Tabel 2.4 Analisis petikan dialog di setiap scene terhadap unsur-unsur KAB
2. Unsur Pandangan Dunia Unsur-Unsur
KAB Petikan dialog di setiap Scene
Keterangan
Pandangan Dunia
Scene 31: HARUN
Apa kalian tidak malu? Kalau aku tidak peduli. Sekarang tidak perlu agama lagi.
Sekarang zaman modern. Yang perlu kaya… Sebuah unsur yang
berkaitan dengan orientasi, pandangan hidup,
persoalan-persoalan filosofis mengenai Tuhan,
kemanusiaan, alam raya. Pandangan dunia dalam
film ini meruapakan sebuah konsepsi landasan budaya
dari setiap pelaku yang terlibat di dalamnya. Apa
yang menjadi landasan dalam menyingkap dunia,
tokoh-tokoh di film ini antara unsur-unsur satu
sama lain saling mempengaruhi dan
pendukung dalam mempersepsikan dunia,
manusia dan peristiwa. Dalam pandangan dunia
worldview inilah melekat aspek-aspek kebudayaan,
keyakinan, nilai-nilai, sikap, dan tindakan.
Scene 44: HARUN
Baik kau tahu, dalam mencari uang buat aku semua jalan halal…
Scene 44: HARUN
Coba tiru aku Sutan, belajarlah menghalalkan segalanya.
Scene 45: Agama itu harus dipindahkan kedalam
perbuatan, ke dalam kehidupan Scene 45:
SAIFUL Kebenaran harus diutarakan biar dalam
keadaan apapun. Seorang ulama harus berani mengutarakan kebenaran biar dihadapan
orang zalim sekalipun.
Scene 45: HAJI MUSA
Cobalah yakinkan aku dulu. Sebelum itu biarlah aku berpegang pada apa yang sampai
saat ini ku anggap benar. Kalau haji ingin mendidik orang beragama, berikanlah pada
guru agama…
Scene 50: HAJI MUSA
Saya dulu waktu muda, kalau ketemu ulama saya akan mencium tangannya. Tandanya
kita menghormati ilmunya. Biasanya ulama itu, menarik tangannya supaya jangan
dicium, itu tanda kerendahan hatinya. Tapi sekarang ini tidak berlaku lagi. Orang-orang
muda ilmunya lebih tinggi dari kami yang tua-tua ini.
Itu contohnya si Sutan, ilmunya sampai kelangit tapi sembahyangnya diatas kartu
judi. Dan ikutannya kemenakanku Harun
Scene 55: SAIFUL
Agama itu mengatur kehidupan, tapi bagaimana kehidupan bisa diatur, kalau
perlengkapannya sendiri tidak ada? Ilmu hidup dan ilmu agama itu sambung
menyambung, malahan sebetulnya satu.
Scene 60: HAJI MUSA
Kebutuhan manusia adalah dua macam, yang bisa dilihat dengan mata dan yang tidak bisa
kelihatan, kalau kau mau melakukan perubahan, itu berarti manusianya harus kau
robah. Percayalah kau, itu tidak mudah. Sebuah unsur yang
berkaitan dengan orientasi, pandangan hidup,
persoalan-persoalan filosofis mengenai Tuhan,
kemanusiaan, alam raya. Pandangan dunia dalam
film ini meruapakan sebuah konsepsi landasan budaya
dari setiap pelaku yang terlibat di dalamnya. Apa
yang menjadi landasan dalam menyingkap dunia,
tokoh-tokoh di film ini antara unsur-unsur satu
sama lain saling mempengaruhi dan
pendukung dalam mempersepsikan dunia,
manusia dan peristiwa. Dalam pandangan dunia
worldview inilah melekat aspek-aspek kebudayaan,
keyakinan, nilai-nilai, sikap, dan tindakan.
Scene 60: SAIFUL
Ya, saya lihat sendiri disini. Memang tidak mudah. Tapi kita harus mulai, pokoknya
bapak sudah saya beri tahu. Maksud saya baik, dan maksud baik harus dijalankan…
Scene 86: SUTAN
Ah, kalau sudah sampai bunuh-membunuh… Itu perbuatan yang dilarang Tuhan…
Scene 86: Jangan. Aku boleh dihina. Tapi Tuhan jangan
dihina didepanku. Tuhan jangan dihina. Scene 94:
SUARA SUTAN Allahu Akbar
Scene 105: SUTAN
Aku tidak gila. Duduklah dengan tenang. Kenapa harus takut pada api. Api nereka
barangkali lebih besar dari ini. Ini belum apa- apa. Tapi tuan telah menghina Tuhan di
hadapanku. Kini pada siapa engkau akan minta tolong?
Scene 105: SUTAN
Tidak, uang tidak bisa menolong. Kalau engkau selamat, maka yang bisa
menyelamatkan hanya Tuhan. Hanya yang Esa itu, lain tidak.
Scene 111: HARUN
Dia datang untuk menyelematkan aku dari siksaan yang lebih besar… neraka
Tabel 3.4 3. Unsur Organisasi Sosial
TokohPemeran Utama
Elemen Unsur Organisasi Sosial Kebudayaan Geografik
Kebudayaan Peranan
Saiful Bahri Jawa, Santri, Islam Modernis
Pesantren Modern, alumni yang dikirim ke Mengara—suatu latar di
film Al-Kautsar yang berkarakteristik daerah Sumatera
Barat, Pemahaman keislaman yang modernis sesuai dengan pandangan
pesantrennya yang di film ini di perlihatkan memakai jas, kemeja
dan dasi. Atribut ini identik dengan pondok pesantren modern.
Berpikiran maju dan progresif—ini dapat dilihat dari keyakinannya di
scene 45 dalam petikan dialog: “ Agama itu harus dipindahkan
kedalam perbuatan, kedalam kehidupan… kemudian dilanjutkan
“ Kebenaran harus diutarakan biar dalam keadaan apapun. Seorang
ulama harus berani mengutarakan kebenaran biar dihadapan orang
zalim sekalipun. Keteguhannya ini ditegaskan lagi pada petikan dialog
di scene 55 yang berbunyi; “ Agama itu mengatur kehidupan,
tapi bagaimana kehidupan bisa diatur, kalau perlengkapannya
sendiri tidak ada? Ilmu hidup dan ilmu agama itu sambung
menyambung, malahan sebetulnya satu.
Haji Musa Tokoh ulama dan masyarakat di
latar film Al-Kautsar, berfaham ortodoks dan Sumatera
Surau sebagai lembaganya, pandangannya yang masih ortodok
seputar agama seperti yang tertulis di petikan dialog scene 45, “ Bagi
Haji, masing-masing punya satu kewajiban, ulama punya kewajiban
ulama, ahli pertanian punya kewajiban ahli pertanian. Kalau
keduanya dicampur-campur, maka salah satu tentu akan cacat.
Pendapatnya ini tentunya sangat bertolak belakang dengan
pandangan Saiful Bahri dilain pihak. Dan dalam petikan dialog di
scene 45 Haji Musa tetap pada pendiriannya. Berikut petikannya, “
Cobalah yakinkan aku dulu. Sebelum itu biarlah aku berpegang
pada apa yang sampai saat ini ku anggap benar. Kalau haji ingin
mendidik orang beragama, berikanlah pada guru agama.
Pada dasarnya Haji Musa tidaklah dalam artian ortodoks, ia masih
dapat menerima pandangan- pandangan baru yang sesuai dengan
ajaran agama seperti petikan dialog di scene 45, “ Cobalah yakinkan
aku dulu. Dalam petikan dialog ini dapat dilihat pandangan Haji Musa
terhadap suatu pembaruan dan ini diperkuat pada petikan dialog
selanjutnya, di scene 50, “ Saya berkewajiban memperingatkan,
haji. Kalau soal mencoba tidak ada salahnya. Saya akan lihatkan,
kemana perginya semua ini, hal ini juga diperkuat oleh pernyataan
Rohana sahabat Nurhayati, putri Haji Musa yang menuntut ilmu
agama di pesantren di Jawa ketika Nurhayati menerima sepucut surat
dari Saiful Bahri yang notabene kekasihnya dan satu pesantren
dengannya, menurut Rohana dalam petikan dialog di scene 52, “ Aku
tidak yakin ayahmu kolot… kemudian Rohana menambahkan, “
Ya tapi tidak kolot, kalau kolot kau tidak akan dikirim kemari. Menurut
Caherul Umam dalam wawancaranya dengan penulis
mengatakan bahwa sikap Haji musa kepada Saiful Bahri hanya sebatas
menguji sampai dimana konsistensi Saiful Bahri dalam menggerakkan
perubahan di masyarakat. Hal ini diperkuat oleh petikan dialog scene
diatas dan scene berikutnya di scene 60, berikut petikan dialognya, “
kebutuhan manusia adalah dua macam, yang bisa dilihat dengan
mata dan yang tidak bisa kelihatan, kalau kau mau melakukan
perubahan, itu berarti manusianya harus kau robah. Percayalah kau, itu
tidak mudah.” Kemudian dilanjutnya “Anak baik, Cuma
belum matang.”
Harun Tengkulak, kemenakan Haji
Musa, lapau. Menyangsikan agama demi
keserakahannya, takabur, ingkar, sombong, semuanya dapat dibeli
dengan uang namun akhirnya bertobat karena mendapat seluruh
kekayaannya telah musnah.
Sutan Mantan Murid Syekh Zakaria,
Lapau, mengetahui soal-soal agama
Menjadi anak buah Harun karena membalas budi baik Harun yang
telah menolongnya, seorang murid Syekh Zakaria yang tersesat karena
dibenturkan dengan keadaan. Menjadi orang yang jauh dari ajaran
agama namun suatu kala bertobat dan menuntaskan cerita film ini
dengan membakar lumbung beras milik Harun.
Nurhayati Putri Haji Musa, dikirim belajar
di Pesantren modern di Jawa, berpandangan maju, kekasih
Saiful Bahri Pesantren modern di Jawa,
berpandangan maju dan modernis, satu kamar dengan Rohana—
sahabatnya di pesantren yang berkontribusi membentuk
pandangannya, melakukan surat- menyurat dengan Saiful Bahri
perihal kondisi Saiful Bahri di desa tempat ia mengajar yang kebetulan
kampung halamannya. Kembali ke kampung halamannya diakhir cerita
tatkala semua persoalan sudah selesai dan Saiful Bahri
menyatakan segera meminangnya setelah ia selesai studi di Pesantren.
Halimah Janda, punya kegiatan
menyulam, bersama Saiful Bahri mengajar di Madrasah
Ditinggal mati oleh suaminya karena sakit, bersamanya Saiful
Bahri dituduh dan difitnah berbuat asusila dengan Halimah ditambah
Saiful Bahri yang memberikan pertolongan pernafasan buatan
kepada Halimah yang menjadi pemicu kemarahan masyarakat
yang terprovokasi oleh Harun, seluruh aktivitas Saiful Bahri
hancur bersama madrasah yang ia kelola bersama Halimah namun
keadaan kembali memihak kepada Saiful Bahri dan Halimah sendiri
yang sedari awal ditaksir oleh Harun, dimana Halimah pada akhir
cerita mau menerima Harun setelah terbakar di gudangnya dan ia
bertobat.
Dari tabel diatas dapat diperoleh informasi mengenai unsur-unsur komunikasi antar budaya dalam cerita film Al-Kautsar. Dalam unsur-unsur KAB
inilah dapat ditemukan sebuah pengertian persepsi diantara karakter yang terlibat di film Al-Kautsar dengan menekankan pengertian persepsi sebagai proses
penyeleksian yang sangat dipengaruhi oleh kebudayaan. Persepsi beroperasi pada proses internal yang memilih, memilah, mengevaluasi dan juga mengorganisasikan
stimulasi rangsangan dari lingkungan eksternal. Oleh karena itu, KAB dapat dimengerti sebagai sebuah perangkat untuk memahami perbedaan budaya dalam
mempersepsikan peristiwa dan objek-objek tertentu, persepsi adalah sebuah perangkat konseptual dalam menangkap fenomena diluar diri setiap individu.
Dalam tindakannya, persepsi diaktualisasikan oleh unsur-unsur Komunikasi Antar Budaya. Unsur-unsur tersebut bekerja pada sebuah hubungan yang saling
terkait satu sama lain dalam penciptaan makna untuk persepsi yang selanjutnya menentukan tindakan berkomunikasi. Ambil contoh, perbedaan persepsi antara
komunikator dengan komunikan dapat dijelaskan dalam scene 45. Dalam scene ini secara eksplisit dijelaskan perbedaan persepsi antara Saiful Bahri dan Haji Musa
tentang pemahaman agama. Di satu sisi Saiful berpendapat bahwa agama harus dipindahkan kedalam perbuatan, kedalam kehidupan sedangkan di sisi lain Haji
Musa berpendapat bahwa agama harus sesuai fungsinya sebagai perkara ibadah ritual an-sich, Haji Musa berkeyakinan bahwa ulama mempunyai kewajibannya
sebagai ulama bukan dicampur adukkan dengan perkara duniawi seperti mengurusi
pertanian dan perbedaan persepsi inilah yang menimbulkan hambatan-hambatan dalam berkomunikasi dikedua belah pihak.
Pada scene 55 Saiful kembali menegaskan gagasannya tentang sebuah pembaruan yang menyandingkan antara agama dan ilmu umum seperti pertanian
yang dibutuhkan untuk memajukan desa Sekarlangit. Ia bercakap-cakap dengan salah seorang guru di madrasah yang ia tempati untuk mengajar. Bagi Saiful Bahri
agama datang untuk mengatur kehidupan, tapi bagaimana kehidupan bisa diatur, kalau perlengkapannya sendiri tidak ada? Ilmu hidup dan ilmu agama itu sambung
menyambung, malah sebetulnya satu. Disini ia mencoba meyakinkan bahwa agama itu saling sambung menyambung dengan ilmu hidup yang dikategorikan terpisah
dari ilmu agama—ilmu hidup yang dimaksud disini ialah ilmu-ilmu yang bersifat duniawi seperti ilmu pertanian, kedokteran, teknik, sosial, hukum dan lain-lain. Hal
yang sama juga diutarakan oleh Chaerul Umam, dalam wawancara dengan penulis ia mengatakan bahwa agama itu tidak sekedar diomongkan tapi dilakukan jadi
Islam agama yang juga mengurus masalah pertanian, mengurus keterbelakangan, mengurus HAM juga. Disini, kita dapat melihat bahwa figur Saiful Bahri adalah
personifikasi dari gagasan pembaruan Islam yang dikenal dengan istilah Tajdid
14
,
14
Tadjid merupakan salah satu bentuk implikasi ajaran Islam setelah nabi meninggal. Ide tadjid sebenarnya merupakan konsekuensi logis dari ciri dasar ajaran Islam. Ciri ini diformulasikan
dalam bentuk keyakinan bahwa pertama, Islam adalah agama yang universal, yang misinya adalah rahmat bagi semua penghuni alam sebagaimana firman-Nya, Dan tidaklah Kami mengutus kamu
Muhammad, melainkan untuk rahmat bagi semesta alam QS 21:107, Universalitas Islam ini dipahami sebagai ajaran yang mencakup semua aspek kehidupan yang meliputi prinsip ajaran yang
mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan, dengan sesamanya, dan dengan lingkungannya. Dalam ciri ajaran yang khusus, Islam menekankan keseimbangan antara persolaan duniawi dan
yang non-duniawi, antara kehidupan spiritual dan material, serta ritual dan sosial. Konsep tentang universalitas Islam dan “finalitas” fungsi kenabian stelah Nabi Muhammad mendukung suatu ide
bahwa tajdid merupakan sebuah dimensi penting dalam pengalaman sejarah kaum muslim. Karena itu, dalam kerangka gerakan satu aspek penting yang menjadi misi kaum muslim adalah
mengimplementasikan ajaran Islam dengan kondisi aktual dalam kehidupan masyarakat. Gerakan tajdid yang muncul selama berabad-abad di dunia Islam pada dasarnya mencoba merefleksikan ciri
dasar ajaran Islam tersebut. hal ini paling tidak terlihat pada slogan yang bukan hanya mengajak kembali ke Alquran dan Sunnah, tetapi juga klaim akan perlunya ijtihad. Sementara itu, Hadis nabi
yang menyatakan bahwa Allah akan mengutus kepada umat ini pada setiap awal abad seseorang yang akan memperbarui pemahaman agamanya jelas menunjukkan adanya ide tajdid dalam Islam.
menurut Chaerul Umam tajdid dipahami dengan tindakan nyata—agama itu dikerjakan, dilakukan, karena ketika itu agama dipahami dalam urusan yang
bersifat ritualistik dan simbolik sedangkan apa yang dilakukan Saiful Bahri merupakan sebuah terobosan di mana agama juga dapat memainkan peranannya
dalam dimensi sosial kemasyarakatan tidak lagi adanya distingsi agama dan dunia sosial. Baginya, memang benar Saiful Bahri mengimplementasikan bahwa agama
itu dilakukan bukan sekedar diomongkan yang sekedar ritual, sekedar di-tabligh- kan saja tapi juga dilakukan dalam suatu perbuatan—tindakan nyata yang
bermanfaat bagi umat.
15
Pada scene 55 Saiful Bahri tampil sebagai motor penggerak perubahan di desa Sekarlangit dengan melakukan perubahan terhadap pola dan sistem
pendidikan di madrasah, penggerak bagi kehidupan warga desa Sekarlangit dengan memperkenalkan sistem irigasi dan merubah pemahaman masyarakat tentang
fungsi agama. Baginya agama datang untuk mengatur kehidupan, tapi bagaimana kehidupan bisa diatur, kalau perlengkapannya sendiri tidak ada? Ilmu hidup dan
ilmu agama itu sambung menyambung, malah sebetulnya satu. Dalam konteks ini, apa yang dilakukan oleh Saiful Bahri sebagai agamawan organik; lebih
menganjurkan peran dan fungsi kaum beragama yang tidak terlena dalam kesalehan pribadi, melainkan sebagai artikulator yang pandai menangkap pesan-
pesan agama serta memiliki kesadaran kolektif yang tinggi terhadap perubahan
Lihat Ahmad Jainuri, “ Landasan Teologis Gerakan Pembaruan”, dalam Artikulasi Islam Kultural; Dari Tahapan Moral ke Periode Sejarah, Asep Gunawan Ed., Jakarta: Penerbit PT Raja
Grafindo Persada, 2004. Hal 491-2 494-5.
15
Wawancara penulis dengan Chaerul Umam, 4 Februari 2010.
sosial. Keberadaannya tidak hanya mengurusi masalah spiritualitas, tetapi mampu melakukan perubahan nyata di masyarakat.
16
Apa yang dilakukan oleh Saiful Bahri dalam misi transformatifnya di desa Sekarlangit merupakan proyeksi dan kontekstualisasi ajaran Islam dalam proses
transformasi sosial di mana ia terlibat langsung dalam memberikan pemahaman keberagamaan masyarakat dan tindakan nyata dalam pemecahan masalah terutama
mengenai masalah pertanian. Model strategi yang dilakukan oleh Saiful Bahri mempunyai dua strategi yang saling mempengaruhi keberhasilannya. Pertama,
peningkatan kualitas keberagamaan dengan berbagai cakupannya, dan kedua, mendorong perubahan sosial.
17
Saiful Bahri yang diutus ke desa Sekarlangit tampil sebagai agen perubahan sosial dengan membawa pemahaman baru tentang apa itu agama sebagaimana ia
kemukakan dalam dialognya dengan seorang guru pembantu pada scene 55. Ia Saiful Bahri dengan meminjam tesis Kuntowijoyo—menangkap makna yang
terkandung dalam surat Ali Imran ayat 110, dengan konsep yang dikenal umum yaitu humanisasi dan emansipasi untuk istilah “amr ma’ruf”, liberasi untuk “nahiy
mungkar”, dan transendensi untuk “iman kepada Allah.
18
Saiful Bahri secara eksplisit mengatakan bahwa agama itu harus dipindahkan kedalam perbuatan,
kedalam kehidupan.
19
Dalam konteks ini, tokoh agama bukanlah berperan sebagai ‘pengarah’, apalagi ‘pemaksa’ melainkan sebagai pendamping masyarakat dalam
16
Khamami Zada, “Dakwah Transformatif Mengantar Da’i sebagai Pendamping Masyarakat”, dalam Dakwah Transformatif, Mujtaba Hamdi Ed., Jakarta: Penerbit
LAKPESADAM NU, 2006. Hal 7
17
Khamami Zada, “Dakwah Transformatif Mengantar Da’i sebagai Pendamping Masyarakat”, dalam Dakwah Transformatif, Mujtaba Hamdi Ed., Jakarta: Penerbit
LAKPESADAM NU, 2006. Hal 12
18
M Dawam Rahardjo, “Ilmu Sejarah Profetik dan Analisis Transformasi Masyarakat”, dalam Dakwah Transformatif, Mujtaba Hamdi Ed., Jakarta: Penerbit LAKPESADAM NU,
2006. Hal 17
19
Naskah Skenario Film Al-Kautsar, Sequence III Scene 45.
mengawal perubahan yang diinisiasi sendiri oleh warganya sesuai dengan desakan realitas yang menuntutnya.
20
Gagasan Saiful Bahri, menurut Moeslim Abdurrahman merupakan artikulasi dari religious voices suara-suara agama sebagai counter hegemony
terhadap agama yang telah dipakai sebagai pembenaran simbolik sehingga agama agama itu kemudian menjadi membebaskan. Saiful Bahri bertindak sebagai
agamawan organik, tampil sebagai seorang yang commited untuk melakukan agency, perubahan.
21
Ia Saiful Bahri menurut hemat penulis dalam kacamata teoritis sosial progresif, disebut sebagai seorang artikulator yang menggerakkan
perubahan dari bawah dengan memberikan sebuah pemahaman bahwa agama itu harus dipindahkan kedalam perbuatan, kedalam kehidupan.
22
Hal yang sama juga dijelaskan di scene 50. Percakapan mereka diakhir scene 50 menyoal sindiran Haji Musa kepada Saiful Bahri, bagi Haji Musa
seharusnya Saiful mempunyai sikap hormat terhadap yang lebih tua dengan mencium tangan seorang ulama sebagai tanda penghormatan seseorang terhadap
alim ulama namun bagi Haji Musa kini tidak berlaku lagi. Haji Musa mengilustrasikan si Sutan yang ilmu agamanya sudah tinggi tapi tidak menjalankan
perintah agama sebagaimana mestinya. Sontak, pernyataan Haji Musa tersebut
20
A. Fawaid Sjadzili, “Praktik Beragama Secara Transformatif, dalam Dakwah Transformatif ”, dalam Dakwah Transformatif, Mujtaba Hamdi Ed., Jakarta: Penerbit
LAKPESADAM NU, 2006. Hal 21
21
Penulis mengolahnya dari pernyataan Moeslim Abdurahman dalam Islam Sebagai Kritik Sosial, Mahdi, Sayed Ed., Jakarta: Penerbit Erlangga, 2003. Hal 194-5
22
Mengenai pemahaman Saiful Bahri dalam mengartikulasikan agama ke dalam tindakan atau perbuatan menurut Budhy Munawar Rahman sebagai paradigma Islam Rasional. Menurutnya
yang dicari Islam Rasional adalah ditemukannya pengetahuan yang mendasar mengenai Islam Ilmu keislaman yang rasional, untuk mendapatkan keyakinankepercayaan rasional iman yang
rasional, dan selanjutnya tingkah laku yang bisa dipertanggungjawabkan secara epistemilogis amal yang rasional. Ketiga hal itu ilmu, iman, dan amal yang rasional penting, untuk
mendapatkan suatu orientasi “kerja” keislaman. Yang dimaksud “orientasi kerja” di sini bagaimana Islam bisa aplikatif dalam kehidupan sehari-hari, tanpa perlu tafsir simbolis apalagi mistis yang
rumit. Lihat Budhy Munawar Rahman, “Dari Tahapan Moral ke Periode Sejarah; Pemikiran Neo- Modernisme Islam di Indonesia”, dalam Artikulasi Islam Kultural; Dari Tahapan Moral ke Periode
Sejarah, Asep Gunawan Ed., Jakarta: Penerbit PT Raja Grafindo Persada, 2004. Hal 444
membuat Saiful Bahri tidak terima dan menyanggah pernyataan tersebut dengan sebuah argumentasi bahwa untuk menghargai dan menghormati ilmu seseorang
dengan mengerjakan ajaran yang sudah diajarkan. Tampak disini Haji Musa belum bisa menerima sepenuhnya pandangan Saiful Bahri dalam mempersepsikan sebuah
agama, bagi Haji Musa keyakinannya bersumber pada sebuah pengalaman langsung experensial, yang terbentuk melalui inderawinya, di mana ia melihat
contoh yang ada pada diri Sutan yang berilmu tinggi namun tidak memberikan manfaat apapun bagi dirinya sendiri dan orang lain. Pada kasus ini, Haji Musa
membentuk sebuah sistem keyakinan, nilai-nilai dan sikap yang ia peroleh dari pengalaman langsung experensial, informasional dan aspek inferensial yang
berdasarkan penarikan kesimpulan terhadap suatu peristiwa dan objek di hadapannya. Sistem keyakinan yang ia anut inilah yang erat kaitannya dengan
nilai-nilai values, sebab nilai-nilai merupakan aspek evaluatif dari sistem-sistem kepercayaan. Sistem nilai ini kemudian teraksentuasi kedalam sebuah sikap dan
dari semua unsur-unsur tersebut termanifestasikan kedalam sebuah pandangan dunia. Terakhir diperkuat dengan lingkungan sosial yang membentuk pola pikir,
paradigma yang dalam konteks KAB disebut sebagai organisasi sosial sebagai sebuah unsur yang mengorganisasikan diri setiap individu yang mempengaruhi
cara mempersepsi dunia. Dalam organisasi sosial inilah dibentuknya persepsi melalui institusi-institusi seperti institusi keluarga, sekolah dan lembaga
keagamaan. Institusi-institusi inilah yang bertanggung jawab dalam transmisi budaya dari satu generasi ke generasi lain dan pelestariannya. Semua unsur-unsur
sosial dan budaya di atas mempengaruhi proses-proses persepsi.
23
23
Ilya Sunarwinadi, Komunikasi Antar Budaya, Jakarta: Pusat Antar Universitas Ilmu- Ilmu Sosial Universitas Indonesia, tanpa tahun. Hal 30
Chaerul Umam, sutraradara film ini mengatakan kepada penulis bahwa apa yang diperdebatkan antara Saiful Bahri dan Haji Musa hanyalah dalam rangka
menguji seberapa jauh motivasi Saiful bahri dalam mengimplementasikan pandangannya, Haji Musa pada hematnya, tak ingin Saiful Bahri berperilaku
seperti Sutan yang terlela dan lupa diri. Hal ini diperkuat dalam sebuah petikan dialog di scene 45, “ Coba yakinkan aku dulu. Sebelum itu biarlah aku berpegang
pada apa yang sampai saat ini ku anggap benar.” Kemudian ditegaskan kembali pada akhir petikan dialog scene 50, “Saya berkewajiban memperingatkan, haji.
Kalau soal mencoba tidak ada salahnya. Saya akan lihatkan, kemana perginya semua ini…” dalam petikan dialog ini dapat diperoleh informasi secara eksplisit
mengenai persepsi Haji Musa terhadap suatu peristiwa dan obyek diluar dirinya. Peristiwa dan obyek diluar itulah yang membenarkan persepsinya dan ini tentunya
bertolak belakang dengan persepsi Saiful Bahri. Namun perbedaan-perbedaan tersebut dapat diatasi dengan sikap Haji Musa untuk mempersilahkan Saiful Bahri
dalam melakukan aktivitasnya dan sikap Haji Musa dalam film ini berusaha untuk memahami persepsi Saiful Bahri sehingga tercapai pemahaman komunikasi yang
efektif. Komunikasi yang efektif adalah tujuan dari komunikasi antarbudaya untuk mengurangi tingkat ketidakpastian dengan suatu proses pertukaran pesan yang
saling pengertian, dan pemahaman persepsi diantara kedua belah pihak. Dalam konteks KAB, masalah-masalah yang timbul dalam komunikasi dan berkomunikasi
bersumber pada perbedaan-perbedaan persepsi. Oleh karena itu perlu kita memahami benar apa dan bagaimana kerangka persepsi orang lain.
24
24
Ilya Sunarwinadi, Komunikasi Antar Budaya, Jakarta: Pusat Antar Universitas Ilmu- Ilmu Sosial Universitas Indonesia, tanpa tahun. Hal 25
115
BAB V PENUTUP