Analisis semiotik film 3 doa 3 cinta
ANALISIS SEMIOTIK FILM 3 DOA 3 CINTA
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I)
Oleh
M. Fikri Ghazali
NIM: 206051003915
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1431 H/2010 M
(2)
ANALISIS SEMIOTIK FILM 3 DOA 3 CINTA
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I)
Oleh :
M. Fikri Ghazali
NIM : 206051003915
Pembimbing
Drs. Suhaimi, M.Si
NIP : 19670906 199403 1 002
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 1431 H/2010 M
(3)
Skripsi yang berjudul “Analisis Semiotik Film 3 Doa 3 Cinta”.Telah diujikan dalam sidang Munaqosah Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidatullah Jakarta, pada tanggal 22 September 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana program strata 1 (S.1) Pada Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam
Jakarta 22 September 2010
Sidang Munaqosah
Ketua Sekretaris
Drs. H. Mahmud Djalal, MA Dra. Hj. Musfirah Nurlaily , MA
NIP. 19520422 198103 1 002 NIP.1971041222000032001
Penguji I Penguji II
Drs. H. Mahmud Djalal, MA Dra. Hj. Asriati Jamil, M.Hum
NIP. 19520422 198103 1 002 NIP. 19610422 199003 2 001
Pembimbing,
Drs. Suhaimi, M.Si
(4)
(5)
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar sarjana 1 (SI) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini, saya telah cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini merupakan hasil plagiat atau hasil jiplakan karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Jakarta, September 2010
M. Fikri Ghazali
(6)
(7)
i
ABSTRAK
Nama : M. Fikri Ghazali.
NIM : 206051003915
Jurusan : Komunikasi Penyiaran Islam
Skripsi : Analisis semiotik terhadap film 3 DOA 3 CINTA.
Film merupakan media komunikasi visual yang lahir dari sebuah proses panjang. Kehadiran film memberikan nuansa baru hiburan, seni dan kebudayaan. Film adalah media massa yang memiliki kelebihan antara lain dalam hal jangkauan, realisme, pengaruh, emosional, dan popularitas yang hebat. Namun, selain itu film juga memiliki kelemahan salah satunya adalah sifatnya yang sekilas, sehingga untuk menangkap pesannya secara utuh, orang tidak bisa mengalihkan perhatian untuk melakukan kegiatan lain.
Studi ini merupakan sebuah upaya untuk menemukan makna semiotik di balik film 3 DOA 3 CINTA. Secara umum, penulis menggunakan metode penelitian kualitatif untuk meneliti film ini. Metode kualitatif memungkinkan penulis mengkaji film secara lebih mendalam untuk menggali makna yang tersirat dalam berbagai simbol, kode, dan seluruh adegan yang hendak digunakan sebagai objek penelitian.
Penulis akan menganalisisnya dengan menggunakan pendekatan semiotik yang dikembangkan oleh pemikir Perancis, Roland Barthes. Pendekatan semiotik ala Roland Barthes ini memberi titik tekan pada makna denotatif, konotatif, dan mitos. Makna denotatif adalah interaksi antara signifier dan signified dalam sign, dan antara sign dengan objek dalam realitas. Makna konotatif adalah interaksi yang muncul ketika sign bertemu dengan perasaan atau emosi pembaca/pengguna dan nilai-nilai budaya mereka. Makna menjadi subjektif atau intersubjektif. Sedangkan mitos dalam pengertian Roland Barthes adalah pengkodean makna dan nilai-nilai sosial (yang sebelumnya arbitrer atau konotatif) sebagai sesuatu yang dianggap alamiah.
Beberapa pertanyaan yang selanjutnya mengarahkan penulis antara lain : apa makna denotatif, konotatif, dan mitos yang terdapat dalam film 3 Doa 3 Cinta? Apa makna judul dari film ini? Dan pesan apa yang hendak disampaikan dalam film ini?
Studi ini berangkat dari keyakinan penulis tentang kekayaan nilai-nilai moral ke-Islaman dalam film ini. Banyak adegan yang dengan jelas menunjukkan nilai moral Islami yang pada saat ini seakan hilang ditelan ideologi teror kelompok radikal Islam. Nilai-nilai inilah yang akan penulis gali lebih dalam dengan menggunakan pendekatan semiotik ala Roland Barthes.
(8)
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir penulisan skripsi ini. Berkat
pertolongan serta nikmat-Nya, penulis mampu melalui rintangan dan cobaan saat
mengerjakan skripsi ini.
Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada yang tersayang,
penyeru kebenaran, pembawa keberkahan Rasulullah SAW, beserta keluarga,
sahabatnya dan semoga kita istiqomah menjadi umatnya sampai hari kiamat.
Amin.
Terwujudnya skripsi ini tidak lepas dari bimbingan, bantuan, dorongan
dan doa dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis mengucapkan
terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:
1. Bapak DR. Arief Subhan, M.A selaku Dekan Fakultas Dakwah dan
Komunikasi.
2. Ibu Hj. Asriati Jamil, M.Hum. selaku Koordinator Teknis Program
Non-Reguler Fakultas Dakwah dan Komunikasi.
3. Ibu Hj. Musfirrah Laily MA selaku Sekretaris Program Non-Reguler
Fakultas Dakwah dan Komunikasi yang banyak memberi masukan
tentang masalah perkuliahan yang sangat berarti bagi penulis, serta
memudahkan urusan administrasi bagi penulis.
(9)
4. Bapak Drs. Suhaimi M.Si selaku dosen pembimbing yang telah
meluangkan waktu bersedia memberikan masukan yang sangat
bermanfaat dalam menyusun skripsi ini.
5. Segenap Bapak dan Ibu dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi yang
telah memberikan ilmu serta berbagai macam pengalaman selama
menuntut ilmu.
6. Segenap staff perpustakaan Fakultas Dakwah dan Komunikasi yang telah
memberikan pelayanan kepada penulis selama menjalani studi di UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
7. Orang tua tercinta, Mudjahid dan Uminarsih yang dengan ketulusan hati
memberikan dorongan moral maupun materil serta iringan doa kepada
penulis untuk menuntut ilmu sampai saat ini, semoga Allah SWT
merahmati dan Hanya Dialah yang mampu membalas segala jasa
besarmu.
8. Adikku tercinta, Jihan Assyifa yang selalu mendukung dan mendoakan
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
9. Kepada Mas Nurman Hakim selaku sutradara dan penulis skenario Film
3 DOA 3 CINTA, terima kasih atas waktu, pengarahan, petunjuk yang
sangat berarti dalam penulisan skripsi ini, sehingga skripsi ini dapat
terselesaikan.
10. Kepada KMF KALACITRA yang banyak memberikan pelajaran dan
pengalaman tentang kehidupan. Teman-teman seperjuangan di
(10)
KALACITRA “05” (M. Luthfi Rahman, M. Vicky Al Utsmany, Zakaria Ahmad, Aden Senja, Ikhwan Maulana, Regita Nadha Ayu, Emma,
Nadya, Febby, Iqbal, Budi Astoni, Asri Rahmita, Kartini, Sifa, Ima,
Vina, Ajeng, Ayu, Zulfahmi Yasir Yunan,dll), Ahmad Rifky, Ahmad
Zaky, Agus Nugraha, Ridho, Hilma Imunk, Tedi K, Elisha, Kikim, Jose
iqbal, Didik S. Teman-teman dari Unit Kegiatan Mahasiswa lainnya
(RIAK, ARKADIA, FORSA, TEATER SYAHID, PSM, RANITA, dll),
Teman-teman di Komunitas SANJO BOYS. Teman-teman KKS 61.
11. Rekan-rekan Mahasiswa Non-Reguler, Ade W, Husni M, Anna, Ahyar Z,
Hidayat Riyadi, Bu Atty S, M. Siddiq, Hakim S, Johan AK, Adzfar,
Zamal A N, Kusniti, Iin, dan semua teman kelasku.
12. Dan semua pihak yang telah memberikan bantuan baik materi maupun
imateri sehingga penulisan ini dapat terselesaikan dengan baik.
Hanya ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya yang dapat penulis
haturkan kepada semua pihak yang telah turut mendukung dan membantu dalam
penulisan skripsi ini. Mudah-mudahan Allah SWT membalas segala budi baik dan
bantuan semua pihak yang telah diberikan kepada penulis.
Jakarta, September 2010
Penulis
(11)
DAFTAR ISI
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... v
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah ... 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6
1. Tujuan Penelitian ... 6
2. Manfaat Penelitian ... 6
D. Metodologi Penelitian ... 6
1. Jenis Data ... 7
2. Obyek Penelitian ... 7
3. Teknik Pengumpulan Data ... 8
4. Teknik Analisis Data ... 9
E. Tinjauan Pustaka ... 10
F. Sistematika Penulisan ... 11
BAB II TINJAUAN TEORITIS A. Tinjauan Umum Semiotika ... 12
1. Konsep Semiotika ... 12
2. Konsep Semiotika Roland Barthez ... 15
B. Tinjauan Umum Tentang Film ... 20
1. Pengertian Film ... 20
2. Sejarah Film... 21
3. Perfilman Di Indonesia ... 22
4. Fungsi Film ... 27
5. Karakteristik Film. ... 28
6. Jenis-jenis Film ... 30
(12)
7. Unsur-unsur Pembentuk Film... 31
8. Sinematografi ... 32
9. Struktur Film ... 34
C. Pesan Moral ... 35
BAB III GAMBARAN UMUM FILM 3 DOA 3 CINTA A. Sekilas tentang Film 3 DOA 3 CINTA ... 39
B. Sinopsis Film 3 DOA 3 CINTA ... 41
C. Para Pemain & Team Produksi Film 3 Doa 3 Cinta ... 42
D. Profile Nurman Hakim ... 44
BAB IV ANALISIS DATA A. Analisis Semiotika Film 3 DOA 3 CINTA ... 45
1. Perang Melawan Terorisme ... 47
2. Prasangka Negatif ... 50
3. Menolak Sains dan Teknologi ... 56
4. Mitos Santri Ideal ... 60
B. Analisis Makna Judul Film 3 DOA 3 CINTA... 66
C. Pesan Moral dalam Film 3 DOA 3 CINTA... 68
BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN ... 70
B. SARAN ... 71
DAFTAR PUSTAKA ... 73
LAMPIRAN
(13)
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Secara harfiah, apresiasi seni berarti penghargaan terhadap kehadiran
sebuah karya seni. Karya seni mengalami perkembangan dari tahun ke tahun,
hingga pada akhirnya tercipta sebuah perpaduan yang seimbang dan harmonis
antara seni sastra, seni musik, dan seni peran, serta komedi yang dikemas dalam
bentuk film. Film merupakan sarana baru yang digunakan untuk menyebarkan
hiburan yang sudah menjadi kebiasaan terdahulu serta menyajikan cerita,
peristiwa, musik, drama, lawak, dan sajian tekhnis lainnya kepada masyarakat
umum.
Studi perfilman boleh dikatakan bidang studi yang relatif baru dan tidak
sebanding dengan proses evolusi teknologinya. Eksplorasi studi perfilman yang
pernah terjadi pada dekade 60-70 an di Eropa dan Amerika ternyata tidak banyak
membawa perubahan yang berarti. Hasrat untuk menghasilkan suatu pendekatan
yang holistik dan interdisipliner dalam studi perfilman nampaknya masih berupa
angan-angan. Tak terkecuali bila studi perfilman dilihat dalam konteks ilmu
komunikasi.
Meski film merupakan bagian integral dalam bidang ilmu komunikasi,
ternyata kesan “penganak-tirian” terhadap studi film memang harus diakui. Studi film masih kurang memperoleh perhatian yang memadai di kalangan para ilmuan
komunikasi. Ini terbukti pada langkanya bahan-bahan acuan yang secara khusus
(14)
mengupas studi perfilman secara umum, apalagi yang berkaitan dengan konteks
ilmu komunikasi.
Film memiliki nilai seni tersendiri karena film tercipta sebagai sebuah
karya dari tenaga-tenaga kreatif yang profesional di bidangnya. Film sebagai
benda seni sebaiknya dinilai dengan secara artistik bukan rasional. Film dapat
dikelompokan ke dalam dua pembagian besar, yaitu kategori film cerita dan non
cerita. Film cerita adalah film yang diproduksi berdasarkan cerita yang dikarang
dan dimainkan oleh aktor dan aktris. Film non cerita merupakan kategori film
yang mengambil kenyataan sebagai subjeknya. Jadi merekam kenyataan daripada
fiksi tentang kenyataan.1
Film bukan hanya menyajikan pengalaman yang mengasyikan, melainkan
juga pengalaman hidup sehari-hari yang dikemas secara menarik. Alasan-alasan
khusus mengapa seseorang menyukai film, karena adanya unsur dalam usaha
manusia untuk mencari hiburan dan meluangkan waktu, karena film tampak hidup
dan memikat. Hal ini merupakan sasaran utama bagi pembuatan film untuk dapat
menghasilkan produksi film yang dikemas dalam cerita-cerita yang menarik, dan
memasukkan nilai-nilai yang dapat memperkaya batin untuk disuguhkan kepada
masyarakat sebagai cerminan. Karena itu film dianggap sebagai suatu wadah
pengekspresian dan gambaran tentang kehidupan sehari-hari.
Dalam seni peran, unsur bahasa memang menjadi unsur utamanya. Proses
komunikasi secara primer adalah proses penyampaian pikiran dan perasaan
seseorang kepada orang lain dengan menggunakan lambang (simbol) sebagai
1
Marseli Sumarno, Dasar-dasar Apresiasi Film, (Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana, Indonesia 1996) h. 10
(15)
media. Lambang sebagai media primer dalam proses komunikasi adalah bahasa,
kial, isyarat, gambar, dan lain sebagainya yang secara langsung mampu
menerjemahkan pikiran dan atau perasaan komunikator kepada komunikan.
Bahwa bahasa yang paling banyak digunakan dalam komunikasi karena hanyalah
bahasa yang mampu menerjemahkan pikiran seseorang kepada orang lain. Apakah
itu yang berbentuk ide, informasi, atau opini, baik mengenai hal yang berbentuk
konkret maupun abstrak.2
Dalam prakteknya komunikasi merupakan proses penyampaian pesan
dalam bentuk lambang bermakna sebagai panduan pikiran dan perasaan berupa
ide, informasi, kepercayaan, harapan, himbauan, dan sebagainya yang dilakukan
seseorang kepada orang lain, baik langsung atau secara tatap muka maupun tak
langsung melalui media, dengan tujuan mengubah sikap, pandangan, atau
perilaku. Lambang (simbol) bermakna dioperasikan dalam proses komonikasi
antar partisipan. Jika antar partisipan terdapat kesesuaian pemahaman tentang
simbol-simbol tersebut, tercapai suatu keadaan yang bersifat komunikatif. Dalam
proses ini terdapat simbol-simbol verbal (bahasa, baik lisan maupun tulisan) dan
simbol-simbol non verbal (gerak anggota tubuh, gambar, warna dan berbagai
isyarat yang tidak termasuk kata-kata tau bahasa). Sebagai simbol non verbal,
gambar dapat dipergunakan untuk menyatakan pikiran atau perasaan.
Seperti telah diketahui sebelumnya bahwa ilmu yang mengulas tentang
tanda-tanda adalah semiotik. Film umumnya dibangun dengan banyak tanda.
Tanda-tanda itu termasuk berbagai sistem tanda yang bekerja sama dengan baik
2
Onong Uchjana Effendy, Ilmu, Teori Dan Filsafat Komunikasi, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, Indonesia 2003) h. 33
(16)
dalam mencapai efek yang diharapkan. Hal yang paling penting dalam film adalah
gambar dan suara: kata yang diucapkan (ditambah dengan suara-suara lain yang
serentak mengiringi gambar-gambar) dan musik film. Sistem semiotik yang lebih
penting lagi dalam film adalah digunakannya tanda ikonis, yakni
tanda-tanda yang menggambarkan sesuatu. Tanda-tanda-tanda ikonis yang digunakan dalam
film mengisyaratkan pesan kepada penonton.
Bicara tentang film, TriXimages dan Investasi Film Indonesia (IFI)
sebagai wadah perfilman telah berhasil memadukan antara seni peran, seni sastra,
dan seni musi. Film dengan judul “3 DOA 3 CINTA” ini telah berhasil menjadi
film kolaborasi yang mampu memikat penontonnya dalam alur cerita.
Film “3 DOA 3 CINTA” yang diproduksi TriXimages dan Investasi Film Indonesia (IFI) bercerita tentang persahabatan 3 remaja yang diperankan oleh
Nicholas Saputra dan pendatang baru, Yoga Pratama dan Yoga Bagus. Film “3
DOA 3 CINTA” mengisahakan kehidupan 3 santri remaja di suatu pesantren di
sebuah kota kecil di Jawa Tengah. Mereka bertiga punya rencana dan cita-cita
sendiri sesudah lulus dari pesantren. Namun diawali dengan pertemuan Huda,
yang diperankan oleh Nicholas Saputra dengan Dona Satelit, seorang penyanyi
dangdut keliling, yang diperankan oleh Dian Sastro, peristiwa demi peristiwa
terjadi dan mengubah jalan hidup mereka. Dalam film ini juga terdapat potret suka
duka kehidupan di sebuah pesantren yang diwarnai dengan persahabatan, cinta,
ibadah dan nilai kemanusiaan.
Film ini tergolong film yang cukup sukses dalam menggambarkan dunia Islam, terkhusus dunia pesantren. Dalam film ini memuat gambaran yang cukup
(17)
gamblang mengenai Islam dan dunia pesantren. Hal ini menjadi sangat penting mengingat beberapa peristiwa yang membuat citra Islam semakin terpuruk di mata dunia. Karena tentu saja kita berkepentingan membersihkan citra Islam di dalam pergaulan internasional.
Dalam film ini banyak adegan yang melukiskan secara visual bagaimana Islam disimpangkan dari garisnya dan disalah pahami, serta dengan cerdik menyisipkan kritik dan kearifan nilai-nilai moral Islam.
Berdasarkan pemaparan latar belakang masalah tersebut diatas penulis bermaksud melakukan penelitian dengan judul “Analisis Semiotik Film 3 DOA 3
CINTA”.
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah
Agar penelitian ini lebih fokus, maka penulis membatasi penelitian ini dengan hanya menganalisis nilai-nilai moral yang terkandung dalam film “3 DOA
3 CINTA” dengan menggunakan semiotik. Adapun penelitian ini menggunakan analisis semiotik model Roland Barthes, karena menurut Barthes semua objek kultural dapat diolah secara tekstual. Dengan demikian, semiotik dapat meneliti bermacam-macam teks seperti berita, film, fashion, fiksi, dan drama. 3
Adapun perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Bagaimana makna denotasi, konotasi, mitos dan dalam film “3 DOA 3
CINTA”?
b. Bagaimana makna judul film 3 DOA 3 CINTA?
c. Apa pesan moral yang ingin disampaikan dalam film “3 DOA 3 CINTA”?
3
Alex Sobur, Analisis Teks Media; Suatu pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, Analisis Framing, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), cet. Ke-4, h. 123
(18)
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian
a. Mengetahui makna denotasi, konotasi dan mitos yang terdapat dalam
film “3 DOA 3 CINTA”.
b. Mengetahui makna judul film 3 DOA 3 CINTA.
c. Mengetahui pesan moral yang ingin disampaikan dalam film “3 DOA 3
CINTA”.
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Akademis
Penelitian ini merupakan suatu terapan teori semiotik dalam studi
filmologi yang diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap
perkembangan studi Ilmu Komunikasi, khususnya studi tentang film.
b. Manfaat Praktis
Penulis mengharapkan penelitian ini akan dapat membuka cakrawala
audiens untuk memaknai pesan dalam film, dapat menghargai sinema
Indonesia dan lebih kritis dalam memilih film yang bermutu.
D. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam analisis semiotik adalah bersifat
kualitatif. Jenis penelitian ini memberikan peluang yang besar bagi dibuatnya
interpretasi-interpretasi alternatif. Maksudnya setiap orang memiliki pemaknaan
terhadap film berbeda.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis semiotik.
Analisis semiotik digunakan untuk dapat mengetahui makna yang terkandung
(19)
simbol, lambang, yang tidak memiliki arti pada dirinya sendiri. Tanda-tanda itu
hanya mengemban arti dalam kaitannya dengan audience-nya. Audience itulah yang menghubungkan tanda (significant) dengan apa yang ditandakan (signifie) sesuai dengan konvensi dalam sistem bahasa yang bersangkutan.
Penelitian ini tidak mencari atau menjelaskan hubungan, tidak menguji
hipotesis atau prediksi. Studi ini menelaah makna pesan moral dalam film “3 DOA 3 CINTA” yaitu menganalisis pesan moral dan kritik sosial dalam berbagai adegan yang ditampilkan.
1. Jenis Data
Dalam penelitian ini jenis data yang digunakan dengan beberapa teknik
yang saling mendukung sattu sama lain, yang diperoleh dari:
Data Primer:
Yaitu data yang diperoleh dari hasil analisis semiotik tiap adegan yang
mengandung makna pesan moral yang terdapat dalam film “3 DOA 3 CINTA”.
Data Sekunder:
Yaitu data bersumber pada berbagai referensi seperti buku, film, jurnal,
dokumen, media internet, dan terbitan lain yang ada relevansinya dengan masalah
penelitian.
2. Objek Penelitian
Film yang dikaji dalam penelitian ini disebut sebagai film drama karena
mengungkapkan suatu jalinan cerita, yang dimainkan oleh manusia dengan unsur
drama dalam cerita tersebut. Di dalam cerita ini akan diteliti bagaimana pesan
moral yang disiratkan melalui film. Dalam penelitian ini yang akan dijadikan
(20)
CINTA” dengan menggunakan analisis semiotik. Simbol-simbol itu pada film dipresentasikan melalui penampilan (appearance) perilaku tokoh dalam film.
3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan beberapa teknik
yang saling mendukung satu sama lain, yang diperoleh dari:
a. Dokumentasi
Teknik ini merupakan pengumpulan data sekunder mengenai objek dan
lahan penelitian yang didapatkan dari sumber tertulis, seperti arsip, dokumen
resmi, tulisan-tulisan yang ada pada situs internet, dan sejenisnya yang dapat
mendukung analisa penelitian tentang film 3 Doa 3 Cinta.
b. Observasi
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan film sebagai alat utama untuk
mengkaji objek penelitian. Penelitian dilakukan dengan mengamati dan
menganalisis makna dan simbol-simbol yang terdapat pada film tersebut. Dari
hasil pengamatan tersebut akan dilanjutkan dengan mempresentasikan adegan
yang mengandung makna moralitas.
c. Wawancara
Wawancara adalah percakapan antara periset atau seorang yang berharap
mendapatkan informasi yaitu orang yang diasumsikan mempunyai informasi
penting tentang suatu obyek.
Adapun narasumber yang diwawancarai adalah sutradara Film “3 DOA 3 CINTA” yaitu (Nurman Hakim). Wawancara dalam penelitian kualitatif yang disebut sebagai wawancara mendalam (depth interview) atau wawancara secara
(21)
intensif (intensive interview) dan kebanyakan tidak berstruktur. Tujuannya untuk mendapatkan data kualitatif yang mendalam.4
4. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis
deskriptif dengan analisa secara kualitatif berdasarkan data yang diperoleh dari
tiap adegan yang mengandung makna pesan moral yang terdapat dalam film “3 DOA 3 CINTA”.
Dalam menganalisis data di sini penulis menggunakan sistem milik
Roland Barthes yang memfokuskan tanda pada peran audience. Sistem yang
dikembangkan oleh Barthes adalah sistem “konotasi dan denotasi”. Kata konotasi
berasala dari bahasa latin ‘connotare’ menjadi ‘tanda’ dan mengarah kepada makna-makna kultural yang terpisah atau berbeda dengan kata (dan bentuk lain
dari komunikasi). Konotasi melibatkan simbol-simbol historis dan hal-hal yang
berhubungan dengan emosional, sehingga walaupun konotasi merupakan sifat asli
tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi.
Sistem konotasi merupakan sistem tingkat kedua, dimana penanda dan
petanda pada denotasi menjadi penanda yang berkaitan dengan nilai-nilai budaya.
Sedangkan, denotasi menunjukan arti literatur atau yang eksplisit dari kata-kata
dan fenomena yang lain, Denotasi dan konotasi menguraikan hubungan antara
signifier dan referent nya. Denotasi menggunakan makna dari tanda sebagai definisi secara literal atau nyata. Konotasi mengarah pada kondisi sosial budaya
dan assosiasi personal.5
4
Rachmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi. 2006, Prenada Media Group, Jakarta, hal. 96.
5
(22)
Dalam penelitian ini, analisis akan dilakukan dalam dua tahap: Tahap
pertama; adalah melakukan kajian dengan melibat tanda-tanda di dalam unsur
film yang terdapat di dalamnya. Tahap kedua; menarik kesimpulan berdasarkan
atas analisis semiotik yang dilakukan pada tahap pertama.
E. Tinjauan Pustaka
Dalam menyusun skripsi ini, telah dilakukan tinjauan pustaka oleh penulis
dan ternyata belum ada mahasiswa/i yang meneliti tentang judul ini. Hanya ada
beberapa mahasiswa/i yang menggunakan konsep penelitian analisis semiotik
terhadap foto, poster, iklan, film antara lain:
Analisis Semiotik Pada Poster HIV/AIDS di Yayaasan Pelita Ilmu,
disususn oleh Nama: Ranita Erlianti Harahap NIM: 104 0510011920 Tahun:
2008. Dalam penelitian tersebut objek yang diteliti adalah poster dengan
menggunakan metode Gillian Dyer, Torben Vestergard, dan Judith Williamson.
Makna Foto Berita Perjalanan Ibadah Haji (Analisis Semiotik Karya
Zarqoni Maksum Pada Galeri Foto Antara.co.id) disusun Nama: Fatimah NIM:
104051101942 Tahun: 2008. Dalam penelitian tersebut objek yang diteliti adalah
foto dengan menggunakan metode semiotik Roland Barthes.
Analisis Semiotik Film Animasi UPIN dan IPIN, disusun oleh Nama:
Akhmad Bayhaki NIM: 105051001885 Tahun: 2009. Dalam penelitian tersebut
objek yang diteliti adalah film animasi dengan menggunakan metode semiotik
Jhon Fiske.
Dari beberapa skripsi tersebut di atas dan di Fakultas Dakwah belum ada
mahasiswa/I yang meneliti tentang film “3 DOA 3 CINTA” dengan menggunakan semiotik Roland Barthes.
(23)
F. Sistemika Penulisan
Penulisan skripsi ini terdiri atas lima bab. Di mana masing-masing bab
dibagi ke dalam sub-sub dengan penulisan sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Yang memuat latar belakang, pembatasan dan perumusan masalah,
tujuan dan manfaat penelitian, dan metode penelitian serta
sistematika penulisan.
BAB II TINJAUAN TEORITIS
Bab ini memuat pengertian Semiotik; konsep semiotik, konsep
semiotik Roland Barthes, Pengertian Film; konsep film, sejarah
film, perfilman di Indonesia, fungsi film, karakteristik film,
jenis-jenis film, unsur-unsur pembentuk film, sinematografi, struktur
film, Pesan Moral
BAB III PROFIL FILM 3 DOA 3 CINTA
Bab ini menggambarkan secara umum Film 3 DOA 3 CINTA,
Sinopsis Cerita serta para pemain dalam film 3 DOA 3 CINTA.
BAB IV ANALISIS SEMIOTIK FILM 3 DOA 3 CINTA
Bab ini memuat Hasil Analisis Semiotik yang terkandung dalam
film 3 DOA 3 CINTA.
BAB V PENUTUP DAN KESIMPULAN
Berisi Penutup yang terdiri dari Kesimpulan dan Saran-saran.
Kemudian bagian terakhir memuat Daftar Pustaka dan
(24)
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A.Tinjauan Umum Semiotika 1. Konsep Semiotika
Semiotika atau semiologi merupakan terminologi yang merujuk pada ilmu
yang sama. Istilah semiologi lebih banyak digunakan di Eropa sedangkan
semiotika lazim dipakai oleh ilmuwan Amerika. Istilah yang berasal dari kata
Yunani semeion yang berarti „tanda’ atau „sign’ dalam bahasa Inggris itu adalah
ilmu yang mempelajari sistem tanda seperti: bahasa, kode, sinyal, dan
sebagainya.1
Secara sederhana semiotika adalah ilmu tentang tanda-tanda. Semiotika
mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, dan konvensi-konsensi yang
memungkinkan tanda-tanda tersebut berarti.2 Dalam pengertian yang hampir sama
semiotika adalah studi tentang bagaimana bentuk-bentuk simbolik
diinterprestasikan. Kajian ilmiah mengenai pembentukan makna.3 Secara
substansial, semiotika adalah kajian yang concern dengan dunia simbol. Alasannya, seluruh isi media massa pada dasarnya adalah bahasa (verbal),
sementara itu bahasa merupakan dunia simbolik.4
1
Heru Effendy, Mari Membuat Film: Panduan Menjadi Produser, (Jakarta: Pustaka Konfiden, 2008), cet, ke-6, h. 149
2
www.wikipedia.com, arti diakses pada 22 Mei 2010
3
James Lull, Media Komunikasi, Kebudayaan: Suatu Pendekatan Global, (Terj). A. Setiawan Abadi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1997), cet. Kel-1, h. 232
4
Alex Sobur, Analisis Teks Media Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Wacana, Analisis Semiotik dan Analisis Framing, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), cet-ke-4, h. 140
(25)
Semiotika seperti yang kita kenal dapat dikatakan baru karena berkembang
sejak awal abad ke-20. Memang pada abad ke-18 dan ke-19 banyak ahli teks
(khususnya Jerman) berusaha mengurai pelbagai masalah yang berkaitan dengan
tanda, namun mereka tidak menggunakan pengertian semiotis.5
Semiotika (semiotics) didefinisikan oleh Ferdiand de Saussure di dalam
course in general linguistic, sebagai ilmu yang mengkaji tentang tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial.6 Sedangkan semiotika tidak hanya meneliti
mengenai signifier dan signified, tetapi juga hubungan yang mengikat mereka, tanda yang berhubungan secara keseluruhan.7
Semiotika menurut Berger memiliki dua tokoh, yakni Ferdinand de
Saussure (1857-1913) dan Charles Sanders Peirce (1839-1914). Kedua tokoh
tersebut mengembangkan ilmu semiotika secara terpisah dan tidak mengenal satu
sama lain. Saussure di Eropa dan Peirce di Amerika Serikat. Latar belakang
keilmuan Saussure adalah lingustik sedangkan Peirce adalah filsafat. Saussure
menyebut ilmu yang dikembangkannya semiologi (semiology).8
Ada dua gagasan besar tentang tanda yang umumnya dijadikan dasar bagi
penelitian semiotika, yakni gagasan tentang tanda menurut Ferdinand de Saussure
dan Charles Sanders Peirce Filsuf sekaligus ahli logika. Beberapa konsep dasar
dari pemikiran Saussure dan juga pengikutnya, termasuk Barthes, yaitu :
5
Tommy Christomy, Semiotika Budaya, (Depok: UI, 2004), cet. Ke-1, h. 81
6
Yasraf Amir Piliang, Hipesemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna, (Yogyakarta: Jalasutra, 2003), h. 256
7
Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, h. 123
8
Sumbo Tinarbuko, Semiotika Komunikasi Visual: Metode Analisis Tanda dan Makna Pada karya Desain Komunikasi Visual, (Yogyakarta : Jalasutra, 2008), ke-2, h. 11
(26)
1) A signifier (significant) forma atau citra tanda tersebut, misalnya: tulisan di kertas, atau suara di udara. Atau dengan kata lain, wujud fisik
dari tanda.
2) The signified (signifie) konsep yang direpresentasikan atau konsep mental.9
Menurut Saussure, bahasa itu merupakan suatu sistem tanda (sign). Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) dengan sebuah ide atau petanda (signified). Penanda adalah “bunyi yang bermakna” atau “coretan bermakna.10 Sementara itu. Charles Sanders Peirce, manusia hanya dapat
berkomunikasi lewat sarana tanda.11
Peirce dikenal dengan teori segitiga makna-nya (triangle meaning).
Berdasarkan teori tersebut, semiotika berangkat dari tiga elemen utama yang
terdiri dari: tanda (sign), acuan tanda objek, pengguna tanda (interpertant). Menurut Peirce, salah satu bentuk tanda adalah kata. Sedangkan objek adalah
sesuatu yang dirujuk tanda. Sementara interpretan adalah tanda yang ada dibenak
seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda. Apabila elemen-elemen
tersebut berinteraksi dalam bentuk seseorang, maka muncullah makna tentang
sesuatu yang diwakili oleh tanda tersebut.12
9
M. Antonius Birowo, Metode Penelitian Komunikasi: Teori dan Aplikasi, (Yogyakarta: Gitanyali, 2004), cet, ke-1, h. 45
10
Alex Sobur, Simiotika Komunikasi, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), cet. Ke-2, h. 46
11
Sumbo Tinarbuko, Semiotika Komunikasi Visual, h. 16
12
(27)
2. Konsep Semiotika Roland Barthes
Roland Barthes lahir tahun 1915 dari keluarga menengah Protestan di
Cherbourg dan dibesarkan di Bayonne, kota kecil dekat panyai Atlantik di sebelah
barat daya Prancis. Dia dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang
getol mempraktikkan model linguistik dan semiologi Saussurean.13 Saussure
tertarik pada cara kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat
menentukan makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang
sama bisa saja menyampaikan makna yang berbeda pada orang yang berbeda
situasinya. Roland Barthes meneruskan pemikiran tersebut yang dikenal dengan
istilah “order of signification”.14
Two orders of singnification (signifikasi dua tahap atau dua tatanan pertandaan) Barthes terdiri dari first order of signification yaitu denotasi, dan
second orders of signification yaitu konotasi. Tatanan yang pertama mencakup penanda dan petanda yang berbentuk tanda. Tanda inilah yang disebut makna
denotasi.15
Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antra
tanda dan rujukannya pada realitas, yang menghasilkan makna yang eksplisit,
langsung , dan pasti. Sedangkan konotasi adalah tingkat pertandaan yang
menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda yang di dalamnya beroperasi
makna yang bersifat implisit dan tersembunyi.16
13
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 63
14
Rachmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi, h. 268
15
M. Atonius Birowo, Metode Penelitian Komunikasi, Teori dan Aplikasi, h. 56
16
(28)
Tabel 1. Peta tanda Roland Barthes :
Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas
penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi pada saat bersamaan, tanda denotatif
adalah juga penanda konotatif (4). Dengan kata lain, hal tersebut merupakan unsur
material: hanya jika kita mengenal tanda “singa” barulah konotasi seperti harga diri, kegarangan, dan keberanian menjadi mungkin.17
Jadi, dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna
tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi
keberadaannya. Sesungguhnya, inilah sumbangan Barthes yang berarti bagi
penyempurnaan semilogi Saussure, yang berhenti pada penandanaan dan tatanan
denotatif. Konotasi dan denotasi sering dijelaskan dalam isitlah tingkat
representasi. Secara ringkas, denotasi dan konotasi dapat dijelaskan sebagai
berikut.18
17
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 69
18
M. Antonius Birowo, Metode Penelitian Komunikasi; Teori dan Aplikasi, h. 57 1. Signifier 2. Signified
(Penanda) (Petanda)
3. Denotative sign (tanda denotatif)
4. CONNOTATIVE SIGNIFIER (PENANDA KONOTATIF)
5. CONNOTATIVE SIGNIFIED
(PETANDA KONOTATIF)
(29)
a. Denotasi adalah interaksi antara singnifier dan signified dalam sign,
dan antara sign dengan referent (object) dalam realitas eksternal.
b. Konotasi adalah interaksi yang muncul ketika sign bertemu dengan perasaan atau emosi pembaca atau pengguna dan nilai-nilai budaya
mereka. Makna menjadi subjektif atau intersubjektif. Tanda lebih
terbuka dalam penafsirannya pada konotasi daripada denotasi.
Secara sederhana, denotasi dijelaskan sebagai kata yang tidak mengandung
makna atau perasaan-perasaan tambahan. Maknanya disebut makna denotatif.
Makna denotatif memiliki beberapa istilah lain seperti makna denotasional, makna
referensial, makna konseptual, atau makna ideasional. Sedangkan konotasi adalah
kata yang mengandung arti tambahan, perasaan tertentu, atau nilai rasa tertentu
di samping makna dasar yang umum. Konotasi atau makna konotatif disebut juga
makna konotasional, makna emosif, atau makna evaluatif.19
Denotasi dan konotasi tidak bisa dilihat secara terpisah atau berdiri sendiri.
Sebuah tanda yang kita lihat pasti suatu denotasi.makna denotasi adalah apa yang
kelihatan pada gambar, dengan kata lain gambar dengan sendirinya memunculka
denotasi. Denotasi dengan sendirinya akan menjadi konotasi dan untuk
selanjutnya konotasi justru menjadi denotasi ketika konotasi tersebut sudah umum
digunakan dan dipahami bersama sebagai makna yang kaku.
19
AS Haris Sumandiria, Bahasa Jurnalistik: Panduan Praktis Penulis dan Jurnalis,
(30)
Gambar 1. The Orders of Signification20
Reality Signs Culture
First Order Second Order
Dalam gambar tersebut, tanda panah dari signified mengarah pada mitos. Ini berarti mitos muncul pada tataran konsep mental suatu tanda. Mitos bisa
dikatakan sebagai ideologi dominan pada waktu tertentu. Denotasi dan konotasi
memiliki potensi untuk menjadi ideologi yang bisa dikategorikan sebagai third order of signification (istilah ini bukan dari Barthes), Barthes menyebut konsep ini sebagai myth (mitos).21
Mitos dalam pengalaman Barthes adalah pengkodean makna dan nilai-nilai
sosial (yang sebetulnya arbiter atau konotatif) sebagai sesuatu yang dianggap
alamiah.22 Mitos adalah yang berhubungan dengan kepercayaan primitif tentang
kehidupan alam gaib, yang timbul dari usaha manusia yang tidak ilmiah dan tidak
20
M. Antonius Birowo, Metode Penelitian Komunikasi; Teori dan Aplikasi, h. 58
21
ibid, h. 58-60
22
Tommy Christomy, Semiotika Budaya, (Depok: UI, 2004), cet. Ke-1, h. 94 Signifier
Signified Denotasi
Form
Content Mitos
(31)
berdasarkan pada pengalaman yang nyata untuk menjelaskan dunia atau alam
sekitarnya.23
Mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau memahami beberapa
aspek tentang realitas atau gejala alam. Mitos merupakan produk kelas social yang
sudah mempunyai suatu dominasi. Mitos primitif, Mislanya, mengenai hidup dan
mati, manusiaa dan dewa, dan sebagainya. Seedangkan mitos masa kini mislanya
mengenai feminitas, maskulinitas ilmu pengetahuan, dan kekerasan.24
Menurut Urban, mitos adalah cara utama yang unik untuk memahami
realitas. Atau seperti kata Midnowski, mitos adalah suatu pernyataan purba
tentang realitas yang lebih relevan.25 Mitos dalam pandangan Lappe & Collins
dimengerti sebagai sesuatu yang oleh umum dianggap benar, tetapi sebenarnya
bertentang dengan fakta. Apa yang disebut Lappe & Collins sebagai mitos itu
adalah jenis „mitos modern’.26
Sedangkan menurut Barhers, mitos adalah sebuah kisah (a story) yan melaluinya sebuah budaya mejelaskan dan memahami beberapa aspek dari
realitas. Mitos membantu kita untuk memaknai pengalaman-pengalaman kita
dalam satu konteks budaya tertentu.
Feranand Comte membagi mitos menjadi dua macam: mitos tradisional
dan mitos mdoern. Mitos modern itu dibentuk oleh dan mengenal mengenal
gejela-gejala politik, olahraga, sinema, televisi dan pers. Mitos (mythes) adalah suatu jenis tuturan (a type of speech), sesutau yang hampir mirip dengan „re
23
Pius A Partanto & M. Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arloka, 1994)
24
Alex Sobur, Analisis Teks Media, h. 128
25
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 222
26
(32)
presen-tasi koleksi di dalam sosiologi Durkheim. Mitos adalah sistem komunikasi,
sebab ia membawakan pesan. Maka dari itu mitos bukanlah objek. Mitos bukan
pula konsep ataupun gagasan, melainkan suatu cara signifikasi, suatu bentuk.27
B. Tinjauan Umum Tentang Film 1. Pengertian Film
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian film secara fisik
adalah selaput tipis yang teerbuat dari seluloid untuk tempat gambar negatif (yang
akan dibuat potret) atau tempat gambar positif (yang akan dimainkan di bioskop).
Sedangkan melalui kesepakatan sosial istilah film memperoleh arti seperti yang
secara umum dipahami yaitu lakon (cerita) gambar hidup atau segala sesuatu yang
berkaitan dengan gambar hidup. 28
Sedangkan Menurut UU Perfilman No 8 Tahun 1992, film adalah karya
cipta seni dan budaya yang merupakan media komunukasi massa pandang-dengar
yang dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita selluloid,
pita video, dan atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk,
jenis, dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik, atau proses lainnya,
dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan dan atau ditayangkan dengan
sisten proyeksi mekanik, elektronik, dan atau lainnya. 29
Film adalah media massa yang memiliki kelebihan antara lain dalam hal
jangkauan, realisme, pengaruh, emosional, dan popularitas yang hebat. Namun,
selain itu film juga memiliki kelemahan salah satunya adalah sifatnya yang
27
Ibid, h. 224
28
Departemen Pendidikan & Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1997).
29
UU Republik Indonesia No 8 Tahun 1992 tentang perfilman. Bab 1, Pasal 1 Ayat 1. Departemen Penerangan RI.
(33)
sekilas, sehingga untuk menangkap pesannya secara utuh, orang tidak bisa
mengalihkan perhatian untuk melakukan kegiatan lain.
Secara mendasar pengertian film yang menyeluruh memang sangat sulit
untuk dijelaskan. Namun baru dapat diartikan kalau dilihat dari konteksnya;
misalnya dipakai untuk potret negatif atau plat cetak. Film mengandung
pengertian suatu lembaran pita seluloid yang diproses secara kimia sebelum dapat
dilihat hasilnya; atau yang berhubungan dengan cerita atau lakon, film
mengandung pengertian sebagai gambar hidup atau rangkaian gambar-gambar
yang bergerak menjadi suatu alur cerita yang ditonton orang, bentuk film yang
mengandung unsur dasar cahaya, suara, dan waktu. 2. Sejarah Film
Film atau motion pictures ditemukan dari hasil pengembangan prinsip-prinsip fotografi dan proyektor. Film yang pertama kali diperkenalkan kepada
publik Amerika Serikat adalah film The Life of an American Fireman dan film
The Great Train Robbery yang dibuat oleh Edwin S. Porter pada tahun 1903. Tetapi film The Great Train Robbery yang masa putarnya hanya 11 menit dianggap sebagai film cerita yang pertama, karena telah menggambarkan situasi
secara ekspresif, serta peletak dasar teknik editing yang baik. 30
Tahun 1906 sampai tahun 1916 merupakan periode paling penting dalam
sejarah perfilman di Amerika Serikat, karena pada dekade ini lahir film feature, lahir pula bintang film serta pusat perfilman yang kita kenal sebagai Hollywood.
Periode ini juga disebut sebagai the age of Grifith karena David Wark Grifith-lah
30
Onong Uchjana Efendy, Ilmu, Teori Dan Filsafat Komunikasi, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003) cet. Ke-3, h. 201.
(34)
yang telah membuat film sebagai media yang dinamis. Diawali dengan film The Adventures of Dolly (1908) dan puncaknya film The Birth of Nation (1915) serta film Intolerence (1916).31 Grifith mempelopori gaya berakting yang lebih alamiah, organisasi cerita yang makin baik, dan yang paling utama mengangkat
film sebagai media yang memiliki karakteristik yang unik, dengan
gerakan-gerakan kamera yang dinamis, sudut pengambilan gambar yang baik dan teknik
editing yang baik. Pada periode ini pula perlu dicatat nama Mack Sennett dengan Keystone Company-nya yang telah membuat film komedi bisu dengan bintang
legendaris Charlie Chaplin.
Apabila film permulaannya merupakan film bisu, maka pada tahun 1927 di
Broadway, Amerika Serikat, muncul film bicara yang pertama meskipun belum
sempurna.
3. Perfilman di Indonesia
Dari sejarah perfilman di Indonesia, film pertama yang diputar berjudul
Lady Van Java yang diproduksi di Bandung pada tahun 1926 oleh David. Pada tahun 1927/1928 Krueger Coorporation memproduksi film Eulis Atjih, dan sampai tahun 1930, masyarakat disuguhi film Lutung Kasarung, Si Conat dan Pareh. Film-film tersebut merupakan film bisu dan diusahakan oleh orang-orang Belanda
dan China.
Film bicara yang pertama berjudul Terang Bulan yang dibintangi oleh
Roekiah dan R. Mochtar berdasarkan naskah seorang penulis Indonesia, Saerun.
Pada saat perang Asia Timur Raya di penghujung tahun 1941, perusahaan
perfilman yang diusahakan oleh orang Belanda dan Cina itu berpindah tangan
31
(35)
kepada pemerintah Jepang, diantaranya adalah NV. Multi Film yang diubah
namanya menjadi Nippon Eiga Sha, yang selanjutnya memproduksi film untuk
media informasi dan propaganda. Namun tatkala bangsa Indonesia sudah
memproklamasikan kemerdekaannya, maka pada tanggal 6 Oktober 1945 Nippon
Eiga Sha diserahakan secara resmi kepada pemerintah Republik Indonesia.
Serah terima dilakukan oleh Ishimoto dari pihak pemerintah Militer
Jepang kepada R.M. Soetarto yang mewakili pemerintah Republik Indonesia.
Sejak tanggal 6 Oktober 1945 lahirlah Berita Film Indonesia atau BFI bersamaan
dengan pindahnya Pemerintah RI dari Yogyakarta, BFI pun pindah dan bergabung
dengan Perusahaan Film Negara, yang pada akhirnya berganti nama menjadi
Perusahaan Film Nasional. 32
Ada dua aspek penting dari awal sejarah film untuk melihat bagaimana
status dan peranan film ditumbuhkan. Yang pertama, film dilahirkan sebagai
tontonan umum (awal 1900-an), karena semata-mata menjadi alternatif bisnis
besar jasa hiburan di masa depan manusia kota. Yang kedua, film dicap „hiburan rendahan’ orang kota, namun sejarah membuktikan bahwa film mampu melakukan kelahiran kembali untuk mampu menembus seluruh lapisan
masyarakat, juga lapisan menengah dan atas, termasuk lapisan intelektual dan
budayawan. Bahkan kemudian seiring dengan kuatnya dominasi sistem Industri
Hollywood yang kemudian melahirkan film-film Auteur. Yakni film-film
personal sutradara yang sering disebut sebagai film seni. 33
32
Elvinaro Ardianto, Lukiati Komala Erdiyana, Komunikasi Massa, suatu pengantar,
(Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2005) cet. Ke-2 h. 135-136
33
(36)
Dalam pertumbuhannya, baik film hiburan yang mengacu pada Hollywood
ataupun film-film seni kadang tumbuh berdampingan, saling memberi namun juga
bersitegang. Masing-masing memiliki karakter sasaran pasar, festival, dan pola
pengembangannya sendiri. Sementara itu pada proses pertumbuhannya film
Indonesia tidak mengalami proses kelahiran kembali, yang awalnya dicap
rendahan menjadi sesuai dengan nilai-nilai seluruh lapisan masyarakat, termasuk
kelas menengah ke atas, juga intelektual dan budayawan.
Film merupakan media komunal dan cangkokan dari berbagi teknologi dan
unsur-unsur kesenian. Ia cangkokan dari perkembangan teknologi fotografi dan
rekaman suara. Juga komunal berbagai kesenian baik berupa seni rupa, teater,
sastra, arsitektur hingga musik. Maka kemampuan bertumbuhnya film sangatlah
bergantung pada tradisi bagaimana unsur cangkokan teknologi dan
unsur-unsur seni dari film yang dalam masyarakat masing-masing berkembang pesat
dicangkokan dan dihimpun. Dengan demikian tidak tertinggal dan mampu
bersaing dengan teknologi media dan seni lainnya.
Sejarah film Indonesia menunjukkan unsur-unsur cangkokan dan komunal
dari film tak mengalami pertumbuhan berarti. Akibatnya ketika masyarakat
dimanjakan unsur visual dan audio, dari perkembangan teknologi media dan seni
lainnya seperti televisi, seni rupa, dan lain-lain, masyarakat Indonesia tak
mendapatkannya dalam film. 34
34
Disarikan dari tulisan Garin Nugroho : "Krisis sebagai Momentum Kelahiran", Kompas, Agustus 1991
(37)
Perfilman Indonesia pernah mengalami krisis hebat ketika Usmar Ismail
menutup studionya tahun 1957. Pada tahun 1992 terjadi lagi krisis besar. Tahun
1990 jumlah produksi film nasional mencatat angka 112, pada tahun 1991 turun
menjadi 85 judul film, dan tahun 1992 mencapai angka di bawah 30, data-data
dari Sinematek Indonesia, yang masih rajin mencatat produksi film indonesia,
menunjukkan bahwa “keruntuhan” itu terjadi mulai tahun 1998. Tahun itu tercatat hanya empat produksi film, sementara tahun-tahun berikutnya: 1999 tiga judul,
2000 tiga judul, dan 2001 empat judul. Padahal, pada tahun 1997 masih tercatat
27 judul, 1996: 15 judul, dan 1995: 12 judul. Jumlah itu tentu sangat tidak berarti
bila dibandingkan dengan produksi lebih dari 100 judul per tahun yang pernah
dicapai pada tahun-tahun sebelumnya. 35
Yang menarik, krisis kedua ini tumbuh seperti yang terjadi di Eropa tahun
1980, yakni tumbuh dalam tautan munculnya industri cetak raksasa, televisi,
video, dan radio. Dan itu didukung oleh kelembagaan distribusi pengawasannya
yang melahirkan mata rantai penciptaan dan pasar beragam sekaligus saling
berhubungan, namun masing-masing tumbuh lebih khusus. Celakanya di
Indonesia dasar struktur dari keadaan tersebut belum siap. Seperti belum
efektifnya jaminan hukum dan pengawasan terhadap pasar video, untuk
menjadikannya pasar kedua perfilman nasional setelah bioskop. 36 Faktor yang
mempengaruhi rendahnya mutu film nasional salah satunya adalah rendahnya
35
J. B. Kristianto, Film Indonesia dan Akal Sehat,(Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2001) Cet. 1 hal. 216
36
Nugroho, Garin, "Film Indonesia, Antara Pertumbuhan dan Kecemasan" Tempo, Mei 1993
(38)
kualitas teknis karyawan film. Ini disebabkan kondisi perfilman Indonesia tidak
memberikan peluang bagi mereka yang berpotensi untuk berkembang.
Ada beberapa sebab mengapa film nasional kita terpuruk:
Pertama, soal selera dan apresiasi masyarakat kita sudah berubah. Perfilman tahun 60-an dan 70-an masih begitu jaya. Kejayaan film-film pada era
tahun ini cukup logis karena masyarakat kita masih sederhana dan terpaan media
masih belum besar. Ketika dekade tahun 80-an, mulailah terpaan media begitu
gencarnya. Setiap orang hampir setiap hari membaca berbagai media massa.
Kemudian, dengan munculnya televisi swasta, sajian film-film layar lebar di
televisi sudah demikian memukau masyarakat. Masyarakat yang tadinya hanya
menikmati film-film nasional, seolah dikejutkan dengan budaya asing dengan
film-film Hollywood-nya.
Memang, sebelumnya kita sudah mengimpor film-film produksi India
yang dikenal dengan Bollywood. Dalam film-film Bollywood, masih terasa
tampilan budaya Asianya. Juga impor film-film kungfu Hongkong yang juga
masih ada nilai proximity-nya karena semata-mata berbasis Asia. Namun, begitu film Hollywood mulai menggempur secara membabi buta, mau tidak mau film
kita bertekuk lutut.
Kedua, munculnya cineplek atau gedung bioskop kembar yang lebih banyak menayangkan film-film asing. Dengan semakin tingginya intensitas
(39)
kepada PT Subentra, maka film nasional pun semakin tersisih. 37 Akibatnya dapat
kita tebak, film nasional jadi tidak laku.
Ketiga, kurangnya SDM di bidang perfilman yang berkualitas. 38 SDM perfilman yang seharusnya menerima estafet tongkat kepemimpinan dari para
sineas senior kurang tampak. Akibatnya SDM di bidang film kita habis.
Sementara, yang masih muda ada banyak hambatan baik yang besifat birokrasi
maupun freme film yang umumnya film mayor.
Terakhir adalah film yang hanya dipandang sebagai komoditas industri.
Padahal sebagai satu bentuk seni, seharusnya film tidak melulu dikaitkan dengan
bisnis. Di sini terlihat sekali, karena film dibebani tugas mencari keuntungan bagi
produsernya maka beban yang berat ini justru mematikan film itu sendiri.
Kemunculan film indie tidak lain merupakan reaksi atas kekuasaan kaum
pengusaha terhadap para seniman film. di mana mereka merasa begitu
beranggapan bahwa para sineas muda yang memang tidak punya modal untuk
membuat film. Padahal, sebagai seni film bisa diekspresikan dengan berbagai cara
dan bentuk yang berbeda pula.
4. Fungsi Film
Seperti halnya televisi siaran, tujuan khalayak menonton film terutama
adalah ingin mendapatkan hiburan. Akan tetapi dalam film dapat terkandung
fungsi informatif maupun edukatif, bahkan persuasif. Hal ini pun sejalan dengan
misi perfilman nasional sejak tahun 1979, bahwa selain media hiburan, film
37
www.scribd.com/doc/18681861/Film-in-Die-Indonesia artikel diakses pada 15 juni 2010
38
Onong Uchjana Efendy, Ilmu, Teori Dan Filsafat Komunikasi, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003) cet. Ke-3, h. 238.
(40)
nasional dapat digunakan sebagai media edukasi untuk pembinaan generasi muda
dalam rangka nation and character building. 39
Fungsi edukasi dapat tercapai apabila film nasional memproduksi
film-film sejarah yang objektif, atau film-film dokumenter, dan film-film yang diangkat dari
kehidupan sehari-hari secara berimbang. 40
5. Karakteristik Film
Faktor-faktor yang dapat menunjukkan karakteristik film adalah layar lebar, pengambilan gambar, konsentrasi penuh dan identifikasi psikologis. 41
a. Layar yang luas / lebar
Film dan televisi sama-sama menggunakan layar, namun kelebihan media
film adalah layarnya yang berukuran luas. Meskipun saat ini ada layar televisi
yang berukuran jumbo, itu digunakan pada saat-saat khusus dan biasanya di
ruangan terbuka, seperti pada pertunjukkan musik dan sejenisnya. Layar film yang
luas telah memberikan keleluasaan penontonnya untuk melihat adegan-adegan
yang disajikan dalan film. Apalagi dengan adanya kemajuan teknologi, layar film
di bioskop-bioskop pada umumnya sudah tiga dimensi, sehingga penonton
seolah-olah melihat kejadian nyata dan tidak berjarak.
b. Pengambilan Gambar
Sebagai konsekuensi layar lebar, maka pengambilan gambar atau shot
dalam film bioskop memungkinkan dari jarak jauh atau extreme long shot, dan
panoramic shot, yakni pengambilan pemandangan menyeluruh. Shot tersebut
39
Onong Uchjana Effendy, Ilmu, Teori, Dan Filsafat Komunikasi, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003) cet. Ke-3 h. 227
40
Elvinaro Ardianto, Lukiati Komala Erdiyana, Komunikasi Massa, suatu pengantar,
(Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2005) cet. Ke-2 h. 136
41
(41)
dipakai untuk memberi kesan artistik dan suasana yang sesungguhnya, sehingga film menjadi lebih menarik. Perasaan kita akan tergugah melihat seseorang (pemain film) sedang berjalan di gurun pasir pada tengah hari yang amat panas. Manusia yang berjalan tersebut terlihat bagai benda kecil yang bergerak di tengah luasnya padang pasir. Di samping itu, melalui panoramic Shot, kita sebagai penonton dapat memperoleh sedikit gambaran, bahkan mungkin gambaran yang cukup tentang daerah tertentu yang dijadikan lokasi film sekalipun kita belum pernah berkunjung ke tempat tersebut. Misalnya, kita dapat mengetahui suasana sekitar menara Eiffel di Paris, air terjun Niagara di Amerika Serikat dan lain-lain. Sebaliknya, pengambilan gambar pada televisi lebih sering jarak dari jarak dekat.
c. Konsentrasi penuh
Saat kita menonton film di bioskop, kita akan mengalami suasana yang berbeda dibandingkan dengan saat kita menonton televisi di rumah. Di dalam bioskop kita semua terbebas dari gangguan hiruk-pikuk suara diluar karena biasanya ruangan kedap suara. Semua mata hanya tertuju pada layar, sementara pikiran perasaan kita tertuju pada alur cerita. Dalam keadaan demikian emosi kita juga terbawa oleh suasana.
d. Identifikasi Psikologis
Penonton dapat merasakan bahwa suasana di gedung bioskop telah membuat pikiran dan perasaannya larut dalam cerita yang disajikan. Karena penghayatan para penonton yang amat mendalam, seringkali secara tidak sadar mereka menyamakan (mengidentifikasikan) pribadinya dengan salah seorang pemeran dalam film itu, sehingga seolah-olah dialah yang sedang berperan. Gejala ini menurut ilmu jiwa sosial disebut sebagai identifikasi psikologis.42
42
Onong Uchjana Effendy, Ilmu, Teori, Dan Filsafat Komunikas, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003) Cet. Ke-3 hal. 207
(42)
6. Jenis-jenis Film
Film dapat dikelompokkan pada jenis film cerita, film berita, film dokumenter, dan film kartun.
a. Film Cerita
Film cerita (story film) adalah jenis film yang mengandung suatu cerita
yang lazim dipertunjukkan di gedung-gedung bioskop dengan bintang film tenar
dan film ini didistribusikan sebagai barang dagangan. Cerita yang diangkat
menjadi topik film bisa berupa cerita fiktif atau berdasarkan kisah nyata yang
dimodifikasi, sehingga ada unsur menarik, baik dari jalan ceritanya maupun dari
segi gambar yang artistik.
b. Film Berita
Film berita atau newsreel adalah film mengenai fakta, peristiwa yang benar-benar terjadi. Karena sifatnya berita, maka film yang disajikan kepada
publik harus mengandung nilai berita (news value). Kriteria berita itu adalah penting dan menarik. Yang terpenting dalam film berita adalah peristiwanya
terekam secara utuh.
c. Film Dokumenter
Film dokumenter (documentary film) didefinisikan oleh Robert Flaherty
sebagai “karya ciptaan mengenai kenyataan (creative treatment of actuality)”.
Berbeda dengan film berita yang merupakan kenyataan, maka film dokumenter
merupakan hasil interpretasi pribadi (pembuatnya) mengenai kenyataan tersebut.
d. Film Kartun
Film Kartun (cartoon film) dibuat untuk dikonsumsi anak-anak. Tujuan utama dari film kartun adalah untuk menghibur. Walaupun tujuan utamanya
(43)
adalah untuk menghibur, tapi terdapat pula film-film kartun yang mengandung
unsur-unsur pendidikan di dalamnya. 43
7. Unsur-Unsur Pembentuk Film
Film secara umum dapat dibagi atas dua unsur pembentuk, yakni unsur
naratif dan unsur sinematik. Kedua unsur tersebut saling berinteraksi dan
berkesinambungan satu sama lain. Unsur naratif adalah bahan (materi) yang akan
diolah, berhungan dengan aspek cerita atau tema film, terdiri dari unsur-unsur
seperti: tokoh, masalah, konflik, lokasi, dan waktu. Sedangkan unsur sinematik
adalah cara (gaya) untuk mengolahnya. Dalam film cerita unsur naratif adalah
perlakuan terhadap cerita filmnya. Sementara unsur sinematik atau gaya sinematik
merupakan aspek-aspek teknis pembentuk film.44
Unsur sinematik terdiri dari empat elemen pokok, yakni:
a. Mise-en-scene, yaitu segala hal yang berada di depan kamera.
b. Sinematografi, yaitu perlakuan terhadap kamera dan filmnya serta
hubungan kamera dengan objek yang diambil.
c. Editing, yakni transisi sebuah gambar (shot) ke gambar (shot) lainnya. d. Suara, yakni segala hal dalam film yang mampu kita tangkap melalui
indera pendengaran.
Film juga mengandung unsur-unsur dramatik. Unsur drramatik dalam
istilah lain disebut dramaturgi, yakni unsur-unsur yang dibutuhkan untuk
melahirkan gerak dramatik pada cerita atau pada pikiran penontonnya, antara lain:
konflik, suspense, curiosity, dan surprise. Konflik adalah suatu pertentangan yang terjadi dalam sebuah film misalnya, pertentangan antar tokoh. Suspense adalah
43
Elvinaro Ardianto, lukiati Komala Erdinaya. Komunikasi Massa, suatu pengantar
(Bandung: Simbiosa Rekatama Media) h. 138-140
44
(44)
ketegangan yang dapat menggiring penonton ikut berdebar menantikan adegan
selanjutnya. Curiosity adalah rasa ingin tahu atau penasaran penonton terhadap jalannya cerita sehingga penonton terus mengikuti alur film sampai selesai.
Surprise adalah kejutan. Kejutan ini biasanya digunakan pada alur film yang sulit ditebak. Perasaan surprise pada penonton timbul karena jawaban yang mereka saksikan adalah di luar dugaan. Efek surprise ini bisa membuat penonton senang,
bisa juga kecewa atau sedih. 45
8. Sinematografi
Dalam sebuah produksi film ketika seluruh aspek mise-en-scene telah tersedia dan sebuah adegan telah siap untuk diambil gambarnya, pada tahap inilah
unsur sinematografi mulai berperan. Sinematografi secara umum dapat dibagi
menjadi tiga aspek, yakni kamera dan film, framing, serta durasi gambar. Kamera dan film mencakup teknik-teknik yang dapat dilakukan melalui kamera dan stok
filmnya, seperti warna, penggunaan lensa, kecepatan gerak gambar, dan
sebagainya.
Framing adalah hubungan kamera dengan objek yang akan diambil, seperti batasan wilayah gambar atau frame, jarak, ketinggian, pergerakan kamera
dan seterusnya. Sementara durasi gambar mencakup lamanya sebuah objek
diambil gambarnya oleh kamera. 46
Berikut ini adalah salah satu aspek framing yang terdapat dalam sinematografi, yakni jarak kamera terhadap obyek (type of shot), yaitu47 :
45
Elizabeth Lutters, Kunci Sukses Menulis Skenario, (Jakarta: Grasindo, 2004) cet. Ke-3, h. 100-103.
46
Himawan Pratista, Memahami Film, (Yogyakarta: Homerian Pustaka, 2008) h. 89.
47
(45)
a. Extremelongshot
Extreme long shot merupakan jarak kamera yang paling jauh dari obyeknya. Wujud fisik manusia nyaris tidak tampak. Teknik ini umumnya
untuk menggambarkan sebuah obyek yang sangat jauh atau panorama
yang luas.
b. Long shot
Pada long shot tubuh fisik manusia telah tampak jelas namun latar belakang masih dominan. Long shot sering digunakan sebagai estabilising shot, yakni shot pembuka sebelum digunakan shot-shot yang berjarak lebih dekat.
c. Medium long shot
Pada jarak ini tubuh manusia terlihat dari bawah lutut sampai ke atas.
Tubuh fisik manusia dan lingkungan sekitar relatif seimbang.
d. Medium shot
Pada jarak ini memperlihatkan tubuh manusia dari pinggang ke atas.
Gestur serta ekspresi wajah mulai tampak. Sosok manusia mulai dominan dalam frame.
e. Medium close-up
Pada jarak ini memperlihatkan tubuh manusia dari dada ke atas. Sosok
tubuh manusia mendominasi frame dan latar belakang tidak lagi dominan. Adegan percakapan normal biasanya menggunakan jarak medium close-up.
f. Close-up
Umumnya memperlihatkan wajah, tangan, kaki, atau sebuah obyek kecil
(46)
gestur yang mendetil. Close-up biasanya digunakan untuk adegan dialog yang lebih intim. Close-up juga memperlihatkan mendetil sebuah benda atau obyek
g. Extreme close-up
Pada jarak terdekat ini mampu memperlihatkan lebih mendetail bagian
dari wajah, seperti telinga, mata, hidung, dan lainnya atau bagian dari sebuah
obyek.
9. Struktur Film
Seperti halnya sebuah karya literatur yang dapat dipecah menjadi bab
(chapter), alinea, dan kalimat, film jenis apapuun, panjang atau pendek, juga dapat
memiliki struktur fisik. Secara fisik sebuah film dapat dipecah menjadi
unsur-unsur sebagai berikut 48 :
a. Shot merupakan unsur terkecil dari film, yakni proses perekaman gambar atau perekaman gambar (satu kali take) sejak kamera diaktifkan (on) hingga dimatikan (off). Dalam novel shot bisa diibaratkan satu kalimat. Sekumpulan shot biasanya dapat dikelompokkan menjadi sebuah adegan.
Satu adegan bisa berjumlah belasan hingga puluhan shot. Satu shot dapat
berdurasi kurang dari satu detik, beberapa menit, bahkan jam.
b. Scene (Adegan) adalah satu segmen pendek dari keseluruhan cerita yang memperlihatkan satu aksi berkesinambungan yang diikat oleh ruang,
waktu, isi (cerita), tema, karakter, atau motif. Satu adegan umumnya
terdiri dari beberapa shot yang saling berhubungan. Biasanya film cerita
terdiri dari 30-35 adegan.
48
(47)
c. Sequence (Sekuen) adalah satu segmen besar yang memperlihatkan satu rangkaian peristiwa yang utuh. Atau sequence adalah sebuah rangkaian adegan.49 Satu sekuen umumnya terdiri dari beberapa adegan yang saling
berhubungan. Dalam karya literatur, sekuen bisa diibaratkan bab atau
sekeumpulan bab. Film cerita biasanya terdiri dari 8-15 sequence.
C. Pesan Moral
Istilah pesan dalam bahasa Inggris message berasal dari kata latin yaitu
message yang bersumber dari kata yang berarti perintah, nasehat, permintaan, kata-kata, lambang, ide, amanat yang harus disampaikan atau dilakukan kepada
orang lain. 50
Akan tetapi, pengertian pesan yang dipaparkan di atas bersifat mendasar,
dalam arti kata bahwa pesan itu adalah suatu kata-kata itu menyediakan suatu alat
pengantar yang dapat menyampaikan ide-ide dan informasi, tapi juga persuasif
yaitu pesan-pesan berjalan dengan struktur yang melalui komunikator dan
diterima oleh komunikan agar orang lain bersedia menerima suatu paham dan
keyakinan melakukan suatu perbuatan atau kegiatan dan lain-lain. 51
Dalam komunikasi, pesan menjadi salah satu unsur penentu efektifitas
suatu tindakan komunikasi. Pesan menjadi unsur utama selain komunikator dan
komunikan, terjadi komunikasi antar manusia. Tanpa adanya komunikasi pesan,
maka tidak pernah terjadi komunikasi yang jelas antar manusia. 52
49
Heru Effendy, Mari Membuat Film; Panduan Menjadi Produser, (Jakarta: Pustaka Konfiden, 2008) cet. Ke-6, h. 149
50
Departemen Pendidikan & Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1997), cet. Ke-9, h. 761
51
James G. Robinson, Komunikasi yang Efektis, (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1986), cet.ke-3 h. 35
52
M. Jamaluddin Piktoringa, Tipologi Pesan Persuasif, (PT. Indeks: Jakarta, 2005), cet.ke-1, h. 1
(48)
Menurut beberapa ahli, pesan mempunyai macam-macam arti. Pesan
dapat diartikan sebagai lambang, ide, kata, atau isi pernyataan. Menurut Hoeta
Soehoet, pesan adalah isi pernyataan yaitu hasil penggunaan akal budi yang
disampaikan manusia kepada manusia lain. Artinya berfungsi untuk mewujudkan
isi pernyataan dari bentuknya yang abstrak menjadi konkret. Dari berbagai
definisi yang telah disebutkan, meskipun terdapat perbedaan dalam perumusan
dapat disimpulkan bahwa pesan merupakan suatu isi pernyataan yang
mendatangkan makna dan respon tertentu.
Sebenarnya suatu pesan tidak hanya sebatas menstimulasi emosi
khalayak. Pesan dapat pula dikatakan persuasif manakala menyentuh rasio
khalayak. Bahkan pesan yang disampaikan tidak hanya menyentuh ratio khalayak
tapi juga dapat mengajak khalayak untuk menjadi sesuatu yang lebih baik.
Dengan demikian pesan akan dapat menghasilkan respon tertentu
seandainya dirancang dengan baik. Untuk itu pesan hendaknya mengoptimalkan
lambang komunikasi yang tersedia (verbal, non-verbal dan paralinguistik) yang
disesuaikan dengan topik yang dikomunikasikan. Saluran komunikasi yang
digunakan dan khalayak yang dituju. Selain itu, pesan yang dirancang biasanya
merupakan refleksi dari prilaku khalayak yang dituju, sehingga diharapkan
merupakan hasil pengkondisian dari sumber. 53
Dalam penelitian ini, pesan yang ingin disampaikan pada khalyak adalah
pesan yang mengandung nilai-nilai moral. Pesan moral merupakan suatu materi
atau gagasan mengenai ajaran tentang baik buruknya perbuatan dan kelakuan
yang ingin disampaikan oleh pembuat film kepada penontonnya.
53
(49)
Sebagaimana tema, pesan moral hanya dapat ditangkap melalui penafsiran cerita. Hal ini sekaligus merupakan petunjuk praktis mengenai berbagai hal yang berhubungan dengan masalah kehidupan, seperti sikap, tingkah laku, dan sopan santun pergaulan. Sutradara atau pembuat film ini menyampaikan semua hal tersebut di atas melalui penampilan tokoh-tokoh cerita.
Sebenarnya yang dimaksud dengan moral menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah penentuan baik-buruk terhadap perbuatan dan kelakuan. 54 Dan menurut istilah moral adalah suatu istilah yang digunakan untuk menentukan batas-batas dari sifat, perangai, kehendak, pendapat, atau perbuatan yang secara layak dapat dikatakan benar, salah, baik, atau buruk. 55
Moralitas akan muncul dengan sendirinya manakala seseorang mulai berpikir tentang apa yang harus dilakukan dan tidak harus tidak dilakukan. Seseorang akan bertindak dengan alasan-alasan tertentu dan tidak dikendalikan oleh sebab-sebab yang lain. Tindakan moral harus rasional, alasannya pun harus operatif. Jadi, tidak sekedar rasional semata. Pada intinya, setiap orang harus mampu bertindak sebagai makhluk yang bermoral. 56
Menurut pandangan Rest, moralitas mencakup makna yang begitu luas, antara lain:
a. tingkah laku membantu orang lain;
b. tingkah laku yang sesuai dengan norma-norma sosial; c. timbulnya empati atau rasa salah, atau bahkan keduanya; d. penalaran tentang keadilan, dan
e. memperhatikan kepentingan orang lain. 57
54
W.J, S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Rajawali Press, 1980), cet.II, h. 654.
55
Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), cet.V, h. 93.
56
Cheppy Haricahyono, Dimensi Pendidikan Moral, (Semarang: IKIP Semarang Pres, 1995), h. 67.
57
(50)
Moralitas sering diartikan juga sebagai norma dan perilaku dalam
masyarakat yaitu anggapan mengenai perilaku yang baik dan buruk. Perilaku
sosial yang baik (positif) disebut sebagai perilaku prososial. Sedangkan perilaku
sosial yang buruk (negative) disebut perilaku antisosial.
Uraian ini menjadi suatu acuan khusus dalam seluruh penelitian ini.
Berbagai pesan moral tersirat dan tersurat dalam film “3 DOA 3 CINTA”. Dan penggalian ini akan dilakukan dengan menggunakan pendekatan semiotik ala
Roland Barthes.
(51)
BAB III
GAMBARAN UMUM FILM 3 DOA 3 CINTA
A. Sekilas Tentang Film 3 DOA 3 CINTA
Pada bulan September 2008 dunia perfilman nasional kembali diramaikan
dengan kehadiran Film “3 DOA 3 CINTA”, yang kembali mempertemukan dua
bintang muda berbakat Nicholas Saputra dan Dian Sastrowardoyo setelah debut
awal mereka di AADC.
Film “3 DOA 3 CINTA” berhasil lolos dalam official selection competition di Pusan International Film Festival di Korea. Artinya Film “3 DOA
3 CINTA” akan mendapat kehormatan untuk ditayangkan perdana atau world premier di Korea pada bulan Oktober 2008.1
Tentu saja ini merupakan sebuah kebanggaan tersendiri untuk film yang
proses penggarapan skenarionya memakan waktu lebih dari 3 tahun.2 Bahkan
skenario film ini berhasil mendapatkan script development grant dari Global Film Initiative di San Francisco, Amerika Serikat, Goteborg International Film Festival
Fund dari Swedia dan Fonds Sud Cinema dari Perancis. Pada bulan Mei 2008, “3
DOA 3 CINTA” diundang ke Cinema du Sud di Cannes Film Festival di Perancis dimana film ini diputar di depan para produser, sutradara dan distributor film
internasional.3
1
http://www.bangadang.com/perspektif/resensi/95-3-doa-3-cinta-toleransi-dari-pesantren
artikel diakses pada 25 februari 2010.
2
Hasil Wawancara dengan Nurman Hakim, Sutradara, Penulis Skenario, Produser Film 3 Doa 3Cinta, pada 20 Juni 2010. Pukul 19.00 WIB.
3
http://www.kapanlagi.com/showbiz/film/3-doa-3-cinta-tampilkan-sisi-humanisme-pesantren-z9otddx.html artikel diakses pada 25 februari 2010.
(52)
Film “3 DOA 3 CINTA”, yang merupakan film layar lebar karya dari
sutradara muda, Nurman Hakim. Film ini juga didukung oleh Butet Kartaredjasa
dan Jajang C. Noer. “3 DOA 3 CINTA” adalah potret suka duka kehidupan di sebuah pesantren yang diwarnai dengan persahabatan, cinta, ibadah dan nilai
kemanusian. Di film ini kita bisa lihat bagaimana Nicholas Saputra begitu
menjiwai perannya sebagai seorang santri yang jatuh hati dengan penyanyi
dangdut keliling, yang diperankan dengan sangat apik oleh Dian Sastro.
Film “3 DOA 3 CINTA” adalah film yang bercerita tentang proses
pendewasaan atau ”coming of age” santri yang dididik secara Islam dalam
memahami kehidupan di luar pesantren. Film “3 DOA 3 CINTA“ merupakan produksi TriXimages dan Investasi Film Indonesia (IFI). TriXimages telah
memproduksi antara lain ”Bendera” dan terakhir ”The Photograph” di tahun 2007.
IFI sendiri telah memproduksi Coklat Stroberi (2007), Radit dan Jani (2008) dan
terakhir Coblos Cinta (2008).
Setelah world premiere pada bulan Oktober lalu, di Pusan International Film Festival, Film “3 DOA 3 CINTA” berhasil lolos dalam official selection competition di Dubai International Fim Festival yang akan diselenggarkan pada tanggal 9-18 Desember 2008. Film “3 DOA 3 CINTA” terpilih dari sekitar 1800 film yang diterima oleh panitia festival.4 Hal ini merupakan suatu kebanggaan
tersendiri, karena sebelum film ini release di Indonesia sudah berhasil lolos dalam
berbagai festival film di mancanegara.
4
http://www.ifi.co.id/id/news/49-film-3-doa-3-cinta-di-dubai-film-festival.html aritkel diakses pada 25 februari 2010.
(1)
7. Interviewer : Bagaimana proses pemilihan para pemain dalam film 3DOA 3CINTA? Apakah melalui audisi?
Responden : Untuk tokoh utama seperti Dian ataupun Nico, Jajang C. Noor, Butet Kertaradjasa, Yoga Bagus, Yoga Utama saya yang memilih langsung. Untuk para pemain lainnya, dipilih oleh asisten sutradara dengan sepengetahuan dan persetujuan saya.
8. Interviewer : Bagaimana proses penggarapan skenario Film 3DOA 3CINTA? Apakah Mengalami Hambatan? Berapa lama proses penggarapannya?
Responden : Proses Penggarapan skenario Film 3 Doa 3 Cinta sekitar awal tahun 2007. Saya juga mengalami berbagai hambatan. Syukur Alhamdulilah, saya bisa melewatinya. Proses penggarapan atau penulisan skenario ini lebih dari 3 tahun, untuk pastinya saya lupa. Bisa dibilang hampir 4 tahun.
9. Interviewer : Apa Makna Judul Film 3 Doa 3 Cinta?
Responden : 3 orang ( 3 tokoh utama: Huda, Rian, Syahid) dalam film ini yang berdoa untuk 3 orang yang mereka cintai. Siapa yang mereka cintai? Orang tua mereka masing-masing. Huda: untuk Ibundanya, Rian: untuk Ayah dan Ibundanya, Syahid: untuk Ayahnya.
10. Interviewer : Pesan apa yang ingin disampaikan dalam Film 3 Doa 3 Cinta? Responden : Islam di Indonesia yang penuh toleransi, walaupun ada juga segelintir atau sekelompok kecil Islam yang radikal. Islam di Indonesia yang Rahmatan Lil Alamin. Islam di Indonesia yang cinta damai. Islam di Indonesia yang ramah.
11. Interviewer : Ada adegan-adegan yang (??????) di film Anda, apa tidak ada masalah dengan adegan itu di Indonesia dan BSF /LSF?
Responden : Semua scene yang tampil di Bioskop tidak ada masalah dengan BSF atau LSF. Saya juga tidak mendapat masalah atau teguran dari BSF/LSF tentang isi pada film 3 Doa 3 Cinta. Karena apa yang saya buat atau ceritakan dalam film ini adalah berangkat dari kenyataan yang ada atau sesungguhnya dalam realitas kehidupan. Bukan mengada-ada atau rekayasa cerita.
12. Interviewer : Dengan sukses di berbagai film festival, apakah sekarang Anda merasa ada dorongan membuat film sesuai yang diharapkan oleh sebuah festival?
Responden : Ya, saya membuat film dengan berbagai tujuan, saya ingin membuat film yang bisa lolos seleksi pada festival-festival film internasional dan juga mendapat penghargaan pada ajang tersebut.
(2)
13. Interviewer : Berapa lama anda butuhkan waktu sampai menemukan cerita yang anda inginkan?
Responden : Dari tahun 2002 – 2007. Saya membutuhkan waktu 4 tahun untuk mendapatkan cerita yang saya inginkan.
14. Interviewer : Di 3 DOA 3 CINTA, Anda bertindak sebagai multiple staff. Sebagai sutradara, penulis skenario, produser . Apa kendalanya?
Responden : Tidak ada kendala atau kesulitan yang berarti kecuali masalah biaya atau dana. Dana atau biaya menjadi salah satu faktor yang sangat penting dalam produksi sebuah film.
15. Interviewer : Kenapa anda selalu mencari lokasi-lokasi yang bisa dibilang jauh dari peradaban, terpencil?
Responden : Saya memilih lokasi atau tempat syuting pengambilan gambar sesuai dengan tuntutan atau kebutuhan pada skenario. Untuk pengambilan gambar setting pesantren pada film 3 Doa 3 Cinta, saya memilih lokasi di Pabelan. Semata karena tuntutan dalam skenario. Dalam skenario, pesantren dengan setting latar belakang dan budaya Jawa. Bangunan-bangunan pada Pesantren Pabelan sesuai dengan kebutuhan artistik untuk pengambilan gambar. Syuting film ini dilakukan di daerah Magelang dan Yogyakarta pada April 2008 selama 16 hari.
16. Interviewer : Dalam pembuatan film ini format apa yang Anda gunakan? Kenapa?
Responden : proses syuting menggunakan format digital. Lalu ditransfer ke format seluloid atau 35mm untuk pemutaran di Bioskop atau Cinema 21. Karena dengan begini dapat menghemat biaya atau cost produksi film ini. Jikalau semua proses syuting pengambilan gambar menggunakan format seluloid atau film 35mm akan menghabiskan biaya yang sangat banyak. 17. Interviewer : Film ini sangat “self-absorbed”, artinya, sangat asyik dengan
dunianya sendiri, dengan masalah pribadi si pembuat filmnya sendiri.... Menurut Anda?
Responden : Iya, enggak apa-apa, karena cerita dalam film ini akan menjadi lebih kuat. Karena berangkat dari hasil pengalaman pribadi bukan rekayasa. 18. Interviewer : Tapi kalau lantas dibilang, film ini “Anda banget”...lantas,
kapan Anda bisa bicara tentang orang lain, tentang masalah lain? Apakah anda sudah melakukannya? Film apa?
Responden : Dalam film ini saya tidak hanya bicara tentang dunia pesantren dan kehidupan di dalamnya. Saya bicara tentang Islam Indonesia yang Rahmatan Lil Alamin, ramah, penuh toleransi, dan cinta damai. Walaupun ada juga segelintir atau kelompok kecil Islam yang radikal. Gambaran dunia islam yang akrab dan universal milik Indonesia.
(3)
19. Interviewer : Soal Nyantri sepertinya itu pengalaman sendiri?
Responden : Iya, pengalaman pribadi. Sewaktu SMA, saya di pesantren. Selama 3 tahun. Pesantren di daerah Demak. Saya besar di lingkungan pesantren. Keluarga saya, semuanya lulusan pesantren. Bisa dibilang, saya sangat akrab atau dekat dengan dunia pesantren.
20. Interviewer : Oh ya? Bagaimana reaksi mereka, khususnya para pimpinan pesantren dengan Film Anda ini?
Responden : Alhamdulillah, sampai saat ini saya tidak mendapatkan reaksi atau respon yang negative dari mereka. Semua baik-baik saja. Karena saya bicara fakta, bukan rekayasa.
21. Interviewer : Bagaimana dengan skenario 3 DOA 3 CINTA?
Responden : skenario film ini mencapai 10 halaman. Pengerjaan atau penulisannya membutuhkan waktu yang cukup lama. Karena saya tidak ingin terburu-buru dalam membuatnya atau terkesan datar bahkan biasa saja. 22. Interviewer : Bagaimana dengan aspek estetika di film Anda.
Responden : Menurut saya, Bagus.
23. Interviewer : Bagaimana dengan rencana film selanjutnya?
Responden : Saya sedang dalam proses penggarapan sebuah film tentang feminisme dalam islam. Akan realese pada januari 2011. Diperankan oleh Ben Joshua dan Marsha Timoty. Untuk judulnya, saya tidak bisa memberitahukannya.
24. Interviewer : Apa dan bagaimana Islam di Indonesia ? Menurut Anda? Responden : Islam yang toleran, Rahmatan Lil Alamin, walaupun ada juga sebagian golongan yang radikal.
25. Interviewer : Kehidupan pesantren sepertinya tidak asing bagi Anda? bisa tolong jelaskan?
Responden : Iya, sejak dari kecil saya hidup dengan lingkungan pesantren atau kultur pesantren. Di kalangan keluarga saya, semua memiliki background pendidikan di pesantren. Bisa dibilang kehidupan pesantren bukan hal yang asing bagi saya.
26. Interviewer : Dunia Pendidikan di pesantren seperti apa? Apa seperti yang anda gambarkan dalam scene-scene di film ini?
Responden : Tidak semua pesantren menerapkan sistem pendidikan yang tradisonal. Ada juga yang modern. Dalam konteks scene atau adegan yang ada di film saya, bahwa memang betul ada pesantren yang melarang para santrinya untuk membawa alat-alat elektronik atau telephon seluler selama
(4)
berada di pesantren. Ada juga pesantren yang membatasi para santrinya untuk menonton televisi, kecuali hanya untuk menonton tayangan berita.
27. Interviewer : Orang Asing yang terdapat dalam film ini merujuk kepada siapa? Apakah orang Asing (Yahudi, Nasrani)? Atau siapa? Maksud adegan tersebut apa? Citra baik orang Non Muslim?
Responden : Citra orang Asing yang baik hati. Citra Bangsa Barat yang penuh toleransi. Citra baik orang Non Muslim.
(5)
LAMPIRAN
(6)