mana film yang lebih dekat kepada kenyataan hakiki dan fokus pada film itu sendiri sebagai sebuah sistem bahasa.
37
2. Representasi dan Film Profetik
Setelah film Ayat-ayat Cinta sukses, banyak sekali film religius bernafaskan Islam yang beredar. Baik itu menampilkan atau eksplorasi sesuatu
yang baru, atau sekedar mendompleng kelarisannya saja. Apakah semuanya layak dimasukkan dalam kategori film Islami? Pembicaraan tentang definisi film Islam,
atau film dakwah seolah tak berujung. Penulis sendiri cenderung kepada teori sastra profetik Kuntowijoyo yang menyitir ayat Al-Quran tentang Khairu Ummah
umat terbaik yang cirinya adalah ta’muruna bil’ ma’ruf mengajak kepada yang ma’ruf, kebajikan, tanhauna ’anil munkar mencegah kemungkaran wa tu’mina
billah dan beriman kepada Allah. Yang pertama adalah humanisasi, yang kedua adalah liberasi, dan yang terakhir adalah transendensi. Ketiganya—pembebasan—
kemanusiaan—ketuhanan –harus ada dalam satu nafas, satu paket. Sastra profetik adalah sastra yang mengikuti tradisi kerasulan, yang berani berhadap-hadapan
dengan manusia dan realitas sosial, dengan menyodorkan kritik terhadapnya.
38
37
Ekky Imanjaya dalam Wajah Islam dan Umatnya dalam Film Indonesia, 2008. http:ekkyij.multy.comjournalitem104.
38
Menurut Ekky Imanjaya yang ia kutip dari Kuntowijoyo mengatakan bahwa nilai-nilai keislaman terinternalisasi ke dalam diri setiap muslim, tereksternalisasi dalam perbuatan
terobyektifikasi dalam karya-karyanya. Bagi Kuntowijoyo, setiap perilaku seorang Muslim adalah keislaman, zikir, dan ibadah. Setiap karya yang mengandung ketiga unsur di atas disebut karya
profetik, walaupun tidak ada simbol keislaman sedikitpun. Dalam Selamat Tinggal Mitos, Selamat Datang realitas, Kuntowijoyo menekankan bahwa sastra dan seni populer termasuk film di
dalamnya dituntut untuk ”setia pada realitas”, dan punya fungsi sosial. ” Pada awal-awal abad ini, sastra didaktis dipergunakan untuk menyebarkan etika kerja, memberantas madat, mengungkap
kejahatan kawin paksa, memberantas rentenir, dan sebagainya”. Sekarang, sastra dan juga sebagian besar film kita, ”...sudah kehilangan fungsi sosial semacam itu, tidak mau terkungkung oleh
realitas, bahkan menolak menjadi agen dari pembudayaan. Karena unsur humanisasi, liberasi, dan transendensi itulah penulis menolak beberapa film yang jelas-jelas simbol dan wacana keislaman
tetapi tidak mengandung semangat amar ma’ruf nahi munkar. Tulisan ini mengkaji salah satu cabangnya, yaitu representasi dunia santri dan umat Islam. Artinya, sebuah film yang
menggambarkan komunitas Muslim yang kental dengan simbol dan wacana keislaman, minimal
3. Film Al-Kautsar sebagai Representasi Islam yang Transformatif