Makna Denotasi, Konotasi dan Mitos Film 3 DOA 3 CINTA

Di bawah ini merupakan upaya penulis untuk menguraikan tanda dan simbol yang termuat dalam film 3 DOA 3 CINTA. Film ini banyak menyisipkan nilai-nilai dakwah Islamiyah yang relevan dengan perkembangan zaman. Ini yang menyebabkan film ini penting untuk dikaji secara ilmiah. Untuk selanjutnya disarikan ke dalam sekumpulan pengertian moral Islami yang bermanfaat bagi umat Islam itu sendiri.

1. “Perang Melawan Terorisme”

Di bagian awal film ini, tampak seorang Kiyai sedang menyampaikan tafsir sebuah ayat dalam Al- Qur’an. Kemudian diselingi dengan adegan aktifitas para santri pada umumnya. Adegan pertama menemukan anti-tesis di bagian selanjutnya; tampak seorang ustadz radikal sedang memberikan ceramah yang menggebu-gebu kepada para jamaahnya. Kontrasnya adalah perbedaan tafsir yang dikemukakan oleh kedua tokoh tersebut. Sementara pak Kiyai mengajarkan sikap menghargai dan toleran terhadap perbedaan keyakinan, sang ustadz radikal menghalalkan darah mereka kaum Yahudi dan Nashrani. Gambar Denotasi Konotasi Mitos Pluralitas tafsir terhadap Al- Qur’an. Kemungkinan tafsir terhadap Pluralitas tafsir adalah sebuah keniscayaan terhadap teks apapun, terlebih Tampak jelas ajakan untuk melawan ideologi terorisme yang mengatasnamakan Al- Qur’an sangat banyak dan beragam, bergantung pada pendekatan yang digunakan oleh penafsir dan kadangkala unsur subjektif sang penafsir juga ikut mewarnai corak penafsiran. Al- Qur’an yang sangat puitis. Monopoli terhadap kebenaran justru memasung kreatifitas manusia untuk berkembang dan beradaptasi dengan perkembangan zaman. Penghargaan terhadap perbedaan dan sikap demokratis merupakan cara yang sangat dianjurkan dalam Islam. Islam sebagai basis ideologisnya. Hal tersebut jelas mencemarkan nama baik Islam dalam pergaulan internasional dan merusak citra Islam sebagai agama pembawa rahmat bagi seluruh alam semesta. Sebagai sistem denotatif, adegan ini menunjuk pada pluralitas penafsiran terhadap Qur’an sebagai pedoman umat Islam. Ada satu lagi adegan yang menggunakan tehnik contrasting seperti ini. Tapi pengulangan ini mengarahkan kita pada kritik terhadap upaya radikalisasi Islam. Beberapa adegan menunjuk pada pengertian gugatan terhadap kelompok Islam radikal yang digambarkan secara diam-diam dan terselubung menyebarkan kebencian dan dendam ke dalam hati umat Islam. Seperti tindakan Syahid yang meninggalkan barisan shalat setelah shalat berjamaah. Ia justru mendatangi pengajian yang diadakan oleh ustadz radikal tersebut. Tempat pengajian tersebut juga secara blak-blakan digambarkan tersembunyi dan jauh dari kontrol sosial. Sementara Kiyai dan para santri sibuk berdzikir, tradisi khas kelompok Nahdathul Ulama. Penulis melihat motif ini semakin diperkuat dalam adegan lain yaitu ketika sang ustadz radikal tampak sedang memberikan ceramah yang provokatif. Keterlibatan Syahid dalam gerakan Islam radikal pun semakin intensif, terbukti ketika ia memutuskan untuk mengambil jalan jihad seperti yang dijelaskan ustadznya. Beberapa faktor ditunjukkan ikut mendorong Syahid mengambil keputusan tersebut. Tapi rupanya latar ini memberikan insight yang cukup mencerahkan bagi penulis. Untuk sementara, penulis hanya bisa mengatakan bahwa Syahid adalah anak muda yang termakan provokasi kelompok Islam radikal. Cuplikan-cuplikan berita televisi yang meliput aksi terorisme lokal dan internasional semakin mempertegas gugatan terhadap ideologi Islam radikal. Sebagai sistem mitis, penulis melihat adanya himbauan “perang melawan terorisme” 2 . Gerakan Islam radikal yang mulai menyusup masuk ke Indonesia memang merepotkan, karena siapapun bisa menjadi korbannya, kapanpun dan di manapun kita selalu terancam. Sifatnya yang eksklusif menyulitkan identifikasi, militansinya menakutkan, aksinya yang tak berprikemanusiaan, dan seterusnya. Menurut penulis, visi etis ini sangat relevan bagi persoalan yang kini merundung bangsa ini. Dalam al- Qur’an begitu banyak anjuran untuk mengadakan perbaikan di antara Umat manusia, antara lain tersebut dalam Surat 4:114 sebagai berikut:                             Artinya : Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh manusia memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian diantara manusia. Dan barang siapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar. QS. An- Nisa’ : 114

2. Prasangka Negatif

Prasangka adalah sebuah asumsi, persepsi dan atau pengertian yang kebenarannya belum teruji atau tidak bisa dipertanggungjawabkan. Mungkin prasangka adalah sebuah pengetahuan yang berasal dari tradisi atau sejarah sebuah bangsa, golongan dan atau agama yang kebenarannya tidak dipertanyakan lagi. 2 Kata-kata ini pernah diucapkan oleh presiden Amerika Serikat George W. Bush sesaat setelah peristiwa 11 September 2001. Dendam, kebencian, amarah dan sejenisnya secara sosiologis bisa diwariskan kepada generasi selanjutnya. Di satu sisi, proses transmisi ini sangat berarti. Hal ini bisa mengeratkan hubungan generasi sekarang dengan masa lalu. Selain itu, berbagai pengertian dan pengetahuan yang didasarkan pada sejarah kelompok mampu menegaskan identitas kelompok, sehingga menciptakan integrasi sosial. Namun di sisi yang lain, transmisi kebencian, amarah dan dendam telah dan akan membentuk persepsi negatif terhadap suatu kelompok. Proses transmisi ini bisa terjadi dalam banyak proses sosialisasi yang dimapankan dalam berbagai institusi sosial, budaya, politik dan agama. Gambar Denotasi Konotasi Mitos Penilaian yang tak berdasar terhadap seseorang atau suatu kelompok. Prasangka inilah yang menyebabkan kebencian, dendam dan menutup mata kita untuk Ayat tersebut di atas adalah ayat yang sangat sering digunakan oleh kelompok Islam radikal untuk menumbuhkan rasa benci dan dendam kepada umat Yahudi dan Nashrani, Mitos yang muncul dari beberapa scene di atas adalah mitos mengenai musuh abadi umat Islam. Alih-alih membenahi diri dan memperkuat iman, kita justru akan terperosok melihat kebaikan orang lain. sehingga tampak bahwa ayat ini memiliki konotasi intoleran, dan menjadi katalis dalam proses radikalisasi umat Islam. ke dalam jurang permusuhan yang tiada habisnya. Contoh yang begitu jelas adalah kontrasnya penjelasan tentang sebuah ayat yang diberikan oleh Romo Kiyai dan ustadz radikal.           Artinya: “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. QS Al-Baqarah: 120 Dua model penjelasan yang diberikan oleh Romo Kiyai dan ustadz radikal memiliki kebenarannya sendiri-sendiri. Sikap toleran yang diajarkan oleh Romo Kiyai mendapat pembenarannya jika kita sandingkan dengan beberapa ayat lain yang mengajarkan bahwa Islam adalah rahmatan lil alamiin, atau dengan surah Al-Kafiruun. Ini adalah satu kemungkinan tafsir yang bisa diberikan kepada ayat di atas. Sementara sang ustadz radikal, merujuk pada pengalaman historis umat Islam, justru menghalalkan darah kaum Yahudi dan Nashrani. Dalam penalaran umat Islam, kaum Yahudi dan Nashrani memang sering dicitrakan sebagai kelompok kafir yang telah menyimpangkan ajaran Tauhid dan keMaha-Kuasaan Allah. Padahal kalau ditilik ke belakang, Islam, Yahudi dan Nashrani berasal dari satu nenek moyang, yaitu Ibrahim. Seiring berjalannya waktu, banyak peristiwa terjadi dan meninggalkan bekas yang tak mudah dihapuskan dalam memori setiap kelompok. Banyak peristiwa besar terjadi, dan pengalaman-pengalaman ini terus diwacanakan dan direproduksi secara terus-menerus. Misalnya, pengalaman pahit bangsa muslim ketika berhadapan dengan umat Kristiani dalam Perang Salib. Kekalahan di Perang Salib terus diwacanakan dan direproduksi, bahkan ada sebagian umat Islam yang menganggap bahwa Perang Salib masih terjadi hingga saat ini. Dalam film 3 DOA 3 CINTA, Syahid dengan jelas menunjukkan ketertarikannya pada pengajian-pengajian yang diadakan oleh ustadz radikal tersebut. Dalam sebuah obrolan dengan dua orang kawannya yang lain, ia dengan bangga mengatakan ingin mati syahid. Bahkan, ia rela mengorbankan jiwanya di jalan Allah. Latar belakang Syahid mengambil keputusan itu bukan hanya karena keberhasilan provokasi sang ustadz radikal. Syahid memang sedang mengalami cobaan yang sangat berat; sang ayah sakit parah, gagal ginjal yang biayanya sangat besar. Ayah Syahid harus cuci darah seminggu sekali secara rutin. Rutinitas ini tentu mengganggu stabilitas perekonomian keluarga Syahid yang notabene ayahnya hanya seorang petani. Solusi yang diberikan oleh dokter pun cukup memberatkan Syahid dan keluarganya. Operasi pencangkokan ginjal yang memakan biaya puluhan bahkan ratusan juta. Akhirnya, ayah Syahid dengan bijaksana memutuskan untuk menjual tanahnya kepada orang asing yang diperantarai oleh tetangganya sendiri yang culas. Syahid hanya menurut apa yang dikatakan ayahnya, menemui sang makelar tanah lalu menjual tanahnya kepada orang asing. “Sampaikan pada Yahudi Amerika kafir itu, jangan terus jadi penjajah Suruh bikin pabrik di negaranya sendiri, jangan di sini” begitu sengit Syahid ketika bertemu dengan orang asing yang ingin membeli tanah ayahnya. Setelah itu Syahid memutuskan untuk berjihad di jalan Allah. Menjadi lebih dramatis lagi ketika Syahid membuat rekaman video menggunakan handycame milik Rian. Celakanya, rekaman ini diambil oleh seorang ustadz dan dilaporkan kepada Romo Kiyai yang akhirnya menjadi barang bukti pihak kepolisian untuk memenjarakan Syahid. Tapi tanah sudah dijual, dan semuanya digunakan untuk biaya perawatan ayahnya dirumah sakit, itupun masih kurang. Dan datang pertolongan dari Allah yang ternyata diperantarai oleh orang asing yang dikira jahat oleh Syahid. Orang asing tersebut mau menanggung semua biaya perawatan rumah sakit ayah Syahid. Tapi Syahid masih belum mengetahui identitas si orang baik hati tersebut, karena orang asing tersebut mungkin memang tidak mau membeberkan identitasnya. Sebagai sebuah sistem tanda tingkat pertama, cuplikan-cuplikan di atas merupakan gambaran proses radikalisasi yang dialami oleh Syahid. Yang perlu ditekankan, proses radikalisasi yang terjadi disini merupakan hasil perpaduan dari provokasi ustadz radikal yang mendasarkan diri pada teks-teks keagamaan dan pengalaman traumatik bangsa Muslim dan kesulitan ekonomi yang menerpa keluarganya. Sehingga keputusan Syahid menjadi bisa dipahami. Kebencian dan dendam, atau bisa kita katakan prasangka buruk, telah tertanam dalam benak Syahid. Tapi perasaan tersebut, yang didasarkan pada asumsi tentang watak jahat yang dilekatkan pada sebuah kaum, tentu tidak mendasar jika dilekatkan pada semua orang Yahudi dan Nashrani. Kemudian Syahid sadar dan mengurungkan niatnya untuk berjihad, mungkin karena tahu bahwa orang asing, “Yahudi Amerika”, yang dikiranya jahat dan suka menipu itu ternyata ada juga yang baik hati, atau mungkin teringat hikmah yang diberikan Romo Kiyai dalam suatu pengajian di surau. Mungkin apa yang dipikirkan Syahid adalah sebuah prasangka buruk yang selama ini tidak pernah kita pertanyakan lebih jauh kebenarannya. Pada pemaknaan level kedua, penulis melihat prasangka buruk menutup mata kita dari kebenaran. Telah terjadi distorsi dalam proses pemahaman, terutama seperti yang dialami oleh Syahid. Kesulitan-kesulitan ekonomi memang dapat mendorong proses radikalisasi, dan agama adalah salah satu alat efektif untuk membangun gerakan perlawanan. Pertemuan berbagai momen inilah yang memuluskan jalan radikalisasi Islam. Mungkin tidak semua “Yahudi Amerika” itu jahat, mungkin hanya beberapa gelintir orang saja yang eksploitatif dan menindas yang mengakibatkan pencitraan yang begitu kuat terhadap suatu kelompok sosial. Dan memang banyak ayat yang memperingatkan umat Islam terhadap bahaya dan ancaman dari umat dan bangsa lain. Tapi pemahaman kita perlu terus diuji, karena ada banyak cara pandang lain yang memiliki kebenarannya sendiri.                                 Artinya: Katakanlah: Hai orang-orang kafir 1 Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah 2 Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang Aku sembah 3 Dan Aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah 4 Dan kamu tidak pernah pula menjadi penyembah Tuhan yang Aku sembah 5 Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku 6 QS. Al-Kaafiruun : 1-6 3. Menolak Sains dan Teknologi ? Gambar Denotasi Konotasi Mitos Cita-cita mulia Rian untuk membangkitkan perekonomian keluarga dengan perangkat teknologi mutakhir yang terhambat aturan Kritik terhadap kurikulum dan budaya pesantren yang cenderung kaku dan kurang mengikuti perkembangan sains dan Pesantren sebagai lembaga pendidikan tradisional Islam. Dalam merespon arus deras modernisasi, kalangan Islam pesantren. Hal ini tampak dari berbagai penerapan aturan yang melarang santri membawa alat-alat elektronik ke dalam pondok pesantren. teknologi. Hal ini jelas menghambat beragam potensi yang dimiliki para santri di bidang sains dan teknologi. Tapi, menurut penulis, kecenderungan seperti ini sudah semakin berkurang. Pihak pondok pesantren semakin tahu dan banyak belajar arti dan manfaat penggunaan teknologi dalam dunia pendidikan. Semoga akan terpecah menjadi beberapa kelompok. Secara sederhana bisa dikatakan ada kelompok yang menganjurkan pada pemurnian Islam. Artinya, menolak Barat lengkap dengan produk-produk yang dihasilkannya. Dan ada yang menganjurkan untuk tetap berpegang teguh pada nilai-nilai ke-Islaman sambil mengadopsi terus seperti itu. perkembangan yang telah berhasil diraih bangsa Barat. Tokoh lainnya yang menjadi tokoh utama dalam film ini, Rian, memiliki cita-cita hendak meneruskan usaha peninggalan ayahnya yaitu usaha video shooting. Usaha ini dulu pernah jaya, sayang ayah Rian meninggal dunia dan tak ada yang meneruskan usahanya tersebut. Kehidupan ekonomi keluarga makin lama makin tak menentu. Rian menuliskan cita-cita mulia itu di dinding tempat persembunyiannya dengan dua orang sahabat lainnya. Di tempat yang sama, Rian sibuk membuka bingkisan yang diberikan ibunya dari Surabaya. Adegan ini secara denotatif memperlihatkan aturan pesantren yang kaku yang melarang para santrinya memiliki benda-benda teknologi. Tambah, adegan ketika Rian dan Syahid sedang mendengarkan radio, dan ternyata ada seorang ustadz yang sedang mengontrol kamar para santri. Sang ustadz langsung mendekati sumber suara radio tersebut, karena barang tersebut terlarang di pesantren, dan tidak berarti dilarang oleh agama. Buktinya, sang ustadz di scene lain mengambil handycame milik Rian setelah dipinjam secara diam-diam oleh Syahid, kemudian menyerahkannya pada Romo Kiyai. Melarang para santri untuk membawa barang elektronik ke dalam pondok adalah upaya dari pihak pondok pesantren untuk mengikis kesenjangan sosial yang terjadi di tengah masyarakat. Ada lagi beberapa larangan seperti larangan penggunaan celana jeans dan larangan membawa handphone. Mungkin upaya ini cukup berhasil untuk mencegah masuknya kesenjangan sosial ke dalam pondok pesantren, dan menciptakan rasa egaliter di antara sesama santri. Namun upaya ini sinonim dengan menghalangi tumbuh dan kembangnya potensi para santri di bidang IPTEK. Padahal Rian, yang mungkin merepresentasi- kan sekian banyak santri lainnya, sangat berbakat di bidang teknologi multimedia. Pertemuan Rian dengan pak Toha kemudian memberikan sedikit titik terang. Meskipun pondok pesantren tidak memberikan wawasan mengenai film dan video shooting, tapi Rian bisa mendapatkannya secara diam-diam dari pak Toha, seorang pengusaha film keliling atau layar tancep. Rian hanya bisa bertemu dan berdiskusi dengan pak Toha jika ia bisa keluar di malam hari dari pondok secara sembunyi-sembunyi. Dan, dalam suatu obrolan yang cukup intens, Rian memutuskan untuk ikut rombongan film kelilingnya pak Toha. Tapi sayang pada saat yang telah ditentukan itu, Rian, Romo Kiyai dan dua orang sahabatnya yang lain ditangkap oleh polisi dengan tuduhan terlibat dalam aktifitas teror kelompok Islam radikal. Rian tetap konsisten dengan cita-citanya itu. Ia ingin meneruskan usaha sepeninggalan ayahnya. Seiring waktu, bakat Rian semakin tereksplorasi dan terus belajar dari pengalaman, hingga akhirnya pada pernikahan Huda dengan putri Romo Kiyai, Rian sudah bisa menggunakan kamera dan memiliki beberapa karyawan. Artinya, ia sudah mulai melanjutkan usaha peninggalan almarhum ayahnya. Penulis melihat sistem signifikasi yang berkembang dalam beberapa adegan yang tersebut di atas adalah kritik terhadap kurikulum pondok pesantren yang cenderung kaku dan kurang mengikuti perkembangan zaman. 3 Alternatifnya, mungkin perlu dilengkapi sarana dan prasarana yang mendukung para santri untuk lebih bisa mengembangkan bakatnya di berbagai bidang. Jadi, upaya pengikisan kesenjangan bisa dilakukan, dengan tidak mengorbankan beragam potensi yang dimiliki oleh para santri. Film ini tidak tampak sedang mengambil satu posisi tertentu. Tidak begitu gamblang gambaran di dalamnya. Tapi, “Dari dulu kok peraturannya engga berubah berubah. Radio aja engga boleh. Gimana mau maju?”. Kutipan ini adalah sindiran. Mungkin karena pencitraan yang sangat kuat mengenai pesantren sebagai lembaga pendidikan “murni” agama. Makanya, pihak pondok pesantren melarang para santrinya membawa alat-alat elektronik ke dalam pondok pesantren, yang kini semakin terasa manfaatnya bagi umat manusia.

4. Huda: Mitos Santri Ideal

Nicholas Saputra, yang berperan sebagai Huda dalam film ini, adalah seorang santri yang paling disayang Romo Kiyai. Huda diproyeksikan sebagai pemimpin pondok pesantren oleh Romo Kiyai setelah bertahun-tahun berusaha mendapatkan anak laki-laki namun tidak berhasil. Untuk memastikan usahanya, Romo Kiyai menjodohkan Huda dengan putrinya, Farokah. Huda dititipkan kepada Romo Kiyai oleh ibunya untuk mendapatkan pelajaran agama yang intensif. Namun setelah sekian lama, ibunya tak pernah 3 M. Dawam Rahardjo, Intelektual Integensia dan Perilaku Politik Bangsa Risalah Cendikiawan Muslim, Bandung: Mizan, 1993 h. 196 datang lagi ke pondok pesantren sekedar untuk menjenguk Huda atau menanyakan kabarnya. Huda berkomunikasi hanya melalui surat, komunikasi lewat surat pun sudah terhenti selama kurang lebih satu tahun. Sejak itu Huda bertekad untuk mencari dan menemukan keberadaan ibunya yang katanya bekerja di Jakarta. Gambar Denotasi Konotasi Mitos Secara denotatif, penanda-penada yang berceceran tersebut mengarahkan kita pada konsep- konsep tentang ketaatan pada guru, keshalihan sosial dan relijius, berbakti pada orang tua, birrul walidain, menjaga jarak pada yang bukan muhrim, dan lainnya. Berbagai kualitas moral dan keilmuan yang melekat pada Huda yang merepresentasikan kelompok santri secara konotatif berarti bahwa kelompok santri dengan segala kualitas yang melekat padanya adalah pewaris paling layak dan absah nilai-nilai luhur Islam. Kelompok santri dilukiskan memiliki ciri-ciri sebagai berikut: sebagai pengemban tradisi, taat beribadah, shaleh, orang yang paham hukum Islam dan seterusnya. Melekatnya ciri tersebut pada diri seseorang bukan melalui proses formal, tetapi melalui pengakuan setelah proses panjang dalam masyarakat itu sendiri dimana unsur- unsur berupa integritas, kualitas keilmuan dan kredibilitas, kesalehan moral dan tanggung jawab Huda sebagai santri yang rajin, taat dan patuh kepada Kiyai, mencintai orang tua, taat beribadah dan luwes serta mampu bergaul dengan berbagai golongan. Singkatnya, Huda adalah seseorang yang sangat bermoral dalam pengertian yang Islami. sosialnya dibuktikan. Hal tersebut tidak akan termanifestasi secara riil jika tidak dibarengi dengan penampakan sifat-sifat pribadi yang harus mereka miliki. Berbagai kualitas moral dan keilmuan yang harus dimiliki oleh seseorang, sebelum benar-benar mendapatkan pengakuan dari masyarakat, merupakan mitos tentang golongan “santri” dalam pengertian Barthesian. Pengertian ini secara alami dan tanpa dipersoalkan lagi dianggap benar, bahwa kualitas- kualitas tersebut merupakan sebuah ukuran atau kategori moral dalam stratifikasi sosial. Dan secara ideologis pengertian ini dipertahankan melalui berbagai institusi, pesantren salah satunya, untuk mempertahankan kekuatan dan pengaruh serta privilise sosial yang dimiliki golongan santri. Huda di mata Romo Kiyai adalah seorang santri yang taat dan rajin. Mungkin itu alasan Romo menjadikannya sebagai calon pemimpin penerusnya nanti. Ketika mengaji Huda selalu berada di barisan depan, ketika shalat pun demikian. Ia selalu mematuhi apa yang dikatakan oleh Romo Kiyai, bahkan ketika Romo berencana menikahkan Huda dengan putrinya. Semua santri di pondok tahu bahwa Huda adalah santri kesayangan Romo Kiyai. Tapi Huda memang kelihatan sangat “nyantri” dalam film ini. Pakaiannya sangat sopan dalam pengertian baik sebagai seorang santri ataupun dalam pandangan orang awam. Dan begitu jelas dalam banyak adegan dengan Dona, sang penyanyi dangdut pasar malam. Huda sangat menjaga jarak ketika berbicara dengan Dona. Lalu, Huda juga enggan bersalaman dengan Dona ketika Dona mengajak berkenalan. Apalagi ketika Dona mencium bibir Huda di ruang rias artis, ia langsung berucap “astaghfirullah”. Dalam beberapa scene lainnya, Huda juga sangat menghargai profesi dan pekerjaan Dona sebagai penyanyi dangdut di pasar malam. Bahkan, Huda membantu Dona membuat rekaman video untuk modal casting. Ketulusan Huda mengetuk pintu hati Dona yang sejak semula dimintai mencari tahu keberadaan orang tua Huda di Jakarta. Sedangkan Dona adalah seorang wanita pribumi yang sedari kecil sudah dibawa merantau ke Jakarta oleh ayahnya. Obsesinya menjadi seorang artis terkenal. Kepulangannya ke Jogja adalah untuk berziarah ke makam ibunya, dan mengumpulkan uang dengan menyanyi di pasar malam. Kemudian Dona juga sangat membantu Huda pencarian ibunya yang sudah lama meninggalkan Huda di pondok. Dona membantu Huda mencarikan alamat ibunya seperti tertera di surat terakhir yang diterima Huda di Jakarta. Mungkin pertemuan ini adalah sebuah kebetulan. Tapi pertemuan ini jadi sangat berarti bagi Huda sendiri. Dan akhirnya Dona, dengan bantuan kawannya di Jakarta, berhasil menemukan sebuah alamat di Jakarta yang akan mempertemukan Huda dengan ibunya. Huda pergi melenggang sendirian ke Jakarta, tanpa pamit kepada Romo Kiyai. Ia mencari alamat yang diberikan Dona. Alamat itu mengarahkannya pada sebuah diskotik dangdut bernama “Café Iguana”. Disitulah kemudian Huda bertemu dengan seorang kawan lama ibunya. Huda terkejut karena ternyata ibunya telah meninggal dunia setahun yang lalu. Huda pun pulang dengan membawa perasaan sedih dan puas. Sedih karena ternyata ibunya telah berpulang ke rahmatullah. Puas karena tahu dan menyadari betapa ibunya tak pernah punya niat buruk terhadapnya dan sangat mencintainya. Huda berusaha melupakan kepergian sang ibu, dan melanjutkan pendidikannya di pondok pesantren. Hingga akhirnya Huda melanjutkan kepemimpinan Romo Kiyai di pondok pesantren. Kita dapat mengerti mengapa Huda sangat ingin menemui ibunya di Jakarta. Tentu saja, karena semua anak pasti ingin memiliki keluarga yang utuh. Mungkin Huda iri melihat kawan-kawannya selalu dijenguk dan diperhatikan oleh orang tuanya. Secara denotatif, penanda-penada yang berceceran tersebut mengarahkan kita pada konsep tentang berbakti pada orang tua, birrul walidain. Usaha gigih tanpa mengenal putus asa Huda sangat jelas mengarah pada konsep tersebut. Namun sebagai sebuah mitos, pengertian di atas sulit diterka. Penulis ingin mengatakan bahwa gambaran tentang Huda adalah sebuah idealisasi dari golongan santri. Dengan lain kata, Huda merupakan sosok ideal dari golongan santri yang taat dan patuh kepada Kiyai, yang bisa bergaul dengan berbagai golongan, bisa menghargai perbedaan, dan berbakti kepada orang tua. Meskipun ia juga sering keluar malam bersama dua orang sahabatnya untuk mencari hiburan dan kesenangan dan melenggang sendirian ke Jakarta tanpa pamit, itu semua bukanlah sebuah cacat moral yang harus dipersoalkan lebih jauh. Komunitas santri adalah komunitas yang independen, kecenderungan mereka untuk membentengi tradisi dan eksistensinya dilakukan dengan berbagai cara termasuk dengan bahasa agama, bahkan komunitas santri berusaha mempengaruhi komunitas lainnya, sedangkan komunitas lainnya dalam hal penyebaran nilai-nilai ke-Islaman merupakan kelompok dependen terpengaruh. Demikian perpaduan antara pengetahuan dan kekuasaan dalam pengertian yang sama sekali tidak politis telah mengangkat derajat kaum santri ke strata sosial yang lebih tinggi, dan berhasil mendapat prestise sosial serta hak-hak istimewa. Melanjutkan kepemimpinan pondok pesantren bukan hanya berarti mengajar ngaji para santri dan menjadi imam shalat jamaah, tapi juga mengemban sebuah misi keagamaan yang besar yaitu dakwah Islamiyah. Tidak hanya di lingkungan pondok pesantren tetapi juga di tengah-tengah masyarakat Indonesia yang plural. Rasa enggan Huda untuk kembali lagi ke pengajian yang diadakan oleh ustadz radikal, tata krama dalam keseharian, gaya bertutur yang santun, menunjukkan bahwa Huda mampu menjaga dan meneruskan tradisi yang telah dibangun selama berabad-abad.

B. Analisis Makna Judul Film 3 DOA 3 CINTA

Seperti kita ketahui, film yang sedang penulis analisis adalah berjudul 3 DOA 3 CINTA. Angka tiga 3 di sana mengarah pada tiga tokoh utama yang bermain dalam film ini. Ketiga tokoh ini memiliki kebiasaan menuliskan harapan dan cita-cita mereka di sebuah dinding ruangan tempat mereka berkumpul dan bersembunyi dari keramaian. Momen berkumpul di ruang tersebut adalah momen di mana mereka berdoa dan berharap akan sesuatu kepada Allah, dan bercerita satu sama lain. “Doa” merupakan sebuah kata serapan dari bahasa Arab Ad-Du’a, yang secara etimologis berarti memanggil. 4 Di Indonesia, yang mayoritas penduduknya beragama Islam, kata doa memiliki muatan relijius yang kental. Doa merupakan sejenis komunikasi keagamaan yang dapat dilakukan secara formal atau dalam 4 Atabik Ali A. Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 2003 kehidupan sehari-hari, namun tak pernah kehilangan nuansa relijiusnya. Doa bisa berupa ungkapan keluh kesah, keinginan, harapan dan cita-cita yang secara relijius diarahkan kepada Allah SWT. Menurut Kahlil Gibran, cinta adalah satu-satunya bunga yang tumbuh dan mekar dalam setiap hati manusia tanpa adanya bantuan musim. Dan merupakan satu-satunya kebebasan di dunia, sebab cinta membangkitkan jiwa saat hukum- hukum kemanusiaan dan fenomena alam tidak dapat lagi mengubah bagiannya. 5 Sepertinya tidak ada yang sederhana dalam cinta, begitu rumit mendefinisikannya. Dalam film ini, cinta terlukis sebagai ketulusan dan kemurnian, sikap menerima tanpa prasyarat apapun. Makna denotatif dari judul film ini adalah harapan dan cinta ketiga tokoh utamanya kepada orang yang mereka cintai. Ketiga tokoh utama dalam film ini adalah yatimpiatu. Huda adalah seorang anak yatim sejak kecil, dan baru sadar bahwa ia juga piatu setelah menemui kawan lama ibunya di Jakarta. Rian juga seorang yatim. Sedangkan Syahid digambarkan sedang mati-matian memperjuangkan nasib ayahnya yang menderita gagal ginjal dan akhirnya meninggal dunia, dan tak pernah sedikit pun dikisahkan keberadaan ibunya. Film ini mempertontonkan tiga permasalahan, 3 harapan, dan 3 cara penyelesaian yang berbeda dan khas. Judulnya yang cukup sederhana menyiratkan keunikan setiap orang dalam menyelesaikan setiap persoalan hidup. Tiga jalan yang ditempuh oleh ketiga tokoh utama dalam film ini merupakan sebuah proses pembelajaran yang menuntut resiko yang beragam pula. Sebagai sebuah sistem konotatif, judul film ini bisa berarti penghargaan terhadap perbedaan dan 5 Kahlil Gibran, Hikmah-hikmah Kehidupan Yogyakarta: Yayasan Benteng Budaya, 1999 h. 20 keunikan setiap jalan hidup yang ditempuh seseorang. Perbedaan latar belakang sosial, ekonomi dan budaya jelas mempengaruhi setiap keputusan yang diambil oleh seseorang.

C. Pesan Moral yang disampaikan dalam Film 3 DOA 3 CINTA

Setelah pemaparan yang cukup panjang, tentu kita semua dapat menangkap banyak pesan moral yang termuat dalam film ini. Tidak hanya itu, nada kritik pun dimunculkan dalam film ini. Di bawah ini adalah beberapa pesan moral dan visi etis yang dapat penulis sarikan dalam tulisan ini. Gerakan Islam radikal telah berkembang luas ke seluruh penjuru Indonesia dan dunia. Siapapun bisa menjadi korbannya, kapanpun dan di manapun kita selalu terancam. Mereka mengajarkan kebencian, dendam dan amarah ke dalam hati anak muda bangsa Indonesia. Sikap toleran dan demokratis mungkin bisa lebih membantu kita untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang melanda bangsa Indonesia. Setidaknya, kita mendapatkan rasa aman dan nyaman dalam hidup, bukan teror. Pada gilirannya kita akan mampu menemukan solusi dari semua persoalan dengan pikiran yang jernih. Karena kita tidak mungkin bisa berpikiran jernih dalam kondisi teror di mana-mana. Menurut penulis, visi etis ini sangat relevan bagi persoalan yang kini merundung bangsa ini. Prasangka buruk adalah pengetahuan yang tidak berdasar dan tidak bisa dipertanggungjawabkan. Sebagai makhluk yang berakal, manusia akan dan harus mempertanggung-jawabkan semua tindakannya. Prasangka buruk juga ikut mengganggu dalam relasi sosial seseorang. Hal ini tampak jelas dalam kasus Syahid. Prasangka buruk justru akan memperkeruh persoalan, dan mengganggu