Jalan Cerita Film Al-Kautsar dan Kontekstualisasinya Dalam Gagasan

76

BAB IV ANALISIS DATA FILM AL-KAUTSAR

A. Jalan Cerita Film Al-Kautsar dan Kontekstualisasinya Dalam Gagasan

Pembaruan Islam Tinjauan Konsepsi Amar Ma’ruf Nahi Mungkar Film Al-Kautsar diproduksi pada tahun 1977 oleh PT. Sippang Jaya Film pimpinan Chan Pattimura, disutradarai oleh Chaerul Umam dan skenarionya ditulis oleh Asrul Sani. Film Al-Kautsar mengisahkan Saiful Bahri Rendra, guru mengaji dari Pondok Pesantren Pabelan, dikirim ke Sekarlangit, suatu desa di luar Jawa, atas permintaan Haji Mustofa Bagong Kussudiardjo. Ia terpilih karena kecuali kepandaiannya dalam agama, juga keterampilannya dalam hal pertanian. Suatu hal yang dibutuhkan desa itu menurut Mustofa. Kedatangan Saiful menimbulkan berbagai reaksi dari penduduk desa. Haji Musa Wisnu Wardhana, yang jadi panutan penduduk, mula-mula tidak simpati pada pembaharuan yang dibawakan Saiful. Konflik halus ini meningkat karena berhadapannya Saiful dengan Tuan Harun Soultan Saladin, tengkulak yang ditakuti penduduk dan menghalalkan segala cara, termasuk “membunuh” suami Halimah Henny Kundhalini yang sudah sakit-sakitan untuk bisa memperistrinya. Niat ini tak kesampaian. Halimah malah bersimpati pada Saiful, meski Saiful berusaha tak menanggapi karena ia sudah punya pacar di Pabelan, yaitu Nurhayati Yulinar Firdaus, yang baru di akhir film diketahuinya putri Haji Musa. Halimah ikut mengajar di Madrasahnya. Maka Harun dan tangan kanannya, Kamaruddin Sutan Wahab Abdi, penjudi yang terjerat hutang pada Harun, menyebarkan fitnah. Ini gagal. Usaha pembunuhan saat berburu juga gagal. Kesempatan baik datang saat Saiful bersama penduduk penduduk membuat saluran saluran air, agar sawah desa itu tidak lagi tergantung hujan. Halimah hanyut. Saiful menyelamatkan dengan membuat pernafasan bantuan. Harun menganggap itu zinah. Penduduk terhasut. Ulama panutan desa Haji Musa tidak bisa berbuat apa-apa. Madrasah dirusak. Dalam keadaan begini Saiful bisa menyadarkan Sutan, yang pada dasarnya masih punya nurani, karena ia murid langsung ulama besar desa itu. Ia terkucil dari desa krena mencuri uang di mesjid untuk mengobatan ibunya. Mereka berdua memergoki Harun yang berusaha memperkosa Halimah. Sutan marah karena Harun telah menghina Tuhan. Ia melakukan salat, dan lalu membakar gudang beras Harun. Perkelahian terjadi di dalam gudang yang terbakar. Lagi-lagi Saiful menyelamatkan mereka. Namanya pulih, dan hubungannya dengan Nur semakin cerah. Cukup menarik untuk dicatat: penggunaan paduan suara dengan lagu-lagu salawat sebagai unsur utama ilustrasi musiknya. Mendapat penghargaan FFA XXIII Bangkok, 1977 untuk Tata Suara Terbaik. 1 Menurut hemat saya, apa yang dilakukan Saiful Bahri dalam menggerakkan perubahan di masyarakat desa Sekarlangit adalah bagian dari implementasi dari ajaran Islam dalam menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar. Al-Quran surat Ali Imran ayat 104 merupakan pijakan dasar dari ajaran Islam dalam menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar. Perintah yang terkandung dalam surat Ali Imran ayat 104 yang bersifat teologis mempunyai implikasi sosiologis dan antropologis. Rumusannya adalah keyakinan religius membawa konsekuensi pada dimensi kemanusiaan yang bertitik tolak dari iman menuju aksi kemanusiaan dalam bentuk amal saleh yang membebaskan manusia dari kezaliman, kegelapan, penindasan, kebodohan, kemiskinan, dan kehancuran. Maka salah satu yang diharapkan dari adanya iman dalam dada pribadi ialah wujud nyata dalam tindakan yang berdimensi sosial itu. Itulah sebabnya dalam al-Qur’an disebutkan adanya kutukan 1 Lihat JB Kristanto dalam Katalog Film Indonesia, Jakarta: Penerbit Nalar-FFTV IKJ, 2005. Hal 145 Allah kepada mereka yang melakukan ritus-ritus keagamaan namun tidak menghasilkan realisasi kebaikannya dalam bentuk tindakan-tindakan berdimensi sosial. Dimensi sosial keimanan itu juga dinyatakan dalam berbagai ungkapan yang lain. salah satunya ialah ungkapan ishlâh usaha perbaikan, reform, khususnya, dalam suatu rangkaian, ungkapan ishlâh al-ardl baca: Ishlâhul ardl, “reformasi dunia”, yakni usaha perbaikan tempat hidup manusia. 2 M. Amin Abdullah dalam tulisannya mengatakan hal yang sama bahwa dari semula, ajaran tauhid al-Quran selalu diliputi dua dimensi sekaligus, yaitu dimensi normativitas akidah dan dimensi praksis sosial. Ungkapan al-Quran bahwa “iman” harus selalu disertai dengan “amal saleh” merupakan autentisitas ajaran al-Quran. Jangankan ajaran tauhid—yang biasanya masuk kedalam wilayah arkân al-Islam pun, ibadah mahdah seperti shalat juga selalu dikaitkan dengan dimensi sosial. Ditegakkannya shalat juga untuk menjaga diri seseorang perbuatan keji fakhsyâ dan buruk 2 Nurcholish Madjid, Iman dan Tata Nilai Rabbaniyah, dalam Islam Doktrin dan Peradaban; Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan, Jakarta: Penerbit Paramadina, 2000. Hal 351-2, mengenai masalah keimanan lihat juga Nurcholish Madjid, Penyegaran Kembali Pemahaman Keagamaan di Kalangan Umat Islam Indonesia dalam Wacana Islam Liberal, Charles Kurzman Ed., Penerbit Paramadina, Jakarta, 2001. Hal. 496-7, Cak Nur mengatakan iman itu lebih merupakan hasil penghayatan spiritual daripada perhitungan rasional. Iman adalah keadaan jiwa atau rohani yang penuh apresiasi kepada Tuhan. Sikap apresiatif kepada Tuhan itu merupakan inti pengalaman keagamaan seseorang. Sikap itu juga disebut “takwa”. Jadi, takwa adalah semangat dari kesadaran ketuhanan God- consciousness pada seorang manusia yang beriman. Takwa merupakan suatu bentuk tertinggi dari kehidupan rohani atau spiritual… selanjutnya Cak Nur menambahkan apabila takwa itu menguasai batin beserta sikap- sikapnya, dalam suatu kesucian dan kemurnian rohani, ia akan menentukan bentuk dan nilai dorongan batin, atau motivasi, bagi seluruh kegiatan hidup ataupun budayanya. Menurut Cak Nur, dimensi kehidupan duniawi yang material adalah ilmu, sedangkan dimensi kehidupan ukhrawi yang spiritual adalah iman. Tuhan memberikan kepada manusia suatu alat yang apabila digunakan, dapat membantu manusia untuk sedikit banyak mengerti hukum-hukum yang diberikan Tuhan. Alat itu adalah kemampuan khusus pada manusia yang disebut “akal”, “rasio” atau “intelek”. Dengan adanya kemampuan itu, terbuka suatu kemungkinan bagi manusia untuk menjalankan tugasnya membangun dunia ini. Sungguh, kemampuan intelektual, ilmiah, inilah yang merupakan kelebihan utama manusia atas makhluk-makhluk yang lain, termasuk malaikat, sehingga ia memperoleh kehormatan diangkat sebagai khalifah Tuhan di Bumi. Dengan menyerentakkan iman dan ilmu itulah, manusia akan mampu melaksanakan amal salih amal shâlîh, dan dengan begitu pula mencapai tingkat kemanusiaannya yang paling tingi Nurcholish Madjid, Penyegaran Kembali Pemahaman Keagamaan di Kalangan Umat Islam Indonesia dalam Wacana Islam Liberal, Charles Kurzman Ed., Jakarta: Penerbit Paramadina, 2001. Hal. 499, 500-1. Menurut hemat penulis apa yang telah dituliskan oleh Cak Nur diatas sangat relevan dengan perjuangan Saiful Bahri yang dilandasi oleh penghayatan iman dan diaktualisasikan ke dalam tindakan dalam rangka amar ma’ruf nahiy mungkar yang didadasari rasa keimanan. munkar. Belum lagi ibadah haji, zakat, infak, sedekah dan sebagainya. Walhasil, ajaran tauhid, menurut al-Quran sangat terkait dengan persoalan-persoalan sosial. 3 Saiful Bahri dalam hal ini telah melakukan tindakan yang berdimensi sosial tersebut dan juga usahanya dalam memperbaiki paradigma keberagamaan masyarakat desa Sekarlangit serta membawa mis profetis berupa peningkatan hajat hidup orang banyak dengan memperkenalkan teknik pertanian yang baru di desa Sekarlangit dan apa yang telah ia lakukan tersebut sesuai ungkapan di atas ishlâh al-ardl, mereformasi pengajaran di madrasah dan memperkenalkan sistem pertanian baru. Pijakan yang dilakukan oleh Saiful Bahri dilandasi dengan menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar yang berdimensi teologis dan sosiologis, pijakan tersebut mengacu pada proses humanisasi, liberasi dan transendensi. Dalam humanisme teosentris terkandung sebuah cita-cita perubahan yang didasari pada nila-nilai humanisasi, liberasi dan transendensi. Tujuan humanisasi adalah memanusiakan manusia. Tujuan liberasi adalah pembebasan bangsa dari segala kemiskinan, keangkuhan teknologi, keterkungkungan akibat modernitas, dan tunduk secara pasif terhadap struktur yang membelenggunya. Sedangkan transendensi bertujuan untuk menambah dimensi transendental dalam kebudayaan menuju fitrah kemanusiaan dengan menghambakan diri kepada Yang Ilahi. 4 Misi profetik tokoh protagonis film Al-Kautsar dalam menegakkan Amar Ma’ruf Nahiy Mungkar merupakan aksentuasi dari nilai-nilai iman dalam rangka pengabdian kepada Allah Swt. Iman sebagai sebuah keyakinan doktrinal yang berfungsi sebagai perwujudan kepasrahan kepada Allah Swt yang dijiwai oleh 3 M. Amin Abdullah, Dinamika Islam Kultural, Bandung: Penerbit Mizan, 2000. Hal 51 4 Renal Rinoza Kasturi dalam Tauhid Sosial Dalam Film Al-Kautsar makalah belum di publikasikan. Tulisan ini merujuk pada esai Kuntowijoyo, “Perlunya Ilmu Sosial Profetik”, dalam Pradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi, Jakarta: Penerbit Mizan, 1998. Hal. 289. kesadaran bahwa hidup ini berasal dari Tuhan dan menuju kepada Tuhan Inna lillah wa inna ilayhi raji’un, “Sesungguhnya kita berasal dari Tuhan dan kita akan kembali kepada-Nya”; maka Tuhan adalah “sangkan paran” asal dan tujuan hidup Hurip, bahkan seluruh makhluk dumadi. 5 Dari rumusan ini melahirkan konsep tauhid, di mana Saiful Bahri sadar upayanya dalam merubah pola pikir masyarakat desa Sekarlangit adalah sebuah kerja profetis—yang didasari oleh iman yang terejawantahkan kedalam sebuah perbuatan nyata. Tak ayal, konsepsi iman yang melahirkan nilai-nilai ketauhidan terpantul kedalam sebuah tindakan yang berdasarkan ajaran Islam yaitu menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar. 6 Saiful Bahri dalam usahanya tersebut mengalami berbagi rintangan yang tak mudah untuk ia hadapi seperti perbedaan pandangannya terhadap Haji Musa dalam melihat apa itu agama dan ajarannya, bagaimana ia lakukan untuk meyakinkan Haji Musa dan masyarakat desa Sekarlangit tentang gagasan pembaruan yang ia bawa, bagaimana ia dapat menyadarkan Harun dan Sutan dan tentunya perjuangannya dalam menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar bukanlah suatu perkara yang mudah bahkan ia mendapatkan ujian berat berupa fitnah—di mana Saiful Bahri dituduh menodai kampung dengan perbuatan asusila. Misi profetis tokoh protagonis film Al-Kautsar mengacu pada spirit keimanan yang terkandung dalam kitab suci Al-Quran, dalam Al-Quran, kita mengenal adanya rumusan amr ma’ruf nahiy mungkar, yaitu perintah untuk menyeru kepada kebajikan dan mencegah kemungkaran. Dari rumusan itu kita 5 Nurcholis Madjid, “Iman dan Tata Nilai Rabbaniyah”, dalam Islam Doktrin dan Peradaban; Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan, Jakarta: Penerbit Paramadina, 2000. Hal 1 6 M. Amin Abdullah dalam bukunya mengupas tentang konsep tauhid sosial, menurutnya tauhid sosial adalah aksentuasi dan aplikasi iman pada wilayah praksis sosial. A faith in action adalah sebutan lain untuk tauhid sosial. Dapat juga disebut practical theology untuk membedakannya dari normative theology. Tauhid sosial lebih menekankan aspek pengentasan dan pembebasan manusia dalam arti seluas-luasnya. Lihat M. Amin Abdullah, Dinamika Islam Kultural, Bandung: Penerbit Mizan, 2000. Hal 65 melihat adanya dua proses yang sekaligus berlawanan tapi sekaligus merupakan satu kesatuan: emansipasi dan pembebasan. Dalam konteks ini seluruh sistem simbol yang muncul dari rumusan amr ma’ruf nahiy mungkar ditujukan untuk serangkaian gerakan pembebesan dan emansipasi. Nahiy mungkar, atau mencegah kemungkaran, berarti pembebasan dari kebodohan, kemiskinan, ataupun penindasan. Sementara itu, amr ma’ruf yang merupakan langkah berangkai dari gerakan nahiy mungkar, diarahkan untuk mengemansipasikan manusia kepada nur, kepada cahaya petunjuk Ilahi untuk mencapai keadaan fithrah. Fithrah adalah keadaan di mana manusia mendapatkan posisinya sebagai makhluk yang mulia. 7

B. Tinjauan Teoritis Komunikasi Antar Budaya Dalam Film Al-Kautsar