melihat adanya dua proses yang sekaligus berlawanan tapi sekaligus merupakan satu kesatuan: emansipasi dan pembebasan. Dalam konteks ini seluruh sistem
simbol yang muncul dari rumusan amr ma’ruf nahiy mungkar ditujukan untuk serangkaian gerakan pembebesan dan emansipasi. Nahiy mungkar, atau mencegah
kemungkaran, berarti pembebasan dari kebodohan, kemiskinan, ataupun penindasan. Sementara itu, amr ma’ruf yang merupakan langkah berangkai dari
gerakan nahiy mungkar, diarahkan untuk mengemansipasikan manusia kepada nur, kepada cahaya petunjuk Ilahi untuk mencapai keadaan fithrah. Fithrah adalah
keadaan di mana manusia mendapatkan posisinya sebagai makhluk yang mulia.
7
B. Tinjauan Teoritis Komunikasi Antar Budaya Dalam Film Al-Kautsar
Ditilik dari pendekatan komunikasi antarbudaya dapat ditemukan proses komunikasi yang bersifat simbolik, interpretatif, transaksional dan kontekstual.
Proses komunikasi tersebut menghasilkan sebuah perbedaan persepsi antara komunikator dengan komunikan. Perbedaan persepsi dalam konteks komunikasi
antarbudaya merupakan asumsi yang utama dari situasi budaya yang berbeda. Perbedaan dalam proses komunikasi antarbudaya disebabkan oleh sejumlah hal,
misalnya derajat pengetahuan, derajat kesulitan dalam peramalan, derajat ambiguitas, kebingungan, suasana misterius yang tampak dijelaskan, tidak
bermanfaat, bahkan tampak tidak bersahabat. Kadangkala perbedaan persepsi menimbulkan hambatan komunikasi antarbudaya dalam bentuk norma-norma
budaya, pola-pola pikir, struktur budaya sistem budaya. Proses komunikasi antarbudaya yang bersifat alamiah berakar dari konteks
relasi sosial. Menurut Walzlawick, Beavin Jackson 1907 menekankan bahwa
7
Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi, Bandung:Penerbit Mizan, 1998. Hal 229
isi komunikasi content of communication tidak berada dalam sebuah ruang yang terisolasi. Isi content dan makna meaning adalah dua hal yang tidak dapat
dipisahkan, dua hal yang esensial dalam bentuk relasi relation. Di film Al- Kautsar isi komunikasi berada dalam sebuah ruang-latar yang menggambarkan
masyarakat agraris di pedesaan yang masih memegang nilai-nilai tradisionalnya. Dalam pada itu, nilai-nilai tradisional berupa norma-norma, pola-pikir, struktur
budaya dan sistem budaya yang telah mengakar tiba-tiba menimbulkan kegoncangan. Nilai-nilai pembaruan yang dibawa Saiful Bahri sontak membuat
perubahan secara fundamental bagi masyarakat desa Sekarlangit dengan memperkenalkan konsepsi pendidikan di madrasah yang tepat guna—sebagai
bentuk praksis dan memperkenalkan metode baru dalam pengairan sawah. Dalam proses komunikasi antarbudaya tentunya banyak dijumpai gangguan
sebelum proses komunikasi tersebut berlangsung efektif. Gangguan dalam komunikasi antarbudaya biasanya menjadi penghambat laju pesan yang di tukar
antara komunikator dan komunikan. Misalnya saja perdebatan antara Saiful Bahri dan Haji Musa pada awalnya dapat dikatakan sebagai sebuah gangguan karena
interpretasi atas makna saling berlawanan dan non-equal. Begitupun tuduhan yang dialamatkan kepada Saiful Bahri ketika member pernafasan buatan kepada
Halimah yang dimaknai sebagai sesuatu yang tidak bermoral dan mencoreng kehormatan guru agama.
Nilai-nilai pembaruan yang dibawa oleh Saiful Bahri kapasitasnya di film ini bukanlah sebuah gagasan yang ditolak karena tidak sesuai dengan norma-
norma, pola pikir dan sistem budaya di desa Sekarlangit melainkan gagasan praksis yang dibawa Saiful Bahri telah memberikan sebuah insight bagi masyarakat desa
Sekarlangit. Hanya saja kesiap-sediaan masyarakat yang belum secara penuh
menerima setiap perubahan-perubahan yang dibawa perlu usaha dan proses yang tak henti untuk melakukan perubahan. Dan Saiful Bahri telah membuktikannya
dalam usahanya dengan berlandaskan keyakinan akan sebuah perubahan paradigma sifting paradigm di lapisan struktur masyarakat. Nilai-nilai pembaruan
inilah yang menimbulkan friksi antara Saiful Bahri dengan Haji Musa di satu sisi dan tuan Harun disisi lain. Timbulnya perbedaan tersebut dilatari oleh perbedaan
persepsi antara komunikator dengan komunikan yang berada dalam setting sosial yang berbeda.
Perbedaan persepsi antara komunikator dengan komunikan di film Al- Kautsar dapat dijelaskan dalam scene 45. Perbedaan persepsi antara Saiful Bahri
dan Haji Musa tentang pemahaman keagamaan. Disatu sisi Saiful berpendapat bahwa agama harus dipindahkan kedalam perbuatan, kedalam kehidupan
sedangkan disisi lain bagi Haji Musa bahwa agama harus sesuai fungsinya sebagai perkara ibadah ritual an-sich, Haji Musa berpendapat bahwa ulama mempunyai
kewajibannya sebagai ulama bukan dicampur aduk dengan perkara duniawi seperti mengurusi pertanian pula dan perbedaan persepsi inilah yang menimbulkan
hambatan-hambatan dalam berkomunikasi diantara kedua belah pihak. Perbedaan persepsi tergambar dengan gamblang di scene 52. Dalam scene
52 ini Saiful Bahri menuding Haji Musa bersifat status quo, anti terhadap perubahan dan pembaharuan serta berpikiran kolot yang ia tumpahkan dalam isi
surat kepada Nurhayati di Pesantren. Namun disisi lain Haji Musa merupakan ayahanda Nurhayati. Dalam scene ini Nurhayati sangat sedih hingga ia menangis
takut jikalau ayahnya membenci Saiful, Rohana temannya mencoba menenangkannya dengan mengatakan bahwa belum tentu Haji Musa membenci
Saiful dan itu hanya perasaan Saiful saja yang merasa begitu. Tampak jelas di
scene ini, perbedaan pandangan pemahaman keagamaan diantara keduanya semakin tajam dan meruncing sampai-sampai pernyataan Saiful Bahri jikalau Haji
Musa seorang yang kolot dan tidak suka pembaharuan.
8
Proses komunikasi antarbudaya pada hakikatnya bersifat interaktif dan transaksional serta dinamis. Proses komunikasi interaktif berlangsung secara dua
arahtimbal balik antara komunikator dan komunikan. Pada perbedaan persepsi yang telah penulis jabarkan diatas dapat ditemui bahwa proses komunikasi antara
Saiful Bahri dan Haji Musa masih dalam tahap proses komunikasi interaktif belum memasuki tahap transaksional yang lebih tinggi. Pada tahap transaksional proses
komunikasi berlangsung secara lebih memahami perasaan, saling mengerti. Wujud komunikasi transaksional ditemui tatkala Saiful Bahri berkirim surat kepada
Nurhayati. Saiful Bahri terus mengirim surat kepada Nurhayati tentang situasi dan kondisi Saiful termasuk hubungan Saiful Bahri dengan Haji Musa, dengan Tuan
Harun dan kematian suami Halimah. Pada scene 52 digambarkan adegan berkirim surat antara Saiful dan Nurhayati, dalam isi surat tersebut Saiful menginformasikan
8
Dalam konteks ini dapat pula dilihat sebagai bentuk pertentangan antara pemahaman keagamaan kaum tua dan kaum muda yang terjadi di paruh awal abad ke-20 di Minangkabau.
Istilah kaum tua dan kaum muda masing-masing merepresentasikan Islam yang merujuk pada ortodoksi Islam seperti Al-Quran dan Sunnah dan mazhab-mazhab fiqh yang dianut, hanya bedanya
kaum tua tetap bersandarkan pada ajaran mazhab sedangkan kaum muda hanya mengakui sumber- sumber ajaran Islam dari al-Quran dan Hadis an-sich. Soekarno dalam artikelnya yang dimuat di
majalah Pandji Islam No. 15 15 April 1940 mengatakan bahwa perbedaan antara kaum muda dan kaum tua disinilah hanyalah, bahwa kaum tua menerima tiap-tiap keterangan dari tiap-tiap otoritas
Islam, walaupun tidak tersokong oleh dalil Quran dan Hadis, sedangkan kaum muda hanyalah mau mengakui sah sesuatu hukum, kalau ternyata tersokong oleh dalil Quran dan Hadis, dan menolak
semua keterangan diluar Quran dan Hadis itu, walaupun datangnya dari otoritas Islam yang bagaimana besarnya juapun adanya. Lihat Deliar Noer dalam Gerakan Modern Islam di Indonesia
1900-1942, Jakarta: Penerbit LP3ES, 1996. Hal 302. Selanjutnya Deliar Noer menuliskan bahwa kaum tua atau golongan tadisi lebih banyak menghiraukan soal-soal agama, din atau ibadah belaka.
Bagi mereka Islam seakan sama dengan fiqh, dan dalam hubungan ini mereka mengakui taqlid dan menolak ijtihad. Sebaliknya kaum muda atau golongan pembaharu lebih memberi perhatian pada
sifat Islam yang umumnya. Bagi mereka Islam sesuai dengan tuntutan zaman dan keadaan. Islam berarti kemajuan, agama ini tidak menghambat usaha mencari ilmu pengetahuan, perkembangan
sains, dan kedudukan wanita. Para pembaharu berpendapat bahwa Islam “menghargai akal manusia dan melindunginya daripada tindasan-tindasan, dan ini dikemukakan dalam Quran dan Hadis.
Mereka berkeyakinan pintu ijtihad masih tetap terbuka yang dinilai dengan dasar Quran dan Hadis. Penulis mengulas asumsi ini merujuk pada Deliar Noer dalam Gerakan Modern Islam di
Indonesia 1900-1942, Jakarta: Penerbit LP3ES, 1996. Hal 322-3, 325.
keberadaannya di desa Sekarlangit yang kebetulan kampung halaman Nurhayati, kematian suami Halimah dan kegusaran Saiful Bahri terhadap Haji Musa yang
selalu berbeda pendapat dengannya, dalam isi surat ini Nurhayati sedih karena yang dimaksud oleh Saiful Bahri tidak lain tidak bukan ialah ayahandanya sendiri.
Dalam scene ini digambarkan proses komunikasi berlangsung sangat intim dan saling mengerti di mana Nurhayati dapat memaklumkan Saiful Bahri tatkala ia
berselisih paham dengan Haji Musa yang diharapkan akan mereda dan mencair sesuai harapan Nurhayati.
Tahapan proses komunikasi yang bersifat transaksional antara Saiful Bahri dan Haji Musa terjadi dalam scene 97 di mana Haji Musa menyelamatkan Saiful
Bahri dari usaha percobaan pembunuhan yang dilakukan oleh Tuan Harun. Tindakan yang dilakukan oleh Haji Musa untuk menyelamatkan nyawa Saiful
menurut hemat penulis didasari oleh keterlibatan emosional yang tinggi yang berlangsung terus-menerus dan berkesinambungan atas pertukaran pesan, peristiwa
komunikasi yang sudah berlangsung meliputi seri waktu antara masa lalu, kini dan akan datang serta di kedua belah pihak telah menjalankan peran tertentu. Proses
komunikasi berlangsung secara dinamis dan berlangsung dalam konteks sosial yang hidup di desa Sekarlangit.
Pertukaran pesan antara komunikator dan komunikan menjadi dua aspek penting dalam kesuksesan proses komunikasi. Tujuan komunikasi akan tercapai
manakala komunikan “menerima” memahami makna pesan dari komunikator, dan memperhatikan attention serta menerima pesan secara menyeluruh. Di scene
85 dideskripsikan usah Saiful dalam menginsyafkan Sutan untuk kembali ke jalan yang benar setelah Saiful tidak berdaya akibat amuk warga yang memporak-
poradakan madrasahnya setelah ia dituduhdifitnah berbuat asusila dengan
mencium bibir Halimah. Tampak usaha Saiful Bahri dalam mempengaruhi agar Sutan kembali lagi jalan yang lurus merupakan tujuan komunikasi yang sukses
dengan bertobatnya Sutan ke jalan yang benar. Di adegan scene 94 usaha Saiful Bahri berhasil dalam mengembalikan Sutan ke fitrahnya ke jalan yang lurus
dengan bersembahyang yang disaksikan oleh anak istrinya dan lalu pergi ke gudang milik tuan Harun.
Dalam konteks komunikasi antarbudaya, komunikator dengan komunikan masing-masing memiliki latar belakang sosial dan budaya yang berbeda dan
terjadinya kesuksesan proses pertukaran pesan antara komunikator dan komunikan untuk menemukan kesepahaman bersama di dalam film Al-Kautsar dideskripsikan
pada sequence VI sebagai tahapan babak resolusi konflik dan penyelesaian di film ini. Dalam sequence VI terhimpun resolusi konflik dengan bertobatnya Sutan
setelah mendapatkan perhatian yang tulus untuk kembali ke jalan yang lurus dengan membuka romantika Sutan bersama gurunya Syeikh Zakaria, pembelaan
Sutan kepada Saiful yang ditikam oleh tuan Harun, kemarahan Sutan kepada tuan Harun yang menghina Tuhan di depannya, pergulatan batin Sutan yang
mengantarkannya untuk kembali melaksanakan shalat, pembelaan Haji Musa terhadap Saiful Bahri dari usaha percobaan pembunuhan oleh tuan Harun, Sutan
dan tuan Harun yang terperangkap di gudang dengan kobaran api yang besar, insyafnya tuan Harun atas perbuatan kejinya dengan semua yang pernah ia zalimi.
Dan film ini pun mencapai kesepahaman bersama tatkala adegan Saiful Bahri dan Nurhayati kembali ke Jawa.
Dalam pada itu, melalui proses komunikasi antarbudaya kesenjangan pengetahuan dan pemahaman keagamaan dapat diatasi melalui kesepahaman
bersama dalam mengaktualisasikan ajaran-ajaran Islam. Dalam film ini diceritakan
bagaimana usaha Saiful Bahri yang berhasil meyakinkan Haji Musa dan membawa perubahan yang signifikan di desa Sekarlangit. Dalam pandangan komunikasi
antarbudaya, menurut Guo-Ming Chen dan William J. Starosta mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya adalah proses negosiasi atau pertukaran simbolik yang
membimbing perilaku manusia dan membatasi mereka dalam menjalankan fungsinya sebagai kelompok.
9
Tokoh protagonis, Saiful Bahri telah dengan sukses melakukan proses negosiasi atau pertukaran simbolik dengan Haji Musa, Sutan,
tuan Harun dan masyarakat desa Sekarlangit. Gagasan pembaruannya dapat diterima oleh semua lapisan masyarakat di desa Sekarlangit dan membawa nilai-
nilai pembaruan yang berdasarkan konsepsi amar ma’ruf nahiy mungkar. Akhirnya tujuan komunikasi antarbudaya dapat tercapai dengan mengurangi tingkat
ketidakpastian.
C. Tinjauan Unsur-unsur Komunikasi Antar Budaya