Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Film Al-Kautsar dibuat ditengah kondisi perfilman Indonesia yang bertemakan Islam masih sedikit. Sejarah film Indonesia mencatat produksi film- film bertemakan Islam masih dalam kategori minus. Film-film Indonesia masih di dominasi oleh film-film yang bertemakan cinta, remaja, komedi, dan horor. 1 Ini dapat dilihat dari jumlah produksi film Indonesia yang masih didominasi oleh genre tersebut. Perilaku dan pola seperti itu bukanlah tanpa sebab, karena pada dasarnya ini merupakan sebuah tradisi yang diwariskan secara terus menerus oleh para pembuat film, baik produser, sutradara, dan 1 Data mengenai tema-tema tersebut dapat dilihat selengkapnya di buku Katalog Film Indonesia 1926-2005, karangan JB Kristanto yang diterbitkan secara bersama oleh Penerbit Nalar, FFTV-IKJ dan Sinematek Indonesia dan juga ulasan JB. Kristanto dalam resensinya yang dimuat di JB. Kristanto, Nonton Film Nonton Indonesia. Jakarta: Penerbit KOMPAS, 2004. Hal 58. Dalam resensinya JB. Kristanto menuliskan film Al-Kautsar merupakan sebuah film bernafaskan Islam, sebuah film yang boleh dikatakan amat langka, dan bagi produsernya sebuah langkah baru yang cukup berani karena tindakannya ini boleh dibilang agak melawan arus produksi film yang dibanjiri dengan jenis film banyolan, cinta remaja, dan sebagainya. Disamping itu menurutnya, film ini sempat menyuguhkan suatu suasana masyarakat yang selama ini tak terjamah dalam film-film kita, yaitu kehidupan desa yang bernafaskan Islam, yang merupakan bagian penting kehidupan kita. Tema-tema tersebut dikategorikan sebagai Dosa Asal terminologi Dosa Asal penulis pungut dari esai Wicaksono Adi, Dosa Asal Film Indonesia—esai tersebut menurut hemat penulis belum sepenuhnya membedah secara anatomis dan genealogis yang dimaksud dosa asal film Indonesia, film Indonesia di mana pada masa penjajahan kolonial Belanda, film-film di tanah air ditujukan sebagai komoditas barang dagangan yang berorientasi pada akumulasi modal dan ketika itu belum ada kesadaran untuk menjadikan film sebagai ekspresi kebudayaan dan medium perjuangan. Kesadaran mulai tampak tatkala di masa pendudukan Jepang, film dapat dijadikan medium propaganda dan disitulah beberapa seniman mulai menyadari film sebagai alat perjuangan. Usmar Ismail dalam artikelnya, “ Sari Soal dalam Film-film Indonesia”, yang dimuat Star News, Th. III, No.5, 25 September 1954,yang kembali dimuat di Usmar Ismail Mengupas Film, Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1983 Hal. 55-56, mengatakan dengan jelas bahwa hawa baru yang sebenarnya, baik mengenai isi maupun mengenai proses pembuatan film, datang pada waktu pendudukan Jepang. Meskipun Pemerintah Jepang tidak membawa kemari ahli-ahlinya yang kelas satu, efek dari turut campur tangannya ialah terciptanya pengertian tentang fungsi film yang kemudian akan ternyata berguna sekali bagi usaha-usaha membangunkan film nasional di masa kemerdekaan. Barulah pada masa Jepang orang sadari akan fungsi film sebagai alat komunikasi sosial. Satu hal lagi yang patut dicatat ialah lebih terjaganya bahasa, hingga dalam hal ini tampak bahwa film mulai tumbuh dan mendekatkan diri kepada kesadaran perasaan kebangsaan. distributor film termasuk pihak bioskop. Peta sosiologis penonton film Indonesia pada sebelum kemerdekaan ialah mereka yang bertaraf pendidikan rendah dan biasanya berprofesi sebagai kuli atau orang-orang kelas bawah. Oleh karena itu, mayoritas penonton film Indonesia diperkirakan adalah orang-orang kelas bawah, maka film-film Indonesia yang dibuat oleh produser-produser ini pun adalah film-film bermutu rendah. Yang penting disini bukan lagi kualitas, tapi kuantitas. Pembicaraan selalu berkisar di sekitar jumlah judul pertahun yang bisa dihasilkan tanpa pernah bersibuk dengan mutu di balik judul-judul tersebut. 2 Karena film dianggap semata-mata barang dagangan, maka yang menentukan dalam proses produksi adalah si pemilik modal. Sutradara—yang sebagai pencipta mestinya harus menentukan—di sini harus tunduk saja pada perintah yang punya uang. 3 Misbach Yusa Biran dalam bukunya, Sejarah Film 1900-1950;Bikin Film di Jawa menyebutkan bahwa pada akhir 1930-an, dunia film sepenuhnya dikuasai oleh anak wayang, bahkan sampai akhir 1950-an pemain yang berasal dari kalangan bawah yang kebanyakan tidak bisa baca tulis. Mereka mempunyai alasan untuk memasuki profesi ini, seperti ada yang terpikat karena nonton, terpikat oleh Anak Wayang, diajak teman, dibawa keluarga dan sebagainya. Generasi berikut banyak yang merupakan keluarga dari Anak Wayang sendiri karena dari kecil sudah ikut keliling dengan orangtuanya. Mereka ikut tampil sesudah dewasa. Contohnya adalah Roekiah, pemain film paling populer tahun 1938-1942 dan Kasma Booty, bintang film Malaya paling 2 Salim Said dalam Profil Dunia Film Indonesia, Jakarta: Penerbit Grafiti Press. 1982. Hal 10-11. 3 Salim Said dalam Profil Dunia Film Indonesia, Jakarta: Penerbit Grafiti Press. 1982. Hal 12 populer di Malaya dan Indonesia awal tahun 1950-an. 4 Mereka hidup tertutup disana. Mereka tidak boleh bergaul dengan orang luar. Hal ini dilakukan agar jangan menghilangkan kharisma mereka, bahkan kalau sang sri panggungprimadona pindah dari kendaraan masuk ke wilayah panggung, kepalanya ditutup kain agar tidak dilihat masyarakat. Mereka tidak bersentuhan dengan apa yang terjadi di luar dan tidak baca Koran karena tidak bisa baca. 5 Watak inilah yang sangat mempengaruhi film Indonesia saat itu, dengan tingkat literasi yang rendah baik oleh para pemainnya maupun penontonnya yang umumnya kalangan pribumi yang sebagian besar tidak terdidik. Kalangan penonton pribumi kala itu dikenal dengan sebutan slam. Yang dimaksud dengan kata “slam” di atas adalah Pribumi, yang umumnya beragama Islam. Untuk penonton pribumi, sejak 1903 diberikan keringanan agar bisa ikut penonton. Maklum tingkat ekonomi Pribumi umumnya amat rendah. 6 Oleh karena itu, menurut Adi Wicaksono film seolah berada di luar hiruk pikuk pemikiran politik kebudayaan pada masanya dan dibuat semata-mata sebagai hiburan, kelangenan, pelipur lara. 7 Maka, film sebagai seni bazaar, yang dimunculkan dalam konteks masyarakat kolonial yang majemuk, tidak dapat berperan sebagai alat integratif budaya. Dalam masyarakat bazaar orang membeli hiburan yang sesuai dengan kemampuan ekonomi dan status sosialnya. 8 Kini, film Indonesia pun masih mewariskan kultur dan watak dari periode awal perfilman nasional. Faktor genealogis inilah yang masih 4 Misbcah Yusa Biran Sejarah Film 1900-1950;Bikin Film di Jawa, Jakarta: Penerbit Komunitas Bambu, 2009. Hal 9 5 Misbcah Yusa Biran Sejarah Film … Hal 10 6 Misbcah Yusa Biran Sejarah Film … Hal 30 7 Adi Wicaksono , Dosa Asal Film Indonesia http:www.kompas.comkompascetak070302Bentara3344569.htm 8 Taufik Abdullah, dkk. Film Indonesia Bagian I; 1900-1950. Jakarta: Dewan Film Nasional, 1993. Hal 13 mempengaruhi perfilman nasional saat ini walaupun secara tidak langsung generasi pembuat film dewasa ini tidak mempunyai hubungan langsung dengan generasi awal namun dilihat dari sifatnya tak dapat dielakkan lagi. Menurut Adi Wicaksono dalam esainya Dosa Asal Film Indonesia, ia menyatakan bahwa apa yang menjadi momok bagi perfilman nasional ialah film Indonesia tumbuh sebagai barang dagangan, film Indonesia hingga kini belum berhasil membangun arah dan fondasi industri yang stabil. Fakta bahwa film adalah benda hiburan oleh sebagian orang disebut sebagai dosa asal film Indonesia. Barangkali istilah watak sejarah lebih tepat ketimbang dosa asal yang mengacu pada cacat bawaan yang tak dapat diubah. Yang jelas, film adalah produk budaya sekaligus produk industri. 9 Menurut Usmar Ismail 1983, film sebagai alat komunikasi masa dewasa ini telah dipakai untuk berbagai tujuan. Bagi mereka yang melihat film itu sebagai media seni an-sich, sebagai media seni tok dan menterapkan “seni untuk seni”, film hanyalah suatu media untuk menyatakan pikiran, perasaan, isi hati, kadang-kadang nafsu mereka pribadi dengan tidak memperdulikan norma, nila-nilai selain daripada ukuran-ukuran mereka sendiri sebagai seniman. 10 Usmar Ismail juga mengkritik pemahaman film-film yang dibuat berdasarkan segi komersil belaka, menurutnya film sifatnya tidak lagi memberikan sekedar hiburan saja, tetapi dengan sengaja merangsang dan menghidupkan gairah nafsu yang rendah, dan membangkitkan histeri manusia. Di bidang sinematografi, ekses-ekses komersialisme ini menampakkan diri dalam film-film sensasional, film-film seks, kejahatan, kekerasan dan 9 Adi Wicaksono, Dosa Asal Film Indonesia, http:www2.kompas.comkompascetak070302Bentara3344569.htm 10 Usmar Ismail, Usmar Ismail Mengupas Film. Cet. I. Bandung: Penerbit Sinar Harapan. 1983. Hal 98 kekejaman, pendeknya yang dapat membangkitkan bulu tengkuk. Adapun mengenai persoalan ini perlu diadakan penelitian secara saksama, karena pada umumnya film-film yang dibikin, dimana pun di dunia dewasa ini tidak bisa dilepaskan sama sekali dari perhitungan untung rugi. Baik di Negara-negara sosialis di mana Negara yang menjadi produsernya ataupun Negara-negara kapitalis di mana swasta yang menjadi pengusahanya, maupun di negara-negara Pancasila seperti Indonesia, umumnya film-film dibuat dengan pengharapan untuk pasaran yang seluas-luasnya. Hanyalah dalam pertimbangan masing- masing produser itu ada perbedaan yang bertingkat-tingkat. 11 Usmar Ismail dalam tulisannya, ia mengatakan bahwa bagi sineas-sineas Muslim Indonesia, yang harus diutamakan adalah juga patriot bangsa, adalah menjadi kewajiban untuk menjadikan film media perjuangan dan media dakwah Islamiyah. Ditilik dari sudut ideologi, pekerjaan itu bukanlah merupakan suatu problem yang sukar, justru karena filsafat negara dan bangsa Indonesia sudah dicakup oleh ajaran-ajaran Islam. Dengan demikian tiap pengungkapan ayat Allah serta kata perbuatan Rasulullah Saw, secara sinematografis dengan sendirinya juga akan turut membina jiwa Pancasila yang berpucukkan takwa kepada Allah SWT. Dan selanjutnya pengungkapan-pengungkapan ajaran Bung Karno, yang sudah disimpulkan beliau dalam ajimat revolusi yang semuanya adalah juga diajarkan Islam, bagi para seniman Muslimin dalam pemikiran- pemikiran menghadapi kewajiban di atas dunia yang fana ini, untuk mendapatkan kerelaan Allah SWT kelak di alam baka. Karena memang Allah menciptakan dunia untuk manusia dan manusia untuk akhirat. 12 11 Usmar Ismail, Usmar Ismail Mengupas Film. Cet. I Bandung: Penerbit Sinar Harapan. 1983. Hal 98-9 12 Usmar Ismail, Usmar Ismail … Hal 99 Usmar Ismail dalam tulisannya mengatakan bahwa jika penulis-penulis Muslimin sudah sadar dan menghayati sumber-sumber ilham yang terdapat dalam ayat-ayat Allah serta hadis-hadis sahih Nabi Besar Muhammad SAW dan mereka telah menguasai pula teknik penulisan skenario, maka insya Allah pada suatu ketika kita pun akan dapat membanggakan film-film yang benar-benar diabdikan di atas jalan Allah. Ini berarti bahwa kita tidak boleh membuat film- film, apalagi yang komersial tujuannya seperti film-film keagamaan: “The Ten Commandements” atau “King of Kings”. Tetapi jika seniman Muslimin di dalam karya-karyanya berdasarkan atas ajaran-ajaran agamanya membela kepentingan-kepentingan kaum kecil, kaum yang tertindas, kaum Marhaen dan segala sesuatu yang dilakukannya “karena Allah semata-mata”, maka itu adalah fardhu kifayah baginya. Artinya, itu adalah suruhan Allah yang mesti dikerjakannya, “mendorong kepada kebajikan dan mencegah kejahatan”. 13 Dalam pada itu, Usmar Ismail menambahkan bahwa membuat film untuk maksud komersial semata-mata, seperti yang telah dikemukan di atas dengan panjang lebar, teranglah tidak sesuai dengan ajaran Islam. Maka hanyalah tinggal lagi satu jalan bagi para sineas Muslimin, yaitu mengabdikan karya-karya mereka di atas jalan yang telah diredlai Allah yang pada hakikatnya jalan ini cukup lebar, luas dan lapang untuk bergerak. Justru karena sumber- sumber ilham adalah langsung dari wahyu Ilahi seperti yang telah dimaktubkan di dalam kitab suci Alquran dan seperti yang telah diteladankan oleh Nabi Besar Muhammad SAW. 14 13 Usmar Ismail, Usmar Ismail… Hal 100 14 Usmar Ismail, Usmar Ismail … Hal 101. Adalah film besutan Asrul Sani yang berjudul Titian Serabut Di Belah Tujuh 15 yang di produksi pada tahun 1959 disebut-sebut sebagai tonggak kelahiran film bergenrekan agama, film ini mengisahkan seorang guru agama yang bernama Efendi yang diutus ke sebuah desa yang penduduknya sudah kehilangan panutan dan film ini memperlihatkan kondisi sosial keagamaan di Tanah Air. Apabila kita pehatikan dengan seksama poduksi film Indonesia setelah pasca kemerdekaan memiliki karakteristik yang sangat jauh berbeda di bandingkan sebelum kemerdekaan. Pembuatan film Indonesia sudah dimulai sejak tahun 1926, semasa Indonesia masih dijajah Belanda. Tujuan pembuatan film di masa itu jauh lebih sederhana, yaitu untuk kepentingan dagang. Para pembuat film di masa itu bukanlah orang-orang yang memiliki latar belakang budaya dan politik yang ingin menjadikan film sebagai salah satu bentuk budaya bangsa. Seorang pakar teori film, Sigfried Kracauer, menyatakan, bahwa “umumnya dapat dilihat bahwa teknik, isi cerita dan perkembangan film suatu bangsa hanya dapat dipahami secara utuh dalam hubungannya dengan pola psikologis aktual bangsa itu”. Dengan kata lain, perkembangan film Indonesia hanya dapat dipahami dengan baik jika perkembangan itu dilihat dalam hubungannya dengan latar belakang perkembangan sosial budaya bangsa itu. 16 Berdasarkan asumsi tersebut, kita dapat melihat perbedaannya cukup tajam antara film yang di produksi sebelum kemerdekaan dengan film yang di produksi sesudah kemerdekaan. Pada masa pasca kemerdekaan filmdibuat 15 Film Titian Serabut Di Belah Tujuh di produksi lagi pada tahun 1982 dengan disutradarai oleh Chaerul Umam dan penulis skenarionya tetap pada Asrul Sani. Secara substansial film yang diproduksi kembali ini tidak ada perubahan yang signifikan pada ceritanya. 16 Asrul Sani, Sekedar Catatan Buku Film Indonesia Bagian I 1900-1950. Jakarta: Penerbit Dewan Film Nasional Perum Percetakan RI. 1993. Hal. v- vi. membantu “revolusi Indonesia” dengan film dan dengan demikian impian mereka memiliki relevansi sosial budaya. Mereka tidak ingin film Indonesia jadi alat untuk melarikan diri dari kenyataan, tapi untuk mendorong dialog dalam diri setiap penonton hingga ia dapat memperoleh gambaran yang lebih jernih tentang kenyataan yang ada di sekitarnya. 17 Begitupun Film-film yang bertemakan agama dalam hal ini film-film Islam. Sudut pandang yang disuguhkan dalam film Islam adalah mencoba merepresentasikan dan mengartikulasikan pengejahwantahan nilai-nilai ajaran Islam yang mendasarkan pada kondisi sosio-historis masyarakat atau umat untuk mencapai sebuah dialog antara yang di tonton dengan yang menonton. Kehadiran film-film yang bertemakan Islam penting artinya sebagai media untuk mengartikulasikan dan merepresentasikan Islam kepada masyarakat yang notabene mayoritas beragama Islam. Berbicara film Islam tak terlepas dari konteks yang melingkupinya, kehadirannya tidak hanya menyuguhkan keberagamaan yang simbolik namun substansi keberislaman yang ditampilkan sebagai bagian dari misi profetik dalam menyiarkan Islam. Namun sebelum itu, saya akan menguraikan sedikit ekspresi kebudayaan Islam di mana film juga memainkan peranan yang signifikan bagi kebudayaan Islam. Pada dasarnya, ekspresi kebudayaan Islam tak terlepas dari sistem nilai dalam ajaran Islam sebagai bentuk menifestasi dalam mengaktualisasikan ajaran Islam yang bersumbu pada doktrin tauhid. Di bawah ini saya akan menguraikan secara singkat konsepsi ajaran Islam yang memiliki implikasi pada karya seni dan kebudayaan Islam. 17 Asrul Sani, Sekedar Catatan Buku Film Indonesia Bagian I 1900-1950. Jakarta: Penerbit Dewan Film Nasional Perum Percetakan RI. 1993. Hal v Di dalam Islam kita mengenal adanya konsep tauhid, suatu konsep sentral yang berisi ajaran bahwa Tuhan adalah pusat dari segala sesuatu, dan bahwa manusia harus mengabdikan diri sepenuhnya kepada-Nya. Konsep tauhid ini mengandung implikasi doktrinal lebih jauh bahwa tujuan kehidupan manusia tak lain kecuali menyembah kepada-Nya. Doktrin bahwa hidup harus diorientasikan untuk pengabdian kepada Allah inilah yang merupakan kunci dari seluruh ajaran Islam. Tapi kemudian ternyata bahwa sistem tauhid ini mempunyai arus balik kepada manusia. Dalam banyak sekali ayat kita melihat bahwa iman, yaitu keyakinan religius yang berakar pada pandangan teosentris, selalu dikaitkan dengan amal, yaitu perbuatan atau tindakan manusia; keduanya merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Ini berarti bahwa iman harus selalu diaktualisasikan menjadi amal, bahwa konsep tentang iman, tentang tauhid, harus diaktualisasikan menjadi aksi kemanusiaan. Pusat dari perintah zakat- misalnya-adalah iman, adalah keyakinan kepada Tuhan; tapi ujungnya adalah terwujudnya kesejahteraan sosial. Dengan demikian, di dalam Islam, konsep teosentrisme ternyata bersifat humanistik. Artinya, menurut Islam, manusia harus memusatkan diri kepada Tuhan, tetapi tujuannya adalah untuk kepantingan manusia sendiri. Humanisme-teosentris inilah yang merupakan nilai-inti core-value dari seluruh ajaran Islam. 18 18 Humanisme –teosentris menjadi tema sentral peradaban Islam. Arti tema sentral inilah muncul sistem simbol. Sistem yang terbentuk karena proses dialektik antara nilai dan kebudayaan. Misalnya dalam Al-Quran, kita mengenal adanya rumusan amr ma’ruf nahiy mungkar, yaitu perintah untuk menyeru kepada kebajikan dan mencegah kemungkaran. dari rumusan itu kita melihat adanya dua proses yang sekaligus berlawanan tapi sekaligus merupakan satu kesatuan: emansipasi dan pembebasan. Dalam konteks ini seluruh sistem simbol yang muncul dari rumusan amr ma’ruf nahiy mungkar ditujukan untuk serangkaian gerakan pembebasan dan emansipasi. Nahiy mungkar, atau mencegah kemungkaran, berarti membebaskan manusia dari semua bentuk kegelapan zhulumat alam pelbagai manisfestasinya. Dalam bahasa ilmu sosial, ini juga berarti pembebasan dari kebodohan, kemiskinan, ataupun penindasan. Sementara itu, amr ma’ruf yang merupakan langkah berangkai dari gerakan nahiy Dalam konteks ini, apa yang terkandung pada cerita film Al-Kautsar, film yang telah memenangi penghargaan pada Festival Film Asia XVIII di Bangkok untuk kategori Tata Suara terbaik 19 adalah melakukan dakwah Islamiyah dengan menegakkan amr ma’ruf nahiy mungkar di desa sekarlangit yang dilakukan oleh tokoh protagonis Saiful Bahri dalam mengaktualisasikan ajaran Islam yang sesuai dengan konteks emansipasi dan pembebasan. Usaha Saiful Bahri dalam melangsungkan dakwahnya terbukti telah memberikan perubahan yang signifikan bagi desa sekarlangit dengan menggagas dan mengimplentasikan Islam yang berpihak pada transformasi sosial. Memang pada awal mulanya usaha untuk merintis gagasan Islam yang transformatif banyak mendapatkan tentangan terutama dari Haji Musa tokoh ulama setempat yang sangat disegani, ditambah ulah seorang tengkulak yang bernama Tuan Harun dengan berbagai cara ia tempuh untuk menghentikan usaha Saiful Bahri dalam menegakkan amr ma’ruf nahiy mungkar di desa sekarlangit. Maka, penulis dengan ini mengangkatnya ke dalam bentuk skripsi dan penulis memberi judul: “Perspektif Komunikasi Antar Budaya Dalam Film Al- Kautsar”

A. Pembatasan dan Perumusan Masalah