Teori Film TINJAUAN TEORITIS

telah disebut tadi, ada alternatif lain yang bisa dipilih, yakni pendekatan sistem yang terkoordinasi. 22

C. Teori Film

Sebagai sebuah bentuk kesenian, film adalah sama dengan media artistik lainnya, karena ia memiliki sifat-sifat dasar dari media lain tersebut yang terjalin dalam susunannya yang beragam itu. Seperti halnya seni lukis dan seni pahat, film juga mempergunakan garis, susunan, warna, bentuk, volume, dan massa, sama baiknya dalam saling pengaruh-mempengaruhi secara halus antara cahaya dan bayang-bayang. Sebagian besar dari petunjuk-petunjuk komposisi fotografi yang dijadikan anutan dalam film juga sama dengan yang dipergunakan dalam seni lukis dan seni pahat. Seperti drama, film melakukan komunikasi verbal melalui dialog. Seperti musik dan khususnya seperti puisi ia berkomunikasi melalui citra, metafora dan lambang-lambang. Laksana pantomime, film memusatkan diri pada gambar bergerak dan seperti tari, gambar bergerak itu memiliki sifat-sifat ritmis tertentu. Akhirnya seperti novel, film mempunyai kesanggupan untuk memainkan waktu dan ruang, mengembangkan dan mempersingkatnya, menggerak-majukan atau memundurkannya secara bebas dalam batas-batas wilayah yang cukup lapang dari kedua dimensi ini. Tapi biarpun antara film dan media terdapat kseamaa-kesamaan, film adalah sesuatu yang unik, yang dibedakan dari segenap media lainnya karena sifatnya yang bergerak secara bebas dan tetap. Berkat unsur ini, film dapat melangkahi keterbatasan statis lukisan dan hasil seni pahat pada segi keruwetan pikatan daya tariknya dan sekaligus berkomunikasi serentak dengan 22 Ilya Sunarwinadi, Komunikasi Antar Budaya, Jakarta: Pusat Antar Universitas Ilmu-Ilmu Sosial Universitas Indonesia, tanpa tahun. Hal 30 mempergunakan penglihatan, suara dan gerak. Film melebihi drama karena ia memiliki kemampuan ajaib dalam mengambil sudut pandangan yang bermacam- macam. gerak, waktu dan karena rasa ruang yang tak terbatas yang bisa ia timbulkan. Berbeda dengan drama panggung, film punya kesanggupan untuk menyajikan suatu arus yang terus menerus dan tak terpatah-patah, yang mengaburkan atau mengecilkan transisi waktu dan tempat sambil tetap mempertahankan suatu kejernihan dan kejelasan. Berbeda dari novel dan sajak, film berkomunikasi tidak melalui lambang-lambang abstrak yang dicetak di atas halaman kertas sehingga memerlukan peterjemahan oleh otak ke pelukisan visual dan suara, tapi langsung melalui gambar-gambar visual dan suara yang nyata. Selanjutnya, film memiliki kseanggupan untuk menangani berbagai –bagai subyek yang tidak terbatas ragamnya. Dalam buku The Art of The Film, Ernest Lindgreen antara lain menyatakan: Adalah mustahil untuk membayangkan sesuatu yang dapat dilihat oleh mata atau didengar oleh telinga, baik sesuatu yang benar-benar ada maupun sesuatu yang ada dalam khayalan, yang tidak dapat disajikan dalam media film. Dari kutub sampai khatulistiwa, dari Grand Canyon sampai ke cacat yang sekecil- kecilnya pada sepotong baja, dari desing lajunya sebutir peluru sampai kepada kelambanan pertumbuhan setangkai bunga, dari kejapan fikiran pada wajah yang hampir-hampir tidak member ksean apapun, sampai pada hingar-bingarnya ocehan seorang gila, tidak ada satu titik pun dalam ruang, tidak ada kadar besar atau cepatnya gerak yang mungkin difahami manusia, yang tidak berada dalam jangkauan film. Film tidak hanya tak terbatas dalam lingkungan subyeknya, tapi pun dalam cakupan cara pendekatan pada materi tersebut. dalam suasana dan cara pengerjaan, ia bisa berada antara suasana yang liris dan nada yang epis; dalam soal sudaut pandangan ia bisa meliputi seluruh spektrum dari yang bersifat obyektif murni sampai kepada yang bersifat sangat subyektif; dalam kedalaman ia dapat memusatkan diri pada permukaan realitas dan pada yang bersifat sensual murni, atau menggali sesuatu yang bersifat intelektual dan falsafi. Dalam soal dimensi, waktu, film dapat berpaling ke belakang dan memandang kea rah kelampauan yang jauh, atau menyusup ke depan, ke kanan yang jauh. Ia bisa membuat beberapa detik terasa seperti beberapa jam. Ia dapat memadatkan satu abad menjadi beberapa menit. Akhirnya, film sanggup menghidupkan seluruh spektrum kepekaan manusia, mulai dari yang paling lembut, halus, rapuh, dan indah sampai kepada yang kasar, kejam dan memuakkan. Tapi yang lebih penting lagi daripada ketidak-terbatasan ruang lingkup media film ini menyangkut sasaran utama dan penanganannya adalah citarasa kenyataan yang melimpah ruah yang dapat ia sampaikan, tanpa menghiraukan sifat dasar daripada masalah intinya itu. Citarasa kenyataan dalam film ini terutama bersumber pada arus penglihatan, arus suara dan arus gerak yang serba berkesinambungan yang terdapat dalam media ini, yang keseluruhannya merupakan modal dasar sinematik, yang mampu membuat segala yang tampak pada layar seakan-akan tengah berlangsung pada saat yang sama dan menjadikan penonton benar-benar terbenam dalam angan yang paling lengkap dan mutlak yang diemban oleh film adalah bentuk dan dampak emosional dari realita yang paling telanjang. 23 Sedangkan menurut André Bazin 24 sinema adalah fenomena gagasan. Gagasan yang direka manusia itu sudah ada secara lengkap di benaknya. 25 23 Joseph M. Boggs, Cara Menilai Sebuah Film The Art of Watching Film diterjemahkan oleh Asrul Sani, Jakarta:Penerbit Yayasan Citra, 1992. Hal 4-6 24 André Bazin dilahirkan di kota Anger, 18 April 1918. Pada usia lima tahun ia masuk sekolah dasar di La Rochelle, ia bercita-cita menjadi seorang pengajar. Setelah di La Rochelle Bazin melanjutkan pendidikannya di Versailles. Kemudian, pada tahun 1938, ia dikirim untuk melanjutkan pendidikan tingginya di École Normale Supérieur, St. Cloud Perancis. Di sana ia belajar sastra dan ia menyelesaikan pendidikannya dengan ujian kualifikasi yang cemerlang. Bazin mulai menulis tentang film pada tahun 1943 dan turut mendirikan majalah Cahiers du Cinéma pada tahun 1951 bersama Jacques Doniol-Valcroze dan Lo Duca. Ia secara intensif Sejatinya sinema merupakan seni yang dapat mencapai obsesinya akan realitas yang selama ini ingin dituntaskan oleh seni lukis dan Bazin sendiri sering membandingkan film dengan media seni lainnya dan asumsi Bazin mengatakan bahwa film adalah satu-satunya media yang sangat baik untuk mengungkapkan realitas, esainya yang bertajuk The Ontology of The Photography Image mengulas secara lebih mendalam konstribusi film dalam membentuk realitas. Di mana tulisan tersebut membahas mengenai obyektifitas film dalam mengungkapkan realitas. 26 film tidak berhenti sebatas melestarikan untuk kita objek yang disalut secara mendadak seperti halnya serangga dari zaman dahulu dalam batu pualam, film membebaskan seni barok dari katalepsi mendadak. Untuk pertama kalinya, citra benda juga merupakan citra kelangsungannya dan sebagai mumi perubahan. Di lain pihak, sinema adalah bahasa. 27 Biarpun film adalah sebuah media yang unik, dengan kelengkapan dan kekhususan yang membedakan dia dari kesenian lainnya seperti seni lukis, seni pahat, fiksi dan drama, ia juga dalam bentuknya paling populer dan paling kuat, tertarik pada film di mulai pada tahun 1939 tatkala ia menjadi tentara sebagai bagian wajib militer dalam Perang Dunia II. Dan di bentangan antara tahun 1944-1953, Bazin menulis beberapa esainya, sebelum ia meninggal dunia di usia sekitar 40 tahun. Umumnya pada bahasa aslinya baca: Perancis Qu’est- ce que le Cinéma? Yang terdiri dari empat esai dan pada edisi bahasa Inggris diseleksi dan diterjemahkan oleh Hugh Gray menjadi dua volume What Is Cinema? Selain itu, Hugh Gray juga menerjemahkan buku Bazin yang lain yang berjudul Jean Renoir, Orson Welles: A Critical View and French Cinema of Occupation and the Resistence. Pendekatan teori film André Bazin dimulai dengan melihat kebudayaan visual image cultures secara antropologis, secara khusus Bazin berhutang budi pada André Malraux, Roger Leenhardt, Walter Benjamin, Debray, McLuhan, Jean Paul Sartre, Gilles Deleuze, Maurice Merleau Ponty sumbangan fenomenologi bagi pendekatan teori film dan para pemikir lainnya. Profil mengenai André Bazin saya dapat dari kata pengantar yang ditulis oleh Hugh Gray dalam What Is Cinema? Vol 1, terj. Hugh Gray California: The University of California Press, 1967. Dengan sedikit penjabaran dari penulis tulis dalam esai berjudul André Bazin dan Akademisasi Film. Lembaran Viewfinder edisi desember 2008. 25 André Bazin dalam Sinema, Apakah Itu?Terj. Dr. Rahayu S. Hidayat dari Qu’est-ce Que le Cinema?What Is Cinema? Jakarta: Penerbit Pusat Pembinaan dan Pengetahuan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996. Hal 9 26 Renal Rinoza Kasturi ,André Bazin dan Akademisasi Film. Lembaran Viewfinder edisi desember 2008. 27 André Bazin dalam Sinema, Apakah Itu? Terj. Dr. Rahayu S. Hidayat dari Qu’est-ce Que le Cinema?What Is Cinema? Jakarta: Penerbit Pusat Pembinaan dan Pengetahuan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996. Hal 5-6 merupakan sebuah media untuk bercerita yang memiliki unsur-unsur yang sama seperti yang ditemui dalam cerita pendek dan novel. Dan karena film menyajikan kisahnya secara lengkap dalam bentuk dramatis, ia memiliki banyak kesamaan dengan pertunjukkan panggung: kedua bentuk ini memainkan atau menjabarkan dengan gerak dan suara atau mendramatisasikan kisah dan arti mereka. Mereka lebih banyak memperlihatkan ketimbang menceritakan. Perbedaan terbesar antara film dan novel serta cerita pendek, atau drama panggung adalah karena film tidak mudah dipelajari, dalam pengertian ia tidak bisa efektif dibekukan di atas halaman cetak. Karena novel dan cerita pendek adalah media cetakan, maka kedua bentuk kesenian ini lebih mudah dipelajari. Keduanya ditulis untuk dibaca. Drama panggung sedikit lebih sulit untuk dipelajari karena ia ditulis untuk dipanggungkan, bukan untuk dibaca. Tapi drama umumnya dicetak dank arena bentuk kesenian ini terutama mengandalkan kata-kata yang diucapkan, pembaca-pembaca yang imajinatif dan kreatif dapat membayangkan setidak- tidaknya suatu tiruan semua dari pengalaman yang mungkin mereka alami kala menonton pemanggungan drama tersebut. Sedangkan dengan skenario tidaklah demikian halnya. Karena sebuah film begitu tergantung pada unsur-unsur visual dan non visual lainnya maka ia tidak mudah diutarakan dalam bentuk tulisan. Sebuah skenario menuntut bagitu banyak “tambahan” dalam imajinasi kita hingga kita tidak mungkin bisa mengira-ngira penghayatan film itu hanya dengan jalan membaca skenarionya. Hanya jika kita sudah melihat film tersebut barulah membaca skenarionya ada gunanya. Sehingga, kebanyakan skenario diterbitkan bukan untuk dibaca, tapi untuk diingat. 28 28 André Bazin, Sinema… Hal Hal 23 Film dan drama berbeda dalam kenyataan. Sebuah drama memiliki pembagian structural yang jelas yang disebut babak atau adegan yang mempengaruhi penempatan puncak-puncak kekuatan dan intensitas dramatik. Akhir sebuah babak misalnya bisa dibangun hingga mencapai suatu puncak emosional yang gegap gempita, dan dengan demikian dapat menciptakan suatu gema dramatik yang kuat yang bisa melimpah ke babak berikutnya. Biarpun film memiliki sekwen-sekwen yang secara kasar dapat dianggap padanan dari babak, tapi disini arus berlangsung secara terus-menerus. Sekwen yang satu melancar ke dalam sekwen berikutnya. Tapi kadang-kadang disini juga kita temui kesamaan- kesamaan, karena freeze frame gambar beku memberikan pada sekwen suatu rasa berakhir yang sama dengan rasa berakhir yang diberikan oleh babak. Perlengkapan sinematik ini juga hampir menyerupai efek lama panggung yang disebut tableu, di mana para aktor “membekukan” diri dalam pose-pose dramatik selama beberapa detik sebelum layar diturunkan dengan maksud lebih meninggalkan kesan yang dalam pada ingatan penonton. 29 John Howard Lawson menulis: “ Sifat film membuatnya tidak sesuai dengan langgam percakapan yang dibenarkan dipanggung”. Dengan demikian kita dapat mengambil kesimpulan bahwa dialog film pasti berbeda dari dialog panggung. Umumnya, dialog film jauh lebih bersahaja dari dialog yang diucapkan di atas panggung. Karena dalam film citra visual lebih berarti daripada di atas panggung, maka banyak bagian yang memerlukan dialog, dalam film dapat diutarakan melalui gambar. Jika plot dapat dikembangkan dengan jalan memperlihatkan apa yang terjadi, maka seorang sutradara umumnya akan memilih cara yang pertama. Karena adanya unsur visual yang memikul beban tambahan, 29 André Bazin, Sinema… Hal Hal 244-5 maka dialog film biasanya lebih bersahaja, lebih bersifat sehari-hari dan tidak begitu puitis. Dialog puitis lebih cocok untuk panggung daripada untuk film. 30

D. Struktur Film