yang telah membuat film sebagai media yang dinamis. Diawali dengan film The Adventures of Dolly 1908 dan puncaknya film The Birth of Nation 1915 serta
film Intolerence 1916.
31
Grifith mempelopori gaya berakting yang lebih alamiah, organisasi cerita yang makin baik, dan yang paling utama mengangkat
film sebagai media yang memiliki karakteristik yang unik, dengan gerakan- gerakan kamera yang dinamis, sudut pengambilan gambar yang baik dan teknik
editing yang baik. Pada periode ini pula perlu dicatat nama Mack Sennett dengan Keystone Company-nya yang telah membuat film komedi bisu dengan bintang
legendaris Charlie Chaplin. Apabila film permulaannya merupakan film bisu, maka pada tahun 1927 di
Broadway, Amerika Serikat, muncul film bicara yang pertama meskipun belum sempurna.
3. Perfilman di Indonesia
Dari sejarah perfilman di Indonesia, film pertama yang diputar berjudul Lady Van Java yang diproduksi di Bandung pada tahun 1926 oleh David. Pada
tahun 19271928 Krueger Coorporation memproduksi film Eulis Atjih, dan sampai tahun 1930, masyarakat disuguhi film Lutung Kasarung, Si Conat dan Pareh.
Film-film tersebut merupakan film bisu dan diusahakan oleh orang-orang Belanda dan China.
Film bicara yang pertama berjudul Terang Bulan yang dibintangi oleh Roekiah dan R. Mochtar berdasarkan naskah seorang penulis Indonesia, Saerun.
Pada saat perang Asia Timur Raya di penghujung tahun 1941, perusahaan perfilman yang diusahakan oleh orang Belanda dan Cina itu berpindah tangan
31
Ibid, h. 202
kepada pemerintah Jepang, diantaranya adalah NV. Multi Film yang diubah namanya menjadi Nippon Eiga Sha, yang selanjutnya memproduksi film untuk
media informasi dan propaganda. Namun tatkala bangsa Indonesia sudah memproklamasikan kemerdekaannya, maka pada tanggal 6 Oktober 1945 Nippon
Eiga Sha diserahakan secara resmi kepada pemerintah Republik Indonesia. Serah terima dilakukan oleh Ishimoto dari pihak pemerintah Militer
Jepang kepada R.M. Soetarto yang mewakili pemerintah Republik Indonesia. Sejak tanggal 6 Oktober 1945 lahirlah Berita Film Indonesia atau BFI bersamaan
dengan pindahnya Pemerintah RI dari Yogyakarta, BFI pun pindah dan bergabung dengan Perusahaan Film Negara, yang pada akhirnya berganti nama menjadi
Perusahaan Film Nasional.
32
Ada dua aspek penting dari awal sejarah film untuk melihat bagaimana status dan peranan film ditumbuhkan. Yang pertama, film dilahirkan sebagai
tontonan umum awal 1900-an, karena semata-mata menjadi alternatif bisnis besar jasa hiburan di masa depan manusia kota. Yang kedua, film dicap „hiburan
rendahan’ orang kota, namun sejarah membuktikan bahwa film mampu melakukan kelahiran kembali untuk mampu menembus seluruh lapisan
masyarakat, juga lapisan menengah dan atas, termasuk lapisan intelektual dan budayawan. Bahkan kemudian seiring dengan kuatnya dominasi sistem Industri
Hollywood yang kemudian melahirkan film-film Auteur. Yakni film-film personal sutradara yang sering disebut sebagai film seni.
33
32
Elvinaro Ardianto, Lukiati Komala Erdiyana, Komunikasi Massa, suatu pengantar, Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2005 cet. Ke-2 h. 135-136
33
www.geocities.comparis7229film.html . Artikel diakses pada 27 Mei 2010
Dalam pertumbuhannya, baik film hiburan yang mengacu pada Hollywood ataupun film-film seni kadang tumbuh berdampingan, saling memberi namun juga
bersitegang. Masing-masing memiliki karakter sasaran pasar, festival, dan pola pengembangannya sendiri. Sementara itu pada proses pertumbuhannya film
Indonesia tidak mengalami proses kelahiran kembali, yang awalnya dicap rendahan menjadi sesuai dengan nilai-nilai seluruh lapisan masyarakat, termasuk
kelas menengah ke atas, juga intelektual dan budayawan. Film merupakan media komunal dan cangkokan dari berbagi teknologi dan
unsur-unsur kesenian. Ia cangkokan dari perkembangan teknologi fotografi dan rekaman suara. Juga komunal berbagai kesenian baik berupa seni rupa, teater,
sastra, arsitektur hingga musik. Maka kemampuan bertumbuhnya film sangatlah bergantung pada tradisi bagaimana unsur-unsur cangkokan teknologi dan unsur-
unsur seni dari film yang dalam masyarakat masing-masing berkembang pesat dicangkokan dan dihimpun. Dengan demikian tidak tertinggal dan mampu
bersaing dengan teknologi media dan seni lainnya. Sejarah film Indonesia menunjukkan unsur-unsur cangkokan dan komunal
dari film tak mengalami pertumbuhan berarti. Akibatnya ketika masyarakat dimanjakan unsur visual dan audio, dari perkembangan teknologi media dan seni
lainnya seperti televisi, seni rupa, dan lain-lain, masyarakat Indonesia tak mendapatkannya dalam film.
34
34
Disarikan dari tulisan Garin Nugroho : Krisis sebagai Momentum Kelahiran, Kompas, Agustus 1991
Perfilman Indonesia pernah mengalami krisis hebat ketika Usmar Ismail menutup studionya tahun 1957. Pada tahun 1992 terjadi lagi krisis besar. Tahun
1990 jumlah produksi film nasional mencatat angka 112, pada tahun 1991 turun menjadi 85 judul film, dan tahun 1992 mencapai angka di bawah 30, data-data
dari Sinematek Indonesia, yang masih rajin mencatat produksi film indonesia, menunjukkan bahwa “keruntuhan” itu terjadi mulai tahun 1998. Tahun itu tercatat
hanya empat produksi film, sementara tahun-tahun berikutnya: 1999 tiga judul, 2000 tiga judul, dan 2001 empat judul. Padahal, pada tahun 1997 masih tercatat
27 judul, 1996: 15 judul, dan 1995: 12 judul. Jumlah itu tentu sangat tidak berarti bila dibandingkan dengan produksi lebih dari 100 judul per tahun yang pernah
dicapai pada tahun-tahun sebelumnya.
35
Yang menarik, krisis kedua ini tumbuh seperti yang terjadi di Eropa tahun 1980, yakni tumbuh dalam tautan munculnya industri cetak raksasa, televisi,
video, dan radio. Dan itu didukung oleh kelembagaan distribusi pengawasannya yang melahirkan mata rantai penciptaan dan pasar beragam sekaligus saling
berhubungan, namun masing-masing tumbuh lebih khusus. Celakanya di Indonesia dasar struktur dari keadaan tersebut belum siap. Seperti belum
efektifnya jaminan hukum dan pengawasan terhadap pasar video, untuk menjadikannya pasar kedua perfilman nasional setelah bioskop.
36
Faktor yang mempengaruhi rendahnya mutu film nasional salah satunya adalah rendahnya
35
J. B. Kristianto, Film Indonesia dan Akal Sehat,Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2001 Cet. 1 hal. 216
36
Nugroho, Garin, Film Indonesia, Antara Pertumbuhan dan Kecemasan Tempo, Mei 1993
kualitas teknis karyawan film. Ini disebabkan kondisi perfilman Indonesia tidak memberikan peluang bagi mereka yang berpotensi untuk berkembang.
Ada beberapa sebab mengapa film nasional kita terpuruk: Pertama, soal selera dan apresiasi masyarakat kita sudah berubah.
Perfilman tahun 60-an dan 70-an masih begitu jaya. Kejayaan film-film pada era tahun ini cukup logis karena masyarakat kita masih sederhana dan terpaan media
masih belum besar. Ketika dekade tahun 80-an, mulailah terpaan media begitu gencarnya. Setiap orang hampir setiap hari membaca berbagai media massa.
Kemudian, dengan munculnya televisi swasta, sajian film-film layar lebar di televisi sudah demikian memukau masyarakat. Masyarakat yang tadinya hanya
menikmati film-film nasional, seolah dikejutkan dengan budaya asing dengan film-film Hollywood-nya.
Memang, sebelumnya kita sudah mengimpor film-film produksi India yang dikenal dengan Bollywood. Dalam film-film Bollywood, masih terasa
tampilan budaya Asianya. Juga impor film-film kungfu Hongkong yang juga masih ada nilai proximity-nya karena semata-mata berbasis Asia. Namun, begitu
film Hollywood mulai menggempur secara membabi buta, mau tidak mau film kita bertekuk lutut.
Kedua, munculnya cineplek atau gedung bioskop kembar yang lebih banyak menayangkan film-film asing. Dengan semakin tingginya intensitas
menayangkan film asing sesuai dengan kelonggaran pemerintah yang diberikan
kepada PT Subentra, maka film nasional pun semakin tersisih.
37
Akibatnya dapat kita tebak, film nasional jadi tidak laku.
Ketiga, kurangnya SDM di bidang perfilman yang berkualitas.
38
SDM perfilman yang seharusnya menerima estafet tongkat kepemimpinan dari para
sineas senior kurang tampak. Akibatnya SDM di bidang film kita habis. Sementara, yang masih muda ada banyak hambatan baik yang besifat birokrasi
maupun freme film yang umumnya film mayor. Terakhir adalah film yang hanya dipandang sebagai komoditas industri.
Padahal sebagai satu bentuk seni, seharusnya film tidak melulu dikaitkan dengan bisnis. Di sini terlihat sekali, karena film dibebani tugas mencari keuntungan bagi
produsernya maka beban yang berat ini justru mematikan film itu sendiri. Kemunculan film indie tidak lain merupakan reaksi atas kekuasaan kaum
pengusaha terhadap para seniman film. di mana mereka merasa begitu beranggapan bahwa para sineas muda yang memang tidak punya modal untuk
membuat film. Padahal, sebagai seni film bisa diekspresikan dengan berbagai cara dan bentuk yang berbeda pula.
4. Fungsi Film
Seperti halnya televisi siaran, tujuan khalayak menonton film terutama adalah ingin mendapatkan hiburan. Akan tetapi dalam film dapat terkandung
fungsi informatif maupun edukatif, bahkan persuasif. Hal ini pun sejalan dengan misi perfilman nasional sejak tahun 1979, bahwa selain media hiburan, film
37
www.scribd.comdoc18681861Film-in-Die-Indonesia artikel diakses pada 15 juni
2010
38
Onong Uchjana Efendy, Ilmu, Teori Dan Filsafat Komunikasi, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003 cet. Ke-3, h. 238.
nasional dapat digunakan sebagai media edukasi untuk pembinaan generasi muda dalam rangka nation and character building.
39
Fungsi edukasi dapat tercapai apabila film nasional memproduksi film- film sejarah yang objektif, atau film dokumenter, dan film yang diangkat dari
kehidupan sehari-hari secara berimbang.
40
5. Karakteristik Film
Faktor-faktor yang dapat menunjukkan karakteristik film adalah layar lebar, pengambilan gambar, konsentrasi penuh dan identifikasi psikologis.
41
a. Layar yang luas lebar
Film dan televisi sama-sama menggunakan layar, namun kelebihan media film adalah layarnya yang berukuran luas. Meskipun saat ini ada layar televisi
yang berukuran jumbo, itu digunakan pada saat-saat khusus dan biasanya di ruangan terbuka, seperti pada pertunjukkan musik dan sejenisnya. Layar film yang
luas telah memberikan keleluasaan penontonnya untuk melihat adegan-adegan yang disajikan dalan film. Apalagi dengan adanya kemajuan teknologi, layar film
di bioskop-bioskop pada umumnya sudah tiga dimensi, sehingga penonton seolah- olah melihat kejadian nyata dan tidak berjarak.
b. Pengambilan Gambar
Sebagai konsekuensi layar lebar, maka pengambilan gambar atau shot dalam film bioskop memungkinkan dari jarak jauh atau extreme long shot, dan
panoramic shot, yakni pengambilan pemandangan menyeluruh. Shot tersebut
39
Onong Uchjana Effendy, Ilmu, Teori, Dan Filsafat Komunikasi, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003 cet. Ke-3 h. 227
40
Elvinaro Ardianto, Lukiati Komala Erdiyana, Komunikasi Massa, suatu pengantar, Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2005 cet. Ke-2 h. 136
41
Ibid, hal. 136-138.
dipakai untuk memberi kesan artistik dan suasana yang sesungguhnya, sehingga film menjadi lebih menarik. Perasaan kita akan tergugah melihat seseorang
pemain film sedang berjalan di gurun pasir pada tengah hari yang amat panas. Manusia yang berjalan tersebut terlihat bagai benda kecil yang bergerak di tengah
luasnya padang pasir. Di samping itu, melalui panoramic Shot, kita sebagai penonton dapat memperoleh sedikit gambaran, bahkan mungkin gambaran yang
cukup tentang daerah tertentu yang dijadikan lokasi film sekalipun kita belum pernah berkunjung ke tempat tersebut. Misalnya, kita dapat mengetahui suasana
sekitar menara Eiffel di Paris, air terjun Niagara di Amerika Serikat dan lain-lain. Sebaliknya, pengambilan gambar pada televisi lebih sering jarak dari jarak dekat.
c. Konsentrasi penuh
Saat kita menonton film di bioskop, kita akan mengalami suasana yang berbeda dibandingkan dengan saat kita menonton televisi di rumah. Di dalam
bioskop kita semua terbebas dari gangguan hiruk-pikuk suara diluar karena biasanya ruangan kedap suara. Semua mata hanya tertuju pada layar, sementara
pikiran perasaan kita tertuju pada alur cerita. Dalam keadaan demikian emosi kita juga terbawa oleh suasana.
d. Identifikasi Psikologis
Penonton dapat merasakan bahwa suasana di gedung bioskop telah membuat pikiran dan perasaannya larut dalam cerita yang disajikan. Karena
penghayatan para penonton yang amat mendalam, seringkali secara tidak sadar mereka menyamakan mengidentifikasikan pribadinya dengan salah seorang
pemeran dalam film itu, sehingga seolah-olah dialah yang sedang berperan. Gejala ini menurut ilmu jiwa sosial disebut sebagai identifikasi psikologis.
42
42
Onong Uchjana Effendy, Ilmu, Teori, Dan Filsafat Komunikas, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003 Cet. Ke-3 hal. 207
6. Jenis-jenis Film
Film dapat dikelompokkan pada jenis film cerita, film berita, film dokumenter, dan film kartun.
a. Film Cerita
Film cerita story film adalah jenis film yang mengandung suatu cerita yang lazim dipertunjukkan di gedung-gedung bioskop dengan bintang film tenar
dan film ini didistribusikan sebagai barang dagangan. Cerita yang diangkat menjadi topik film bisa berupa cerita fiktif atau berdasarkan kisah nyata yang
dimodifikasi, sehingga ada unsur menarik, baik dari jalan ceritanya maupun dari segi gambar yang artistik.
b. Film Berita
Film berita atau newsreel adalah film mengenai fakta, peristiwa yang benar-benar terjadi. Karena sifatnya berita, maka film yang disajikan kepada
publik harus mengandung nilai berita news value. Kriteria berita itu adalah penting dan menarik. Yang terpenting dalam film berita adalah peristiwanya
terekam secara utuh. c.
Film Dokumenter Film dokumenter documentary film didefinisikan oleh Robert Flaherty
sebagai “karya ciptaan mengenai kenyataan creative treatment of actuality”. Berbeda dengan film berita yang merupakan kenyataan, maka film dokumenter
merupakan hasil interpretasi pribadi pembuatnya mengenai kenyataan tersebut. d.
Film Kartun Film Kartun cartoon film dibuat untuk dikonsumsi anak-anak. Tujuan
utama dari film kartun adalah untuk menghibur. Walaupun tujuan utamanya
adalah untuk menghibur, tapi terdapat pula film-film kartun yang mengandung unsur-unsur pendidikan di dalamnya.
43
7. Unsur-Unsur Pembentuk Film
Film secara umum dapat dibagi atas dua unsur pembentuk, yakni unsur naratif dan unsur sinematik. Kedua unsur tersebut saling berinteraksi dan
berkesinambungan satu sama lain. Unsur naratif adalah bahan materi yang akan diolah, berhungan dengan aspek cerita atau tema film, terdiri dari unsur-unsur
seperti: tokoh, masalah, konflik, lokasi, dan waktu. Sedangkan unsur sinematik adalah cara gaya untuk mengolahnya. Dalam film cerita unsur naratif adalah
perlakuan terhadap cerita filmnya. Sementara unsur sinematik atau gaya sinematik merupakan aspek-aspek teknis pembentuk film.
44
Unsur sinematik terdiri dari empat elemen pokok, yakni: a.
Mise-en-scene, yaitu segala hal yang berada di depan kamera. b.
Sinematografi, yaitu perlakuan terhadap kamera dan filmnya serta hubungan kamera dengan objek yang diambil.
c. Editing, yakni transisi sebuah gambar shot ke gambar shot lainnya.
d. Suara, yakni segala hal dalam film yang mampu kita tangkap melalui
indera pendengaran. Film juga mengandung unsur-unsur dramatik. Unsur drramatik dalam
istilah lain disebut dramaturgi, yakni unsur-unsur yang dibutuhkan untuk melahirkan gerak dramatik pada cerita atau pada pikiran penontonnya, antara lain:
konflik, suspense, curiosity, dan surprise. Konflik adalah suatu pertentangan yang terjadi dalam sebuah film misalnya, pertentangan antar tokoh. Suspense adalah
43
Elvinaro Ardianto, lukiati Komala Erdinaya. Komunikasi Massa, suatu pengantar Bandung: Simbiosa Rekatama Media h. 138-140
44
Himawan Pratista, Memahami Film, h. 1-2
ketegangan yang dapat menggiring penonton ikut berdebar menantikan adegan selanjutnya. Curiosity adalah rasa ingin tahu atau penasaran penonton terhadap
jalannya cerita sehingga penonton terus mengikuti alur film sampai selesai. Surprise adalah kejutan. Kejutan ini biasanya digunakan pada alur film yang sulit
ditebak. Perasaan surprise pada penonton timbul karena jawaban yang mereka saksikan adalah di luar dugaan. Efek surprise ini bisa membuat penonton senang,
bisa juga kecewa atau sedih.
45
8. Sinematografi
Dalam sebuah produksi film ketika seluruh aspek mise-en-scene telah tersedia dan sebuah adegan telah siap untuk diambil gambarnya, pada tahap inilah
unsur sinematografi mulai berperan. Sinematografi secara umum dapat dibagi menjadi tiga aspek, yakni kamera dan film, framing, serta durasi gambar. Kamera
dan film mencakup teknik-teknik yang dapat dilakukan melalui kamera dan stok filmnya, seperti warna, penggunaan lensa, kecepatan gerak gambar, dan
sebagainya. Framing adalah hubungan kamera dengan objek yang akan diambil,
seperti batasan wilayah gambar atau frame, jarak, ketinggian, pergerakan kamera dan seterusnya. Sementara durasi gambar mencakup lamanya sebuah objek
diambil gambarnya oleh kamera.
46
Berikut ini adalah salah satu aspek framing yang terdapat dalam sinematografi, yakni jarak kamera terhadap obyek type of shot, yaitu
47
:
45
Elizabeth Lutters, Kunci Sukses Menulis Skenario, Jakarta: Grasindo, 2004 cet. Ke-3, h. 100-103.
46
Himawan Pratista, Memahami Film, Yogyakarta: Homerian Pustaka, 2008 h. 89.
47
Ibid, h. 104-106
a. Extreme long shot
Extreme long shot merupakan jarak kamera yang paling jauh dari obyeknya. Wujud fisik manusia nyaris tidak tampak. Teknik ini umumnya
untuk menggambarkan sebuah obyek yang sangat jauh atau panorama yang luas.
b. Long shot
Pada long shot tubuh fisik manusia telah tampak jelas namun latar belakang masih dominan. Long shot sering digunakan sebagai estabilising shot,
yakni shot pembuka sebelum digunakan shot-shot yang berjarak lebih dekat. c.
Medium long shot Pada jarak ini tubuh manusia terlihat dari bawah lutut sampai ke atas.
Tubuh fisik manusia dan lingkungan sekitar relatif seimbang. d.
Medium shot Pada jarak ini memperlihatkan tubuh manusia dari pinggang ke atas.
Gestur serta ekspresi wajah mulai tampak. Sosok manusia mulai dominan dalam frame.
e. Medium close-up
Pada jarak ini memperlihatkan tubuh manusia dari dada ke atas. Sosok tubuh manusia mendominasi frame dan latar belakang tidak lagi dominan. Adegan
percakapan normal biasanya menggunakan jarak medium close-up. f.
Close-up Umumnya memperlihatkan wajah, tangan, kaki, atau sebuah obyek kecil
lainnya. Teknik ini mampu memperlihatkan ekspresi wajah dengan jelas serta
gestur yang mendetil. Close-up biasanya digunakan untuk adegan dialog yang lebih intim. Close-up juga memperlihatkan mendetil sebuah benda atau obyek
g. Extreme close-up
Pada jarak terdekat ini mampu memperlihatkan lebih mendetail bagian dari wajah, seperti telinga, mata, hidung, dan lainnya atau bagian dari sebuah
obyek.
9. Struktur Film
Seperti halnya sebuah karya literatur yang dapat dipecah menjadi bab chapter, alinea, dan kalimat, film jenis apapuun, panjang atau pendek, juga dapat
memiliki struktur fisik. Secara fisik sebuah film dapat dipecah menjadi unsur- unsur sebagai berikut
48
: a.
Shot merupakan unsur terkecil dari film, yakni proses perekaman gambar atau perekaman gambar satu kali take sejak kamera diaktifkan on
hingga dimatikan off. Dalam novel shot bisa diibaratkan satu kalimat. Sekumpulan shot biasanya dapat dikelompokkan menjadi sebuah adegan.
Satu adegan bisa berjumlah belasan hingga puluhan shot. Satu shot dapat berdurasi kurang dari satu detik, beberapa menit, bahkan jam.
b. Scene Adegan adalah satu segmen pendek dari keseluruhan cerita yang
memperlihatkan satu aksi berkesinambungan yang diikat oleh ruang, waktu, isi cerita, tema, karakter, atau motif. Satu adegan umumnya
terdiri dari beberapa shot yang saling berhubungan. Biasanya film cerita terdiri dari 30-35 adegan.
48
Himawan Pratista, Memahami Film, h. 29-30
c. Sequence Sekuen adalah satu segmen besar yang memperlihatkan satu
rangkaian peristiwa yang utuh. Atau sequence adalah sebuah rangkaian adegan.
49
Satu sekuen umumnya terdiri dari beberapa adegan yang saling berhubungan. Dalam karya literatur, sekuen bisa diibaratkan bab atau
sekeumpulan bab. Film cerita biasanya terdiri dari 8-15 sequence.
C. Pesan Moral
Istilah pesan dalam bahasa Inggris message berasal dari kata latin yaitu message yang bersumber dari kata yang berarti perintah, nasehat, permintaan,
kata-kata, lambang, ide, amanat yang harus disampaikan atau dilakukan kepada orang lain.
50
Akan tetapi, pengertian pesan yang dipaparkan di atas bersifat mendasar, dalam arti kata bahwa pesan itu adalah suatu kata-kata itu menyediakan suatu alat
pengantar yang dapat menyampaikan ide-ide dan informasi, tapi juga persuasif yaitu pesan-pesan berjalan dengan struktur yang melalui komunikator dan
diterima oleh komunikan agar orang lain bersedia menerima suatu paham dan keyakinan melakukan suatu perbuatan atau kegiatan dan lain-lain.
51
Dalam komunikasi, pesan menjadi salah satu unsur penentu efektifitas suatu tindakan komunikasi. Pesan menjadi unsur utama selain komunikator dan
komunikan, terjadi komunikasi antar manusia. Tanpa adanya komunikasi pesan, maka tidak pernah terjadi komunikasi yang jelas antar manusia.
52
49
Heru Effendy, Mari Membuat Film; Panduan Menjadi Produser, Jakarta: Pustaka Konfiden, 2008 cet. Ke-6, h. 149
50
Departemen Pendidikan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1997, cet. Ke-9, h. 761
51
James G. Robinson, Komunikasi yang Efektis, Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1986, cet.ke-3 h. 35
52
M. Jamaluddin Piktoringa, Tipologi Pesan Persuasif, PT. Indeks: Jakarta, 2005, cet.ke-1, h. 1
Menurut beberapa ahli, pesan mempunyai macam-macam arti. Pesan dapat diartikan sebagai lambang, ide, kata, atau isi pernyataan. Menurut Hoeta
Soehoet, pesan adalah isi pernyataan yaitu hasil penggunaan akal budi yang disampaikan manusia kepada manusia lain. Artinya berfungsi untuk mewujudkan
isi pernyataan dari bentuknya yang abstrak menjadi konkret. Dari berbagai definisi yang telah disebutkan, meskipun terdapat perbedaan dalam perumusan
dapat disimpulkan bahwa pesan merupakan suatu isi pernyataan yang mendatangkan makna dan respon tertentu.
Sebenarnya suatu pesan tidak hanya sebatas menstimulasi emosi khalayak. Pesan dapat pula dikatakan persuasif manakala menyentuh rasio
khalayak. Bahkan pesan yang disampaikan tidak hanya menyentuh ratio khalayak tapi juga dapat mengajak khalayak untuk menjadi sesuatu yang lebih baik.
Dengan demikian pesan akan dapat menghasilkan respon tertentu seandainya dirancang dengan baik. Untuk itu pesan hendaknya mengoptimalkan
lambang komunikasi yang tersedia verbal, non-verbal dan paralinguistik yang disesuaikan dengan topik yang dikomunikasikan. Saluran komunikasi yang
digunakan dan khalayak yang dituju. Selain itu, pesan yang dirancang biasanya merupakan refleksi dari prilaku khalayak yang dituju, sehingga diharapkan
merupakan hasil pengkondisian dari sumber.
53
Dalam penelitian ini, pesan yang ingin disampaikan pada khalyak adalah pesan yang mengandung nilai-nilai moral. Pesan moral merupakan suatu materi
atau gagasan mengenai ajaran tentang baik buruknya perbuatan dan kelakuan yang ingin disampaikan oleh pembuat film kepada penontonnya.
53
Ibid, h. 4
Sebagaimana tema, pesan moral hanya dapat ditangkap melalui penafsiran cerita. Hal ini sekaligus merupakan petunjuk praktis mengenai
berbagai hal yang berhubungan dengan masalah kehidupan, seperti sikap, tingkah laku, dan sopan santun pergaulan. Sutradara atau pembuat film ini menyampaikan
semua hal tersebut di atas melalui penampilan tokoh-tokoh cerita. Sebenarnya yang dimaksud dengan moral menurut Kamus Umum Bahasa
Indonesia adalah penentuan baik-buruk terhadap perbuatan dan kelakuan.
54
Dan menurut istilah moral adalah suatu istilah yang digunakan untuk menentukan
batas-batas dari sifat, perangai, kehendak, pendapat, atau perbuatan yang secara layak dapat dikatakan benar, salah, baik, atau buruk.
55
Moralitas akan muncul dengan sendirinya manakala seseorang mulai berpikir tentang apa yang harus dilakukan dan tidak harus tidak dilakukan.
Seseorang akan bertindak dengan alasan-alasan tertentu dan tidak dikendalikan oleh sebab-sebab yang lain. Tindakan moral harus rasional, alasannya pun harus
operatif. Jadi, tidak sekedar rasional semata. Pada intinya, setiap orang harus mampu bertindak sebagai makhluk yang bermoral.
56
Menurut pandangan Rest, moralitas mencakup makna yang begitu luas, antara lain:
a. tingkah laku membantu orang lain;
b. tingkah laku yang sesuai dengan norma-norma sosial;
c. timbulnya empati atau rasa salah, atau bahkan keduanya;
d. penalaran tentang keadilan, dan
e. memperhatikan kepentingan orang lain.
57
54
W.J, S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Rajawali Press, 1980, cet.II, h. 654.
55
Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003, cet.V, h. 93.
56
Cheppy Haricahyono, Dimensi Pendidikan Moral, Semarang: IKIP Semarang Pres, 1995, h. 67.
57
Ibid, h. 210.