D. Profile Nurman Hakim sebagai Sutradara Film “3 DOA 3 CINTA”
Penulis dan Sutradara Film 3 DOA 3 CINTA adalah Nurman Hakim. Nurman Hakim memulai debutnya sebagai sutradara, produser dan penulis
program televisi. Lahir di Demak, Jawa Tengah dan semasa sekolah ia juga pernah tinggal di pondok pesantren di daerah Semarang. Pria yang lulus dari
Fakultas Film dan Televisi-Institut Kesenian Jakarta FFTV-IKJ ini juga telah banyak menyutradarai film pendek. Beberapa karyanya antara lain Sebelum Senja
2001, Topeng Bayangan 2005, Tembang Sunyi Seorang Lelaki 2002, dan pada tahun 2003 salah satu karyanya yang berjudul
“Seribu Kali Dunia” juga berhasil memenangkan Festival Film Independent. Saat ini ia aktif sebagai
pengajar di Fakultas Film dan Televisi, Institut Kesenian Jakarta.
BAB IV ANALISIS DATA FILM 3 DOA 3 CINTA
A. Makna Denotasi, Konotasi dan Mitos Film 3 DOA 3 CINTA
Film 3 DOA 3 CINTA adalah film dengan latar belakang sebuah pesantren kecil yang terletak di Jawa Tengah, persisnya berlatar di Yogyakarta. Karenanya,
banyak berbicara mengenai tradisi pesantren dan seluk-beluknya. Dari mulai perbincangan yang ringan mengenai hubungan pertemanan sesama santri hingga
menyentuh isu terorisme yang belakangan dilekatkan kepada Islam, terkhusus pesantren. Entahlah, kita akan lihat, apakah sang sutradara memang berpretensi
mengurai kehidupan pesantren dengan segala pernak perniknya, atau hanya bercerita tentang pesantren tetapi hendak menyampaikan sesuatu yang lain. Inilah
pentingnya analisis semiotik. Pesantren, dalam sebuah analisis semiotik, kini adalah sebuah penanda
signifier. Pesantren adalah aspek materialnya, sedang apa yang ditunjuknya atau petandanya adalah apa yang diceritakan dalam film 3 DOA 3 CINTA ini. Penulis
ingin memulainya dengan cara demikian, sedemikian rupa hingga mampu menguraikan apa yang tersirat dan apa yang tersurat dalam teks, atau film ini.
Pesantren adalah sebuah lembaga pendidikan Islam yang telah berurat- akar dalam tradisi Islam Indonesia. Peran pesantren tidak diragukan lagi teramat
besar di sepanjang sejarah Indonesia. Pesantren juga telah ikut membentuk struktur sosial-keagamaan yang sangat berpengaruh. Trikotomi santri-priyayi-
45
abangan yang dipopulerkan oleh C. Geertz
1
sangat bermanfaat dalam berbagai bidang penelitian ilmiah.
Kata “santri” juga bukan hanya berarti seseorang atau sekelompok orang yang sedang mempelajari ilmu agama, tapi telah menjadi idiom kultural yang
berarti suatu kelompok sosial yang preferensi tindakannya bersifat relijius. Pengertian ini tentu saja bersifat longgar dan tidak seperti asumsi dalam penelitian
sosial yang ilmiah, tapi sebagai penanda yang mengarah pada sebuah kelompok sosial tersendiri dengan tradisi dan budaya yang khas.
Golongan santri adalah sekelompok orang yang dianggap mumpuni dalam membincang soal-soal keagamaan. Kelompok ini adalah kelompok sosial yang
paling getol menjalankan perintah agama, dan sekaligus menyampaikan dakwah kepada masyarakat awam. Karenaya, kelompok ini juga menikmati prestise sosial
karena kemampuannya di bidang agama. Tapi, analisis semiotik a la Roland Barthes tidak berhenti pada apa yang
kasat mata. Kajian semiotika budaya yang dikembangkan pemikir Perancis ini adalah pisau bedah yang terus memeriksa ke dalam jantung kebudayaan,
menelaah cara kerja sebuah tanda sign, mempersoalkan makna yang terlanjur dianggap natural, menunjukkan terjadinya distorsi makna, dan menelanjangi
motifnya yang terselubung. Kata-kata dan objek memiliki ketidakjujuran yang senantiasa tampak alami di mata para konsumernya, seakan-akan apa yang
diujarkan itu abadi, benar, penting, ketimbang arbitrer, buatan dan bersifat relatif.
1
Clifford Geertz, Religion of Java, Chicago and London: University of Chicago Press, 1976, h. 6.