Tabel 4.15
Pengalaman Tertangkap Saat Razia
No Alternatif Jawaban
F
1 Pernah
6 20
2 Tidak pernah
24 80
Jumlah 30
100
Sumber: Data Lapangan Tahun 2010 Pengalaman tertangkap petugas dan dikarantina tidak menjadi
ukuran untuk tidak kembali mengemis. Para pengemis tetap mengemis seakan tidak takut tertangkap kembali.
B. Faktor-Faktor yang Melatar belakangi Budaya Mengemis pada Komunitas
Pengemis
Faktor-faktor yang melatar belakangi budaya mengemis sebagai berikut: 1. Tidak memerlukan modal: faktor yang melatar belakangi berpindah profesi
atau mobilitas sosial pekerja pengemis yaitu tidak memerlukan modal, hanya membutuhkan gelas bekas atau mangkok bekas sebagai alat untuk meletakan
uang pemberian orang. Hal ini diungkapkan oleh mbo Kana 52 tahun sebagai berikut:
”Pekerjaan ini mudah tidak perlu modal uang atau modal lainya. Saya cukup memakai gelas bekas peralatan rumah yang sudah
bocor dan memang tidak terpakai lagi. Kadang saya juga menggunakan gelas bekas minuman mineral yang diambil dari
pembuangan sampah
”.
26
26
Wawancara pribadi dengan mbo Kana, Minggu 22 Agustus 2010 Pukul 10:25 WIB.
2. Mudah dan tidak memerlukan keterampilan. Siapa saja bisa melakukan pekerjaan mengemis, hanya dengan menadahkan tangan kepada setiap orang
melintas di jalan. Ibu Aminah 35 tahun mengungkapkan “saya tidak pernah
sekolah dan tidak mempunyai kemampuan dalam bidang apapun, makanya pekerjaan ini menjadi pilihan karena tidak sulit
”.
27
Pekerjaan ini kadang harus menampilkan wajah kesedihan agar orang lain iba dan kemudian memberi
uang. 3. Karena tidak ada pekerjaan lain. Pekerjaan pengemis adalah pekerjaan
alternatif terakhir karena tidak ada pekerjaan lainnya. “Lowongan pekerjaan
untuk menjadi pengemis terbuka kapan pun bagi seseorang yang menginginkanya, tanpa ada syarat yang mutlak layaknya melamar di
perusahaan yang memerlukan syarat yang sangat rumit dan tes yang merumitkan
”.
28
4. Tidak ada yang mengatur. Bebas terkendali mungkin itulah motto yang relevan bagi komunitas pengemis. Pergi dan pulang kerja jam berapa pun
mereka sendiri yang mengatur. “Pekerjaan mereka tidak diatur oleh suara
bunyi bel yang mengatur mereka masuk, istirahat dan keluar dari pekerjaan
”.
29
5. Penghasilan menarik. Pendapatan mengemis tidak berjauh berbeda dengan mereka yang bekerja di pabrik-pabrik dalam hitungan hari. Perbedaannya
27
Wawancara pribadi dengan Ibu Aminah, Selasa, 24 Agustus 2010, Pukul 15:30 WIB.
28
Wawancara pribadi dengan bapak Tarno, Kamis, 26 Agustus 2010, Pukul 09: 20 WIB.
29
Wawancara dengan bapak Mail, Senin, 30 Agustus 2010, Pukul 11:00 WIB.
mereka yang bekerja di pabrik-pabrik pekerjaannya lebih berat dan memerlukan tenaga yang banyak seperti yang disampaikan oleh bapak Bejo
29 tahun “dari pada narik becak dah capek kadang penumpang tidak
memberi tarif yang sesuai, sedang pengemis hanya duduk di tepi jalan sudah dapat uang
”.
30
Pern yataan serupa juga disampaikan oleh ibu Wati” 36 tahun
pekerjaan ini lumayan hasilnya daripada nyuci di komplek dengan gaji 200.000 rupiah per bulan belum lagi terkena marah karena mencucinya tidak
bersih ”.
31
Pengemis tidak memerlukan tenaga yang kuat karena hanya duduk
santai menunggu keibaan orang lain. C.
Profesi Mengemis dalam kajian Antropologi Hukum dan Hukum Islam
Sebagaimana telah dijelaskan dalam sub bab sebelumnya bahwa mengemis sudah menjadi profesi bagi sebagian masyarakat Cikokol pribumi
maupun pendatang. Namun, sebagian besar pengemis yang ada di Cikokol adalah masyarakat pendatang dari luar daerah seperti dari Cirebon, Lampung,
Palembang, Indramayu, dll. Kesulitan ekonomi yang mereka alami di daerah asal, membuat mereka
berbondong-bondong merantau ke kota-kota besar khususnya ke daerah JABODETABEK. Fenomena ini dapat ditemukan setiap hari raya besar umat
Islam yaitu Idul Fitri. Sudah menjadi kebiasaan masyarakat Indonesia, setiap
30
Wawancara pribadi dengan bapak Bejo, Sabtu, 28 Agustus 2010, Pukul 10:00 WIB.
31
Wawancara pribadi dengan ibu Wati, Senin, 23 Agustus 2010, Pukul 10:00 WIB.
menjelang hari raya Idul Fitri ada rutinitas mudik. Acara mudik atau lebih dikenal dengan istilah pulang kampung dijadikan suatu moment untuk mengajak
saudara yang lainnya bekerja di kota dengan iming-iming merantau ke kota akan dapat merubah nasib hidup. Harapan dan keinginan yang kuat untuk
memperbaiki taraf hidup membuat mereka berani untuk merantau ke Jakarta walaupun belum tahu apa yang akan mereka lakukan dan dimana mereka akan
bekerja. Harapan dan keinginan para urban untuk memperbaiki hidup di kota
ternyata tidaklah semudah dengan apa yang mereka bayangkan sebelumnya. Tanpa adanya skill khusus dan jaringan relasi yang kuat membuat mereka
tersisihkan dari dunia pekerjaan sedangkan untuk kembali ke kampung asal tentunya akan membuat mereka malu.
Menjadi pengemis bukanlah pilihan yang diharapkan. Namun, demi menyambung hidup di kota dengan biaya hidup yang lebih mahal dari kampung,
membuat mereka rela untuk melakoni hidup sebagai pengemis. Perasaan malu dan hina tentunya mereka alami. Berbagai cibiran, cacian, dan hinaan mereka
dapatkan juga. Namun, itu semua tidak menghalangi hasrat mereka untuk menadahkan tangan menunggu belas kasih orang lain bahkan ada beberapa
oknum yang memanfaatkan kegiatan mengemis sebagai sarana untuk meraup keuntungan. Sebagaimana diungkapkan oleh bapak Marno 45:
“Saya udah cape jadi buruh. Kerjaannya berat tapi gajinya kecil. Akhirnya saya mencoba jadi pengemis. Setelah saya
jalanin, ternyata mengemis itu menguntungkan. Kerjaannya cuman duduk sambil menadahkan tangan tapi dapat uangnya
lumayan juga. Apalagi kalau pas hari besar separti idul fitri dan idul adha
”.
32
Budaya hukum berasal dari budaya perasaan yaitu persaan malu, perasaan terhormat, perasaan wajar dan tidak wajar. Nilai-nilai adalah tanda
tanda tingkah laku seseorang dalam bertindak yang di sebut norma. Rasa malu mengatur tingkah laku seseorang dalam berperilaku. Kebiasaan-kebiasan tidak
baik ketika melembaga itu diangap suatu yang wajar. Rasa malu atau nilai-nilai yang lahir dari hati manusia yang seharusnya
menjadi sebuah kontrol, semakin lama semakin menipis. Hal ini dapat menjadi salah satu penyebab timbulnya krisis moral pada umat manusia. Hukum yang ada
tak berarti lagi karena menurut mereka hukum bukan harga mati. Budaya mengemis ini lahir karena hilangnya budaya malu pada diri pengemis.
Agama Islam sangat menjunjung tinggi akhlak. Oleh karena itu nabi Muhammad diutus ke muka bumi ini untuk menyempurnakan akhlak manusia.
Karena dengan akhlak mulia manusia menjadi terhormat. Salah satu contoh akhlak mulia adalah selalu menjadi tangan yang di atas, sebagaimana sabda nabi
Muhammad, “tangan di atas lebih baik dari tangan yang di bawah” H.R. Bukhori. Hadist nabi tersebut seharusnya dijadikan pedoman untuk selalu
berusaha menjadi manusia yang senantiasa memberi.
32
Wawancara pribadi dengan bapak Marno, Sabtu, 25 Agustus 2010, pukul 10:00 WIB.
Namun, norma agama tersebut tidaklah diindahkan oleh komunitas pengemis. Mereka tetap menikmati pekerjaannya tersebut. Di sini lain, hadist di
atas bisa menjadi magnet bagi masyarakat lainnya yang mempunyai kelebihan harta. Pahala dan surga yang dijanjikan agama bagi mereka yang saling
mengasihi dan memberi serta yang memperbanyak shadaqah membuat para dermawan selalu mengulurkan tangan pada pengemis yang menadahkan tangan.
Hal ini, tentunya dapat menjadi keuntungan tersendiri bagi para pengemis. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa penghasilan
pengemis yang rata-rata di atas Rp. 20.000,-hari sudah dapat untuk memenuhi kehidupan mereka sehari-hari sehingga menjadikan mereka malas bekerja dan
menggantungkan hidup mereka dari belas kasih orang lain. Melihat fenomena di atas penulis ingin mempersinggung dengan kaidah
hukum islam yang di sebut dengan al’adatu muhakamat kebiasaan atau tradisi
bisa menjadi hukum yang mana kaedah-kaedah itu terbangun kuat diatas ayat- ayat al-quran dan hadist.
Islam adalah agama dan cara hidup berdasarkan syari‟at Allah yang terkandung dalam kitab Al-Quran dan Sunnah Rasulullah SAW. Setiap orang
yang mengintegrasikan dirinya kepada Islam wajib membentuk seluruh hidup dan kehidupannya berdasarkan syari‟at yang termaktub dalam Al-Qur‟an dan
As-Sunnah. Hal tersebut sebagaimana diungkap oleh Yusuf Qardhawi, syari‟at Ilahi yang tertuang dalam Al-Qur‟an dan Sunnah merupakan dua pilar kekuatan
masyarakat Islam dan agama Islam merupakan suatu cara hidup dan tata sosial yang memiliki hubungan integral, utuh menyeluruh dengan kehidupan idealnya
Islam ini tergambar dalam dinamika hukum Islam yang merupakan suatu hukum yang serba mencakup.
33
Dalam Islam ada istilah maqasid syariah, yang bermaksud dan bertujuan pensyariatan dalam islam. Untuk memperoleh gambaran yang utuh tentang
peringkat maqasid syariah ada lima pokok yakni, agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta, yang berdasarkan pada tingkat kepentingan atau kebutuhan masing-
masing, yaitu: Memelihara agama, bagi sebagian dari kalangan pengemis agama tidak
terlalu diperhatikan, karena mereka hanya melihat kepada kehidupan duniawinya semata. Padahal agama mengajarkan hal-hal yang baik dan tidak pernah
mempersulit hambanya. Lalu memelihara jiwa hifz an-Nafs seperti pensyariatan kewajiban memenuhi kebutuhan pokok hidup berupa makanan
untuk mempertahankan hidup. Bagi pengemis yang mungkin pekerjaannya itu adalah suatu propesi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya maka hal itu
dibolehkan, karena bila kebutuhan itu diabaikan akan berakibat terancamnya eksistensi bagi jiwa si pengemis. Memelihara akal Hifz al-
„Aql, seperti dianjurkannya menuntut ilmu pengetahuan, apabila aktifitas ini dilakukan oleh
setiap manusia maka tidak akan merusak akal, namun sebaliknya jika hal ini
33
Yusuf Qardhawi, Malamih Al-Mujtama Al-Muslim Alladzi Nansyuduhu Maktabah: Wahbah, Kairo, 1993h, 151.
diabaikan maka akan merusak dan mempersulit pola pikir mereka. Seperti halnya bagi pengemis yang meminta-minta hanya untuk kebutuhan hidupnya tanpa ingin
melakukan hal positif atau hal yang lebih bermanfaat lagi ini sangat merusak pola bagaimana mereka memahami hidup itu, padahal banyak kegiatan yang
membuat mereka manfaat dari pada mengemis tersebut. Memelihara keturunan Hifz al-Nasl, hal ini sangat penting sekali dalam Islam karena keturunan akan
membawa nama baik martabat. Dari sebagian para pengemis kebanyak melahirkan keturunan-keturan yang nantinya mereka akan mengikuti orang
taunya yang sebelumnya menjadi pengemis. Ini yang akan menyebabkan turunya moral bagi aga Islam jika keturunan mereka tidak dijaga dengan baik.
D. Penegakan Hukum Yang Mengatur kegiatan Mengemis