BAB II METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini termasuk pada penelitian eksplanasi, yaitu menjelaskan tentang suatu kegiatan atau gejala yang terjadi dengan menghubungkan pola-pola
yang berbeda namun memiliki keterkaitan. Berdasarkan tujuannya penelitian ini termasuk penelitian eksploratif yaitu bertujuan untuk melihat pola, gagasan atau
merumuskan hipotesis, penelitian eksploratif juga dilakukan untuk lebih memahami karakteristik dari suatu masalah.
12
B. Pendekatan dan Metode Penelitian.
Menurut pendekatannya, penelitian ini termasuk penelitian kuantitatif, yaitu suatu pendekatan penelitian yang bersifat objektif, mencakup penelitian dan analisis
data kuantitatif serta menggunakan metode pengujian statistik.
13
C. Sampel Dan Teknik Pengambilan Sampel
1. Populasi
Populasi adalah totalitas dari semua objek atau individu yang memiliki karekteristik tertentu, jelas dan lengkap yang akan diteliti.
14
12
Asep Hermawan, Pedoman Praktis Metodologi Penelitian Bisnis, Jakarta: LPFE Trisakti, 2003, h. 2.
13
Ibid, h. .3
14
Hoetomo M.A, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya, Mitra Pelajar, 2005, h.389.
Populasi dalam penelitian ini adalah Mahasiswi Prodi Muamalat Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang berjumlah 364 orang.
15
2. Sampel
Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti yang dimaksudkan untuk mengeneralisasikan kesimpulan yang diperoleh dalam
penelitian.
16
Dalam penelitian ini sampel diambil dari sebagian populasi yang telah ditentukan, yaitu sebagian Mahasiswi Prodi Muamalat Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang masih aktif dari semester tiga sampai semester tujuh selama penelitian ini berlangsung.
3. Teknik Pengambilan Sampel
Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sistem non probability sampling, yaitu mengambil sampel yang tidak memberi
peluang atau kesempatan bagi setiap unsur atau anggota populasi untuk dipilih menjadi sampel. Metode non probability sampling yang digunakan adalah
purposive sampling atau disebut juga judgemental sampling yaitu teknik pengambilan sampel yang dapat dilakukan dengan menentukan kriteria-kriteria
khusus terhadap sampel berdasarkan tujuan penelitian.
17
Untuk menentukan
15
Data ini diperoleh dari Prodi Muammalat pada tanggal 12 Oktober 2010.
16
Hoetomo M.A, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya: Mitra Pelajar, 2005, h. 435.
17
Bambang Presetyo dan Lina Miftahul Jannah. Metode Penelitian Kuantitatif Teori dan Aplikasi. Jakarta: Rajawali Pers, 2005 h. 134.
banyaknya sampel dari suatu populasi, peneliti menggunakan rumus Slovin sebagai berikut:
18
n
N N e
2
+ 1 =
364 364 0,1
2
+ 1 = 78,44 orang responden dan digenapkan menjadi 80 orang
responden. Di mana:
n: ukuran sampel N: ukuran populasi
e: kesalahan yang diterima 10 0.1 Berdasarkan perhitungan diatas, sampel yang diambil adalah 78
responden, semakin banyak sampel yang diambil, semakin kecil kemungkinan terjadi kesalahan penelitiatau menurut Guilard 1987; 127 semakin besar sampel
n, maka hasilnya semakin akurat, oleh karena itu jumlah sampel yang akan diteliti sebanyak 80 responden. Karena jumlah itu sudah dianggap mewakili dan
melebihi syarat minimum jumlah sampel n=78.
18
Consuelo G. Sevilla, dkk. Pengantar Metode Penelitian. Jakarta, 1993 h. 161.
D. Data Dan Teknik Pengumpulan Data
1. Sumber data
Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari responden melalui kuesioner di lokasi penelitian atau objek penelitian. Yaitu, data yang
didapat langsung dari mahasiswi Prodi Muamalat. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari literatur-literatur
kepustakaan seperti buku-buku, artikel, serta sumber lainnya yang berkaitan dengan materi penulisan ini.
2. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan instrumen yang disusun berbentuk kuesioner yang diisi oleh para responden.
Kuesioner diberikan kepada konsumen Mahasiswi Prodi Muamalat FSH UIN Jakarta. Kemudian dianalisa dengan berpedoman pada sumber tertulis yang
didapat dari perpustakaan sebagai langkah konfirmasi mengenai data yang diperoleh dari penelitian lapangan. Alat pengumpul data yang penulis gunakan
dalam penelitian ini adalah menggunakan skala label halal dan skala keputusan menggunakan produk kosmetik.
a. Skala label halal Skala ini tersusun dari tiga belas 13 butir pernyataan-pernyataan
yang terdiri dari tiga indikator. Adapun indikator yang digunakan adalah: pengetahuan, kepercayaan dan penilaian terhadap label halal.
Skala label halal ini menggunakan alat tes Skala Likert dengan variasi jawaban sebanyak empat 4 pilihan yaitu; sangat tidak setuju, tidak setuju,
setuju dan sangat setuju. Pada penelitian ini peneliti hanya menggunakan empat pilihan jawaban dengan meniadakan kategori jawaban di tengah atau
netral, karena dapat menimbulkan kecenderungan subjek untuk menjawab di tengah terutama bagi subjek yang ragu-ragu atas arah jawabannya dan
mendorong subjek untuk memutuskan sendiri apakah positif atau negatif Sevilla, 1993. Adapun skor untuk masing-masing pilihan adalah sebagai
berikut:
Tabel 2.1Skor Skala Label Halal Pilihan
STS TS
S SS
Fav 1
2 3
4
b. Skala Keputusan Menggunakan Produk Kosmetik Skala ini tersusun dari Sembilan 9 butir pernyataan-pernyataan yang
terdiri dari lima indikator. Peneliti menggunakan indikator dari tahap-tahap proses pembelian konsumen, yaitu: pengenalan masalah, pencarian informasi,
evaluasi alternatif, keputusan membeli dan perilaku pasca membeli. Skala keputusan menggunakan produk kosmetik ini menggunakan alat
tes Skala Likert dengan variasi jawaban sebanyak empat 4 pilihan yaitu; sangat tidak setuju, tidak setuju, setuju dan sangat setuju. Pada penelitian ini
peneliti hanya menggunakan empat pilihan jawaban dengan meniadakan
kategori jawaban di tengah atau netral, karena dapat menimbulkan kecenderungan subjek untuk menjawab di tengah terutama bagi subjek yang
ragu-ragu atas arah jawabannya dan mendorong subjek untuk memutuskan sendiri apakah positif atau negatif Sevilla, 1993. Adapun skor untuk masing-
masing pilihan adalah sebagai berikut:
Table 2.2Skor Skala Keputusan Menggunakan Produk Kosmetik Pilihan
STS TS
S SS
Fav 1
2 3
4
3. Teknik Uji Instrumen Penelitian
Sebelum instrumen penelitian digunakan untuk memperoleh data-data penelitian, terlebih dahulu dilakukan uji coba agar diperoleh instrumen yang valid
dan reliabel. Salah satu ciri instrumen yang baik adalah apabila instrumen itu dapat dengan tepat mengukur apa yang hendak diukur secara valid.
Uji reliabilitas bertujuan untuk melihat konsistensi alat ukur yang akan digunakan yakni apakah alat ukur tersebut akurat, stabil dan konsisten. Teknik
yang digunakan untuk menguji reliabilitas adalah Alpha Cronbach. Standarisasi reliabiltas ini didasarkan pada kaidah reliabilitas Guilford.
Tabel 2.3Kaidah Reliabilitas Guilford
Koefisien Kriteria
0.2 Tidak Reliabel
0.2 – 0.39 Kurang Reliabel
0.4 – 0.69 Cukup Reliabel
0.7 – 0.89 Reliabel
0.9 Sangat Reliabel
a. Uji Validitas Uji validitas dilakukan dengan membandingkan nilai r
hitung
dengan r
tabel,
dengan menggunakan jumlah responden sebanyak 80, maka nilai r
tabel
dapat diperoleh melalui dfdegree of freedom= n - k, k merupakan jumlah butir pertanyaan dalam suatu variabel. Untuk variabel label halal df= 80 – 13
= 67, maka r
tabe
l= 0.236. sedangkan untuk variabel keputusan menggunakan produk df= 80 – 9= 71, maka r
tabel
= 0.230. Butir pernyataan dianggap valid jika r
hitung
lebih besar dari r
tabel
. 1. Variabel label halal
Tabel 24.Hasil Pengujian Validitas Label Halal Item
Corrected Item – Total Correlaion Kriteria Valid
X1 .423
Valid X2
.489 Valid
X3 .500
Valid X4
.606 Valid
X5 .644
Valid X6
.706 Valid
X7 .637
Valid X8
.670 Valid
X9 .450
Valid X10
.631 Valid
X11 .544
Valid X12
.611 Valid
X13 .498
Valid
2. Variabel Keputusan Menggunakan Produk Kosmetik
Tabel 2.5 Hasil Pengujian Validitas Keputusan Menggunakan Produk Kosmetik
Item Corrected Item – Total Correlaion
Kriteria Valid
Y1 .755
Valid Y2
.735 Valid
Y3 .572
Valid Y4
.180 Tidak Valid
Y5 .339
Valid Y6
.432 Valid
Y7 .554
Valid Y8
.513 Valid
Y9 .657
Valid
b. Uji Reliabilitas Teknik yang digunakan untuk menguji reliabilitas adalah Alpha
Cronbach. Adapun reliabilitas suatu konstruk variabel dikatakan reliabel jika memiliki nilai Alpha Cronbach lebih besar dari 0.7, standarisasi reliabilitas ini
didasarkan pada kaidah reliabilitas Guilford. Hasil pengujian reliabilitas dijelaskan sebagai berikut:
Tabel 2.3Kaidah Reliabilitas Guilford
Koefisien Kriteria
0.2 Tidak Reliabel
0.2 – 0.39 Kurang Reliabel
0.4 – 0.69 Cukup Reliabel
0.7 – 0.89 Reliabel
0.9 Sangat Reliabel
1. Variabel label halal
Reliability Statistics Cronbach’s Alpha
N of Items
0.883 13
Output hasil pengujian reliabilitas, dilakukan dengan melihat nilai Alpha Cronbach’s. jika nilai alpha lebih besar dari 0.7 maka
suatu 0.883 0.7 sehingga dapat disimpulkan untuk instrumen pengukuran label halal adalah reliabel.
2. Variabel Keputusan Pembelian Konsumen
Reliability Statistics Cronbach’s Alpha
N of Items
0.820 9
Output hasil pengujian reliabilitas, dilakukan dengan melihat nilai Alpha Cronbach’s. jika nilai alpha lebih besar dari 0.7 maka
suatu konstruk dikatakan cukup reliabel. Dari hasil output didapat nilai alpha 0.820 0.7 sehingga dapat disimpulkan untuk instrumen
pengukuran keputusan pembelian konsumen adalah cukup reliabel.
E. Teknik Analisa Data
1. Pengujian Asumsi Klasik
a. Uji Normalitas Sebelum dilakukan analisis untuk pengujian hipotesis, terlebih dahulu
akan dilakukan uji asumsi, melalui uji normalitas. Uji Normalitas adalah pengujian tentang kenormalan data. Penggunaan uji normalitas dalam
penelitian ini karena asumsi yang harus dimiliki oleh data adalah bahwa data tersebut terdistribusi normal. Maksud data terdistribusi normal adalah bahwa
data akan mengikuti bentuk distribusi normal dan data memusat pada nilai rata dan median.
2. Pengujian Hipotesis
a. Analisa regresi sederhana Analisis regresi sederhana akan dilakukan bila jumlah variabel terdiri
dari dua variabel saja, yaitu variabel label halal X dan variabel keputusan menggunakan produk kosmetik Y yang dirumuskan sebagai berikut:
19
Y = + b X
Dimana:
19
Prof. Dr. Sugiyono, Statistika untuk Penelitian. Bandung, 2009 h. 261.
Y:variabel terikat keputusan menggunakan produk kosmetik X: variabel bebas label halal
: konstanta b: koefisien regresi
3. Uji koefisien determinasi
Setelah dilakukan analisa regresi sederhana, selanjutnya dilakukan pengujian untuk melihat goodness of fit dari model, dengan uji koefisien
determinasi. Uji koefisien determinasi ditujukan untuk melihat seberapa besar
variabel independen label halal dapat menjelaskan variabel dependen keputusan menggunakan produk kosmetik dalam bentuk persentase. Untuk
mengetahui nilai koefisien determinasi maka dapat dihitung dengan menggunakan rumus:
20
Kd = r
2
x 100 Keterangan:
Kd : koefisien determinasi r : koefisien korelasi
Kd = 0, berarti pengaruh variabel X terhadap variabel Y lemah. Kd = 1, berarti pengaruh variabel X terhadap Y kuat.
20
Ibid., h. 231.
4. Uji F hitung Uji F ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh label halal terhadap
keputusan menggunakan produk kosmetik. Dengan rumus:
21
F hitung = R
2
k 1 – R
2
n – k – 1
keterangan: R
2
: koefisien korelasi yang ditemukan k : jumlah variabel bebas
n : jumlah sampel F : F hitung yang selanjutnya diuji dengan F tabel
Apabila F
hitung
F
tabel
maka H ditolak dan H
1
diterima, artinya variabel independen berpengaruh yang signifikan terhadap variabel dependen.
Jika sig F 0,05 maka H diterima dan H
1
ditolak, artinya tidak terdapat pengaruh antara variabel independen dan variabel dependen.
Jika sig F 0,05 maka H ditolak dan H
1
diterima, artinya ada pengaruh antara variabel independen dan variabel dependen.
21
Ibid., h. 235.
5. Uji t Metode pengujian ini digunakan karena menggunakan regresi
sederhana yaitu hanya terdiri dari satu variabel independen saja label halal. Dengan rumus:
22
t = r
keterangan: r : koefisien korelasi
n : jumlah anggota sampel Pengujian ini ditujukan untuk mengetahui tingkat signifikansi variabel
bebas. Jika H ditolak, maka variabel bebas berpengaruh terhadap variabel
tidak bebasnya. Sebaliknya, jika H diterima berarti variabel bebas tidak
berpengaruh nyata terhadap variabel tak bebas.
22
Ibid., h. 230.
BAB III TINJAUAN TEORITIS
A. Konsep Halal
Dalam persoalan halal, Kehalalan produk yang akan dikonsumsi merupakan persoalan besar dan penting yang paling pertama berhubungan dengan
manusia, sehingga apa yang dikonsumsi itu benar-benar halal atau tercampur dengan barang haram. Masalah tersebut telah ada semenjak manusia belum
diturunkan ke bumi dan merupakan pelajaran pertama yang diterima dari Tuhan ketika Allah menentukan kaidah tentang kehalalan, dipertimbangkan pula
kemampuan manusia dalam bersabar terhadap segala sesuatu, maka dari itu Allah tidak menentukan tentang kehalalan pada udara, akan tetapi untuk makanan dan
minuman serta hal-hal yang dikonsumsi selain makanan dan minuman seperti halnya; kosmetika, obat-obatan dan lain-lain ditentukan tentang kehalalannya.
23
1. Pengertian Halal
Halal adalah sesuatu yang dibolehkan menurut ajaran Islam.
24
Segala sesuatu yang diciptakan oleh Allah dimuka bumi ini pada asalnya adalah halal
dan mubah. Tidak ada satupun yang haram, kecuali ada nash yang sah dan
23
Imam Al-Ghazali, Benang Tipis antara Halal dan Haram, alih bahasa oleh Ahmad Shiddiq, Surabaya: Putra Pelajar, 2002, h. 12.
24
Departemen Agama RI, Petunjuk Teknis Pedoman Sistem Produksi Halal, Jakarta, 2003, h. 5.
tegas dari syari’ yang membuat hukum itu sendiri, yaitu Allah dan rasul- Nyayang mengharamkannya. Kalau tidak ada nash yang sah misalnya karena
ada sebagian hadits lemah atau tidak ada nash yang tegas Sharih yang menunjukkan haram, maka hal tersebut tetap sebagaimana asalnya yaitu
mubah. Seperti ayat Al-Quran dibawah ini: QS. Al-Baqarah: 29
“Dialah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu, dan Dia berkehendak menuju langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit dan
Dia Maha mengetahui segala sesuatu.” QS. Al-Baqarah: 29
25
Halal adalah segala sesuatu yang boleh dikerjakan atau digunakan. Dengan pengertian bahwa orang yang melakukannya tidak mendapat sanksi
dari Allah SWT. Pengertian Halal menurut Departemen Agama yang dimuat dalam
KEPMENAG RI No 518 Tahun 2001 tentang Pemeriksaan dan Penetapan Pangan Halal adalah: tidak mengandung unsur atau bahan haram atau dilarang
untuk dikonsumsi umat Islam, dan pengolahannya tidak bertentangan dengan syariat Islam.
26
Dalam buku Ensiklopedia Islam Indonesia disebutkan bahwa halal artinya tidak dilarang, dan diizinkan melakukan atau memanfaatkannya. Halal
25
Imam Al-Ghazali, Benang Tipis antara Halal dan Haram, h. 12.
26
www.lpommui.or.id.
itu dapat diketahui apabila ada suatu dalil yang menghalalkannya secara tegas dalam al-Qur’an dan apabila tidak ada satu dalil pun yang mengharamkannya
atau melarangnya.
27
2. Kriteria Halal Menurut Islam
Menentukan halal atau tidaknya suatu urusan adalah suatu yang paling asasi dalam hukum Islam. Dalam Al-Quran ditegaskan dalam QS. Yunus:
59.
28
“Terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan sebagiannya halal.
Katakanlah: Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu tentangnya atau kamu mengada-ngada saja terhadap Allah.” QS. Yunus: 59
Menurut pandangan ulama fikih, dalil diatas merupakan pengetahuan yang bersifat keyakinan bahwa Allah lah satu-satunya zat yang paling berhak
memutuskan halal haramnya sesuatu. Secara teologis, pengharaman dan penghalalan sesuatu diluar otoritas yang dipunyai Allah adalah perbuatan
yang bisa dikategorikan syirik. Barangsiapa melakukannya maka dia telah melewati batas dan melampaui hak ketuhanan dalam perbuatan syariah untuk
makhluk, dan barangsiapa rela atas ilmu tersebut dan mengikuti jejaknya,
27
Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedia Islam Indonesia, Jakarta:Djambatan, 2002, h. 346.
28
Thobieb Al-Asyhar, Bahaya Makanan Haram Bagi Kesehatan Jasmani dan Kesucian Rohani, h. 87.
maka ia telah menjadikan persekutuan kepada Allah dan masuk kategori syirik.
Imam Syafi’i dalam kitabnya “Al-Um” meriwayatkan, bahwa Qadli Abu Yusuf, murid Abu Hurairah pernah mengatakan: “Saya jumpai guru kami
dari para ahli ilmu, bahwa mereka tidak suka berfatwa, sehingga mengatakan: ini halal dan ini haram, kecuali menurut apa yang terdapat didalam Al-Quran
dengan tegas tanpa memerlukan tafsiran. Selanjutnya Imam Syafi’i berkata: “Sebagian kawan-kawanku pernah menceritakan dari Ibrahim an-Nakha’i
salah seorang ahli fiqih golongan tabi’in dari kufah, dia pernah menceritakan tentang kawan-kawannya, bahwa mereka bila berfatwa tentang sesuatu untuk
melarang sesuatu, mereka berkata: “Ini makruh, dan ini tidak apa-apa. Adapun apabila kita yang mengatakan: ini adalah halal dan ini haram, maka betapa
besarnya persoalan ini. Demikian apa yang diriwayatkan oleh Abu Yusuf dari “Salafus Saleh” yang kemudian dipindahkan dan diakui juga oleh Imam
Syafi’i. Hal ini sama dengan yang diriwayatkan oleh Ibnu Mufilih dari Ibnu Taimiyah: “Bahwa ulama-ulama salaf dulu tidak mau mengatakan haram,
kecuali setelah diketahuinya dengan pasti.
29
Al-Quran dengan tegas mencela perbuatan orang-orang Ahli Kitab Yahudi dan Nasrani yang memberikan otoritas untuk menghalalkan dan
29
Imam Al-Ghazali, Benang Tipis antara Halal dan Haram, h. 18.
mengharamkan kepada para pendeta dan rahib-rahib. Allah SWT berfirman dalam QS: At-Taubah: 31
30
“Mereka menjadikan pendeta-pendeta dan rahib-rahibnya sebagai Tuhan-tuhan di samping Allah dan begitu juga Al-Masih bin Maryam.
Padahal mereka tidak diperintahkan kecuali untuk beribadah kepada Tuhan yang satu, tidak ada Tuhan selain Dia. Maha suci Dia dari apa yang mereka
sekutukan. QS: At-Taubah: 31
Dari ayat-ayat di atas, para ahli fikih berpendapat bahwa Allah sajalah yang memiliki otoritas untuk menghalalkan dan mengharamkan, baik melalui
kitab suci-Nya atau lisan Rasul-Nya. Tugas mereka tidak lebih dari menjelaskan hukum Allah dalam hal-hal yang dihalalkan atau diharamkan
tersebut.Sebagian rahmat Allah kepada umat manusia adalah bahwa dia tidak membiarkan mereka dalam kebimbangan tentang hukum halal dan haram.
Sebaliknya, dia menjelaskan yang halal dan menguraikan yang haram sedemikian rrincinya.
Namun demikian, jika pernyataan halal terhadap sesuatu tidak dijelaskan hukumnya dalam Al-Quran dan As-Sunnah, atau secara teknis
30
Thobieb Al-Asyhar, Bahaya Makanan Haram Bagi Kesehatan Jasmani dan Kesucian Rohani, h.89.
praktis modifikasi dan proses teknologinya tidak diatur, maka hal ini masuk dalam wilayah ijtihadiyah, dan persoalan ijtihadiyah kawasan dzanniyah
adalah urusan ahli hukum fikih fuqaha, dalam hal ini adalah mujtahid yang berbakat. Hal ini dapat dikembangkan melalui serangkaian praktik pemberian
keputusan fikih dan melakukan kajian fikih terhadap berbagai pendapat yang berkembang. Maka dari itu, para ahli fikih mempunyai kriteria-kriteria halal
dan haramnya
sesuatu, khususnya
dalam hal
makanan dan
minuman.
31
Makanan dan minuman yang halal adalah:
32
a. Bukan terdiri atau mengandung bagian atau benda dari binatang yang dilarang oleh ajaran Islam untuk memakannya atau yang tidak disembelih
menurut ajaran Islam. b. Tidak mengandung sesuatu yang dihukumi sebagai najis dan atau haram
menurut ajaran Islam. c. Dalam proses pembuatan, menyimpan dan menghidangkan tidak
bersentuhan atau berdekatan dengan makanan yang tidak memenuhi persyaratan atau benda yang dihukumkan sebagai najis menurut ajaran
Islam.
31
Ibid, h. 93.
32
Departemen Agama RI, Pedoman Pangan Halal bagi Konsumen, Importir dan Konsumen di Indonesia, Jakarta, Tim Penerbit Buku Pedoman Pangan Halal, 2001, h.4.
3. Sistem dan Pedoman Produksi Halal
Prinsip etika dalam produksi yang wajib dilaksanakan oleh setiap muslim, baik individu maupun kelompok, adalah berpegang pada semua yang
dihalalkan Allah dan tidak melampaui batas. Benar bahwa daerah halal itu luas, tetapi mayoritas jiwa manusia yang ambisius merasa kurang puas dengan
hal yang halal. Maka akan banyak kita temukan jiwa manusia yang tergiur kepada sesuatu yang haram dengan melanggar hukum-hukum Allah.
33
Produk halal adalah produk pangan, obat, kosmetika, dan produk lain yang tidak mengandung unsur atau barang haram tau dilarang untuk
dikonsumsi, digunakan, atau dipakai umat Islam baik yanmg menyangkut bahan baku, baqhan tambahan, bahan bantu, dan bahan penolong lainnya
termasuk bahan produksi yang diolah melalui proses rekayasa genetika dan iradiasi yang pengolahannya dilakukan sesuai dengan syariat Islam.
Pemeriksaan produk halal adalah pemeriksaan tentang keadaan dan cara bereproduksi pangan, obat, kosmetika, dan produk lain secara halal yang
meliputi penyembelihan hewan, asal usul bahan baku, bahan tambahan, banhan bantu, dan bahan penolong serta proses produksi, personalia, peralatan
produksi, sistem jaminan halal, dan hal lain-lain yang berhubungan langsung maupun tidak langsung dengan kegiatan produksi halal.
34
33
Rustam Effendi, Produksi dalam Islam, Yogkarta: Magistra Insania Press, 2003, h. 7.
34
Thobieb Al-Asyhar, Bahaya Makanan Haram Bagi Kesehatan Jasmani dan Kesucian Rohani, h. 131.
Pemeriksaan Sarana Produksi Tim auditor halal melakukan pemeriksaan terhadap:
a. Fasilitas fisik berupa bangunan, tata ruang, tempat produksi, dan lingkungan produksi.
b. Fasilitas peralatan produksi, penyimpanan, penyiapan, pengangkutan, dan pengawasan.
c. Cara berproduksi, meliputi penyiapan dan penyembelihan hewan potong, pemilihan bahan baku, bahan tambahan, bahan bantu, dan bahan
penolong, serta pengolahan, pengemasan, dan penyimpanan.
35
B. Label Halal
1. Pengertian Label Halal
Islam adalah sebuah agama yang menjadi ideologis, sistem dan aturan hidup, kerangka berpikir, pedoman terhadap konsep dan pengembangan
integritas diri, menjadi tolak ukur keabsahan suatu tindakan, serta sumber inspirasi bagi sebagian besar teori peradaban. Sebagai ideologi, Islam
memiliki aturan yang lengkap dan menyeluruh, serta komprehensif dalam mengatur setiap aspek utama kehidupan manusia.
36
35
Departemen Agama RI, Petunjuk Teknis Pedoman Sistem Produksi Halal Jakarta, 2003, h. 148.
36
Sa’id Hawwa, Al-Islam, Jakarta: Al Islahy Press, 1993 h. 27.
Pemberian label berkaitan erat dengan pengemasan. Label merupakan bagian dari suatu produk yang menyampaikan informasi mengenai produk
dan penjual. Stanton membagi label ke dalam 3 tiga klasifikasi yaitu:
37
a. Brand Label, yaitu merek yang diberikan pada produk atau dicantumkan pada kemasan.
b. Descriptive Label, yaitu label yang memberikan informasi objektif mengenai penggunaan, konstruksipembuatan, perawatanperhatian, dan
kinerja produk, serta karakteristik-karakteristik lainnya yang berhubungan dengan produk.
c. Grade Label, yaitu label yang mengindentifikasikan penilaian kualitas produk product’s judged quality dengan suatu huruf, angka, atau kata.
Misal buah-buahan dalam kaleng diberi label kualitas A, B dan C. Pengertian Halal menurut Departemen Agama yang dimuat dalam
KEPMENAG RI No 518 Tahun 2001 tentang Pemeriksaan dan Penetapan Pangan Halal adalah tidak mengandung unsur atau bahan haram atau dilarang
untuk dikonsumsi umat Islam, dan pengolahannya tidak bertentangan dengan syariat Islam.
38
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, label didefinisikan sebagai sepotong kertas kain, logam, kayu dan sebagainya yang ditempelkan pada
37
Retno Sulistyowati “Labelisasi Halal” artikel ini diakses pada tanggal 10 Juli 2010 dari http:www.esqmagazine.com..
38
Ibid.
barang dan menjelaskan tentang nama barang, nama pemilik, tujuan, alamat dan sebagainya.
39
Label halal yang secara prinsip adalah label yang menginformasikan kepada pengguna produk yang berlabel tersebut, bahwa produknya benar-
benar halal dan nutrisi-nutrisi yang dikandungnya tidak mengandung unsur- unsur yang diharamkan secara syariah sehingga produk tersebut boleh
dikonsumsi.
40
Label halal yang ada pada kemasan produk yang beredar di Indonesia adalah sebuah logo yang tersusun dari huruf-huruf Arab yang
membentuk kata halal dalam sebuah lingkaran.
41
Untuk memperoleh label halal dari MUI, produsen harus melalui proses sertifikasi halal terlebih dahulu. Sertifikasi halal adalah suatu proses
pemeriksaan secara rinci terhadap kehalalan produk, yang selanjutnya diputuskan kehalalannya dalam bentuk Fatwa MUI.
42
Sertifikasi halal secara definisi dijelaskan dalam panduan untuk memperoleh sertifikat halal yang dikeluarkan oleh LPPOM MUI yaitu, fatwa
tertulis MUI yang menyatakan kehalalan suatu produk sesuai dengan syariat
39
Hoetomo M.A, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya: Mitra Pelajar, 2005, h. 301.
40
Ahmad Haris, “Halal di kemasan Belum Tentu Halal Dimakan”. artikel ini diakses pada tanggal 13 Juli dari http:www.harisahmad.com.
41
Ibid.
42
Departemen Agama, Panduan Sertifikasi Halal,Jakarta: 2003, h. 2.
Islam. Sertifikat halal ini merupakan syarat untuk mendapatkan izin pencantuman label halal pada kemasan produk dari instansi terkait.
43
Dengan demikian label halal adalah label yang diberikan pada produk- produk yang telah memenuhi kriteria halal menurut agama Islam. Perusahaan-
perusahaan yang telah mencantumkan produknya dengan label halal merupakan perusahaan yang telah melakukan prosesi halal pada produknya.
Mengacu pada klasifikasi label yang diberikan oleh Stanton, maka label halal masuk dalam klasifikasi Descriptive Label yaitu label yang
menginformasikan tentang:
44
1. Konstruksi atau pembuatan produk yang sesuai dengan standard halal; 2. Ingredient atau bahan baku produk yang sesuai dengan standard halal dan;
3. Efek yang ditimbulkan other characteristic produk yang sesuai dengan standard halal.
2. Proses Labelisasi Halal
Sebelum mencantumkan label halal pada suatu produk, produsen harus mengajukan sertifikat halal bagi produknya. Dalam mengajukan sertifikat
halal, produsen terlebih dahulu disyaratkan mempersiapkan Sistem Jaminan Halal seperti diuraikan di bawah ini:
45
43
Ibid., h. 1.
44
Retno Sulistyowati “Labelisasi Halal” artikel ini dari http:www.esqmagazine.com.
45
Departemen Agama, Panduan Sertifikasi Halal, h. 2.
Sistem jaminan halal adalah sistem yang mencakup organisasi, tanggung jawab, prosedur, kegiatan, kemampuan dan sumber daya yang
bertujuan untuk menjamin bahwa proses produksi yang dilakukan dapat menghasilkan produk halal.
46
a. Sistem Jaminan Halal Halal Assurance System harus didokumentasikan secara jelas dan rinci serta merupakan bagian dari kebijakan manajemen
perusahaan. b. Dalam pelaksanaannya, Sistem Jaminan Halal ini diuraikan dalam bentuk
Panduan Halal Halal Manual yang memberikan uraian sistem manajemen halal yang dijalankan produsen, serta berfungsi sebagai
rujukan tetap dalam melaksanakan dan memelihara kehalalan produk tersebut.
c. Produsen menjabarkan Panduan Halal secara teknis dalam bentuk Prosedur Baku Pelaksanaan Standard Operating Procedure untuk
mengawasi setiap proses yang kritis agar kehalalan produknya tetap terjamin.
d. Baik Panduan Halal maupun Prosedur Baku Pelaksanaan yang disiapkan harus disosialisasikan dan diuji coba di lingkungan produsen, sehingga
seluruh jajaran manajemen dari tingkat direksi sampai karyawan memahami betul bagaimana memproduksi produk halal dan baik.
46
Departemen Agama RI, Petunjuk Teknis Pedoman Sistem Produksi Halal, h. 131.
e. Sistem Jaminan Halal dan pelaksanaannya dimonitor dan dievaluasi melalui sistem audit halal internal yang ditetapkan oleh perusahaan.
f. Koordinasi pelaksanaan Sistem Jaminan Halal dilakukan oleh Tim Auditor Halal Internal yang mewakili seluruh bagian yang terkait dengan
produksi halal yang ditetapkan oleh perusahaan. Koordinator Tim Auditor Halal Internal harus beragama Islam.
g. Penjelasan rinci tentang Sistem Jaminan Halal dapat merujuk kepada Buku Panduan Penyusunan Sistem Jaminan Halal, yang dikeluarkan oleh
LPPOM MUI. Setelah persyaratan Sistem Jaminan Halal yang produsen ajukan telah
disetujui, maka produsen dapat menjalankan Prosedur Sertifikasi Halal Sertifikat halal adalah bukti sah tertulis yang menyatakan kehalalan suatu
produksi yang dikukuhkan oleh menteri agama.
47
Dengan prosedur::
48
a. Setiap produsen mendaftarkan seluruh produknya yang diproduksi dalam satu lokasi dan mendaftarkan seluruh pabrik pada lokasi yang berbeda
yang menghasilkan produk dengan merek yang sama. b. Setiap produsen yang mengajukan permohonan Sertifikat Halal bagi
produknya, harus mengisi formulir yang telah disediakan. Formulir tersebut berisi informasi tentang data perusahaan, jenis dan nama produk
serta bahan-bahan yang digunakan dengan melampirkan:
47
Departemen Agama RI, Petunjuk Teknis Pedoman Sistem Produksi Halal, h. 132.
48
Departemen Agama, Panduan Sertifikasi Halal., h. 4.
1. Spesifikasi dan Sertifikat halal bahan baku, bahan tambahan dan bahan penolong serta bagan alur proses.
2. Sertifikat Halal atau Surat Keterangan Halal dari MUI Daerah produk lokal atau Sertifikat Halal dari Lembaga Islam yang telah diakui oleh
MUI produk impor untuk bahan yang berasal dari hewan dan turunannya.
3. Sistem jaminan halal yang diuraikan dalam panduan halal beserta prosedur baku pelaksanaannya.
c. Tim Auditor LPPOM MUI melakukan pemeriksaanaudit ke lokasi produsen setelah formulir beserta lampiran-lampirannya dikembalikan ke
LPPOM MUI dan diperiksa kelengkapannya. Hasil pemeriksaanaudit dan hasil laboratorium dievaluasi dalam Rapat Tenaga Ahli LPPOM MUI.
Jika telah memenuhi persyaratan, maka dibuat laporan hasil audit untuk diajukan kepada Sidang Komisi Fatwa MUI untuk diputuskan status
kehalalannya. 1. Sidang Komisi Fatwa MUI dapat menolak laporan hasil audit jika
dianggap belum memenuhi semua persyaratan yang telah ditentukan. Sertifikat Halal dikeluarkan oleh MUI setelah ditetapkan status
kehalalannya oleh Komisi Fatwa MUI.
2. Perusahaan yang produknya telah mendapat Sertifikat halal, harus mengangkat Auditor Halal Internal sebagai bagian dari Sistem Jaminan
Halal. Jika kemudian ada perubahan dalam penggunaan bahan baku, bahan tambahan atau bahan penolong pada proses produksinya, Auditor
Halal Internal diwajibkan segera melaporkan untuk mendapat
“ketidakberatan penggunaannya”. Bila ada perusahaan yang terkait dengan produk halal hasil dikonsultasikan dengan LPPOM MUI oleh
Auditor Halal Internal. Tim Auditor LPPOM MUI akan melakukan pemeriksaanaudit ke
lokasi produsen untuk memastikan apakah seluruh bahan yang digunakan dalam proses pembuatan produk memenuhi syarat yang sesuai syariah. Tata
cara pemeriksaan audit nya adalah sebagai berikut:
49
a. Surat resmi akan dikirim oleh LPPOM MUI ke perusahaan yang akan diperiksa, yang memuat jadwal audit pemeriksaan dan persyaratan
administrasi lainnya. b. LPPOM MUI menerbitkan surat perintah pemeriksaan yang berisi:
1. Nama ketua tim dan anggota tim. 2. Penetapan hari dan tanggal pemeriksaan.
49
Departemen Agama, Panduan Sertifikasi Halal, h. 5.
c. Pada waktu yang telah ditentukan Tim Auditor yang telah dilengkapi dengan surat tugas dan identitas diri, akan mengadakan pemeriksaan
auditing ke perusahaan yang mengajukan permohonan sertifikat halal. Selama pemeriksaan berlangsung, produsen diminta bantuannya untuk
memberikan informasi yang jujur dan jelas. d. Pemeriksaan audit produk halal mencakup:
1. Manajemen produsen dalam menjamin kehalalan produk. 2. Observasi lapangan dan Pengambilan contoh hanya untuk bahan yang
dicurigai mengandung babi atau turunannya, yang mengandung alkohol dan yang dianggap perlu.
3. Label Halal Melindungi Konsumen Muslim
Sebagai konsumen yang memiliki peringkat mayoritas, umat Islam harus melindungi bahan pangannya dari pencemaran bahan-bahan haram, baik
bahan utama maupun bahan adifit dalam proses pengolahannya. Karena bagaimanapun masalah haram lebih terfokus pada hubungan langsung
manusia dengan Tuhannya, yang tidak boleh ditutupi hanya untuk kepentingan praktis, misalnya, kepentingan ekonomi, bisnis, politik, stabilitas
dan lain-lain yang belum jelas kecenderungannya. Sertifikat yang menyatakan kehalalan suatu produk makanan atau
minuman oleh LPPOM-MUI hanya mencakup sebatas perlindungan pada wilayah nilai hukum subtansial dzatiyah suatu produk. Halal haramnya
makanan akan difatwakan oleh MUI LPPOM dengan Komisi fatwa, ketika realitas barangnya yang meliputi tempat penyimpanan, tempat penjualan,
pengolahan, tempat pengolahan, dan tempat transportasi terdapat kejelasan ada tidaknya pencampuran dengan unsur haram atau najis, serta kalau berupa
hewan, dilihat benar tidaknya dalam proses penyembelihannya. Persoalan ini mendapat sorotan yang cukup tajam dalam doktrin
agama. Dan juga hal ini cukup kompleks dan rumit menyangkut amal perbuatan manusia produsen dan berkaitan langsung dengan Tuhan.
Sehingga hal-hal detail yang berkaitan dengan cara perolehan harta atau makanan merupakan tanggung jawab moral dengan Tuhan secara langsung.
Kemudian ketika suatu produk yang sudah dinyatakan halal oleh MUI berlabel halal, tapi dalam kenyataannya ditemukan adanya unsur campuran
barang haram atau najis, maka dalam kasus seperti ini, MUI sudah mengantisipasi dengan mengadakan kebijaksanaan bahwa MUI suatu saat
akan mengadakan pemeriksaan secara mendadak dan acak melalui uji laboratorium pada barang yang dinyatakan halal. Jika kemudian ditemukan
adanya unsur atau bercampur dengan barang haram atau najis dalam barang yang bersangkutan, maka MUI akan mengumumkan langsung atas keharaman
barang tersebut melalui JURNAL HALAL LPPOM MUI atau media massa lain cetak atau elektronika, walaupun masa berlaku sertifikat halalnya belum
habis. Hal ini dilakukan karena produsen telah menyalahi kesepakatan bahwa
produsen akan selalu menjaga kehalalan produk selama masa sertifikat halal berlaku.
50
4. Brand Image
Brandmerek adalah nama dan atau simbol yang bersifat membedakan
seperti sebuah
logo, capa
atau kemasan
untuk mengidentifikasikan barang atau jasa dari seorang penjual tertentu, serta
membedakannya dari barang atau jasa yang dihasilkan para pesaing.
51
Imagecitra adalah persepsi masyarakat terhadap perusahaannya, dimana persepsi merupakan suatu gambaran yang terbentuk dari proses
membangun kesan yang dapat memberiakan anggapan atau reaksi yang berbeda-beda pada diri seseorang atau mesyarakat tertentu.
52
Brand Image atau citra merek adalah sekumpulan asosiasi merek yang terbentuk dan melekat dibenak konsumen. Konsumen yang terbiasa
menggunakan merek tertentu cenderung memiliki konsistensi terhadap brand image. Bila merek dari suatu produk atau jasa telah memiliki kesan baik, ini
menandakan bahwa merek tersebut telah berhasil membangun citranya dalam konsumen dalam keberadaanya dalam pemikiran konsumen.
53
50
Thobieb Al-Asyhar, Bahaya Makanan Haram Bagi Kesehatan Jasmani dan Kesucian Rohani, h. 154.
51
A.B. Susantodan Himawan wijanarko, Power Branding: Membangun Merek Unggul dan Organisasi Pendukungnya, Jakarta: PT. Mizan Publika,2004, h. 6.
52
Philip Kotler dan AB. Susanto , Manajemen Pemasaran di Indonesia, Jakarta: Salemba Empat, 2001, h. 388.
53
www.asiamarketresearch.comglossaribrandimage.html.
Semakin berkualitasnya suatu produk atau jasa semakin baik juga citra produk atau jasa tersebut tertanam dalam benak konsumen sehingga
konsumen akan terus melakukan pembelian produk atau jasa yang sama.konsumen membeli produk atau jasa tidak hanya sekedar atribut tampak
atau nyata saja melainkan pada dasarnya konsumen membayar sesuatu yang dapat memenuhi dan memuaskan keinginannya, baik itu yang berwujud
maupun yang tidak berwujud. Untuk itu perusahaan harus mampu mempertahankan brand image citra merek dengan terus meningkatkan
kualitas produk atau jasanya sehingga konsumen tidak beralih pada produk lain. Cita merek yang baik ini akan membentuk persepsi kualitas dari suatu
produk atau jasa dimata pelanggan.
54
Brand merek adalah suatu simbol yang dapat menyampaikan hingga enam tingkat pengertian sebagai berikut:
55
a. Atribut, merek mengingatkan atribut-atribut tertentu. b. Manfaat, atribut-atribut yang harus diterjemahkan menjadi manfaat
fungsional. c. Nilai, merek tersebut juga mengatakan sesuatu tentang nilai produsennya.
d. Budaya, merek tersebut juga mungkin melambangkan budaya tertentu. e. Kepribadian, merek tersebut dapat mencerminkan kepribadian tertentu.
54
Darmadi Durianto, Sugiarto, Tony Sitinjak, Strategi Menaklukan Pasar Melalui Riset Ekuitas Dan Perilaku Merek, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004, h. 96.
55
Jackie Ambadar, Miranty Abiding dan Yanti Isa, Mengelola Merek, Jakarta: YBKM, 2007, h. 5.
f. Pemakai, merek tersebut menyiratkan jenis konsumen yang membeli dan menggunakan produk tersebut.
Merek menjadi sangat penting saat ini karena faktor: a. Emosi konsumen terkadang naik turun. Merek mampu membuat janji
emosi menjadi konsisten dan stabil. b. Merek dapat menembus setiap pagar budaya dan pasar.
c. Merek mampu menciptakan komunikasi interaksi dengan konsumen. Menurut Philip Kotlet Image citra yang efektif melakukan tiga hal:
56
a. Memantapkan karakter produk dan susulan nilai. b. Menyampaikan karakter itu dengan cara yang berbeda sehingga tidak
dikacaukan oleh karakter pesaing. c. Memberikan kekuatan emosional yang lebih sekedar citra mental. Agar
berfungsi citra itu harus disampaikan melalui setiap sarana komunikasi yang tersedia dalam kontak merek.
C. Keputusan Membeli Produk
1. Pengertian Keputusan Membeli Produk
Robbins menyatakan bahwa pengambilan keputusan terjadi sebagai suatu reaksi terhadap suatu masalah problem. Masalah ini diartikan sebagai
suatu penyimpangan antara keadaan saat ini dengan keadaan yang diinginkan
56
Philip Kotler dan AB. Susanto , Manajemen Pemasaran di Indonesia, h. 388.
oleh individu sehingga menuntut individu tersebut ke arah tindakan alternatif dalam mengambil keputusan membeli.
57
Keputusan membeli juga harus dapat dibedakan dengan maksud membeli yang dilakukan oleh konsumen. Maksud membeli akan dipengaruhi
oleh sikap orang lain dan faktor-faktor situasional yang tidak terduga yang mungkin dapat mengubah maksud membeli tersebut, baik itu jadi membeli
atau tidak jadi membeli, sedangkan di dalam keputusan membeli yang dilakukan konsumen sudah jelas, dalam arti, konsumen sudah memutuskan
untuk jadi membeli, menangguhkan atau bahkan batal membeli.
58
Akan tetapi inti dari pengambilan keputusan konsumen consumer decision making adalah proses penggabungan yang mengkombinasikan
pengetahuan untuk mengevaluasi dua atau lebih perilaku alternatif, dan memilih salah satu diantaranya.
Dari pendapat dan pengertian tentang keputusan membeli di atas, maka dapat ditarik kesimpulan, yaitu sebagai suatu proses yang terdiri dari
pengenalan masalah, pencarian informasi, evaluasi alternatif pembelian dan hasil pembelian yang dilakukan individu dalam upaya memenuhi kebutuhan
atau keinginannya atas suatu produkjasa dengan melakukan pemilihan
57
M. Taufiq Amir, Dinamika Pemasaran: Jelajahi dan Rasakan, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2005, h. 47.
58
Husein Umar, Riset Pemasaran dan Perilaku Konsumen, Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama, 2000, h.245.
alternatif yang tersedia dan proses ini berlaku untuk pembelian ulangan atau
kelanjutan. 2.
Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Konsumen dalam Keputusan Membeli
59
a. Faktor Budaya Faktor budaya mempunyai pengaruh yang paling luas dan paling
dalam terhadap perilaku konsumen. Produsen harus memahami peran yang dimainkan oleh kultur dan kelas sosial pembeli. Sub kultur terdiri
dari kebangsaan, agama, ras dan daerah geografis. Kelas adalah pembagian masalah yang relatif homogen dan permanen, yang tersusun
secara hirarkis dan anggotanya menganut nilai-nilai, minat dan perilaku yang serupa.
Untuk itulah produsen yang kreatif hendaknya selalu mencoba menempatkan pergeseran budaya dalam rangka menyesuaikan atau
bahkan menghayalkan produkjasa baru yang diinginkan oleh para konsumen.
b. Faktor Sosial Faktor sosial terdiri dari adanya faktor kelompok kecil, keluarga,
peran dan status sosial konsumen. Hal ini dikarenakan perilaku seseorang dapat dipengaruhi oleh kelompok-kelompok, baik itu kelompok
59
Philip Kottler dan Gary Amstrong, Dasar-dasar Pemasaran, Jakarta: Intermedia, 1992, h.239.
keanggotaan yakni yang memiliki pengaruh langsung pada perilaku seseorang dan orang itu termasuk di dalamnya, kelompok referensiacuan
yaitu yang memiliki pengaruh langsung atau tidak langsung pada sikap atau perilaku seseorang, dan kelompok aspirasional yaitu kelompok yang
ingin dimasuki oleh seseorang. c. Faktor Pribadi
Merupakan pengaruh dari karakteristik pribadi pembeli seperti: usia dan tahap daur hidup, kepribadian dan konsep dari pembeli.
Kebutuhan seseorang akan barang dan jasa tentu saja akan berubah menyesuaikan dengan usia dan tahapan daur hidupnya. Masa-masa
pergantian dari bayi, balita, remaja, dewasa dan tua akan menentukan perilaku pembelian seseorang akan suatu produkjasa.
d. Faktor Psikologis Faktor psikologis yang berpengaruh antara lain: motivasi, persepsi,
pembelajaran, sikap dan integrasi. Motivasi Motivation merupakan suatu dorongan yang ada dalam
diri manusia untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam hal motivasi, terdapat urutan kepentingan yang dibutuhkan seseorang yaitu: kebutuhan
psikologis, keamanan, sosial, penghargaan dan aktualisasi diri. Seseorang akan berusaha memuaskan kebutuhan yang paling penting, setelah itu baru
kebutuhan berikutnya.
Persepsi Perception adalah sebuah proses yang dengan proses itu orang-orang memilih, mengorganisasi dan menginterpretasi informasi
untuk membentuk gambaran dunia yang penuh arti. Persepsi merupakan hasil pemaknaan seseorang terhadap stimulus atau kejadian yang
diterimanya berdasarkan informasi dan pengalamannya terhadap rangsangan tersebut.
Pembelajaran Learning merupakan proses yang menjelaskan perubahan-perubahan dalam perilaku individual yang muncul dari
pengalaman. Pembelajaran terjadi melalui dorongan, rangsangan, petunjuk, tanggapan dan penguatan kembali yang saling mempengaruhi.
Pembelajan dilakukan seseorang setelah membeli produk tersebut dengan melihat apakah produk tersebut memiliki kegunaan dan akan dijadikan
sebagai referensi. Sikap menggambarkan tentang suatu evaluasi, perasaan dan
kecenderungan seseorang yang secara relatif konsisten terhadap suatu objek atau gagasan, karena sikap yang dimiliki seseorang tentang sesuatu.
Produsen hendaknya memperhatikan kepercayaan akan meningkatkan citra produkjasa dan orang-orang cenderung bertindak sesuai dengan
kepercayaan mereka.
Integrasi Integration, merupakan kesatuan antara sikap dan tindakan. Integrasi merupakan respon atas sikap yang diambil. Perasaan
suka akan mendorong seseorang untuk membeli dan perasaan tidak suka akan membulatkan tekad seseorang untuk tidak membeli produk
tersebut.
60
3. Tahap-tahap Proses Membeli Konsumen
61
Ada lima tahap yang dilalui konsumen dalam proses pembelian, yaitu pengenalan masalah, pencarian informasi, evaluasi alternatif, keputusan
pembelian dan perilaku pasca pembelian.
Tabel 3.1Model lima tahap prosespembelian
a. Pengenalan Masalah Proses dimulai pada saat pembeli menyadari adanya masalah atau
kebutuhan pembelian. Pembeli merasakan adanya perbedaan antara keadaan yang nyata dan keadaan yang diinginkan. Kebutuhan ini
disebabkan oleh adanya rangsangan internal maupun eksternal dari pengalaman sebelumnya. Orang yang telah belajar bagaimana mengatasi
dorongan ini dan dimotivasi ke arah produk yang diketahuinya akan memuaskan dorongan ini. Konsumen akan membeli suatu produk sebagai
60
Ibid,, h. 240.
61
Bilson Simamora, Memenangkan Pasar dengan Pemasaran Efektif dan Profitabel, Jakarta: PT Gramedia Utama, 2001, h. 94.
Pengenalan Masalah
Pencarian Informasi
Evaluasi Alternatif
Keputusan Membeli
Perilaku Pasca Membeli
solusi atas permasalahan yang dihadapinya. Tanpa adanya pengenalan masalah yang muncul, konsumen tidak dapat menentukan produk yang
akan dibeli.
62
b. Pencarian Informasi Seorang konsumen yang terdorong kebutuhannya mungkin
mencari atau mungkin juga tidak mencari informasi lebih lanjut. Jika dorongan konsumen kuat dan produkjasa itu ada di dekatnya, mungkin
konsumen akan langsung membelinya. Jika tidak, maka kebutuhan konsumen ini hanya akan menjadi ingatan saja.
Pencarian informasi digolongkan ke dalam dua jenis, yaitu pencarian informasi karena perhatian yang meningkat, yang ditandai
dengan pencarian informasi yang sedang-sedang saja dan pencarian informasi dari segala sumber. Proses pencarian informasi dapat berasal
dari dalam memori internal dan dari bertanya kepada orang lain eksternal.
c. Evaluasi Alternatif Setelah konsumen mendapat berbagai macam informasi,
konsumen akan mengevaluasi alternative apa yang tepat untuk mengatasi permasalahan yang dihadapinya.
62
Duncan, Tom. 2005. Principles of Advertising IMC, Second Edition. McGraw-Hill, Inc., Bab 5.
Evaluasi alternatif merupakan tahapan di mana konsumen memperoleh informasi tentang suatu objek dan membuat penilaian akhir.
Pada tahap ini konsumen menyempitkan pilihan hingga alternatif yang dipilih berdasarkan besarnya kesesuaian antara manfaat yang diinginkan
dengan yang bisa diberikan oleh pilihan produk yang tersedia. Adapun proses evaluasi bisa dijelaskan asumsi-asumsi sebagai
berikut: 1 Diasumsikan
bahwa konsumen
melihat produkjasa
sebagai sekumpulan atribut.
2 Tingkat kepentingan atribut berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan dan keinginan masing-masing. Konsumen memilki penekanan yang
berbeda-beda dalam menilai atribut apa yang paling penting. Konsumen yang daya belinya terbatas, kemungkinan besar sekali
memperhatikan atribut harga sebagai yang utama. 3 Konsumen mengembangkan sejumlah kepercayaan tentang letak
produk. Sejumlah kepercayaan mengenai merek tertentu disebut “Brand Image”. Misalnya, sejumlah kepercayaan mengenai susu
Dancow instant adalah rasa enak, harga terjangkau dan mutu terjamin. 4 Tingkat kepuasan konsumen terhadap produkjasa akan beragam
sesuai dengan perbedaan atribut. Misalnya, seseorang menginginkan besarnya gambar dari televisi. Maka, kepuasan tertinggi akan
diperoleh dari televisi paling besar dan kepuasan terendah dari televisi paling kecil. Dengan kata lain, semakin besar ukuran televisi, maka
kepuasannya juga semakin besar. 5 Konsumen akan sampai pada sikap terhadap merek yang berbeda
melalui prosedur evaluasi. d. Keputusan Pembelian
Setelah konsumen mengevaluasi beberapa alternatif strategis yang ada, konsumen akan membuat keputusan pembelian. Keputusan
pembelian merupakan tahapan di mana konsumen telah memiliki pilihan dan siap melakukan transaksi pembelian atau pertukaran antara uang atau
janji untuk membayar dengan hak kepemilikan atau penggunaan suatu barang dan jasa.
Terkadang waktu yang dibutuhkan antara membuat keputusan pembelian dengan menciptakan pembelian yang aktual tidak sama
dikarenakan adanya hal-hal lain yang perlu dipertimbangkan. Setelah keputusan diambil maka pembeli akan menjumpai serangkaian keputusan
menyangkut jenis produkjasa, merek, penjual, kualitas, waktu pembelian dan cara pembayaran.
e. Perilaku Pasca Pembelian Perilaku pasca pembelian merupakan proses evaluasi yang
dilakukan konsumen yang tidak hanya berakhir pada tahap pembuatan
keputusan pembelian. Pada tahapan ini konsumen akan mengalami dua kemungkinan yaitu kepuasan dan ketidak-puasan terhadap pilihan yang
diambilnya. Setelah membeli suatu produk, konsumen akan melakukan evaluasi apakah produk tersebut sesuai dengan harapannya. Dalam hal ini,
terjadi kepuasan dan ketidakpuasan konsumen. Konsumen akan puas jika produk tersebut sesuai dengan harapannya dan selanjutnya akan
meningkatkan permintaan akan produk tersebut di masa depan. Sebaliknya, konsumen akan merasa tidak puas jika produk tersebut tidak
sesuai dengan harapannya dan hal ini akan menurunkan permintaan konsumen di masa depan.
63
4. Model Perilaku Pembelian
64
Tabel 3.2Perilaku Pembelian Konsumen
63
Ibid., h.95.
64
Ibid., h.99.
Stimuli Stimuli
Pemasaran Lain Produk Ekonomi
Harga
Teknologi Tempat Tempat
Promosi Promosi Karakteristik Proses
Pembeli Keputusan Pembelian
Budaya Pengenaan Masalah
Sosial Pribadi Pencarian
Informasi Psikologis
Evaluasi Alternatif
Keputusan pembelian
Perilaku pasca pembelian
Keputusan Pembelian
Pilihan Produk Pilihan Merek
Pilihan Tempat Pilihan Waktu
Pilihan Jumlah
5. Peran individu dalam keputusan pembelian
65
Kita dapat membedakan lima peran yang dimainkan orang dalam keputusan pembelian yang sesuai dengan pendapat yang diutamakan oleh
Kottler: a. Pencetus; seseorang yang pertama kali mengusulkan gagasan untuk
membeli suatu produkjasa. b. Pemberi
pengarah; seseorang
yang pandangan
atau sarannya
mempengaruhi keputusan. c. Pengambilan keputusan; seseorang yang mengambil keputusan untuk
setiap komponen apakah membeli, tidak membeli, bagaimana membeli dan di mana akan membeli.
d. Pembeli; orang yang melakukan pembelian yang sesungguhnya. e. Pemakai; seseorang yang mengkonsumsi atau menggunakan produkjasa
yang bersangkutan.
65
Ibid., h.243.
56
BAB IV ANALISA HASIL PENELITIAN
A. Gambaran Umum Responden
Gambaran umum responden penelitian akan diuraikan secara deskriptif dan dibantu dengan penyajian dalam bentuk tabel dari jumlah responden dengan membagi
ke dalam beberapa tabel yaitu kelompok usia, konsentrasi, semester, apakah responden menggunakan kosmetik, apakah responden mengetahui kosmetik halal,
apakah label halal pada kosmetik itu penting. Uraian data responden ini diharapkan dapat memberikan gambaran yang cukup jelas tentang kondisi responden.
1. Responden Berdasarkan usia
Tabel 4.1Responden Berdasarkan usia
usia Frekuensi
Persentase 15-20
52 orang 65
21-25 28 orang
35 Total
80 orang 100
Sumber: Data diolah
Dari table 4.1 di atas, dapat dilihat bahwa responden terbanyak adalah mereka yang berada pada usia 15-20 tahun yaitu sebanyak 52 orang 65
dan pada usia 21-25 tahun sebanyak 28 orang 35. Data ini menunjukkan bahwa mayoritas responden adalah yang berada pada usia 15-20 tahun.
2. Responden Berdasarkan Konsentrasi
Tabel 4.2Responden Berdasarkan Konsentrasi
Konsentrasi Frekuensi
Persentase Perbankan Syariah
36 orang 45
Takaful 24 orang
30 Ziswaf
20 orang 25
Total 80 orang
100
Dari tabel 4.2 di atas, dapat dilihat bahwa usia responden terbanyak adalah pada konsentrasi Perbankan Syariah yaitu sebanyak 36 responden
45, lalu Takaful sebanyak 24 responden 30 dan Ziswaf sebanyak 20 responden 25.
3. Responden Berdasarkan Semester
Tabel 4.3Responden Berdasarkan Semester
Semester Frekuensi
Persentase III
29 orang 36,25
V 26 orang
32,5 VII
25 orang 31,25
Total 80 orang
100
Sumber: Data diolah
Dari tabel 4.3 di atas, dapat dilihat bahwa tingkat semester responden terbanyak adalah semester III yaitu sebanyak 29 responden 36,25, lalu
semester V sebanyak 26 responden 32,5 dan semester VII sebanyak 25 responden 31,25. Data ini menunjukkan bahwa mayoritas responden
adalah mahasiswi pada semester III. 4. Responden Berdasarkan Isu Terkait
a. Isu Pengguna Kosmetik
Tabel 4.4Responden Berdasarkan yang Menggunakan Kosmetik Menggunakan Kosmetik
Frekuensi Persentase
Ya 80 orang
100 Tidak
0 orang Total
80 orang 100
Sumber: Data diolah
Dari tabel 4.4 di atas, dapat dilihat bahwa keseluruhan responden yaitu sebanyak 80 responden 100 telah menggunakan kosmetik.
b. Pengetahuan Tentang Kosmetik Berlabel Halal
Tabel 4.5Responden Berdasarkan yang Mengetahui Kosmetik Berlabel Halal Mengetahui Kosmetik
Berlabel Halal Frekuensi
Persentase Ya
66 orang 82,5
Tidak 14 orang
17,5 Total
80 orang 100
Sumber: Data diolah
Dari tabel 4.5 di atas, dapat dilihat bahwa responden yang mengetahui kosmetik berlabel halal sebanyak sebanyak 66 responden 82,5, dan yang
tidak mengetahui kosmetik berlabel halal sebanyak 14 responden 17,5. Data ini menunjukkan bahwa mayoritas responden mengetahui kosmetik yang
berlabel halal.
c. Pandangan Terhadap Penting Atau Tidaknya Label Kosmetik
Tabel 4.6Responden Berdasarkan Tentang Apakah Kosmetik Berlabel Halal Penting Apakah Kosmetik Berlabel
Halal Penting Frekuensi
Persentase Ya
75 orang 93,75
Tidak 5 orang
6,25 Total
80 orang 100
Sumber: Data diolah
Dari tabel 4.6 di atas, dapat dilihat bahwa responden yang menganggap kosmetik yang berlabel halal itu penting yaitu sebanyak 75
responden 93,75, dan yang tidak menganggap kosmetik yang tidak berlabel halal itu penting yaitu sebanyak 5 responden 6,25. Data ini
menunjukkan bahwa mayoritas responden menganggap bahwa kosmetik yang berlabel halal itu penting.
B. Statistik Deskriptif