 D. Penegakkan hukum yang mengatur kegiatan mengemis………… 70

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ……… 75

B. Saran-saran ……… 77

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN


(8)

vi

3.1 Jumlah penduduk berdasarkan kk…………... 41

3.2 Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin………. 42

3.3 Jumlah penduduk berdasarkan usia……… 42

3.4 Jumlah penduduk berdarkan kewarganegaraan………. 43

3.5 Jumlah penduduk berdasarkan tinggkat pendidikan……….. 44

3.6 Jumlah sarana pendidikan negri………. 44

3,7 Sarana pendidikan swasta……….. 45

3.8 Jumlah keagamaan………. 46

3.9 Jumlah sarana ibadah………. 47

3.10 Jumlah penduduk berdasarkan jenis pekerjaan………. 48

4.1 Data pendidikan terakhir responden……….. 53

4.2 Data tempat tinggal responden ………... 55

4.3 Data usia pengemis……….... 56


(9)

vii

4.6 Data siapakah yang mensosialisasikan mengemis……….. 60

4.7 Data jam bekerja pengemis………. 61

4.8 Data ststus pernikahan pengemis……… 62

4.9 Data daerah asal pengemis………. 63


(10)

1

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia dikenal sebagai negara yang multikultural, multi etnik, agama, ras, dan multi golongan. Bhinneka Tunggal Ika mencerminkan kemajmukan budaya bangsa dalam naungan negara kesatuan republik Indonesia.1

Sistem nilai budaya merupakan tingkat yang paling tinggi dan paling abstrak dari adat istiadat. Hal itu disebabkan karena nilai-nilai budaya merupakan konsep mengenai apa yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar masyarakat, mengenai apa yang mereka anggap bernilai, berharga dan penting dalam hidup.2

Kemajmukan budaya dalam konteks masyarakat Indonesia merupakan pengertian yang majemuk pula, oleh karena pengertian kebudayaan itu sendiri bergantung pada aspeks di dalam kehidupan masyarakat secara teoritis dianggap pokok untuk pemahaman perilaku warga masyarakat.3

Setiap manusia mempunyai apa yang dinamakan prilaku (bebevior), yakni suatu totalitas dari gerak motoris, persepsi dan fungsi kognitif dari fungsi. Salah satu unsur dari perilaku adalah gerak sosial, yakni gerak yang terikat oleh empat syarat : Pertama, diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu, Kedua, terjadi

1

I Nyoman Nurjaya, Pengeloaan Sumber Daya Alam Dalam Perfektif Antropologi Hukum,

(Jakarta:Prestasi Pustaka Publiser,2008), h.2.

2

Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta, Aksara Baru, 1980), h.204.

3

E.K.M. Masinabow, Hukum dan Kemajmukan Budaya, Sumbangan Karangan Untuk Menyambut Hari Ultah Tahun Ke-70 prof.T.O. I hromi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2000), h.6.


(11)

pada situasi tertentu, Ketiga, diatur oleh kaidah-kaidah tertentu, Keempat. Terdorong oleh motivasi-motivasi tertentu.4

Kebiasaan dan kelaziman yang diterima dan dipakai masyarakat secara berulang, yang dijadikan pedoman dan diterapkanya dalam pelaksanaan mewujudkan kebahagiaan, kesejahtreaan, keseimbangaan, kerukunan, ketertiban, keadilan dan kedamaian dalam melangsungkan kehidupan itu merupakan suatu sistem kontrol-sosial.5

Dalam pandangan antropologi, dimana saja ada manusia hidup bermasyarakat harus ada sistem kontrol sosialnya. Sistem kontrol sosial itu akan mempunyai kekuatan hukum, apabila ia digunakan oleh kekuatan masyarakat guna mengatur perilaku manusia dan masyarakat bersangkutan, supaya kehidupan mereka teratur. Sepanjang masyarakat itu teratur, karena ada yang mengatur dan mempunyai kekuasaan, maka pada masyarakat itu terdapat hukum.

Sebagai kelanjutan dari usaha manusia dari usaha manusia dalam masyarakat untuk memelihara sistem kemasyarakat, maka ia menghasilkan kesamaan dan keserasian perilaku dari anggota individu dalam masyarakat atau sebagian dari masyarakat itu. Jadi jelaslah bahwa lapangan penulisan antropologi hukum ditunjukan pada suatu garis perilaku yang menunjukan kejadian terus-menerus.

4

Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia,( Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2003), h.6.

5


(12)

Budaya kemiskinan seakan menjadi pilihan oleh sebagian masyarakat Cikokol dan kemiskinan sering kali dipahami dalam pengertian sederhana, yakni dalam keadaan kekuranganuang, rendahnya tingkat pendapatan dan tidak terpenuhinya kebutuhan sehari-hari Padahal kemiskinan adalah masalah yang sangat komplek, baik dari faktor penyebabnya maupun dampak yang akan ditimbulkan dari masalah kemiskinan tersebut, dari masalah kemiskinan inilah banyak orang yang mengambil profesi sebagai pengemis. Masalah pengemis adalah masalah yang pelik.6 Ia tidak bisa dilihat hanya dari satu sudut pandang saja.

Di dalam Al-Qur’an telah dijelaskan bahwa setiap manusia diperintahkan untuk bekerja dan Al-Qur’an mendorong mereka melakukan usaha, serta mengarahkan mereka menjadi orang-orang yang bersikap positif dalam menemukan hidup dengan kesungguhan dan kerajinan agar dapat memberi dan memperoleh manfaat untuk diri sendiri dan orang lain.7

Fenomena pengemis telah merebak luas dikota-kota besar di Indonesia, khususnya Cikokol. Mereka mengganggu ketertiban umum, seperti kawasan lalu lintas, dipersimpangan lampu merah, hingga mengganggu kenyamanan pejalan kaki.

Di masyarakat Cikokol kota Tangerang jumlah pengemis setiap tahun semakin meningkat. Ironisnya ada salah satu keluarga yang semua anggota berprofesi sebagai pengemis dan menjadikan pekerjaan mengemis sebagai budaya,

6

Ali yafie, Nuansa Fiqih SoSial, ( Bandung : Mizan, 1995) , h.10.

7

Baqir Syarif Qorashi,Keringat Buruh Hak dan Peran Bekerja dalam Islam, (Jakarta : Al-Huda, 2007), h.20.


(13)

padahal mereka jelas mengetahui bahwa terdapat hukum yang mengatur tentang larangan mengemis di daerah Cikokol.

Mengemis merupakan salah satu jalan pintas bagi orang miskin untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Ada yang benar-benar tidak mampu sehingga ia harus mengemis di jalanan dan tidak sedikit pula yang berpura-pura mengemis hanya untuk mengambil keuntungan semata. Ia terkadang mempunyai rumah bahkan telephon selular. Dalam koran jawa pos, seorang bos pengemis mengakui bahwa kesuksesan yang ia raih berawal dari hasil mengkoordinir pengemis-pengemis disekitar tempat tinggalnya. Menurut pengakuan bos pengemis tersebut, dari hasil mengkoordinir pengemis ia bisa membeli rumah, alat rumah tangga, dan bahkan ia sanggup membeli mobil. Ia mempunyai anak buah yang dijadikan sebagai pengemis. Dari hasil anak buah tersebut ia bisa menghasilkan 200 s/d 300 ribu perhari.8

Dikarenakan perbedaan tempat dan lingkungan, perbedaan sejarah dan asal-usulnya, perbedaan semangat dan jiwanya, perbedaan akal dan cara berpikirnya, perbedaanya budaya dan agama yang mempengaruhinya, maka perilaku budaya manusia itu berbeda-beda antara yang satu dengan yang lain. Jadi tidak ada suatu sistem pola perilaku manusia yang seragam, dan oleh karenanya tidak ada pula suatu sistem kepribadian (personality) manusia itu yang sama.9

8

http// www.jawapos.co.id/metropolis/indeks/php/acd,detail,5773 diakses pada tanggal 2 januarai 2009.

9


(14)

Di luar persoalan agama dan pelanggaran ketertiban umum, setiap uang yang diberikan kepada para pengemis membuat mereka merasa dihargai dan menyebabkan menadahkan tanganya kepada orang lain. Sedekah yang kita berikan, justru membuat pengemis semakin tergantung kepada pemberian orang lain tanpa berusaha untuk mendapatkan sesuatu yang lebih baik dari mengemis. Akhirnya, mereka akan menjadikan kegiatan mengemis sebagai mata pencahariaannya atau sebagai profesi. Dalam hal ini bukan kemiskinan yang menjadi alasan, tetapi budaya pada diri masyarakat itu sendiri yang sudah melekat. Mereka berfikir bahwa mengemis adalah profesi yang menjanjikan, walaupun sebenarnya mereka mampu untuk mengambil pekerjaan yang lebih baik selain dari mengemis. Karena itu mereka berani melanggar peraturan yang terkait dengan larangan mengemis di daerah tersebut. Padahal pemerintah setempat telah berusaha menegakkan hukum dengan cara mengadakan pembersihan kota dengan menagkap dan mengusir para pengemis tetapi mereka tetap tidak berhenti dan terus menjalankan profesinya.

Oleh karena itu penulis akan membahas apa yang akan menjadi dasar pada perilaku yang ada di masyarakat Cikokol kota Tangerang dan bagaimana penegakkan hukum terkait tentang masalah pengemis.

Berdasarkan uraian di atas maka penulis mencoba mengangkat masalah mengemis sebagai profesi dan faktor-faktor yang melatar belakangi masalah tersebut, dengan sudut pandang Antropologi Hukum.Pada akhirnya penelitian ini akan menjadi sebuah skripsi dengan judul ”MENGEMIS SEBAGAI PROFESI (Tinjauan Antropologi Hukum pada Masyarakat Cikokol kota Tangerang )”.


(15)

B. Batasan dan Rumusan Masalah

1. Batasan Masalah

Agar pembahasan dan penulisan skripsi ini tidak melebar dan lebih teraraH maka penulis hanya membatasi tentang ruang lingkup pengemis yang berada di Kelurahan Cikokol Kota Tangerang.

2. Rumusan Masalah

Dari pembatasan diatas maka masalah yang dapat penulis rumuskan adalah sebagai berikut :

a. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi budaya mengemis dikomunitas masyarakat Cikokol?

b. Bagaimana Profesi Pengemis dalam Perfekstif Antropologi Hukum? c. Bagaimana penegakkan hukum yang mengatur kegiatan mengemis?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi budaya mengemis di masyarakat Cikokol.

b. Untuk mengetahui tinjauan antropologi hukum terhadap budaya pengemis sebagai profesi.

c. Untuk mengetahui bagaimana penegakkan hukum yang mengatur kegiatan mengemis.


(16)

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :

a. Bagi penulis, kegunaan yang diharapkan berkembangnya wawasan khasanah dan peka terhadap masalah yang berkembang yang ada dimasyarakat.

b. Bagi mahasiswa, memberikan sumbangan keilmuan tentang budaya Pengemis yang berkembang dimasyarakat Cikokol

c. Bagi Masyarakat, memberikan informasi dan gambaran bagaimana Masyarakat lebih memilih memberi kepada pengemis yang sebenarya.

D. Studi Review

Berdasarkan telaah yang dilakukan terhadap beberapa sumber kepustakaan penulis melihat ada yang membahas tentang pengemis, seperti pada skripsi dibawah ini :

1. Syarif. Pengemis dalam perpspektif Al-Hadits; Analisa kritis Hadits hadits Hak al-sail dalam kitab sunan Abi Daud. Jurusan Tafsir Hadits, Fakultas Usulludin, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 1425 H/2004. Pada skripsi ini membahas tentang pengemis yang di pandang dari kaca mata hadits, mengenai analisa kritis hadits-hadits Haq al-Sail dalam kitab sunan Abi Daud. Dan dalam skripsi ini tidak menerangkan tentang berkembangya budaya mengemis sebagai profesi hanya menganalisis pengemis dari sudut pandang hadist, dalam kitab Sunan Abi Daud.


(17)

2. Muhammad Akmal. Pelayanan sosial bagi gelandangan dan pengemis di panti sosial Bina Karya “pengudi luhur”bekasi. Jurusan Kesejahteraan Sosial, Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Universitas`Islam Syarif Hidayatullah Jakarta 1430/2009. Pada skripsi ini membahas tentang bagaimana pelayanan gepeng dan jenis pelayanan apa saja yang diberikan di panti sosial Bina Karya dalam membina para gelandangan dan pengemis.

Dan yang dibahas dalam skripsi ini adalah tentang mengemis sebagai profesi dalam tinjauan Antropologi Hukum, apa yang menjadi kultur dalam profesi mengemis dan meneliti pengemis dari perfekstif Antropologi Hukum yang berada didaerah Cikokol Tangerang. Jadi disinilah letak perbedaan dengan skripsi sebelumnya.

E. Metode Penelitian

1. Jenis dan pendekatan

Dalam penelitian ini penulis menggunakan penelitian antropologi hukum, yaitu penelitian yang mempelajari garis perilaku yang terjadi secara berulang- ulang dan terus menerus dilaksanakan, karena perilaku itulah merupakan sesuatu yang menjadi kebiasaan dan menjadi hukum dalam masyarakat bersangkutan.10

Adapun pendekatan yang digunakan adalah pendekatan deskriptif yaitu suatu penelitian yang dimaksud untuk memberikan data seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala gejala lainnya. Dalam hal ini,berupa

10


(18)

kata tertulis dan lisan dari orang-orang yang bersangkutan .perilaku yang diamati dengan menganalisa dan menguraikan serta mendeksripsikan budaya mengemis pada masyarakat Cikokol yang telah penulis dapatkan dari informan yaitu tokoh agama, kelurahan ,masyarakat setempat.

2. Sumber data

Adapun sumber data yaitu:

a. Data primer yaitu data yang dipeloreh secara langsung dari masyarakat11 data ini meliputi wawancara dengan pengemis ,masyarakat sekitar ,tokoh agama dan lurah yang dianggap megetahui perilaku mengemis di masyarakat Cikokol.

b. Data sekunder yaitu data yang dipeloreh dari bahan pustaka12 data ini terdiri dari buku -buku artikel - artikel internet dan dari informasi lain yang berkaitan dengan judul skripsi ini.

3. Teknik pengumpulan data

Dalam melakukan penelitian ini penulis menggunakan teknik pengumpulan data dengan cara sebagai berikut :

a. Observasi

Obersasi adalah mengamati dan mendengar dalam rangka memahami, mecari jawaba,mencari bukti terhadap fenomena yang berkaitan dengan

11

Sukandarrumudi, Metodologi Penelitian: Petunjuk Praktis Untuk Peneliti Pemula,

(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2004),h.104.

12

Bambang Sanggona, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2003), h.6.


(19)

perilaku masyarakat dengan mencatat fenomena tersebut guna menemukan data analisis.

b. Indepth interview (wawancara mendalam)

Interview adalah mengadakan wawancara melalui percakapan tertentu dengan subjek penelitian yaitu para pengemis lurah, tokoh agama dan masyarakat sekitar dengan menunjukan pertanyaan yang berkaitan dengan apa yang diteliti13

4. Studi dokumentasi

Instrumen yang digunakan untuk pengumpulan data dalam penelitian ini adala pedoman wawancara dan pedoman observasi dan didukung dengan buku catatan dan foto -foto.

5. Teknik analisis data

Penulisan ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif, data-data yang dipeloreh melalui wawancara dan pengamatan. Data akan diolah dan dianalisis secara deskriptif untuk kemudian ditarik kesimpulannya.

6. Teknik penulisan

Adapun teknik penulisan skripsi ini, penulis mengacu kepada pedoman

penulisan skripsi yang diterbitkan oleh fakultas syari’ah dan hukum universitas

islam negeri syarif hidayatullah Jakarta tahun 2007.

13

Sudarman Darwin, Menjadi Peneliti Kualitatif, (Bandung : CV Pustaka Setia, 2000), h.105.


(20)

F. Sistematika Penulisan

Dalam sistematika penulisan skripsi ini, penulis membagi kedalam empat bab,yang secara garis besar penulis jabarkan sebagai berikut:

BAB I : Bab ini Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang permasalahan, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, review studi terdahulu, metode penelitian dan diakhiri dengan sistematika penulisan.

BAB II Bab ini membahas tentang hukum dan budaya dalam perspekstif antropologi hukum dan hukum Islam yang terdiri dari, hukum dalam perspektif antropologi hukum, kesadaran hukum dan ketaatan hukum, hukum dalam perspektif hukum Islam, budaya kemiskinan dan mengemis pandangan hukum Islam, pengemis dan perilaku menngemis,faktor-faktor yang mendorong orang mengemis.

BAB III Bab ini membahas Tentang profil kelurahan Cikokol Kota Tangerang yaitu letak geografis kelurahan Cikokol, kondisi demografis kelurahan Cikokol dan keadaan sosiologi.

BAB IV Bab ini menerangkan tentang mengemis sebagai profesi di masyarakat Cikokol kota Tangerang, yang menerangkan tentang komunitas pengemis Cikokol, factor-faktor yang


(21)

mempengaruhi budaya mengemis, mengemis tinjauan antropologi hukum dan hukum islam, kegiatan hukum yang mengatur kegiatan mengemis.

BAB V Bab ini merupakan penutup yang berisi kesimpulan dari pembahasan yang sebelumnya, dan juga saran-saran sebagai sumbangsih untuk kemashalatan bersama.


(22)

13

BAB II

HUKUM DALAM PERSPEKTIF ANTROPOLOGI HUKUM

A. Hukum dalam Perspektif Antropologi Hukum

Satu masalah yang belum mencapai kata putus di antara para ahli hukum ialah tentang pendefinisian hukum. Bahkan Immanuel Kant ±150

tahun yang lalu berkata, “Noch suchen die Juristen eine Definition zu ihrem Begriffe von Recht”. Pernyataan ini jika diterjemahkan berbunyi, “tidak seorang ahli hukum pun yang mampu membuat definisi tentang hukum”.1 Namun demikian, para ahli hukum tetap mencoba mendefinisikan hukum dilihat dari sudut pandang yang berbeda, yakni dari sudut pandang filsafat, sosiologi, politik dan sejarah, dll.

Para ahli filsafat mendefinisikan hukum sebagai nilai yang merupakan salah satu unsur pandangan manusia mengenai hal-hal yang harus dianuti karena dianggap baik, dan hal-hal yang seharusnya dihindari karena dianggap buruk.

Ahli sosiologi hukum atau sosiolog mendefinisikan hukum yang secara umum berarti ilmu pengetahuan hukum yang menekankan pada studi dan analisa secara empiris, terhadap hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala sosial lainnya.2

1

Lili Rasjidi, Filsafat Hukum “Apakah itu?”, (Bandung: Remadja Karya, 1985) cet.II, h.1.

2


(23)

Ahli politik atau politikus mendefinisikan “hukum sebagai produk politik”. Sebagai fakta sebenarnya, bukan hanya hukum dalam arti Undang-undang yang merupakan produk politik, tetapi juga bisa mencakup hukum dalam arti-arti yang lain, termasuk konstitusi atau Undang-Undang Dasar.3

Ahli antropologi hukum, Pospisil4 menyebutkan bahwa hukum sebagai bagian yang integral dari kebudayaan secara keseluruhan, dan karena itu hukum dipelajari sebagai produk dari interaksi sosial yang dipengaruhi oleh aspek-aspek kebudayaan yang lain, seperti politik, ekonomi, ideologi dan religi, sedangkan Moore5 berpendapat bahwa hukum dipelajari sebagai proses sosial yang berlangsung dalam kehidupan masyarakat. Karena itu, hukum dalam perspektif antropologi bukan semata-mata berwujud peraturan perundang-undangan yang diciptakan oleh negara (state law), tetapi juga hukum dalam wujudnya sebagai peraturan-peraturan lokal yang bersumber dari suatu kebiasaan masyarakat (customary law/folk law), termasuk pula di dalamnya mekanisme-mekansime pengaturan dalam masyarakat (self regulation) yang juga berfungsi sebagai sarana kontrol sosial (control social).6

Hukum sebagai aspek kebudayaan, mempunyai beberapa fungsi fundamental untuk memelihara kedudukan masyarakat, yaitu:

3

Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2009), h.6.

4

Nama lengkapnya Leopold Pospisil. Ia adalah antropolog pertama yang melakukan penelitian lapangan di Papua New Guinea pada tahun 1950-an dan menuliskan buku tentang hasil penelitiannya Kapauku Papuans and Their Law yang diterbitkan oleh Yale University Press.

5

Henrietta Moore adalah seorang ahli teori terkemuka antropologi feminist. Beberapa karyanya adalah Feminisme dan Antrolopi, Anthropological Theory Today.

6


(24)

1. Merumuskan pedoman bagaimana warga masyarakat seharusnya berperikelakuan, sehingga terjadi integrasi minimal dalam masyarakat, 2. Menetralisasikan kekuatan-kekuatan dalam masyarakat, sehingga

dapat dimanfaatkan untuk mengadakan ketertiban,

3. Mengatasi persengketaan, agar keadaan semula pulih kembali, dan 4. Merumuskan kembali pedoman-pedoman yang mengatur hubungan

antara warga masyarakat dan kelompok-kelompok, apabila terjadi suatu perubahan-perubahan.7

Antropologi hukum merupakan ilmu pengetahuan (logos) tentang manusia (tropos) yang bersangkutan dengan hukum. Manusia yang dimaksud adalah individu yang hidup bermasyarakat, bergaul antara yang satu dengan yang lain, baik masyarakat yang masih sederhana budayanya (primitif) maupun masyarakat yang sudah modern (maju). Budaya yang di maksud adalah budaya hukum, yaitu segala bentuk perilaku budaya manusia yang mempengaruhi atau yang berkaitan dengan masalah hukum.

Hukum dalam perspektif antropologi memiliki arti luas. Ia bukan saja hukum dalam arti dan bentuk perilaku sebagai bentuk kebiasaan yang berulang-ulang terjadi, sebagaimana dalam hukum adat, atau hukum dalam arti dan bentuk dan bentuk kaidah peraturan perundangan, seperti hukum dalam arti dan pendekatan normatif. Tetapi masalah hukum juga dilihat dari segi kecendikiawanan (intelektual), filsafat, ilmu jiwa dan beberapa faktor

7


(25)

yang melatar belakangi hukum tersebut, serta cara-cara menyelesaikan sesuatu yang timbul dalam masyarakat. 8

Dalam antropologi hukum, hukum ditinjau sebagai aspek dari kebudayaan. Manusia dalam kehidupan bermasyarakat dibekali untuk berlaku dengan menjunjung nilai-nilai budaya, yang mana dalam masyarakat tertentu harus dijunjung tinggi. Nilai-nilai budaya tercakup secara lebih konkrit dalam norma-norma sosial, yang diajarkan kepada setiap warga masyarakat supaya dapat menjadi pedoman berlaku pada waktu melakukan berbagai peranan dalam berbagai situasi sosial. Norma-norma sosial sebagian tergabung dalam kaitan dengan norma lain, dan menjelma sebagai pranata atau lembaga sosial yang semuanya lebih mempermudah manusia dalam mewujudkan perilaku yang sesuai dengan tuntunan masyarakatnya atau yang sesuai dengan gambaran ideal mengenai cara hidup yang dianut dalam kelompoknya. Gambaran ideal atau desain hidup ini, yang merupakan kebudayaan dari masyarakat itu, hendak dilestarikan melalui cara hidup warga masyarakat. Salah satu cara untuk mendorong para anggota masyarakat supaya melestarikan kebudayaan itu adalah hukum. 9

Dengan demikian, kebudayaan dalam suatu masyarakat merupakan sistem nilai tertentu yang dijadikan pedoman hidup oleh warga yang mendukung kebudayaan tersebut, karena dijadikan kerangka acuan dalam

8

Hilman Hadikusuma, Antropologi Hukum Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2006), h. 4.

9

T.O. Ihromi, Antropologi dan Hukum, ( Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2000), cet III, h. 4.


(26)

bertindak dan bertingkah laku, maka kebudayaan cenderung menjadi tradisi dalam suatu masyarakat.

Tingkah laku manusia menjadi sorotan utama dalam menilai hukum yang berlaku di dalam masyarakat. Sementara masyarakat sendiri adalah unsur kategori yang pertama dari hukum. Menurut sifat kodratnya, masyarakat adalah sebuah kesatuan yang terbentuk dari sekelompok orang yang secara bersama-sama terikat oleh usaha untuk saling mencukupi kebutuhan hidup satu sama lain. Masyarakat bukan sekedar kumpulan orang melainkan merupakan sebuah kesatuan.

Dari uraian di atas, masalah hukum dalam antropologi hukum berarti bukan semata-mata masalah hukum yang normatif sebagaimana terdapat dalam perundangan-undangan, atau masalah hukum yang merupakan pola ulangan perilaku yang sering terjadi sebagaimana terdapat pada hukum adat, tetapi hal yang terpenting hukum dilihat dari aspek budaya perilaku manusia dan faktor- faktor yang mempengaruhinya.

Jadi antropologi melihat hukum itu sebagai aspek dari kebudayaan, yaitu suatu aspek yang digunakan oleh kekuasaan masyarakat yang teratur dalam mengatur perilaku masyarakat agar tidak terjadi penyimpangan yang terjadi dari norma-norma sosial yang telah ditentukan dapat diperbaiki.10

B. Kesadaran dan Kepatuhan Hukum

Pada dasarnya supremasi hukum dijunjung tinggi atas kesadaran dan kepatuhan masyarakat terhadap hukum. Paham kesadaran hukum

10


(27)

sebagaimana dikemukakan oleh G. E. Lagemeijer yang dikutip oleh Soerjono Soekanto sebenarnya berkisar pada pikiran-pikiran yang menganggap, bahwa kesadaran dalam diri warga-warga masyarakat merupakan suatu faktor yang menentukan bagi sahnya hukum. Pada awalnya masalah kesadaran hukum timbul di dalam proses penerapan daripada hukum positif tertulis. Di dalam kerangka proses tersebut timbul masalah, oleh karena adanya ketidaksesuaian antara dasar sahnya hukum (yaitu pengendalian sosial dari penguasa atau kesadaran warga masyarakat) dengan kenyataan-kenyataan dipatuhinya (atau tidak ditaatinya) hukum positif tertulis tersebut, merupakan suatu keadaan yang dicita-citakan atau dikehendaki, bahwa ada keserasian proporsional antar pengendalian sosial oleh penguasa, kesadaran warga masyarakat dan kenyataan dipatuhinya hukum positif tertulis. Ide tentang kesadaran warga masyarakat sebagai dasar sahnya hukum positif tertulis diketemukan di dalam ajaran-ajaran tentang Rechtsgefuhl atau Rechtsbewusstsein yang intinya adalah, bahwa tak ada hukum yang mengikat warga-warga masyarakat kecuali atas dasar kesadaran hukumnya.11

Jadi, kesadaran hukum sebenarnya merupakan kesadaran atau nilai-nilai yang terdapat di dalam diri manusia tentang hukum yang ada. Sebenarnya yang ditekankan adalah nilai-nilai tentang fungsi hukum dan bukan suatu penilaian hukum terhadap kejadian-kejadian yang konkrit dalam masyarakat yang bersangkutan.

11

Soerjono Soekanto, Kesadarah Hukum dan Kepatuhan Hukum, (Jakarta: Rajawali, 1982), h. 145.


(28)

Kepatuhan seseorang terhadap hukum tergantung pada situasi, kondisi dan tempat. Dalam tindakan dikenal 2 istilah, yaitu: Behavior of Action

(perilaku terhadap tindakan) dan Behavior of Law (perilaku terhadap hukum). Pada dasarnya hukum ada untuk ditaati dan dipatuhi. Namun, dalam keadaan tertentu hukum hanya menjadi sebuah wacana yang diketahui tanpa dipatuhi. Misalnya: semua orang mengetahui bahwa mencuri adalah perbuatan yang dilarang dan ada sanksi bagi yang melakukannya, baik sanksi pidana (KUHP) maupun sanksi moral dari masyarakat (cacian, hinaan, cibiran, dll). Namun, dalam keadaan terdesak, misalnya kesulitan ekonomi, membuat seseorang berani melanggar hukum yaitu dengan melakukan tindakan pencurian. Itu hanyalah sebagian contoh kecil ketidakpatuhan seseorang pada hukum yang berlaku dan tentunya masih banyak lagi tindakan-tindakan penyimpangan hukum yang dilakukan secara sadar.

Selanjutnya Hoefnagels sebagaimana dikutip oleh Soerjono Soekanto membedakan bermacam-macam derajat kepatuhan hukum sebagai berikut: 1. Seseorang berperikelakukan sebagaimana diharapkan oleh hukum dan

menyetujuinya hal mana sesuai dengan sistem nilai-nilai dari mereka yang berwenang.

2. Seseorang berperikelaku sebagaimana diharapkan oleh hukum dan menyetujuinya, akan tetapi dia tidak setuju dengan penilaian yang diberikan oleh yang berwenang terhadap hukum yang bersangkutan. 3. Seseorang mematuhi hukum, akan tetapi dia tidak setuju dengan


(29)

4. Seseorang tidak patuh pada hukum, akan tetapi dia menyetujui hukum tersebut dan nilai-nilai daripada mereka yang mempunyai wewenang dan 5. Seseorang sama sekali tidak menyetujui kesemuanya dan dia pun tidak

patuh pada hukum (melakukan protes).12

C. Hukum dalam Perspektif Hukum Islam

Dilihat dari segi kebahasaan, kata hukum bermakna “menetapkan

sesuatu pada yang lain” seperti menetapkan haram pada khamar atau halal pada air susu. Sedang menurut istilah para ulama usul fiqh, sebagaimana

yang diungkapkan oleh Abu Zahrah adalah “Titah (khitab) Syari yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf, baik berupa tuntutan, pilihan atau

wadhi”. Yang dimaksud dengan khitab syari adalah ketentuan-ketentuan yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya terhadap berbagai perbuatan mukallaf. Seperti firman Allah; Dan dirikanlah Sholat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’. (al-Baqarah : 43) Ayat ini menyatakan ketentuan hukum bahwa melaksanakan sholat dan membayar zakat adalah kewajiban yang mesti dilaksanakan. Khitab melalui ayat ini membentuk ketentuan yang harus dilaksanakan. Kemudian adapula khitab dalam bentuk larangan, seperti firman Allah : Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengolo-olok kaum yang lain, karena boleh jadi kaum yang diolok-olok itu lebih baik dari mereka yang mengolok-olok. (al-Hujarat : 11)

12

Soerjono Soekanto, Kesadarah Hukum dan Kepatuhan Hukum, (Jakarta: Rajawali, 1982), h .234.


(30)

Dua contoh diatas menunjukkan bahwa khitab syari yang mengikat para mukallaf untuk mengerjakan dan meninggalkannya. Adapun khitab yang dikemukakan dalam bentuk pilihan adalah ketentuan-ketentuan syari yang memberi peluang kepada mukallaf.

untuk melaksanakan atau meninggalkannya. Seperti bunyi surat al-Baqarah ayat 229 yang berbunyi : Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Inilah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya, dan barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka adalah orang-orang yang zalim. Ayat ini memberi kebolehan bagi istri (melalui wali-waliya) untuk mengajukan permohonan, iwadh (uang pengganti) kepada suaminya, kalau rumah tangganya tidak harmonis dan sukar diperbaiki, karena kesalahan dan kelalaian suaminya. Dalam kasus ini si istri boleh mengajukan perceraian (khulu) atau mempertahankan pernikahannya. Adapun maksud khitab wadhi adalah ketentuan syari tentang perbuatan mukallaf yang mempengaruhi perbuatan (taklif), seperti pembunuhan yang dilakukan seseorang anak terhadap orang tuanya sendiri dapat mempengaruhi terhalangnya harta warisan yang ditinggalkannya. Rasulullah bersabda: orang yang membunuh tidak memperoleh harta warisan dari orang yang terbunuh. (H.R. Muslim, Abu Daud dan Ibnu Majah) Penjelasan dan contoh tentang hukum Islam diatas menunjukkan bahwa hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadits. Namun paparan rinci tentang


(31)

norma-norma hukum dari kedua sumber tersebut, terutama hal-hal yang menyangkut selain ibadah belum terjangkau secara tegas, sehingga diperlukan kajian mendalam dan komprehensif guna menganalisa tujuan makna yang tersirat dari satu nash. Untuk kajian ini ulama melahirkan berbagai metodologi dan pendekatan kajian hukum Islam yang menjadi cabang ilmu pengetahuan tersendiri, yaitu ushul fiqh (teori hukum Islam). Metodologi yang lahir untuk menjangkau nash yang belum tegas didasari oleh dalil-dalil yang menjadi acuan mujtahid, hal demikian antara lain:

1. Metode ijma, didasari oleh firman Allah SWT dalam surat An-Nisa ayat 59 yang berbunyi :

Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul-Nya dan ulil amri diantara kamu. Perkataan amri yang terdapat pada ayat di atas berarti hal, keadaan atau urusan yang bersifat umum meliputi urusan dunia dan agama. Ulil amri dalam urusan dunia adalah raja, kepala negara, pemimpin atau penguasa. Sedangkan ulil amri dalam urusan agama adalah para mujtahid. Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa jika para ulil amri itu telah sepakat tentang sesuatu ketentuan atau hukum dari suatu peristiwa, maka kesepakatan mereka adalah ketentuan hukum yang mengikat dan harus diikuti oleh kaum muslimin.

2. Metode Qiyas, dalil yang mengharuskan para mujtahid melakukan analogi (qiyas) adalah dalil yang serupa dengan diatas surat an-Nisa ayat 59. disana dinyataka bahwa Allah SWT memerintahkan kaum muslimin agar


(32)

menetapkan segala sesuatu berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits. Namun jika tidak ada di dalamnya, maka hendaklah mengikuti ulil amri, dan jika tidak ada pendapat ulil amri, maka boleh menetapkan hukum dengan mengembalikan masalah tersebut kepada al-Quran dan al-Hadits dengan menghubungkan atau membandingkannya dengan hal serupa yang ada di dalam al-Quran dan al-Hadits. Cara yang demikian dinamakan qiyas.

Selain dari dua metodologi di atas, masih banyak cara yang dilakukan oleh para mujtahid untuk mencari solusi penyelesaian masalah yang kian berkembang pasca kenabian dan khulafaurrasyidun, seperti metode istihsan, mashlahat al-mursalah, urf, syar’un an qablana, istishhab, saddudz dzari’ah dan madzhab sahabat yang keseluruhan dari metodologi tersebut memiliki kaidah-kaidah sendiri yang menjadi acuan dalam pemecahan masalah dan semua mengacu kepada semangat nash (al-Qur’an dan al-Hadits). Kaidah-kaidah tersebut dibuat secara sistematis dan terbagi pada Kaidah-kaidah asasiyah dan ghairu asasiyah. Kaidah asasiyah adalah kaidah yang disepakati oleh Imam Mazhab berjumlah 5 macam (panca kaidah) yaitu: segala masalah tergantung pada tujuannya, kemadharatan itu harus dihilangkan, kebiasaan itu dapat dijadikan hukum, yakin itu tidak bisa dihilangkan dengan keraguan, dan kesulitan itu dapat menarik kemudahan. Selanjutnya sebagian fuqaha

menambahkan dengan satu kaidah asasiayah lain yaitu “tiada pahala kecuali dengan niat”. Dari kelima atau keenam kaidah tersebut diringkas oleh


(33)

menarik kemaslahatan”. Diantara kaidah asasiyah ini dibantu oleh kaidah ghairu asasiyah yang jumlahnya diperdebatkan dikalangan fuqaha.

D. Budaya Kemiskinan dan Mengemis Pandangan Hukum Islam

Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makan, pakaian, tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan.13 Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan alat pemenuh kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan. Kemiskinan merupakan masalah global.14 Kemiskinan merupakan fenomena dalam kehidupan bermasyarakat yang menjadi masalah bagi negara. Banyak cara yang dilakukan pemerintah Indonesia dalam mengakhiri masalah kemiskinan, tetapi hal ini masih menjadi problem besar yang perlu perhatian khusus dalam menanganinya.

Kemiskinan yang telah berjalan dalam ruang dan rentang waktu yang panjang memastikan, bahwa gejala tersebut tidak cukup diterangkan sebagai realitas ekonomi. Artinya kemiskinan tidak sekedar gejala keterbatasan lapangan kerja, pendapatan, pendidikan dan kesehatan masyarakat. Ini sudah menjadi realitas sistem atau struktur dan tata nilai kemasyarakatan. Ia juga memang suatu realitas budaya yang antara lain berbentuk sikap menyerah kepada keadaan.15

13

Ahmad Sanusi, Agama di tengah Kemiskinan Refleksi atas Pandangan Islam dan Kristen dalam Perspektif Kerjasama Antar Umat Beragama (Jakarta: Logos, 1999), h. 11.

14

Sajogyo Pudjiwati Sosiologi Pedesaan (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2002), h. 23.

15

Adi Sasono, “Masalah Kemiskinan dan Fatalisme”, dalam Sri Edi Swasono, ed, Sekitar Kemiskinan dan Keadilan: Dari Cendiawan Kita tentang Islam (Jakarta: UI Press, 1987), h. 38.


(34)

Tata nilai dan stuktur sosial ekonomi serta perilaku dan kecenderungan aktual yang telah terbiasa dengan kemiskinan ini juga bukan saja menyebabkan mereka yang miskin untuk tetap miskin. Keadaan ini membuat keluarga masyarakat tersebut juga miskin terhadap arti kemiskinan itu tersendiri.16

Kebudayaan kemiskinan dapat terwujud dalam berbagai konteks sejarah. Namun lebih cenderung untuk tumbuh dan berkembang di masyarakat yang mempunyai seperangkat kondisi-kondisi sebagai berikut: 1. Sistem ekonomi yang rendah, sistem produksi yang rendah.

2. Tingkat pengangguran tertinggi dan tenaga kerja yang tidak terampil. 3. Upah buruh yang rendah.

4. Kegagalan golongan berpenghasilan rendah dalam meningkatkan keadaan sosial ekonomi.

5. Tidak ada usaha untuk maju dan selalu beranggapan bahwa status ekonomi yang rendah sebagai hasil ketidaksanggupan mereka untuk meraih hidup lebih maju.

Cara hidup sebagai kaum miskin yang berkembang dalam kondisi ini merupakan kebudayaan kemiskinan. Hal ini dapat ditelaah di wilayah perkotaan maupun pedesaan, dan dapat diuraikan dalam kerangka dan ciri-ciri sosial, ekonomi dan psikologis yang saling berkaitan.

16

Suparlan Pasudi, Kemiskinan di Perkotaan Studi Antropologi perkotaan, cet.III, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995), h. 7.


(35)

Kemiskinaan merupakan suatu adaptasi, penyesuaian dan sekaligus juga merupakan reaksi kaum miskin terhadap kedudukan marginal mereka di dalam masyarakat yang berstrata kelas sangat individual, elastis, dan berisi kapitalisme. Kebudayaan tersebut mencerminkan suatu upaya mengatasi rasa putus asa dan tanpa harapan yang merupakan wujud dari kesadaran bahwa mereka yang hidup dalam kemiskinan merasa mustahil dapat meraih sukses di dalam kehidupan sesuai dengan nilai-nilai dan tujuan masyarakat yang lebih luas.17

Masalah kemiskinan di Indonesia berdampak negatif terhadap peningkatan arus urbanisasi ke kota-kota besar, sehingga terjadi kepadatan penduduk dan daerah-daerah kubu yang jadi pemukiman para urban tersebut. Kesulitan dan keterbatasan lapangan pekerjaan yang tersedia serta keterbatasan pengetahuan dan keterampilan menyebabkan mereka banyak yang mencari nafkah untuk mempertahankan hidup dengan terpaksa menjadi pengemis. Hal inilah yang menjadi salah satu faktor munculnya budaya mengemis.

Pada dasarnya pekerjaan mengemis merupakan pekerjaan yang sangat dibenci oleh Rasulullah SAW.

نع

بيعش

نع

ثْي لا

نْب

دعس

لاق

:

تْع س

دْبع

ها

نْب

ر ع

لْ قي

:

لاق

لْ سر

ها

يَص

ها

ْي ع

َس

:

ا

لازي

لجَرلا

لأْسي

يَّح

يتْأي

ْ ي

ة ايقْلا

سْيل

يف

ْج

17

Mulyanto Sumardi, Kemiskinan dan Kebutuhan Pokok, cet,II (Jakarta: CV Rajawali, 1982), h. 7.


(36)

ْز

ةع

ْن

ْحل

(

ر

يئاس لا

)

18

Artinya: “siapa saja di antara kamu yang senantiasa meminta-minta, maka ketika ia menjumpai Allah (di hari kiamat nanti) di wajahnya tidak ada sepotong daging pun. (HR. an-Nasai).

Dengan ancaman yang keras ini, Rasulullah menjaga kehormatan seorang muslim, membiasakan untuk bersikap iffah (menahan diri) dari ketergantungan kepada orang lain. Sebaliknya selalu bergantung pada diri sendiri dan menjauhkan diri dari meminta-minta kepada manusia.

Rasulullah memberikan kelonggaran mengemis bagi seseorang dalam keadaan yang bersifat atau karena suatu kebutuhan yang mendesak. Maka, bagi siapa yang terpaksa meminta-minta karena dorongan kebutuhan yang mendesak dan meminta bantuan kepada pemerintah atau perorangan, maka tiada dosa baginya untuk meminta-minta.

Islam memperbolehkan meminta-minta karena salah satu tiga perkara, yaitu: 19

a. Orang yang menanggung suatu tanggungan, sebelum dia hidup mampu dibolehkan baginya untuk meminta kepada orang lain hingga ia dapat menyelesaikan tanggungannya itu, jika tanggungannya telah selesai kemudian ia menahan diri dan tidak meminta lagi kepada orang lain.

18

An-Nasai’, Sunan an-Nasai’, (Bairut: Dar Ihya at-Thuros al-Arabi, tth), hal. 348. 19


(37)

b. Orang yang ditimpa suatu musibah yang menyebabkan kehilangan harta, dibolehkan baginya untuk meminta kepada orang lain hingga ia mendapatkan penopang hidupnya.

c. Orang yang ditimpa bencana, yang menyebabkan kehilangan seluruh harta benda, seperti: bencana tsunami, gunung meletus, gempa bumi, dll.

E. Pengemis dan Perilaku Mengemis

Dalam kamus bahasa Indonesia, kata pengemis tidak mempunyai akar kata akan tetapi merupakan sinonim dari peminta-minta atau orang yang meminta-minta. Mengemis adalah sinonim dari kata meminta-minta sedekah. Akar kata meminta yaitu minta yang artinya bertindak supaya diberi atau mendapat sesuatu, memohon, mempersilahkan, memerlukan, menimbulkan. Kata (al-sail) dalam bahasa arab,20 di samping artinya orang yang bertanya juga mempunyai arti pengemis, yang meminta. Akar katanya dari (sa’ila) yang artinya meminta-minta, memohon, menanyakan, memberi pertanyaan atau bertanya.21

Menurut Kementerian Sosial R.I pengemis adalah orang-orang yang mendapat penghasilan dari meminta-minta dimuka umum dengan berbagai alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain.22

Sedangkan secara terminologi mengemis adalah meminta bantuan, derma, sumbangan baik kepada perorangan maupun lembaga. Pengemis

21

Ahmad Warson Munawwir, Al-munawwir: Kamus Arab Indoesia, (Surabaya: Pustaka Progresif,1997), h. 692.

22

http//www.Indonesia//.ontime.com Kementrian kordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Penanggulangan Kemiskinan dan Pengangguran, diakses pada tanggal 1 April 2010.


(38)

identik dengan sosok individu yang berpenampilan serba kumal, yang dijadikan sarana untuk mengungkapkan kebutuhan apa adanya dan juga bisa menggunakan cara-cara lain.

Muthalib dan Sudjarwo dalam buku Ali Yafie memberikan tiga gambaran umum pengemis, yaitu:23

1. Sekelompok orang miskin atau orang yang dimiskinkan oleh masyarakat, 2. Orang yang disingkirkan dari khalayak ramai, dan

3. Orang yang berpola hidup agar mampu bertahan dari kemiskinan,

Sangat disayangkan, budaya mengemis yang tumbuh dalam masyarakat Indonesia, bukan hanya dilakukan oleh orang-orang yang benar-benar menghadapi kesulitan hidup, namun dimanfaatkan pula oleh segelintir orang sebagai profesi untuk meraup kekayaan. Banyak cara yang dilakukan para pengemis dalam menjalankan profesinya, baik oleh pengemis yang benar-benar menghadapi kehidupan yang sulit sehingga ia terpaksa mengemis, dan pengemis palsu yang hanya berpura-pura miskin.

Strategi atau cara-cara yang biasa dipakai para pengemis gadungan hanya berpura-pura. Dalam menjalankan pekerjaannya, mereka menggunakan trik-trik yang dapat menyakinkan orang lain untuk mencari belas kasihan dan memberikan uang. Trik-trik yang biasa dipakai adalah sebagai berikut:

a. Menjual kemiskian

Para pengemis biasa berpenampilan kumuh, kotor, dan berpakaian robek-robek atau compang camping. Tampilan seperti itu memberikan

23


(39)

kesan pada setiap orang yang melihatnya seakan-akan mereka sedang memikul beban berat yang perlu dibantu dan mendorong orang lain untuk memberi.

b. Menampilkan wajah kesedihan

Setiap sepanjang jalan di keramaian kota sering dijumpai pengemis dari anak kecil hingga orang tua yang duduk di pinggir jalan dan mengayunkan tangan dan mereka siap beraksi menampilkan wajah kesedihan yang mendalam, agar membuka hati darmawan untuk memberi.

c. Komunitas pengemis

Komunitas pengemis yaitu kumpulan sejumlah pengemis yang terkoordinasi oleh kordinator yang menempatkan para pengemis-pengemis di wilayah-wilayah tertentu, seperti di pusat kota dengan lokasi yang berpindah-pindah dan para pengemis diwajibkan menyetorkan uang hasil mengemis kepada kordinator pengemis yang biasa dikenal bos pengemis.

d. Membawa anak

Membawa anak kecil yang digendong merupakan salah satu trik yang dilakukan pengemis. Anak yang dibawa itu umumnya merupakan anak pinjaman atau sewaan, untuk lebih menarik rasa iba orang lain dengan harga sewaan mencapai Rp. 5000, - perharinya.24

24


(40)

Pengerahan anak di bawah umur, yang biasa digendong atau pengemis anak-anak memang dinilai efektif untuk menarik simpati belas kasih dari dermawan. Hal ini termasuk mengeksploitasi anak. Dengan wajah polos dan lugu, mereka menjadi „boneka magnet’ bagi orang tua untuk mendapatkan

uang.

Menjadi pengemis memang bukan merupakan pilihan hidup untuk mendapatkan nafkah. Namun dengan melakukan hal ini setidaknya mereka mampu hidup berkecukupan. Hal ini diungkapkan diungkapkan Armasih, ibu berumur 39 tahun, yang mengerahkan kedua anaknya Sofyan, 14 tahun dan Rafi, 4 tahun. Keluarganya bisa membawa pulang Rp. 45.000,- setiap harinya. Jika dikalkulasikan dalam sebulan, maka warga Jalan Pulau Nangka, Kelapa Gading Barat, Jakarta Utara ini mampu meraup uang sebesar Rp. 1.350.000,- setiap bulan. 25

F. Faktor-Faktor yang Mendorong Orang Mengemis

Ada banyak faktor yang mendorong orang untuk menjadi pengemis. Faktor-faktor tersebut terdiri dari faktor internal dan eksternal, ada yang bersifat permanen, dan ada yang bersifat mendadak. Faktor-faktor tersebut adalah:26

1. Faktor urbanisasi

Diketahui bahwa di masyarakat Indonesia banyak terjadi urbanisasi. Perpindahan penduduk mengakibatkan bermacam-macam dampak

25

http//pendapatan pengemis, perhari//.com diakses pada tanggal 20 April 2010.

26Syarif, “

Pengemis dalam Perfektifs Al-Hadist (Analisis Kritis Hadis-hadist Haq al-sail Dalam Kitab Sunan Abi Daud),” (Skripsi S1 Fakultas Ushuludin , Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005), h. 18.


(41)

bagi masyarakat setempat (pribumi) dan masyarakat baru (pendatang). Tindakan masyarakat berpindah dari desa ke kota didasarkan atas harapan pelaku urbanisasi itu sendiri untuk mengubah perekonomian ke keadaan yang lebih baik.27

Jiwa atau ide yang mendorong perpindahan ke kota disebut urbanisme. Urbanisme menjadi motivasi manusia untuk berpindah ke kota, dan urbanisme tersebut menimbulkan penambahan jumlah penduduk kota yang terus meningkat. Dalam hal ini urbanisme adalah proses perpindahan ke kota dan urbanisme adalah ide abstrak yang terwujud di dalam kesadaran yang berorientasi ke kota.28

Dengan adanya urbanisasi maka semakin banyak tenaga kerja untuk mendapatkan pekerjaan. Mereka tergolong dalam golongan pencari kerja dengan berbagai macam latar belakang pendidikan, pengalaman dan keahlian yang berbeda-beda. Peningkatan jumlah para pencari kerja dan urbanisasi di Indonesia berhubungan dengan masalah pengangguran. Masalah pengangguran oleh banyak pihak diungkapkan sebagai akibat keterbatasan lapangan pekerjaan, pendidikan yang rendah dan keterampilan yang kurang dari para pencari kerja.

Sutopo Yuwono melihat bahwa masalah ketenegakerjaan di Indonesia bukan hanya terfokus pada keterbatasan lapangan pekerjaan, keterbatasan pendidikan dan keterampilan tetapi seperti yang dikatakannya “bahwa tidak

27

Sns .s. Hutabarat, Masalah Pertambahan Penduduk, (Bandung: Lembaga Penelitian Pendidikan Kependudukan Institut Keguruan dan Pendidikan (IKIP Bandung), h. 25.

28

Shogo Koyano, Pengkajian tentang Urbanisasi di Asia Tenggara, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996), h. 5.


(42)

terpenuhinya lowongan-lowongan pekerjaan difaktorkan tidak tersedianya tenaga-tenaga kerja yang berkualitas.”29

Masalah tenaga kerja berkualitas menjadi penting untuk diperhatikan, untuk meningkatkan kinerja tenaga kerja tersebut, karena masalah ini menyangkut kepentingan perusahaan-perusahaan sebagai pengguna tenaga kerja dan penyedia lapangan kerja. Ternyata perusahaan telah banyak membuka banyak kesempatan kerja, tetapi fakta yang dihadapi oleh perusahaan adalah kesulitan untuk mencari tenaga kerja yang sesuai dengan kualifikasi perusahaan.

Karena kekurangan tingkat pendidikan dan keterampilan yang dimiliki para pencari kerja maka sulit baginya untuk mendapatkan pekerjaan. Berangkat dari hal tersebut tidak sedikit masyarakat urban yang mengubah profesinya menjadi pengemis atau pemulung, dengan alasan sebagai batu loncatan untuk menyambung hidup di kota besar. Meski mereka menyadari bahwa profesi yang dikerjakannya adalah kurang mulia.

2. Faktor ketidakberdayaan

Ketidakberdayaan orang-orang yang mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari karena mereka memang tidak punya gaji tetap, santunan-santunan rutin atau sumber-sumber kehidupan yang lain. Sementara mereka sendiri tidak memiliki keterampilan atau keahlian khusus yang dapat mereka manfaatkan untuk menghasilkan uang, seperti orang-orang yang menyandang cacat, orang-orang yang menderita

29

Sutopo Yuwono, Kebijaksanaan Pekerjaan dan Masalah Angkatan Kerja Serta Pengaruhnya bagi Pelaksanaan Pembangunan, (Jakarta: PT Lembaga Sarana Informatika, 1985), h. 120-121.


(43)

sakit, orang-orang yang sudah berusia lanjut sehingga tidak bisa lanjut bekerja.30

3. Faktor kesulitan ekonomi

Orang-orang yang mengalami kesulitan ekonomi dan kerugian harta yang cukup besar membutuhkan bantuan orang lain. Contohnya, para pedagang yang jatuh bangkrut, atau para petani yang gagal panen secara total, dan lain sebagainya. Mereka ini juga memerlukan bantuan karena sedang mengalami kesulitan ekonomi secara mendadak sehingga tidak bisa menghidupi kebutuhan keluarga.

Faktor-faktor kesulitan ekonomi yang muncul akibat tidak seimbangnya antara penghasilan sehari-hari yang didapat dengan besarnya nafkah yang harus dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari anggota keluarga yang berjumlah banyak.31 Di antara faktor-faktor tersebut yang berpengaruh untuk meminta-minta atau menjadi pengemis adalah kemiskinan.

30

Koyano, Pengkajian tentang Urbanisasi di Asia Tenggara, h. 15. 31


(44)

35

BAB III

PROFIL KELURAHAN CIKOKOL KOTA TANGERANG

A. Letak Geografis Kelurahan Cikokol

Kelurahan Cikokol salah satu dari 8 (delapan) kelurahan yang berada Kecamatan Tangerang Kota Tangerang dengan luas wilayah 417 ha terdiri dari 13 RW dan 66 RT. Jumlah kepala keluarga di kelurahan Cikokol sebanyak 5709 KK. Tahun 2011 jumlah penduduk Cikokol 19.123 jiwa.

Batas wilayah Cikokol bagian utara berbatasan dengan kelurahan babakan dan Sebelah Selatan Cikokol berbatasan dengan Kelurahan Penunggangan Utara, wilayah Cikokol bagian barat berbatasan dengan sungai Cisadane, sedangkan daerah Cikokol bagian timur berbatasan dengan Kelapa Indah atau Pakajon. 1

Secara geografis, Cikokol tak jauh dari pusat perkoataan, dalam hal ini dari ibu kota Tangerang. Menurut data yang diperoleh, jarak kelurahan Cikokol dari pusat kecamatan ada ± 3 km, dari ibu kota propinsi Banten ± 45 km dan dari ibu kota negara sejauh ± 21 km. Dengan demikian kemudahan sarana tranportasi, jalur hubungan lalu lintas antar kelurahan dapat di tempuh dengan baik.

1

Laporan Monografi Kelurahan Cikokol Kecamatan Tangerang Kota Tangerang Tahun 2010.


(45)

B. Kondisi Demografis Kelurahan Cikokol

Jumlah penduduk kelurahan Cikokol pada tahun 2010 berjumlah 19.123 jiwa dari 5.709 kk, terdiri dari 10.409 orang laki-laki dan 8.714 orang perempuan.

Berikut tabel penduduk Cikokol berdasarkan kelompok usia: Tabel 3.1

Jumlah penduduk Cikokol berdasarkan kelompok usia

No Umur (tahun) f %

1 0-5 1.064 5

2 6-10 1.610 8,5

3 11-15 2.539 14

4 16-20 2.014 10

5 21-25 2.079 10,5

6 25-30 2.228 11,5

7 30-35 1.224 7,5

8 36-40 2.270 12

9 41-45 2.009 11

10 46-50 817 4

11 51 keatas 1.179 6

Jumlah 19.123 100

Sumber data: laporan monografi kelurahan Cikokol tahun2010 Dari tabel diatas, dapat di ketahui bahwa penduduk dikelurahan Cikokol dilihat dari kelompok umur relatife berimbang. Penduduk dengan kelompok


(46)

umur 11-15 tahun menempati posisi jumlah terbanyak yaitu 2.539 orang. penduduk dengan kelompok umur 46-50 tahun menempati posisi jumlah terkecil yaitu 1.48 orang.berikut jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin:

Tabel 3.2

Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin

No Jenis kelamin f %

1 Laki-laki 10.409 55

2 Perempuan 8.714 45

Jumlah 19.123 100

Sumber data: laporan monografi kelurahan Cikokol tahun 2010 Wilayah Cikokol sama halnya dengan wilayah-wilayah lain, jumlah penduduk setiap tahun bertambah dan dari segi bagunan fisik pun bertambah mengikuti arus perkembangan. Menurut data yang ada pada tahun 2009 sampai 2010 yaitu 3,20%. Dan warga Cikokol lebih dominan berjenis kelamin laki-laki yaitu 10.409 jiwa atau 54%.

Kelurahan Cikokol terdiri dari 13 rukun warga (RW) dan 66 rukun tetangga (RT), dimana setiap kelurahan tidak hanya dihuni oleh warga asli kelurahan Cikokol saja, tetapi para pendatang yang tersebar di wilayah ini baik yang tinggal di kontrakan maupun yang tinggal dikost-kostan. Pencatatan atau pendataan penduduk dikantor kelurahan Cikokol berpedoman pada register yang


(47)

telah ada antara lain register datang, pindah lahir dan meninggal dunia sehingga untuk pencatatan atau pendataan selalu mengacu pada register yang berlaku.

C. Keadaan Sosiologis Kelurahan Cikokol

1. Agama dan kepercayaan

Mayoriatas masyarakat kelurahan Cikokol beragama islam dan Kristen menempati posisi penganut terbanyak kedua.untuk keterangan lebih lanjut lihat tabel di bawah ini:

Tabel 3.3

Penduduk Cikokol berdasarkan agama dan kepercayaan

No Jenis agama f %

1 Islam 10.052 53

2 Kristen 5.002 26

3 Katolik 1.000 5

4 Hindu 2.759 14

5 Budha 3.10 2

6 Aliran kepercayaan lainya - -

Jumlah 19.123 100

Sumber data: laporan monografi kelurahan Cikokol tahun 2010 2. Sarana ibadah

Keberadaan sarana mutlak dibutuhkan di tengah masyarakat di kelurahan Cikokol. Karena sarana peribadatan sangat penting untuk menunjang


(48)

kegiatan dalam beribadah. Untuk menjelaskan jumlah sarana peribadatan di kelurahan Cikokol dapat di lihat pada tabel berikut:

Tabel 3.4

Jumlah sarana peribadatan di kelurahan Cikokol

No Sarana keperibadatan Jumlah

1 Masjid 12

2 Mushalla 18

3 Gereja -

4 Vihara -

5 Pura -

Sumber data: laporan monografi kelurahan Cikokol tahun 2010 3. Pendidikan

Warga kelurahan Cikokol usia diatas 55 tahun pada umumnya berpendidikan SD, sedang bagi penduduk yang usianya di bawah 55 tahun mayoritas berpendidikan SLTP dan SMA, Nbahkan semakin banyak pula lulusan dari perguruan tinggi.2 Untuk hal ini lebih jelas dapat dilihat dari tabel berikut:

2


(49)

Tabel 3.5

Penduduk Cikokol berdasarkan tingkat pendidikan

No Tingkat pendidikan f %

1 Tidak sekolah 164 1

2 SD/MI 4099 35

3 SMP/SLTP 2654 23

4 SMA/SLTA 3349 30

5 Akademi/D3 733 6

6 Sarjana s1-s3 560 5

Jumlah 11.559 100

Sumber data: laporan monografi kelurahan Cikokol tahun 2010

Dari tabel tersebut diketahui bahwa penduduk dikelurahan Cikokol dapat di katakan masih minim dalam hal pendidikan. Hal ini dapat dilihat dengan banyaknya jumlah penduduk yang hanya tamat SD.

Adapun sarana pendidikan yang ada di Cikokol pendidikan agama dan umum dari segi kuantitas cukup memadai. Sarana pendidikan di kelurahan Cikokol terbagi dua yaitu sarana pendidikan negeri dan sarana pendidikan swasta. Guna mendukung pendidikan formal pemerintah membangun sarana pendidikan swasta jumlahnya lebih banyak dari sekolah dasar (SD) sampai (SMA). Namun, pendidikan swasta jumlahnya lebih banyak dari sarana pendidikan negeri. Berikut ini adalah tabel data sarana pendidikan negeri dan sarana pendidikan swasta.


(50)

Tabel 3.6

Jumlah Jiwa Berdasarkan Tingkat Pendidikan

No Tingkat pendidikan f %

1 SDN 6 40

2 SMPN 5 33

3 SMAN 4 27

4

Universitas

- -

5

Jumlah 15

100 Sumber data: laporan Monografi kelurahan Cikokol Tahun, 2010

Tabel. 3.7

Jumlah Sarana Pendidikan Swasta

No Sarana pendidikan f Jumlah

1 Taman bermain(playgroup) 15 15

2 SLTP 22 22

3 SLTA 30 30

4 Perguruan tinggi 2 2

Jumlah 69 87


(51)

4. Ekonomi

Mata pencarian penduduk Cikokol bermacam-macam. Pada umumnya mata pencaharian penduduk Cikokol sebagai karyawan swasta, mengenai hal ini dapat dilihat dari tabel berikut:

Tabel 3.8

Penduduk Cikokol menurut mata pencaharian Mata Pencarian

No Mata pencarian Jumlah %

1 PNS 354 5

2 ABRI 23 0,3

3 Karyawan Swasta 5.578 83,5

4 Pedagang 289 4,5

5 peTani 90 1

6 Pertukangan 40 0,5

7 Buruh tani 30 0,4

8 Pengsiun 53 0,8

9 Tidak bekerja 255 4

Jumlah 6.712 100

Sumber data : laporan Monografi kelurahan Cikokol Tahun, 2010

Menurut lurah Cikokol, Naman Bakri bahwa penduduk Cikokol tergolongpada masyarakat menengah kebawah dengan pendapatan rata-rata ± 3 juta perbulan.3

Sedangkan pertu,buhan perekonomian kota Tangerang mengalami peningkatan. Hal ini di karenakan adanya penambahan lapangan kerja dalam

3


(52)

sektor industri. Sebagaimana disampaikan oleh kepala bidang penempatan kerja dinas tenaga kerja, bapak Anwar Sanusi “ berdasarkan data dinas tenaga kerja kota Tangerang. Terdapat peningkatan peluang kerja sekitar 40 ribu peluang di banding tahun lalu yang menempati 30 ribu peluang. Ada peningkatan hingga 20

persen”.4

4

Wawancara pribadi dengan bapak anwar sanusi, jum’at 26 november 2010, pukul 14:30 WIB


(53)

44

BAB IV

MENGEMIS SEBAGAI PROFESI PADA MASYARAKAT CIKOKOL KOTA TANGERANG

A. Komunitas Pengemis Cikokol

Data-data penelitian ini diambil berdasarkan wawancara dengan 37 narasumber yang terdiri dari: lurah Cikokol, 1 orang tokoh agama setempat, 5 orang warga Cikokol non pengemis dan 30 orang pengemis. Narasumber berasal dari Rt. 03 Rw. 02 kelurahan Cikokol kecamatan Tangerang kota Tangerang. Jumlah warga Rt 03 adalah 523 orang dan 170 Kepala Keluarga (KK).1

Fenomena kehadiran pengemis merupakan realitas sosial yang berkembang di kota Tangerang saat ini. Faktor tersebut didasari oleh keadaan sosial, ekonomi, keluarga dan tingkat urbanisasi yang tinggi menyebabkan seseorang berprofesi sebagai pengemis untuk mencukupi kebutuhan hidup. Para pengemis datang ke kota dengan motivasi untuk mencari pekerjaan yang lebih baikdaripekerjaanmereka sebelumnya. Tetapi dengan latar belakang pendidikan yang rendah dan keterbatasan pengalaman dan keahlian, maka sulit bagi mereka untuk mendapatkan pekerjaan. Hal ini dikatakan oleh Bapak Simpen, 47 tahun (seorang narasumber pengemis) sebagai berikut:

“Saya datang ke kota ini (Tangerang) ingin mencari pekerjaan yang lebih baik walaupun saya hanya lulusan SD. Dari pada di kampung jadi petani tidak bisa mencukupi kebutuhan keluarga. Karena

1


(54)

mencari pekerjaan di sini juga susah, untuk sementara ini saya bekerja sebagai pengemis”.2

Para pengemis umumnya hadir dari keluarga kurang mampu. Mereka lahir dari keluarga dan lingkungan tempat tinggal yang jauh dari kecukupan. Mereka berasal dari daerah, suku dan agama yang berbeda, seperti suku jawa, sunda dan batak. Ironisnya pengemis di daerah Cikokol mayoritas beragama Islam. Walaupun mereka berasal dari latar belakang yang berbeda tetapi kehidupan sosial mereka tetap berjalan baik.3

Dengan maraknya pengemis yang melakukan urbanisasi tidak lantas menyadarkan mereka untuk memperbarui kartu tanda penduduk (KTP) mereka agar sesuai dengan domisili mereka saat ini. Hal ini jelas menjadikan keberadaan para pengemis itu tidak memiliki tanda kependudukan yang jelas di mata negara.

Kehadiran pengemis dapat diterima masyarakat tempat mereka tinggal. Warga sekitar tempat tinggal pengemis tidak membedakan status sosial dan tidak

memarginalisasi ras dan suku tertentu. Para pengemis juga mengikuti kegiatan-kegiatan kemasyarakatan seperti kerja bakti, gotong royong, dan pengajian mingguan.4 Hal ini seperti dipaparkan oleh bapak Karyo (49 tahun) asal Solo. Ia mengatakan bahwa dalam satu minggu ada dua kali pertemuan pengajian yang dihadiri oleh para pemuda dan orang tua dari kalangan pengemis. Dia juga punya

2

Wawancara pribadi dengan Bapak Simpen, Rabu 1 September 2010 Pukul 10:00 WIB.

3

Wawancara pribadi dengan Bapak Sholeh, Rabu tanggal 1 September 2010 Pukul 11:00 WIB.

4

Wawancara pribadi dengan Bapak Mihar, warga Cikokol, Minggu 5 September 2010 Pukul 12:30 WIB.


(55)

kebiasaan positif lain, seperti membaca Surat Yasin dan Tahlil pada kamis malam.5

Para pengemis sangat memperhatikan pendidikan anak-anak dan keluarganya. Ibu Nisa pengemis asal Cirebon, memiliki 3 anak yang dibesarkan di Tangerang. Perhatiannya untuk pendidikan agama tergolong tinggi. Ia mendaftarkan anaknya untuk belajar mengaji di TPA (Taman Pendidikan Al-Qur’an) Ulumul Quran, yang berada tak jauh dari pemukiman itu. Dengan iuran Rp..7000, - perbulan. Peserta didiknya sangat beragam mulai dari SD sampai SMP. Ia menegaskan bahwa “walaupun kita miskin tapi pendidikan anak penting, agar mereka tidak seperti orang tuanya yang bodoh karena tidak sekolah”.6 Kehadiran sosok Kak Nunung sebagai pengajar tunggal di TPA itu, sangat membantu pendidikan, khususnya pendidikan agama di kawasan pemukiman pengemis. Pengajian Iqra untuk anak kecil dan Al-Quran untuk ibu-ibu menjadi sebuah pertanda kehidupan aktivitas beragama dan intensitas beribadah yang tidak bisa dipandang sebelah mata.7

Pekerjaan mengemis yang terlihat setiap hari di pinggir-pinggir jalan maupun dalam bentuk lain, rumah ke rumah pada dasarnya berangkat dari persoalan yang klasik yaitu ekonomi. Hal inilah yang mendasari orang menjadi peminta-minta atau pengemis.

5

Wawancara Pribadi dengan bapak Karno, Kamis tanggal 2 September 2001 Pukul 09:00 WIB.

6

Wawancara pribadi dengan ibu Nisa pada tanggal 5 September 2010.

7


(56)

1. Tingkat Pendidikan Pengemis

Pada umumnya para pengemis adalah orang-orang yang berpendidikan rendah yaitu hanya mengenyam bangku sekolah sampai SD bahkan banyak pula yang tidak lulus SD. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh bapak Adin (40 tahun) pengemis asal Subang. “Dulu saya tidak sekolah, karena orang tua saya tidak punya uang untuk biaya sekolah, gimana mau sekolah makan saja sulit, makanya sekarang menjadi pengemis”.8 Pernyataan serupa juga disampaikan oleh bapak Sholeh (31tahun),”waktu kecil orang tua saya tidak sanggup membayar biaya sekolah, kemudian saya disuruh mengamen di jalan”.9

Berikut ini adalah tabel data pendidikan para pengemis berdasarkan hasil survei yang penulis lakukan

Tabel 4.1

Data Pendidikan Terakhir Narasumber Pengemis

No Tingkat Pendidikan F %

1 SD 12 40

2 SLTP 10 33

3 SLTA 0 0

4 Tidak Sekolah 8 27

Jumlah 30 100

Sumber: Data Lapangan Tahun 2010

8

Wawancara pribadi dengan bapak Adin, Rabu 18 Agustus 2010 Pukul 16:00 WIB.

9


(57)

Dari tabel di atas terlihat jelas bahwa mayoritas pengemis hanyalah lulusan SD. Hal ini menunjukkan bahwa mengemis adalah sebuah pilihan untuk mereka bertahan hidup karena dengan pendidikan yang rendah dan keterbatasan keterampilan membuat mereka tersisihkan dari lapangan pekerjaan.

2. Status Pekerjaan Pengemis

Pekerjaan pengemis pada dasarnya berangkat dari persoalan yang sama yaitu tingkat ekonomi yang rendah dan keterbatasan lapangan pekerjaan. Hal ini menjadi persoalan utama masyarakat menjadi peminta-minta atau pengemis sehingga pekerjaan mengemis ini merupakan alternatif atau pilihan terakhir manakala tidak mendapat kesempatan bekerja baik di lembaga pemerintah ataupun perusahaan swasta. Karena di tengah desakan ekonomi pekerjaan mengemis atau meminta-minta merupakan alternatif untuk menghidupi keluarga sehari-hari.

Kesulitan ekonomi memaksa para pengemis mengambil profesi meminta-minta atau menjadi pengemis, walaupun sebagian orang menganggap bahwa mengemis merupakan pekerjaan yang hina tetapi mereka tetap mempertahankan profesi tersebut demi mempertahankan hidup. Berdasarkan status pekerjaan yang mereka tekuni ada dua jenis sistem mengemis. Pertama, pengemis yang bekerja secara individual, yaitu pengemis yang bekerja tanpa adanya bos dan rekan pengemisnya yang lain di derah ini ada sekitar 21 orang, dan yang kedua yaitu pengemis yang


(58)

bekerja secara kelompok, yaitu pengemis yang tinggal dan bekerja dengan seorang bos serta beberapa karyawan pengemis lainnya ada sekitar 9 orang.10

Pengemis yang bekerja secara individual memiliki rumah sendiri. Mereka tidak berkumpul dengan pengemis lainnya. Sedangkan pengemis yang bekerja secara kelompok bertempat tinggal di lapak seorang bos, yaitu dengan menyewa tanah pertahun Rp.. 1.000.000, - (satu juta rupiah) dibayar secara angsur.11 Di tanah tersebut dibuat bangunan semi permanen dari bambu-bambu dan beberapa kayu lainnya hingga menjadi rumah bilik untuk mereka tempati.

Berikut ini tabel data tempat tinggal para pengemis.

Tabel 4.2

Data Tempat Tinggal Narasumber Pengemis

No Tempat Tinggal f %

1 Rumah saudara 3 10

2 Rumah sendiri 11 33

3 Kontrakan 8 27

4 Lapak 9 30

Jumlah 30 100

Sumber: Data Lapangan Tahun 2010

Tabel di atas menyebutkan bahwa umumnya pengemis tinggal di rumah milik sendiri. Jika hal ini dikaitkan dengan sistem mengemis seperti

10

Wawancara pribadi dengan bapak Abdullah, kamis 21 Agustus 2010 Pukul 15:00 WIB.

11


(59)

yang sudah dipaparkan di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa mayoritas pengemis bekerja secara individual.

3. Usia Pengemis

Profesi pengemis dapat dijalankan oleh siapa saja mulai dari anak-anak sampai lanjut usia. Seperti Rahmat, seorang anak-anak laki-laki berusia 10 tahun bekerja sebagai pengemis. Setiap hari ia berdiri di tepi jalan dan menghampiri setiap mobil atau motor yang melintas.12 Lain halnya dengan mbok Tuti, seorang wanita berumur 61 tahun Setiap hari ia duduk di pinggir jalan untuk meminta uluran tangan orang yang melintas.13 Lihat tabel berikut:

Tabel 4.3

Data Usia Narasumber Pengemis

No Kelompok Usia f %

1 10 - 14 Tahun 2 7

2 15 - 19 Tahun 1 3

3 20 - 29 Tahun 5 17

4 30 - 44 Tahun 11 37

5 45 - 74 Tahun 9 30

6 75+ 2 7

Jumlah 30 100

Sumber: Data Lapangan Tahun 2010

Mayoritas pengemis berusia 35 tahun ke atas. Pada umumnya usia 35

12

Wawancara pribadi dengan Rahmat, Kamis 26 Agustus 2010 Pukul 08:00 WIB.

13


(60)

tahun atau lebih rata-rata sudah memiliki keluarga dan memiliki anak serta istri yang harus dinafkahi.

3. Identitas Kelamin

Pekerjaan mengemis tidak hanya dilakukan oleh laki-laki. Banyak juga wanita yang menggeluti pekerjaan tersebut. Himpitan ekonomi menjadi alasan mendasar bagi para wanita melakukan pekerjaan itu. Berikut ini adalah data identitas pengemis berdasarkan jenis kelamin.

Tabel 4.4

Identitas Kelamin Narasumber pengemis

No Identitas Kelamin f %

1 Laki-laki 20 67

2 Perempuan 10 33

Jumlah 30 100

Sumber: Data Lapangan Tahun 2010

Dari tabel di atas terlihat jelas bahwa perbandingan pengemis laki-laki dan perempuan adalah 2 : 1. Hal ini dikarenakan laki-laki memegang tanggungjawab yang lebih besar dalam keluarga yaitu sebagai pencari nafkah sedangkan perempuan yang menggeluti profesi mengemis dilandasi alasan untuk membantu suami.

4. Rentang Waktu Mengemis


(61)

singkat melainkan mingguan atau bulanan. Ada pengemis yang menjalaninya sampai hitungan tahunan sebagaimana diungkapkan oleh seorang pengemis yang bernama bapak Barco (50 tahun) mengatakan bahwa ia sudah 4 tahun menjalani profesi sebagai pengemis, ia tidak bisa bekerja lagi sejak tubuhnya terkena penyakit kusta dan tidak ada sanak saudara yang tinggal bersamanya dan membiayai hidupnya, sehingga ia memilih menjadi pengemis.14

Berikut ini adalah data mengenai rentang waktu menjadi pengemis. Tabel 4.5

Data Rentang Waktu Mengemis

No Rentang Waktu f %

1 Di atas 10 tahun 0 0

2 6 – 10 tahun 6 20

3 1 – 5 tahun 6 20

3 1 – 11 bulan 10 33

4 Kurang dari seminggu 8 27

Jumlah 30 100

Sumber: Data Lapangan Tahun 2010

Sebagaimana telah disebutkan dalam tabel di atas bahwa mayoritas pengemis sudah menjalani pekerjaan tersebut dalam jangka waktu di bawah 1 tahun, ada juga yang sudah menjalaninya di atas 5 tahun bahkan pekerjaan mengemis ini sudah dijadikan sebagai profesi untuk menghasilkan uang.

14


(62)

5. Pekerjaan Sebelum Menjadi Pengemis

Sebelum menjadi pengemis, para pengemis mempunyai pekerjaan lain dan ada pula yang belum bekerja. Pekerjaan sebelum menjadi pengemis sangat beraneka ragam yaitu pengamen, tukang becak, petani, pemulung dan ada juga yang pengangguran.

Rendi anak berusia 15 tahun sebelum menjadi pengemis ia bekerja sebagai pengamen. Ia mengamen dari angkot ke angkot atau ke rumah-rumah warga. Ia memilih berpindah profesi menjadi pengemis karena menjadi pengemen sering kali bersaing dengan pengamen dewasa yang lebih besar darinya dan sering kali ia “dipalak” atau dimintai uang sehingga ia takut.15 Berbeda dengan ibu Sumarni (53 tahun), sebelum bekerja sebagai pengemis ia adalah seorang pemulung. Ketika memasuki bulan Ramadhan ia mengganti profesi sebagai pengemis karena profesi ini dianggap lebih menguntungkan, tetapi setelah bulan Ramadhan usai ia kembali lagi bekerja sebagai pemulung.16 Di bawah ini tabel pekerjaan narasumber sebelum menjadi pengemis, sebagai berikut:

15

Wawancara dengan Rendi, Senin 30 Agustus 2010 Pukul 09:00 WIB.

16


(63)

Tabel 4.6

Data Pekerjaan Sebelum Menjadi Pengemis

No Jenis Pekerjaan f %

1 Pengamen 6 23

2 Tukang becak 5 17

3 Petani 8 27

4 Pemulung 4 13

5 Tukang parker 2 7

6 Belum bekerja 5 17

Jumlah 30 100

Sumber: Data Lapangan Tahun 2010

Berdasarkan tabel di atas, narasumber memberikan jawaban yang beragam. Hal ini menandakan bahwa pekerjaan yang mereka lakukan sebelum menjadi pengemis pun merupakan pekerjaan yang berpenghasilan sangat rendah.

6. Ajakan untuk Mengemis

Hubungan pengemis satu dengan yang lainnya terkadang masih ada ikatan keluarga sehingga dorongan untuk menjadi pengemis terkadang timbul karena ajakan keluarga. Hal ini sebagaimana yang dialami Dodi (15 tahun). Ia menjadi pengemis karena ajakan ibunya, ia menjelaskan bahwa:

”Saya menjadi pengemis diajak oleh ibu. Ibu saya juga pengemis. Kata ibu, dari pada saya tidak ada kegiatan lebih baik mengemis mendapatkan uang. Ibu juga mengajak adik saya yang lain. Hasil dari mengemis diberikan kepada ibu dan setengahnya dipakai untuk jajan”.17

17Wawancara pribadi dengan Dodi, Jum’at 27


(1)

78 Persada, 2006

Al-Qordhoi, Yusuf. Halal Haram Dalam Islam. Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2004.

---. Problema Kemiskinan Apa konsep Islam? Cet. II, Surabaya :PT Bina Ilmu Offset, 1982.

An-Nasai’, Sunan an-Nasai’, Bairut: Dar Ihya at-Thuros al-Arabi, tth

Darwin, Sudarman. menjadi peneliti kualitatif. Bandung: Cv pustaka setia, 2002.

Djokroamidjojo, Bintoro. Teori dan Stategi Pembangunan Nasional,cet.VI Jakarta: PT. Indayu Press, 1988.

Friedman, Lawrence M. System Hukum Perspektif Ilmu Sosial, Bandung: Nusa Media.2009.

http// www.jawapos.co.id/metropolis/indeks/php/acd,detail,5773 diakses pada tanggal 2 januarai 2009.

http//.www. pnddk/mskn /antaranew/ipcd.htm diambil pada tanggal 6 agustus 2010.

http//www.pengemis.com/17-ribu-pengemis-raup-rp-229-miliar-perbulan.htm diambil pada tanggal 6 agustus 2010.


(2)

Hutabarat, Sns.s .Masalah pertambahan penduduk, Bandung: Lembaga Penelitian Pendidikan Kependudukan Intitut Keguruan dan Pendidikan IKIP Bandung.

Iqbali, Santono. “Gelandangan-pengemis di Kecamatan Kubu Karang Asem,”. Artikel diakses pada 3 Agustus 2009 dari http//ejurnal.unud.ac.id/abstarak/naskah.pdf.

Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropolog. Jakarta, Aksara Baru, 1980. Koyano, Shogo. Pengkajian Tentang Urbanisasi di Asia Tenggara,

Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1996.

Marzali, Amri Antropologi dan Pembangunan Indonesia, Cet.II, Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2005

Masinabow,E.K.M. Hukum dan Kemajmukan Budaya, Sumbangan Karangan Untuk Menyambut Hari Ultah Tahun Ke-70 prof.T.O. I hromi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2000.

Media Cetak Koran Tempo Tanggal 26 September 2010

Muliadi Nur, Perilaku Hukum http://pojokhukum.blogspot.com

Nurjaya, Nyoman. Pengeloaan Sumber Daya Alam Dalam Perfektif Antropologi Hukum, Jakarta:Prestasi Pustaka Publiser, 2008

Partant, Pius A. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Arkola,1994.

Pasudi, Suparlan. Kemiskinan diperkotaan Studi Antropologi perkotaan,cet.III, Jakarta :Yayasan Obor Indonesia 1995.


(3)

Polhaupessy, Leornard F. Prilaku Manusia Pengantar Singkat Tentang Psikologi, Penerjemah Samsunuwijayati, dkk. Bandung: Reflika Aditama, 2006.

Poloma, Margaret M. Sosiologi Kontenporer, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000.

Pudjiwati, Sajogyo. Sosiologi Pedesaan. Jogjakarta : Gadjah Mada Universty Press ,2002.

Qorashi, Baqir Syarif. Keringat Buruh Hak dan Peran Bekerja dalam Islam, Jakarta: Al-Huda, 2007.

Ramayulis. Pengantar Psikologi Agama. Jakarta: PT. Kalam Mulia, 2002. Saebani, Beni Ahmad. Sosiologi Hukum, Bandung: Putaka Setia, 2007.

Sanusi, Ahmad. Agama ditengah Kemiskinan Refleksi atas Pandangan Islam dan Kristen dalam Perfektif Kerjasama antar Umat Seragama. Jakarta : Logos, 1999.

Sasono, Adi. Masalah Kemiskinan dan Fatalisme, dalam sri Edi Swasono, ed, Sekitar Kemiskinan dan Keadilan : Dari Cendiawan Kita Tentang Islam. Jakarta : Ui Press, 1987.

Soekanto, Soerjono. Hukum Adat Indonesia, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2003.

Soeradji, Budi. “Fenomene Kemiskinan di Indonesis Pasca Pjpti” Dalam Hady Prawoto, ed.,Seminar sehari Pengetasan Kemiskinan dan


(4)

Kesenjangan Pemerataan Hasil Pembangunan, 24 juli 1993 Jakarta :Universitas Prof. Dr. Moestopo Beragama.

Sudjangi, Pengkajian Model Pendekatan Agama Dalam Pengetasan Kemiskinan Melalui Jalur Agama, Dalam Nurhayati Djamas ed. Model Pengentasan Kemiskinan Melalui Jalur Agama. Jakarta: Departemen Agama RI, 1997.

Sukanto, Surjono. Mengenal Tujuh Tokoh Sosiologi, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000.

Sumardi, Mulyanto Kemiskinan dan Kebutuhan Pokok, cet,II Jakarta:CV. Rajawali, 1982

Syarif, “ Pengemis dalam Perfektifs Al-Hadist (Analisis Kritis Hadis-hadist Haq al-sail Dala Kitab Sunsan Abi Daud),” (Skripsi S1 Fakultas Usulludin , Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005. Warson, Ahmad. Al-munawwir :Kamus Arab Indonesia. Surabaya: Pustaka

Progresif, 1970

Wawancara dengan Bapak Oding, 16 agustus 2010 pukul 15:00 WIB

Wawancara dengan Bapak Barco, saptu 3 september 2010 pukul 10:10 WIB Wawancara dengan Bapak Adin, rabu 18 agustus 2010 pukul 16:00 WIB Wawancara dengan Bapak Karno, Senin 5september 2010 Pukul 12:30 WIB Wawancara dengan Bapak Mihar, 28 agustus 2010 pukul 10:00 WIB

Wawancara dengan Ibu Aminah, jum’at 20 agustus 2010 pukul 17:00 WIB Wawancara dengan mbo Tuti, kamis 26 agustus 2010 pukul 09:00 WIB


(5)

Wawancara dengan Rahmat, kamis 26 agustus 2010 pukul 08:00 WIB Wawancara dengan ibu Armia, minggu 29 agustus 2010 pukul 16:00 WIB Wawancara dengan ibu Sumarni, senin agustus 2010 pukul 09:20 WIB Wawancara dengan Karno, minggu 5 september 2010 pukul 12:00 WIB Wawancara dengan Bapak Abdullah,kamis 21 agustus 2010 pukul 15:00 WIB Wawancara dengan Bapak Amin ,rabu 25 agustus 2010 pukul 09:20 WIB Wawancara dengan Bapak Bejo sabtu 28 agustus 2010 pukul 10:00 WIB Wawancara dengan Bapak Damacon rabu 11 agustus 2010 pukul 08:00 WIB Wawancara dengan Bapak Gino, minggu 22 agustus 2010 pukul 15.00 WIB Wawancara dengan Bapak Hamdani,selasa 12 oktober 2010 pukul 15.00 WIB Wawancara dengan Bapak Karno, Senin 5 September 2010 Pukul 12:30 WIB Wawancara dengan Bapak Karno, Senin 5september 2010 Pukul 12:30 WIB Wawancara dengan Bapak Mail, senin 30 agustus 2010 pukul 11:00 WIB Wawancara dengan Bapak Mihar, minggu 5 september 2010 pukul12.30 WIB Wawancara dengan Bapak Sholeh, Rabu 1 september 2010 pukul 11.00 WIB Wawancara dengan Bapak Simpen, rabu 1 september 2010 pukul 10.00 WIB Wawancara dengan Bapak Tarno kamis, 26 agustus 2010 pukul 09: 20 WIB Wawancara dengan Bapak Tomo, senin 30 agustus 2010 pukul 09:00 WIB Wawancara dengan dengan Rendi, senin 30 agustus 2010 pukul 09:00 WIB Wawancara dengan Ibu Aminah selasa, 24 agustus 2010 pukul 15:30 WIB Wawancara dengan ibu nisa, Sabtu, 5 september 2010 pukul 10.00 WIB Wawancara dengan ibu Sumiati, saptu 28 agustus 2010 pukul 15:00 WIB


(6)

Wawancara dengan ibu Wati senin, 23 agustus 2010 pukul 10:00 WIB Wawancara dengan mbo Kana, minggu 22 agustus 2010 pukul 10:25 WIB Wawncara dengan Dodi, jum’at 27 agustus 2010 pukul 09:00 WIB

Yafie, Ali. Nuansa Fiqih SoSial. Bandung :Mizan, 1995.

---.Islam dan Problema Kemiskinan. Jakarta : Pesantren P3M, 1986. Yaqub, Haman .etos kerja islam petunjuk pekerjaan yang halal dan haram

dalam syariat islam, Jakarta: cv pedoman ilmu jaya, 1992.

Yuwono, Sutopo. Kebijaksanaan Pekerjaan dan Masalah Angkatan kerja serta Pengaruhnya bagi Pelakssanaan Pembangunan, Jakarta: PT. Lembaga Sarana Informatika, 1985.


Dokumen yang terkait

Ta`lim Al-Mufradat Bi Al-Al`ab (Al-Bithaqah) Lada Talamidz Madrasah Nur Ash-Shalihat Al-Ibtidaiyyah Al-Islamiyyah Serpong Tangerang

0 4 124

Isti'mal La'b Tarkib Al-kalimat stirred words fii ta'lim qawaid al-lughah al-arabiyyah lada talamidz ash-shof ats-tsani Mts. Pembangunan

0 11 74

Aisar kholfiyat attalamidz at tarbawiyah fu ddawaafiihim fit taa'aalum al lughoh al arobiyah fii madrasati daarul maarif al mutawasithoh al islamiyah jakarta

0 10 54

faa'liyah istikhdam thoriqoh al-istijabah al-jasadiyah al-kaamilah fii ta"lim al-qiro"ah lada talamidz as-shaf as-saadis "A" min madrosah soebono mantofani tangerang

1 29 119

Ta'lim al-istima' bi ath-thoriqoh as-sam'iyah asy-syafawiyah lada talamidz as-shofi ats-tsamin bi madrosah attaqwa al-mutawasithoh al-islamiyah 12 bekasi

0 13 78

Atsar istikhdam thariqah al-Qiraah al-mutakarrirah fȋ mahȃrah al-Kitȃbah Ladȃ Talȃmidz aș-Șaff as-Sȃdis bi Madrasah al-Husna al-Ibtidȃiyah al-Islȃmiyyah Lebak Bulus Jȃkarta al-Janȗbiyyah

0 6 67

ISTIKHDAM AL-ALA'B AL-LUGHAWIYAH FI TA'LIM AL-MUFRADAT LADA TALAMIDZ MADRASAH "HARAPAN IBU" AL-MUTAWASITHAH JAKARTA

0 3 100

Faaliyah istikhdaam wasiilah mondly fii ta`liimil lughoh al-arabiyah li tarqiyyati mahaaratil istima` lada thullabis shof as-samin fii Madrosti Muhammadiyati Al-khomisati Al-mutawassitoti Surabaya.

1 4 87

Faaliyah istikhdaam wasaail al ta'liim Learnbox fitarqiyah kafaati mufradaat li thullab al fashl as sabi` bi Madrasah al Mutawasithoh Taswirul Afkar Surabaya.

0 1 84

FA'ALIYAH ISTIKHDAM LU'BAH JEOPARDY LI TARQIYAH MAHARAH KALAM LADA AT TULAB FII AL FASHLI AS TSAMIN BI MADRASAH KESAMBEN AL MUTHAWASITHAH AL KHUKUMIYAH JOMBANG.

0 0 85