BAB II METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis  penelitian  ini  termasuk  pada  penelitian  eksplanasi,  yaitu  menjelaskan tentang  suatu  kegiatan  atau  gejala  yang  terjadi  dengan  menghubungkan  pola-pola
yang  berbeda  namun  memiliki  keterkaitan.  Berdasarkan  tujuannya  penelitian  ini termasuk  penelitian  eksploratif  yaitu  bertujuan  untuk  melihat  pola,  gagasan  atau
merumuskan  hipotesis,  penelitian  eksploratif  juga  dilakukan  untuk  lebih  memahami karakteristik dari suatu masalah.
12
B. Pendekatan dan Metode Penelitian.
Menurut  pendekatannya,  penelitian  ini  termasuk  penelitian  kuantitatif,  yaitu suatu pendekatan penelitian  yang  bersifat objektif, mencakup penelitian dan analisis
data kuantitatif serta menggunakan metode pengujian statistik.
13
C. Sampel Dan Teknik Pengambilan Sampel
1. Populasi
Populasi adalah totalitas dari semua objek atau individu yang memiliki karekteristik tertentu, jelas dan lengkap yang akan diteliti.
14
12
Asep Hermawan, Pedoman Praktis Metodologi Penelitian Bisnis, Jakarta: LPFE Trisakti, 2003, h. 2.
13
Ibid, h. .3
14
Hoetomo M.A, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya, Mitra Pelajar, 2005, h.389.
Populasi dalam penelitian ini adalah Mahasiswi Prodi Muamalat Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang berjumlah 364 orang.
15
2. Sampel
Sampel  adalah  sebagian  atau  wakil  populasi  yang  diteliti  yang dimaksudkan  untuk  mengeneralisasikan  kesimpulan  yang  diperoleh  dalam
penelitian.
16
Dalam  penelitian  ini  sampel  diambil  dari  sebagian  populasi  yang  telah ditentukan,  yaitu  sebagian  Mahasiswi  Prodi  Muamalat  Fakultas  Syariah  dan
Hukum  UIN  Syarif  Hidayatullah  Jakarta  yang  masih  aktif  dari  semester  tiga sampai semester tujuh selama penelitian ini berlangsung.
3. Teknik Pengambilan Sampel
Teknik  pengambilan  sampel  yang  digunakan  dalam  penelitian  ini  adalah sistem  non  probability  sampling,  yaitu  mengambil  sampel  yang  tidak  memberi
peluang  atau  kesempatan  bagi  setiap  unsur  atau  anggota  populasi  untuk  dipilih menjadi  sampel.  Metode  non  probability  sampling  yang  digunakan  adalah
purposive  sampling  atau  disebut  juga  judgemental  sampling  yaitu  teknik pengambilan  sampel  yang  dapat  dilakukan  dengan  menentukan  kriteria-kriteria
khusus  terhadap  sampel  berdasarkan  tujuan  penelitian.
17
Untuk  menentukan
15
Data ini diperoleh dari Prodi Muammalat pada tanggal 12 Oktober 2010.
16
Hoetomo M.A, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya: Mitra Pelajar, 2005, h. 435.
17
Bambang Presetyo dan Lina Miftahul Jannah. Metode Penelitian Kuantitatif Teori dan Aplikasi. Jakarta: Rajawali Pers, 2005 h. 134.
banyaknya  sampel  dari  suatu  populasi,  peneliti  menggunakan  rumus  Slovin sebagai berikut:
18
n 
N N e
2
+ 1 =
364 364 0,1
2
+ 1 =  78,44  orang  responden  dan  digenapkan  menjadi  80  orang
responden. Di mana:
n: ukuran sampel N: ukuran populasi
e: kesalahan yang diterima 10 0.1 Berdasarkan  perhitungan  diatas,  sampel  yang  diambil  adalah  78
responden,  semakin  banyak  sampel  yang  diambil,  semakin  kecil  kemungkinan terjadi kesalahan penelitiatau menurut Guilard 1987; 127 semakin besar sampel
n,  maka  hasilnya  semakin  akurat,  oleh  karena  itu  jumlah  sampel  yang  akan diteliti  sebanyak 80 responden. Karena  jumlah  itu sudah dianggap  mewakili dan
melebihi syarat minimum jumlah sampel n=78.
18
Consuelo G. Sevilla, dkk. Pengantar Metode Penelitian. Jakarta, 1993 h. 161.
D. Data Dan Teknik Pengumpulan Data
1.  Sumber data
Data  primer  merupakan  data  yang  diperoleh  langsung  dari  responden melalui  kuesioner  di  lokasi  penelitian  atau  objek  penelitian.  Yaitu,  data  yang
didapat langsung dari mahasiswi Prodi Muamalat. Data  sekunder  adalah  data  yang  diperoleh  dari  literatur-literatur
kepustakaan  seperti  buku-buku,  artikel,  serta  sumber  lainnya  yang  berkaitan dengan materi penulisan ini.
2.  Teknik Pengumpulan Data
Teknik  pengumpulan  data  dalam  penelitian  ini  dilakukan  dengan instrumen  yang  disusun  berbentuk  kuesioner  yang  diisi  oleh  para  responden.
Kuesioner  diberikan  kepada  konsumen  Mahasiswi  Prodi  Muamalat  FSH  UIN Jakarta.  Kemudian  dianalisa  dengan  berpedoman  pada  sumber  tertulis  yang
didapat  dari  perpustakaan  sebagai  langkah  konfirmasi  mengenai  data  yang diperoleh  dari  penelitian  lapangan.  Alat  pengumpul  data  yang  penulis  gunakan
dalam  penelitian  ini  adalah  menggunakan  skala  label  halal  dan  skala  keputusan menggunakan produk kosmetik.
a. Skala label halal Skala  ini  tersusun  dari  tiga  belas  13  butir  pernyataan-pernyataan
yang  terdiri  dari  tiga  indikator.  Adapun  indikator  yang  digunakan  adalah: pengetahuan, kepercayaan dan penilaian terhadap label halal.
Skala label halal ini menggunakan alat tes Skala Likert dengan variasi jawaban  sebanyak  empat  4  pilihan  yaitu;  sangat  tidak  setuju,  tidak  setuju,
setuju  dan  sangat  setuju.  Pada  penelitian  ini  peneliti  hanya  menggunakan empat  pilihan  jawaban  dengan  meniadakan  kategori  jawaban  di  tengah  atau
netral, karena dapat  menimbulkan kecenderungan subjek untuk  menjawab di tengah  terutama  bagi  subjek  yang  ragu-ragu  atas  arah  jawabannya  dan
mendorong  subjek  untuk  memutuskan  sendiri  apakah  positif  atau  negatif Sevilla,  1993.  Adapun  skor  untuk  masing-masing  pilihan  adalah  sebagai
berikut:
Tabel 2.1Skor Skala Label Halal Pilihan
STS TS
S SS
Fav 1
2 3
4
b. Skala Keputusan Menggunakan Produk Kosmetik Skala ini tersusun dari Sembilan 9 butir pernyataan-pernyataan yang
terdiri  dari  lima  indikator.  Peneliti  menggunakan  indikator  dari  tahap-tahap proses pembelian konsumen, yaitu: pengenalan masalah, pencarian informasi,
evaluasi alternatif, keputusan membeli dan perilaku pasca membeli. Skala keputusan menggunakan produk kosmetik ini menggunakan alat
tes  Skala  Likert  dengan  variasi  jawaban  sebanyak  empat  4  pilihan  yaitu; sangat tidak setuju, tidak  setuju, setuju dan sangat setuju. Pada penelitian  ini
peneliti  hanya  menggunakan  empat  pilihan  jawaban  dengan  meniadakan
kategori  jawaban  di  tengah  atau  netral,  karena  dapat  menimbulkan kecenderungan  subjek  untuk  menjawab  di  tengah  terutama  bagi  subjek  yang
ragu-ragu  atas  arah  jawabannya  dan  mendorong  subjek  untuk  memutuskan sendiri apakah positif atau negatif Sevilla, 1993. Adapun skor untuk masing-
masing pilihan adalah sebagai berikut:
Table 2.2Skor Skala Keputusan Menggunakan Produk Kosmetik Pilihan
STS TS
S SS
Fav 1
2 3
4
3.  Teknik Uji Instrumen Penelitian
Sebelum  instrumen  penelitian  digunakan  untuk  memperoleh  data-data penelitian, terlebih dahulu dilakukan uji coba agar diperoleh instrumen yang valid
dan  reliabel.  Salah  satu  ciri  instrumen  yang  baik  adalah  apabila  instrumen  itu dapat dengan tepat mengukur apa yang hendak diukur secara valid.
Uji  reliabilitas  bertujuan  untuk  melihat  konsistensi  alat  ukur  yang  akan digunakan  yakni  apakah  alat  ukur  tersebut  akurat,  stabil  dan  konsisten.  Teknik
yang  digunakan  untuk  menguji  reliabilitas  adalah  Alpha  Cronbach.  Standarisasi reliabiltas ini didasarkan pada kaidah reliabilitas Guilford.
Tabel 2.3Kaidah Reliabilitas Guilford
Koefisien Kriteria
0.2 Tidak Reliabel
0.2 – 0.39 Kurang Reliabel
0.4 – 0.69 Cukup Reliabel
0.7 – 0.89 Reliabel
0.9 Sangat Reliabel
a.  Uji Validitas Uji  validitas  dilakukan  dengan  membandingkan  nilai  r
hitung
dengan r
tabel,
dengan  menggunakan  jumlah  responden  sebanyak  80,  maka  nilai  r
tabel
dapat  diperoleh  melalui  dfdegree  of  freedom=  n  -  k,  k  merupakan  jumlah butir pertanyaan dalam suatu variabel. Untuk variabel label halal df= 80 – 13
=  67,  maka  r
tabe
l=  0.236.  sedangkan  untuk  variabel  keputusan  menggunakan produk  df=  80  –  9=  71,  maka  r
tabel
=  0.230.  Butir  pernyataan  dianggap  valid jika r
hitung
lebih besar dari r
tabel
. 1. Variabel label halal
Tabel 24.Hasil Pengujian Validitas Label Halal Item
Corrected Item – Total Correlaion Kriteria Valid
X1 .423
Valid X2
.489 Valid
X3 .500
Valid X4
.606 Valid
X5 .644
Valid X6
.706 Valid
X7 .637
Valid X8
.670 Valid
X9 .450
Valid X10
.631 Valid
X11 .544
Valid X12
.611 Valid
X13 .498
Valid
2. Variabel Keputusan Menggunakan Produk Kosmetik
Tabel 2.5 Hasil Pengujian Validitas Keputusan Menggunakan Produk Kosmetik
Item Corrected Item – Total Correlaion
Kriteria Valid
Y1 .755
Valid Y2
.735 Valid
Y3 .572
Valid Y4
.180 Tidak Valid
Y5 .339
Valid Y6
.432 Valid
Y7 .554
Valid Y8
.513 Valid
Y9 .657
Valid
b.  Uji Reliabilitas Teknik  yang  digunakan  untuk  menguji  reliabilitas  adalah  Alpha
Cronbach.  Adapun  reliabilitas  suatu  konstruk  variabel  dikatakan  reliabel  jika memiliki  nilai  Alpha  Cronbach  lebih  besar  dari  0.7,  standarisasi  reliabilitas  ini
didasarkan  pada  kaidah  reliabilitas  Guilford.  Hasil  pengujian  reliabilitas dijelaskan sebagai berikut:
Tabel 2.3Kaidah Reliabilitas Guilford
Koefisien Kriteria
0.2 Tidak Reliabel
0.2 – 0.39 Kurang Reliabel
0.4 – 0.69 Cukup Reliabel
0.7 – 0.89 Reliabel
0.9 Sangat Reliabel
1. Variabel label halal
Reliability Statistics Cronbach’s Alpha
N of Items
0.883 13
Output  hasil  pengujian  reliabilitas,  dilakukan  dengan  melihat nilai  Alpha  Cronbach’s.  jika  nilai  alpha  lebih  besar  dari  0.7  maka
suatu  0.883  0.7  sehingga  dapat  disimpulkan  untuk  instrumen pengukuran label halal adalah reliabel.
2. Variabel Keputusan Pembelian Konsumen
Reliability Statistics Cronbach’s Alpha
N of Items
0.820 9
Output  hasil  pengujian  reliabilitas,  dilakukan  dengan  melihat nilai  Alpha  Cronbach’s.  jika  nilai  alpha  lebih  besar  dari  0.7  maka
suatu konstruk dikatakan cukup reliabel. Dari hasil output didapat nilai alpha  0.820    0.7  sehingga  dapat  disimpulkan  untuk  instrumen
pengukuran keputusan pembelian konsumen adalah cukup reliabel.
E. Teknik Analisa Data
1. Pengujian Asumsi Klasik
a.  Uji Normalitas Sebelum dilakukan analisis untuk pengujian hipotesis, terlebih dahulu
akan  dilakukan  uji  asumsi,  melalui  uji  normalitas.  Uji  Normalitas  adalah pengujian  tentang  kenormalan  data.  Penggunaan  uji  normalitas  dalam
penelitian ini karena asumsi yang harus dimiliki oleh data adalah bahwa data tersebut terdistribusi  normal.  Maksud data terdistribusi  normal adalah  bahwa
data  akan  mengikuti  bentuk  distribusi  normal  dan  data  memusat  pada  nilai rata dan median.
2. Pengujian Hipotesis
a.  Analisa regresi sederhana Analisis regresi sederhana akan dilakukan bila  jumlah  variabel terdiri
dari  dua  variabel  saja,  yaitu  variabel  label  halal  X  dan  variabel  keputusan menggunakan  produk kosmetik Y yang dirumuskan sebagai berikut:
19
Y  =   +  b X
Dimana:
19
Prof. Dr. Sugiyono, Statistika untuk Penelitian. Bandung, 2009 h. 261.
Y:variabel terikat keputusan menggunakan produk kosmetik X: variabel bebas label halal
: konstanta b: koefisien regresi
3. Uji koefisien determinasi
Setelah  dilakukan  analisa  regresi  sederhana,  selanjutnya  dilakukan pengujian  untuk  melihat  goodness  of  fit  dari  model,  dengan  uji  koefisien
determinasi. Uji  koefisien  determinasi  ditujukan  untuk  melihat  seberapa  besar
variabel  independen  label  halal  dapat  menjelaskan  variabel  dependen keputusan  menggunakan  produk  kosmetik  dalam  bentuk  persentase.  Untuk
mengetahui  nilai  koefisien  determinasi  maka  dapat  dihitung  dengan menggunakan rumus:
20
Kd = r
2
x 100 Keterangan:
Kd : koefisien determinasi r  : koefisien korelasi
Kd  =  0, berarti pengaruh variabel X terhadap variabel Y lemah. Kd  = 1, berarti pengaruh variabel X terhadap Y kuat.
20
Ibid.,  h. 231.
4.   Uji F hitung Uji  F  ini  bertujuan  untuk  mengetahui  pengaruh  label  halal  terhadap
keputusan menggunakan produk kosmetik. Dengan rumus:
21
F hitung  =                   R
2
k 1 – R
2
n – k – 1
keterangan: R
2
: koefisien korelasi yang ditemukan k : jumlah variabel bebas
n : jumlah sampel F : F hitung yang selanjutnya diuji dengan F tabel
Apabila  F
hitung
F
tabel
maka  H ditolak  dan  H
1
diterima,  artinya variabel independen berpengaruh yang signifikan terhadap variabel dependen.
Jika  sig  F    0,05  maka  H diterima  dan  H
1
ditolak,  artinya  tidak terdapat pengaruh antara variabel independen dan variabel dependen.
Jika  sig  F    0,05  maka  H ditolak  dan  H
1
diterima,  artinya  ada pengaruh antara variabel independen dan variabel dependen.
21
Ibid.,  h. 235.
5.   Uji t Metode  pengujian  ini  digunakan  karena  menggunakan  regresi
sederhana yaitu hanya terdiri dari satu variabel independen saja label halal. Dengan rumus:
22
t = r
keterangan: r :  koefisien korelasi
n : jumlah anggota sampel Pengujian ini ditujukan untuk mengetahui tingkat signifikansi variabel
bebas.  Jika  H ditolak,  maka  variabel  bebas  berpengaruh  terhadap  variabel
tidak  bebasnya.  Sebaliknya,  jika  H diterima  berarti  variabel  bebas  tidak
berpengaruh nyata terhadap variabel tak bebas.
22
Ibid.,  h. 230.
BAB III TINJAUAN TEORITIS
A. Konsep Halal
Dalam  persoalan  halal,  Kehalalan  produk  yang  akan  dikonsumsi merupakan persoalan besar dan penting yang paling pertama berhubungan dengan
manusia,  sehingga  apa  yang  dikonsumsi  itu  benar-benar  halal  atau  tercampur dengan  barang  haram.  Masalah  tersebut  telah  ada  semenjak  manusia  belum
diturunkan ke  bumi  dan  merupakan pelajaran pertama  yang diterima dari Tuhan ketika  Allah  menentukan  kaidah  tentang  kehalalan,  dipertimbangkan  pula
kemampuan manusia dalam bersabar terhadap segala sesuatu, maka dari itu Allah tidak  menentukan  tentang  kehalalan  pada  udara,  akan  tetapi  untuk  makanan  dan
minuman  serta  hal-hal  yang  dikonsumsi  selain  makanan  dan  minuman  seperti halnya; kosmetika, obat-obatan dan lain-lain ditentukan tentang kehalalannya.
23
1.  Pengertian Halal
Halal  adalah  sesuatu  yang dibolehkan  menurut ajaran Islam.
24
Segala sesuatu yang diciptakan oleh Allah dimuka bumi ini pada asalnya adalah halal
dan  mubah.  Tidak  ada  satupun  yang  haram,  kecuali  ada  nash  yang  sah  dan
23
Imam Al-Ghazali, Benang Tipis antara Halal dan Haram, alih bahasa oleh Ahmad Shiddiq, Surabaya: Putra Pelajar, 2002, h. 12.
24
Departemen Agama RI, Petunjuk Teknis Pedoman Sistem Produksi Halal, Jakarta, 2003, h. 5.
tegas  dari  syari’  yang  membuat  hukum  itu  sendiri,  yaitu  Allah  dan  rasul- Nyayang mengharamkannya. Kalau tidak ada nash yang sah misalnya karena
ada  sebagian  hadits  lemah  atau  tidak  ada  nash  yang  tegas  Sharih  yang menunjukkan  haram,  maka  hal  tersebut  tetap  sebagaimana  asalnya  yaitu
mubah. Seperti ayat Al-Quran dibawah ini: QS. Al-Baqarah: 29 
 
 
“Dialah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu, dan  Dia  berkehendak  menuju  langit,  lalu  dijadikan-Nya  tujuh  langit  dan
Dia Maha mengetahui segala sesuatu.” QS. Al-Baqarah: 29
25
Halal  adalah  segala  sesuatu  yang  boleh  dikerjakan  atau  digunakan. Dengan  pengertian  bahwa  orang  yang  melakukannya  tidak  mendapat  sanksi
dari Allah SWT. Pengertian  Halal  menurut  Departemen  Agama  yang  dimuat  dalam
KEPMENAG  RI  No  518  Tahun  2001  tentang  Pemeriksaan  dan  Penetapan Pangan Halal adalah: tidak mengandung unsur atau bahan haram atau dilarang
untuk dikonsumsi umat Islam, dan pengolahannya tidak bertentangan dengan syariat Islam.
26
Dalam  buku  Ensiklopedia  Islam  Indonesia  disebutkan  bahwa  halal artinya tidak dilarang, dan diizinkan melakukan atau memanfaatkannya. Halal
25
Imam Al-Ghazali, Benang Tipis antara Halal dan Haram, h. 12.
26
www.lpommui.or.id.
itu dapat diketahui apabila ada suatu dalil yang menghalalkannya secara tegas dalam al-Qur’an dan apabila tidak ada satu dalil pun yang mengharamkannya
atau melarangnya.
27
2.  Kriteria Halal Menurut Islam
Menentukan halal atau tidaknya suatu urusan adalah suatu yang paling asasi  dalam  hukum  Islam.  Dalam  Al-Quran  ditegaskan  dalam  QS.  Yunus:
59.
28
 
 
“Terangkanlah  kepadaku  tentang  rezeki  yang  diturunkan  Allah kepadamu,  lalu  kamu  jadikan  sebagiannya  haram  dan  sebagiannya  halal.
Katakanlah:  Apakah  Allah  telah  memberikan  izin  kepadamu  tentangnya atau kamu mengada-ngada saja terhadap Allah.” QS. Yunus: 59
Menurut  pandangan  ulama  fikih,  dalil  diatas  merupakan  pengetahuan yang bersifat keyakinan bahwa Allah lah satu-satunya zat yang paling berhak
memutuskan  halal  haramnya  sesuatu.  Secara  teologis,  pengharaman  dan penghalalan  sesuatu  diluar  otoritas  yang  dipunyai  Allah  adalah  perbuatan
yang  bisa  dikategorikan  syirik.  Barangsiapa  melakukannya  maka  dia  telah melewati batas dan melampaui hak ketuhanan dalam perbuatan syariah untuk
makhluk,  dan  barangsiapa  rela  atas  ilmu  tersebut  dan  mengikuti  jejaknya,
27
Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedia Islam Indonesia, Jakarta:Djambatan, 2002, h. 346.
28
Thobieb Al-Asyhar, Bahaya Makanan Haram Bagi Kesehatan Jasmani dan Kesucian Rohani, h. 87.
maka  ia  telah  menjadikan  persekutuan  kepada  Allah  dan  masuk  kategori syirik.
Imam  Syafi’i  dalam  kitabnya  “Al-Um”  meriwayatkan,  bahwa  Qadli Abu Yusuf, murid Abu Hurairah pernah mengatakan: “Saya jumpai guru kami
dari para ahli ilmu, bahwa mereka tidak suka berfatwa, sehingga mengatakan: ini halal dan ini haram, kecuali menurut apa yang terdapat didalam Al-Quran
dengan  tegas  tanpa  memerlukan  tafsiran.  Selanjutnya  Imam  Syafi’i  berkata: “Sebagian  kawan-kawanku  pernah  menceritakan  dari  Ibrahim  an-Nakha’i
salah seorang ahli fiqih golongan tabi’in dari kufah, dia pernah menceritakan tentang kawan-kawannya, bahwa mereka bila berfatwa tentang sesuatu untuk
melarang sesuatu, mereka berkata: “Ini makruh, dan ini tidak apa-apa. Adapun apabila  kita  yang  mengatakan:  ini  adalah  halal  dan  ini  haram,  maka  betapa
besarnya persoalan ini. Demikian apa yang diriwayatkan oleh Abu Yusuf dari “Salafus  Saleh”  yang  kemudian  dipindahkan  dan  diakui    juga  oleh  Imam
Syafi’i.  Hal  ini  sama  dengan  yang  diriwayatkan  oleh  Ibnu  Mufilih  dari  Ibnu Taimiyah:  “Bahwa  ulama-ulama  salaf  dulu  tidak  mau  mengatakan  haram,
kecuali setelah diketahuinya dengan pasti.
29
Al-Quran  dengan  tegas  mencela  perbuatan  orang-orang  Ahli  Kitab Yahudi  dan  Nasrani  yang  memberikan  otoritas  untuk  menghalalkan  dan
29
Imam Al-Ghazali, Benang Tipis antara Halal dan Haram, h. 18.
mengharamkan  kepada  para  pendeta  dan  rahib-rahib.  Allah  SWT  berfirman dalam QS: At-Taubah: 31
30
 
 
 
“Mereka  menjadikan  pendeta-pendeta  dan  rahib-rahibnya  sebagai Tuhan-tuhan  di  samping  Allah  dan  begitu  juga  Al-Masih  bin  Maryam.
Padahal  mereka  tidak  diperintahkan  kecuali  untuk  beribadah  kepada  Tuhan yang satu, tidak ada Tuhan selain Dia. Maha suci Dia dari apa yang mereka
sekutukan. QS: At-Taubah: 31
Dari ayat-ayat di atas, para ahli fikih berpendapat bahwa Allah sajalah yang memiliki otoritas untuk menghalalkan dan mengharamkan, baik melalui
kitab  suci-Nya  atau  lisan  Rasul-Nya.  Tugas  mereka  tidak  lebih  dari menjelaskan  hukum  Allah  dalam  hal-hal  yang  dihalalkan  atau  diharamkan
tersebut.Sebagian rahmat Allah kepada umat manusia adalah bahwa dia tidak membiarkan  mereka  dalam  kebimbangan  tentang  hukum  halal  dan  haram.
Sebaliknya,  dia  menjelaskan  yang  halal  dan  menguraikan  yang  haram sedemikian rrincinya.
Namun  demikian,  jika  pernyataan  halal  terhadap  sesuatu  tidak dijelaskan  hukumnya  dalam  Al-Quran  dan  As-Sunnah,  atau  secara  teknis
30
Thobieb Al-Asyhar, Bahaya Makanan Haram Bagi Kesehatan Jasmani dan Kesucian Rohani, h.89.
praktis modifikasi dan proses teknologinya tidak diatur, maka hal ini masuk dalam  wilayah  ijtihadiyah,  dan  persoalan  ijtihadiyah  kawasan  dzanniyah
adalah urusan ahli hukum fikih fuqaha, dalam hal ini adalah mujtahid yang berbakat. Hal ini dapat dikembangkan melalui serangkaian praktik pemberian
keputusan fikih dan melakukan kajian fikih terhadap berbagai pendapat yang berkembang.  Maka  dari  itu,  para  ahli  fikih  mempunyai  kriteria-kriteria  halal
dan haramnya
sesuatu, khususnya
dalam hal
makanan dan
minuman.
31
Makanan dan minuman yang halal adalah:
32
a.  Bukan  terdiri  atau  mengandung  bagian  atau  benda  dari  binatang  yang dilarang oleh ajaran Islam untuk memakannya atau yang tidak disembelih
menurut ajaran Islam. b.  Tidak  mengandung  sesuatu  yang  dihukumi  sebagai  najis  dan  atau  haram
menurut ajaran Islam. c.  Dalam  proses  pembuatan,  menyimpan  dan  menghidangkan  tidak
bersentuhan  atau  berdekatan  dengan  makanan  yang  tidak  memenuhi persyaratan  atau  benda  yang  dihukumkan  sebagai  najis  menurut  ajaran
Islam.
31
Ibid, h. 93.
32
Departemen Agama RI, Pedoman Pangan Halal bagi Konsumen, Importir dan Konsumen di Indonesia, Jakarta, Tim Penerbit Buku Pedoman Pangan Halal, 2001, h.4.
3.  Sistem dan Pedoman Produksi Halal
Prinsip  etika  dalam  produksi  yang  wajib  dilaksanakan  oleh  setiap muslim, baik individu maupun kelompok, adalah berpegang pada semua yang
dihalalkan  Allah  dan  tidak  melampaui  batas.  Benar  bahwa  daerah  halal  itu luas, tetapi mayoritas jiwa manusia yang ambisius merasa kurang puas dengan
hal  yang  halal.  Maka  akan  banyak  kita  temukan  jiwa  manusia  yang  tergiur kepada sesuatu yang haram dengan melanggar hukum-hukum Allah.
33
Produk halal adalah produk pangan, obat, kosmetika, dan produk lain yang  tidak  mengandung  unsur  atau  barang  haram  tau  dilarang  untuk
dikonsumsi,  digunakan,  atau  dipakai  umat  Islam  baik  yanmg  menyangkut bahan  baku,  baqhan  tambahan,  bahan  bantu,  dan  bahan  penolong  lainnya
termasuk  bahan  produksi  yang  diolah  melalui  proses  rekayasa  genetika  dan iradiasi yang pengolahannya dilakukan sesuai dengan syariat Islam.
Pemeriksaan  produk  halal  adalah  pemeriksaan  tentang  keadaan  dan cara bereproduksi pangan, obat, kosmetika, dan produk lain secara halal yang
meliputi  penyembelihan  hewan,  asal  usul  bahan  baku,  bahan  tambahan, banhan bantu, dan bahan penolong serta proses produksi, personalia, peralatan
produksi, sistem jaminan halal, dan hal lain-lain yang berhubungan langsung maupun tidak langsung dengan kegiatan produksi halal.
34
33
Rustam Effendi, Produksi dalam Islam, Yogkarta: Magistra Insania Press, 2003,  h. 7.
34
Thobieb  Al-Asyhar,  Bahaya  Makanan  Haram  Bagi  Kesehatan  Jasmani  dan  Kesucian Rohani, h. 131.
Pemeriksaan Sarana Produksi Tim auditor halal melakukan pemeriksaan terhadap:
a.  Fasilitas  fisik  berupa  bangunan,  tata  ruang,  tempat  produksi,  dan lingkungan produksi.
b.  Fasilitas peralatan produksi, penyimpanan, penyiapan, pengangkutan, dan pengawasan.
c.  Cara  berproduksi,  meliputi penyiapan dan penyembelihan  hewan potong, pemilihan  bahan  baku,  bahan  tambahan,  bahan  bantu,  dan  bahan
penolong, serta pengolahan, pengemasan, dan penyimpanan.
35
B. Label Halal
1. Pengertian Label Halal
Islam adalah sebuah agama yang menjadi ideologis, sistem dan aturan hidup,  kerangka  berpikir,  pedoman  terhadap  konsep  dan  pengembangan
integritas  diri,  menjadi  tolak  ukur  keabsahan  suatu  tindakan,  serta  sumber inspirasi  bagi  sebagian  besar  teori  peradaban.  Sebagai  ideologi,  Islam
memiliki  aturan  yang  lengkap  dan  menyeluruh,  serta  komprehensif  dalam mengatur setiap aspek utama kehidupan manusia.
36
35
Departemen Agama RI, Petunjuk Teknis Pedoman Sistem Produksi Halal Jakarta, 2003, h. 148.
36
Sa’id Hawwa,  Al-Islam, Jakarta: Al Islahy Press, 1993 h. 27.
Pemberian  label  berkaitan  erat  dengan  pengemasan.  Label  merupakan bagian  dari  suatu  produk  yang  menyampaikan  informasi  mengenai  produk
dan penjual. Stanton membagi label ke dalam 3 tiga klasifikasi yaitu:
37
a.  Brand  Label,  yaitu  merek  yang  diberikan  pada  produk  atau  dicantumkan pada kemasan.
b. Descriptive  Label,  yaitu  label  yang  memberikan  informasi  objektif mengenai  penggunaan,  konstruksipembuatan,  perawatanperhatian,  dan
kinerja  produk,  serta  karakteristik-karakteristik  lainnya  yang  berhubungan dengan produk.
c.  Grade  Label,  yaitu  label  yang  mengindentifikasikan  penilaian  kualitas produk  product’s  judged  quality  dengan  suatu  huruf,  angka,  atau  kata.
Misal buah-buahan dalam kaleng diberi label kualitas A, B dan C. Pengertian  Halal  menurut  Departemen  Agama  yang  dimuat  dalam
KEPMENAG  RI  No  518  Tahun  2001  tentang  Pemeriksaan  dan  Penetapan Pangan Halal adalah tidak mengandung unsur atau bahan haram atau dilarang
untuk dikonsumsi umat Islam, dan pengolahannya tidak bertentangan dengan syariat Islam.
38
Dalam  Kamus  Besar  Bahasa  Indonesia,  label  didefinisikan  sebagai sepotong  kertas  kain,  logam,  kayu  dan  sebagainya  yang  ditempelkan  pada
37
Retno Sulistyowati “Labelisasi Halal” artikel ini diakses pada tanggal 10 Juli 2010 dari http:www.esqmagazine.com..
38
Ibid.
barang  dan  menjelaskan  tentang  nama  barang,  nama  pemilik,  tujuan,  alamat dan sebagainya.
39
Label  halal  yang  secara  prinsip  adalah  label  yang  menginformasikan kepada  pengguna  produk  yang  berlabel  tersebut,  bahwa  produknya  benar-
benar  halal  dan  nutrisi-nutrisi  yang  dikandungnya  tidak  mengandung  unsur- unsur  yang  diharamkan  secara  syariah  sehingga  produk  tersebut  boleh
dikonsumsi.
40
Label  halal  yang  ada  pada  kemasan  produk  yang  beredar  di Indonesia  adalah  sebuah  logo  yang  tersusun  dari  huruf-huruf  Arab  yang
membentuk kata halal dalam sebuah lingkaran.
41
Untuk  memperoleh  label  halal  dari  MUI,  produsen  harus  melalui proses  sertifikasi  halal  terlebih  dahulu.  Sertifikasi  halal  adalah  suatu  proses
pemeriksaan  secara  rinci  terhadap  kehalalan  produk,  yang  selanjutnya diputuskan kehalalannya dalam bentuk Fatwa MUI.
42
Sertifikasi  halal  secara  definisi  dijelaskan  dalam  panduan  untuk memperoleh sertifikat halal yang dikeluarkan oleh LPPOM MUI yaitu, fatwa
tertulis  MUI  yang  menyatakan  kehalalan  suatu  produk  sesuai  dengan  syariat
39
Hoetomo M.A, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya: Mitra Pelajar, 2005, h. 301.
40
Ahmad  Haris,  “Halal  di  kemasan  Belum  Tentu  Halal  Dimakan”.  artikel  ini  diakses  pada tanggal 13 Juli dari http:www.harisahmad.com.
41
Ibid.
42
Departemen Agama, Panduan Sertifikasi Halal,Jakarta: 2003,  h. 2.
Islam.  Sertifikat  halal  ini  merupakan  syarat  untuk  mendapatkan  izin pencantuman label halal pada kemasan produk dari instansi terkait.
43
Dengan demikian label halal adalah label yang diberikan pada produk- produk yang telah memenuhi kriteria halal menurut agama Islam. Perusahaan-
perusahaan  yang  telah  mencantumkan  produknya  dengan  label  halal merupakan perusahaan yang telah melakukan prosesi halal pada produknya.
Mengacu  pada  klasifikasi  label  yang  diberikan  oleh  Stanton,  maka label  halal  masuk  dalam  klasifikasi  Descriptive  Label  yaitu  label  yang
menginformasikan tentang:
44
1.  Konstruksi atau pembuatan produk yang sesuai dengan standard halal; 2.  Ingredient atau bahan baku produk yang sesuai dengan standard halal dan;
3.  Efek  yang  ditimbulkan  other  characteristic  produk  yang  sesuai  dengan standard halal.
2. Proses Labelisasi Halal
Sebelum mencantumkan label halal pada suatu produk, produsen harus mengajukan  sertifikat  halal  bagi  produknya.  Dalam  mengajukan  sertifikat
halal,  produsen  terlebih  dahulu  disyaratkan  mempersiapkan  Sistem  Jaminan Halal seperti diuraikan di bawah ini:
45
43
Ibid., h. 1.
44
Retno Sulistyowati “Labelisasi Halal” artikel ini dari http:www.esqmagazine.com.
45
Departemen Agama,  Panduan Sertifikasi Halal, h. 2.
Sistem  jaminan  halal  adalah  sistem  yang  mencakup  organisasi, tanggung  jawab,  prosedur,  kegiatan,  kemampuan  dan  sumber  daya  yang
bertujuan  untuk  menjamin  bahwa  proses  produksi  yang  dilakukan  dapat menghasilkan produk halal.
46
a.  Sistem Jaminan Halal Halal Assurance System harus didokumentasikan secara  jelas  dan  rinci  serta  merupakan  bagian  dari  kebijakan  manajemen
perusahaan. b.  Dalam pelaksanaannya, Sistem Jaminan Halal ini diuraikan dalam bentuk
Panduan  Halal  Halal  Manual  yang  memberikan  uraian  sistem manajemen  halal  yang  dijalankan  produsen,  serta  berfungsi  sebagai
rujukan  tetap  dalam  melaksanakan  dan  memelihara  kehalalan  produk tersebut.
c.  Produsen  menjabarkan  Panduan  Halal  secara  teknis  dalam  bentuk Prosedur  Baku  Pelaksanaan  Standard  Operating  Procedure  untuk
mengawasi  setiap  proses  yang  kritis  agar  kehalalan  produknya  tetap terjamin.
d.  Baik  Panduan  Halal  maupun  Prosedur  Baku  Pelaksanaan  yang  disiapkan harus  disosialisasikan  dan  diuji  coba  di  lingkungan  produsen,  sehingga
seluruh  jajaran  manajemen  dari  tingkat  direksi  sampai  karyawan memahami betul bagaimana memproduksi produk halal dan baik.
46
Departemen Agama RI, Petunjuk Teknis Pedoman Sistem Produksi Halal, h. 131.
e.  Sistem  Jaminan  Halal  dan  pelaksanaannya  dimonitor  dan  dievaluasi melalui sistem audit halal internal yang ditetapkan oleh perusahaan.
f.  Koordinasi  pelaksanaan  Sistem  Jaminan  Halal  dilakukan  oleh  Tim Auditor Halal Internal yang mewakili seluruh bagian yang terkait dengan
produksi halal yang ditetapkan oleh perusahaan. Koordinator Tim Auditor Halal Internal harus beragama Islam.
g.  Penjelasan  rinci  tentang  Sistem  Jaminan  Halal  dapat  merujuk  kepada Buku Panduan Penyusunan Sistem Jaminan Halal, yang dikeluarkan oleh
LPPOM MUI. Setelah persyaratan Sistem Jaminan Halal yang produsen ajukan telah
disetujui,  maka  produsen  dapat  menjalankan  Prosedur  Sertifikasi  Halal Sertifikat  halal  adalah  bukti  sah  tertulis  yang  menyatakan  kehalalan  suatu
produksi yang dikukuhkan oleh menteri agama.
47
Dengan prosedur::
48
a.  Setiap produsen  mendaftarkan seluruh produknya  yang diproduksi dalam satu  lokasi  dan  mendaftarkan  seluruh  pabrik  pada  lokasi  yang  berbeda
yang menghasilkan produk dengan merek yang sama. b.  Setiap  produsen  yang  mengajukan  permohonan  Sertifikat  Halal  bagi
produknya,  harus  mengisi  formulir  yang  telah  disediakan.  Formulir tersebut berisi  informasi tentang data perusahaan,  jenis dan  nama produk
serta bahan-bahan yang digunakan dengan melampirkan:
47
Departemen Agama RI, Petunjuk Teknis Pedoman Sistem Produksi Halal, h. 132.
48
Departemen Agama,  Panduan Sertifikasi Halal., h. 4.
1. Spesifikasi dan Sertifikat halal bahan baku, bahan tambahan dan bahan penolong serta bagan alur proses.
2. Sertifikat Halal atau Surat Keterangan Halal dari MUI Daerah produk lokal atau Sertifikat Halal dari Lembaga Islam yang telah diakui oleh
MUI  produk  impor  untuk  bahan  yang  berasal  dari  hewan  dan turunannya.
3.  Sistem  jaminan  halal  yang  diuraikan  dalam  panduan  halal  beserta prosedur baku pelaksanaannya.
c.  Tim  Auditor  LPPOM  MUI  melakukan  pemeriksaanaudit  ke  lokasi produsen setelah  formulir  beserta  lampiran-lampirannya dikembalikan ke
LPPOM MUI dan diperiksa kelengkapannya. Hasil pemeriksaanaudit dan hasil  laboratorium  dievaluasi  dalam  Rapat  Tenaga  Ahli  LPPOM  MUI.
Jika  telah  memenuhi  persyaratan,  maka  dibuat  laporan  hasil  audit  untuk diajukan  kepada  Sidang  Komisi  Fatwa  MUI  untuk  diputuskan  status
kehalalannya. 1.  Sidang  Komisi  Fatwa  MUI  dapat  menolak  laporan  hasil  audit  jika
dianggap belum memenuhi semua persyaratan yang telah ditentukan. Sertifikat  Halal  dikeluarkan  oleh  MUI  setelah  ditetapkan  status
kehalalannya oleh Komisi Fatwa MUI.
2.  Perusahaan  yang  produknya  telah  mendapat  Sertifikat  halal,  harus mengangkat  Auditor  Halal  Internal  sebagai  bagian  dari  Sistem  Jaminan
Halal.  Jika  kemudian  ada  perubahan  dalam  penggunaan  bahan  baku, bahan  tambahan  atau  bahan  penolong  pada  proses  produksinya,  Auditor
Halal  Internal  diwajibkan  segera melaporkan  untuk  mendapat
“ketidakberatan  penggunaannya”.  Bila  ada  perusahaan  yang  terkait dengan  produk  halal  hasil  dikonsultasikan  dengan  LPPOM  MUI  oleh
Auditor Halal Internal. Tim  Auditor  LPPOM  MUI  akan  melakukan  pemeriksaanaudit  ke
lokasi  produsen  untuk  memastikan  apakah  seluruh  bahan  yang  digunakan dalam  proses  pembuatan  produk  memenuhi  syarat  yang  sesuai  syariah.  Tata
cara pemeriksaan audit nya adalah sebagai berikut:
49
a.  Surat  resmi  akan  dikirim  oleh  LPPOM  MUI  ke  perusahaan  yang  akan diperiksa,  yang  memuat  jadwal  audit  pemeriksaan  dan  persyaratan
administrasi lainnya. b.  LPPOM MUI menerbitkan surat perintah pemeriksaan yang berisi:
1. Nama ketua tim dan anggota tim. 2. Penetapan hari dan tanggal pemeriksaan.
49
Departemen Agama, Panduan Sertifikasi Halal, h. 5.
c.  Pada  waktu  yang  telah  ditentukan  Tim  Auditor  yang  telah  dilengkapi dengan  surat  tugas  dan  identitas  diri,  akan  mengadakan  pemeriksaan
auditing  ke  perusahaan  yang  mengajukan  permohonan  sertifikat  halal. Selama  pemeriksaan  berlangsung,  produsen  diminta  bantuannya  untuk
memberikan informasi yang jujur dan jelas. d.  Pemeriksaan audit produk halal mencakup:
1. Manajemen produsen dalam menjamin kehalalan produk. 2. Observasi lapangan dan Pengambilan contoh hanya untuk bahan yang
dicurigai  mengandung  babi  atau  turunannya,  yang  mengandung alkohol dan yang dianggap perlu.
3. Label Halal Melindungi Konsumen Muslim
Sebagai  konsumen  yang  memiliki  peringkat  mayoritas,  umat  Islam harus melindungi bahan pangannya dari pencemaran bahan-bahan haram, baik
bahan  utama  maupun  bahan  adifit  dalam  proses  pengolahannya.  Karena bagaimanapun  masalah  haram  lebih  terfokus  pada  hubungan  langsung
manusia  dengan  Tuhannya,  yang  tidak  boleh  ditutupi  hanya  untuk kepentingan praktis, misalnya, kepentingan ekonomi, bisnis, politik, stabilitas
dan lain-lain yang belum jelas kecenderungannya. Sertifikat  yang  menyatakan  kehalalan  suatu  produk  makanan  atau
minuman  oleh  LPPOM-MUI  hanya  mencakup  sebatas  perlindungan  pada wilayah  nilai  hukum  subtansial  dzatiyah  suatu  produk.  Halal  haramnya
makanan akan difatwakan oleh  MUI LPPOM dengan  Komisi  fatwa, ketika realitas  barangnya  yang  meliputi  tempat  penyimpanan,  tempat  penjualan,
pengolahan,  tempat  pengolahan,  dan  tempat  transportasi  terdapat  kejelasan ada tidaknya pencampuran dengan unsur haram atau najis, serta kalau berupa
hewan, dilihat benar tidaknya dalam proses penyembelihannya. Persoalan  ini  mendapat  sorotan  yang  cukup  tajam  dalam  doktrin
agama.  Dan  juga  hal  ini  cukup  kompleks  dan  rumit  menyangkut  amal perbuatan  manusia  produsen  dan  berkaitan  langsung  dengan  Tuhan.
Sehingga  hal-hal  detail  yang  berkaitan  dengan  cara  perolehan  harta  atau makanan merupakan tanggung jawab moral dengan Tuhan secara langsung.
Kemudian ketika suatu produk yang sudah dinyatakan halal oleh MUI berlabel  halal, tapi dalam kenyataannya ditemukan adanya unsur campuran
barang  haram  atau  najis,  maka  dalam  kasus  seperti  ini,  MUI  sudah mengantisipasi  dengan  mengadakan  kebijaksanaan  bahwa  MUI  suatu  saat
akan  mengadakan  pemeriksaan  secara  mendadak  dan  acak  melalui  uji laboratorium  pada  barang  yang  dinyatakan  halal.  Jika  kemudian  ditemukan
adanya  unsur  atau  bercampur  dengan  barang  haram  atau  najis  dalam  barang yang bersangkutan, maka MUI akan mengumumkan langsung atas keharaman
barang  tersebut  melalui  JURNAL  HALAL  LPPOM  MUI  atau  media  massa lain cetak atau elektronika, walaupun masa berlaku sertifikat halalnya belum
habis. Hal ini dilakukan karena produsen telah menyalahi kesepakatan bahwa
produsen  akan  selalu  menjaga  kehalalan  produk  selama  masa  sertifikat  halal berlaku.
50
4. Brand Image
Brandmerek  adalah  nama  dan  atau  simbol  yang  bersifat membedakan
seperti sebuah
logo, capa
atau kemasan
untuk mengidentifikasikan  barang  atau  jasa  dari  seorang  penjual    tertentu,  serta
membedakannya dari barang atau jasa yang dihasilkan para pesaing.
51
Imagecitra  adalah  persepsi  masyarakat  terhadap  perusahaannya, dimana  persepsi  merupakan  suatu  gambaran  yang  terbentuk  dari  proses
membangun  kesan  yang  dapat  memberiakan  anggapan  atau  reaksi  yang berbeda-beda pada diri seseorang atau mesyarakat tertentu.
52
Brand Image atau citra merek adalah sekumpulan asosiasi merek yang terbentuk  dan  melekat  dibenak  konsumen.  Konsumen  yang  terbiasa
menggunakan merek tertentu cenderung memiliki konsistensi terhadap brand image. Bila  merek dari suatu produk atau jasa telah  memiliki kesan  baik,  ini
menandakan bahwa merek tersebut telah berhasil membangun citranya dalam konsumen dalam keberadaanya dalam pemikiran konsumen.
53
50
Thobieb Al-Asyhar, Bahaya Makanan Haram Bagi Kesehatan Jasmani dan Kesucian Rohani, h. 154.
51
A.B. Susantodan Himawan wijanarko, Power Branding: Membangun Merek Unggul dan Organisasi Pendukungnya, Jakarta: PT. Mizan Publika,2004, h. 6.
52
Philip Kotler dan AB. Susanto , Manajemen Pemasaran di Indonesia, Jakarta: Salemba Empat, 2001, h. 388.
53
www.asiamarketresearch.comglossaribrandimage.html.
Semakin berkualitasnya suatu produk atau jasa semakin baik juga citra produk  atau  jasa  tersebut  tertanam  dalam  benak  konsumen  sehingga
konsumen  akan  terus  melakukan  pembelian  produk  atau  jasa  yang sama.konsumen membeli produk atau jasa tidak hanya sekedar atribut tampak
atau  nyata  saja  melainkan  pada  dasarnya  konsumen  membayar  sesuatu  yang dapat  memenuhi  dan  memuaskan  keinginannya,  baik  itu  yang  berwujud
maupun  yang  tidak  berwujud.  Untuk  itu  perusahaan  harus  mampu mempertahankan  brand  image  citra  merek  dengan  terus  meningkatkan
kualitas  produk  atau  jasanya  sehingga  konsumen  tidak  beralih  pada  produk lain.  Cita  merek  yang  baik  ini  akan  membentuk  persepsi  kualitas  dari  suatu
produk atau jasa dimata pelanggan.
54
Brand merek adalah suatu simbol yang dapat menyampaikan hingga enam tingkat pengertian sebagai berikut:
55
a.  Atribut, merek mengingatkan atribut-atribut tertentu. b.  Manfaat,  atribut-atribut  yang  harus  diterjemahkan  menjadi  manfaat
fungsional. c.  Nilai, merek tersebut juga mengatakan sesuatu tentang nilai produsennya.
d.  Budaya, merek tersebut juga mungkin melambangkan budaya tertentu. e.  Kepribadian, merek tersebut dapat mencerminkan kepribadian tertentu.
54
Darmadi Durianto, Sugiarto, Tony Sitinjak, Strategi Menaklukan Pasar Melalui Riset Ekuitas Dan Perilaku Merek, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004, h. 96.
55
Jackie Ambadar, Miranty Abiding dan Yanti Isa, Mengelola Merek, Jakarta: YBKM, 2007, h. 5.
f.  Pemakai,  merek tersebut  menyiratkan  jenis konsumen  yang  membeli dan menggunakan produk tersebut.
Merek menjadi sangat penting saat ini karena faktor: a.  Emosi  konsumen  terkadang  naik  turun.  Merek  mampu  membuat  janji
emosi menjadi konsisten dan stabil. b.  Merek dapat menembus setiap pagar budaya dan pasar.
c.  Merek mampu menciptakan komunikasi interaksi dengan konsumen. Menurut Philip Kotlet Image citra yang efektif melakukan tiga hal:
56
a.  Memantapkan karakter produk dan susulan nilai. b.  Menyampaikan  karakter  itu  dengan  cara  yang  berbeda  sehingga  tidak
dikacaukan oleh karakter pesaing. c.  Memberikan  kekuatan  emosional  yang  lebih  sekedar  citra  mental.  Agar
berfungsi  citra  itu  harus  disampaikan  melalui  setiap  sarana  komunikasi yang tersedia dalam kontak merek.
C. Keputusan Membeli Produk
1. Pengertian Keputusan Membeli Produk
Robbins  menyatakan  bahwa  pengambilan  keputusan  terjadi  sebagai suatu reaksi terhadap suatu masalah problem. Masalah ini diartikan sebagai
suatu penyimpangan antara keadaan saat ini dengan keadaan yang diinginkan
56
Philip Kotler dan AB. Susanto , Manajemen Pemasaran di Indonesia, h. 388.
oleh individu sehingga menuntut individu tersebut ke arah tindakan alternatif dalam mengambil keputusan membeli.
57
Keputusan  membeli  juga  harus  dapat  dibedakan  dengan  maksud membeli yang dilakukan oleh konsumen. Maksud membeli akan dipengaruhi
oleh  sikap  orang  lain  dan  faktor-faktor  situasional  yang  tidak  terduga  yang mungkin  dapat  mengubah  maksud  membeli  tersebut,  baik  itu  jadi  membeli
atau  tidak  jadi  membeli,  sedangkan  di  dalam  keputusan  membeli  yang dilakukan  konsumen  sudah  jelas,  dalam  arti,  konsumen  sudah  memutuskan
untuk jadi membeli, menangguhkan atau bahkan batal membeli.
58
Akan  tetapi  inti  dari  pengambilan  keputusan  konsumen  consumer decision  making  adalah  proses  penggabungan  yang  mengkombinasikan
pengetahuan  untuk  mengevaluasi  dua  atau  lebih  perilaku  alternatif,  dan memilih salah satu diantaranya.
Dari  pendapat  dan  pengertian  tentang  keputusan  membeli  di  atas, maka  dapat  ditarik  kesimpulan,  yaitu  sebagai  suatu  proses  yang  terdiri  dari
pengenalan  masalah,  pencarian  informasi,  evaluasi  alternatif  pembelian  dan hasil  pembelian  yang  dilakukan  individu  dalam  upaya  memenuhi  kebutuhan
atau  keinginannya  atas  suatu  produkjasa  dengan  melakukan  pemilihan
57
M. Taufiq Amir, Dinamika Pemasaran: Jelajahi dan Rasakan, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2005, h. 47.
58
Husein Umar, Riset Pemasaran dan Perilaku Konsumen, Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama, 2000,  h.245.
alternatif  yang tersedia dan proses  ini  berlaku untuk pembelian ulangan atau
kelanjutan. 2.
Faktor-faktor  Yang  Mempengaruhi  Perilaku  Konsumen  dalam Keputusan Membeli
59
a.  Faktor Budaya Faktor  budaya  mempunyai  pengaruh  yang  paling  luas  dan  paling
dalam  terhadap  perilaku  konsumen.  Produsen  harus  memahami  peran yang  dimainkan  oleh  kultur  dan  kelas  sosial  pembeli.  Sub  kultur  terdiri
dari  kebangsaan,  agama,  ras  dan  daerah  geografis.  Kelas  adalah pembagian  masalah  yang  relatif  homogen  dan  permanen,  yang  tersusun
secara  hirarkis  dan  anggotanya  menganut  nilai-nilai,  minat  dan  perilaku yang serupa.
Untuk  itulah  produsen  yang  kreatif  hendaknya  selalu  mencoba menempatkan  pergeseran  budaya  dalam  rangka  menyesuaikan  atau
bahkan  menghayalkan  produkjasa  baru  yang  diinginkan  oleh  para konsumen.
b.  Faktor Sosial Faktor  sosial  terdiri  dari  adanya  faktor  kelompok  kecil,  keluarga,
peran dan status sosial konsumen. Hal ini dikarenakan perilaku seseorang dapat  dipengaruhi  oleh  kelompok-kelompok,  baik  itu  kelompok
59
Philip  Kottler  dan  Gary  Amstrong,  Dasar-dasar  Pemasaran,  Jakarta:  Intermedia,  1992, h.239.
keanggotaan  yakni  yang  memiliki  pengaruh  langsung  pada  perilaku seseorang dan orang itu termasuk di dalamnya, kelompok referensiacuan
yaitu  yang  memiliki  pengaruh  langsung  atau  tidak  langsung  pada  sikap atau perilaku seseorang, dan kelompok aspirasional  yaitu kelompok  yang
ingin dimasuki oleh seseorang. c.  Faktor Pribadi
Merupakan  pengaruh  dari  karakteristik  pribadi  pembeli  seperti: usia  dan  tahap  daur  hidup,  kepribadian  dan  konsep  dari  pembeli.
Kebutuhan  seseorang  akan  barang  dan  jasa  tentu  saja  akan  berubah menyesuaikan  dengan  usia  dan  tahapan  daur  hidupnya.  Masa-masa
pergantian  dari  bayi,  balita,  remaja,  dewasa  dan  tua  akan  menentukan perilaku pembelian seseorang akan suatu produkjasa.
d.  Faktor Psikologis Faktor psikologis yang berpengaruh antara lain: motivasi, persepsi,
pembelajaran, sikap dan integrasi. Motivasi Motivation merupakan suatu dorongan yang ada dalam
diri manusia untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam hal motivasi, terdapat urutan  kepentingan  yang  dibutuhkan  seseorang  yaitu:  kebutuhan
psikologis, keamanan, sosial, penghargaan dan aktualisasi diri. Seseorang akan berusaha memuaskan kebutuhan yang paling penting, setelah itu baru
kebutuhan berikutnya.
Persepsi Perception adalah sebuah proses yang dengan proses itu orang-orang  memilih,  mengorganisasi  dan  menginterpretasi  informasi
untuk  membentuk  gambaran  dunia  yang  penuh  arti.  Persepsi  merupakan hasil  pemaknaan  seseorang  terhadap  stimulus  atau  kejadian  yang
diterimanya  berdasarkan  informasi  dan  pengalamannya  terhadap rangsangan tersebut.
Pembelajaran  Learning  merupakan  proses  yang  menjelaskan perubahan-perubahan  dalam  perilaku  individual  yang  muncul  dari
pengalaman.  Pembelajaran  terjadi  melalui  dorongan,  rangsangan, petunjuk,  tanggapan  dan  penguatan  kembali  yang  saling  mempengaruhi.
Pembelajan dilakukan seseorang setelah membeli  produk tersebut dengan melihat  apakah  produk  tersebut  memiliki  kegunaan  dan  akan  dijadikan
sebagai referensi. Sikap  menggambarkan  tentang  suatu  evaluasi,  perasaan  dan
kecenderungan  seseorang  yang  secara  relatif  konsisten  terhadap  suatu objek atau gagasan, karena sikap yang dimiliki seseorang tentang sesuatu.
Produsen  hendaknya  memperhatikan  kepercayaan  akan  meningkatkan citra  produkjasa  dan  orang-orang  cenderung  bertindak  sesuai  dengan
kepercayaan mereka.
Integrasi  Integration,  merupakan  kesatuan  antara  sikap  dan tindakan.  Integrasi  merupakan  respon  atas  sikap  yang  diambil.  Perasaan
suka  akan  mendorong  seseorang  untuk  membeli  dan  perasaan  tidak  suka akan  membulatkan  tekad  seseorang  untuk  tidak  membeli  produk
tersebut.
60
3. Tahap-tahap Proses Membeli Konsumen
61
Ada lima tahap yang dilalui konsumen dalam proses pembelian, yaitu pengenalan  masalah,  pencarian  informasi,  evaluasi  alternatif,  keputusan
pembelian dan perilaku pasca pembelian.
Tabel 3.1Model lima tahap prosespembelian
a.  Pengenalan Masalah Proses dimulai pada saat pembeli  menyadari adanya masalah atau
kebutuhan  pembelian.  Pembeli  merasakan  adanya  perbedaan  antara keadaan  yang  nyata  dan  keadaan  yang  diinginkan.  Kebutuhan  ini
disebabkan  oleh  adanya  rangsangan  internal  maupun  eksternal  dari pengalaman  sebelumnya.  Orang  yang  telah  belajar  bagaimana  mengatasi
dorongan  ini  dan  dimotivasi  ke  arah  produk  yang  diketahuinya  akan memuaskan dorongan ini. Konsumen akan membeli suatu produk sebagai
60
Ibid,, h. 240.
61
Bilson Simamora, Memenangkan Pasar dengan Pemasaran Efektif dan Profitabel, Jakarta: PT Gramedia Utama, 2001, h. 94.
Pengenalan Masalah
Pencarian Informasi
Evaluasi Alternatif
Keputusan Membeli
Perilaku Pasca Membeli
solusi  atas  permasalahan  yang  dihadapinya.  Tanpa  adanya  pengenalan masalah  yang  muncul,  konsumen  tidak  dapat  menentukan  produk  yang
akan dibeli.
62
b.   Pencarian Informasi Seorang  konsumen  yang  terdorong  kebutuhannya  mungkin
mencari  atau  mungkin  juga  tidak  mencari  informasi  lebih  lanjut.  Jika dorongan  konsumen  kuat  dan  produkjasa  itu  ada  di  dekatnya,  mungkin
konsumen  akan  langsung  membelinya.  Jika  tidak,  maka  kebutuhan konsumen ini hanya akan menjadi ingatan saja.
Pencarian  informasi  digolongkan  ke  dalam  dua  jenis,  yaitu pencarian  informasi  karena  perhatian  yang  meningkat,  yang  ditandai
dengan  pencarian  informasi  yang  sedang-sedang  saja  dan  pencarian informasi  dari  segala  sumber.  Proses  pencarian  informasi  dapat  berasal
dari  dalam  memori  internal  dan  dari  bertanya  kepada  orang  lain eksternal.
c.   Evaluasi Alternatif Setelah  konsumen  mendapat  berbagai  macam  informasi,
konsumen akan mengevaluasi alternative apa yang tepat untuk mengatasi permasalahan yang dihadapinya.
62
Duncan, Tom. 2005. Principles of Advertising  IMC, Second Edition. McGraw-Hill, Inc.,  Bab 5.
Evaluasi  alternatif  merupakan  tahapan  di  mana  konsumen memperoleh  informasi tentang suatu objek dan  membuat penilaian  akhir.
Pada  tahap  ini  konsumen  menyempitkan  pilihan  hingga  alternatif  yang dipilih  berdasarkan  besarnya  kesesuaian  antara  manfaat  yang  diinginkan
dengan yang bisa diberikan oleh pilihan produk yang tersedia. Adapun  proses  evaluasi  bisa  dijelaskan  asumsi-asumsi  sebagai
berikut: 1  Diasumsikan
bahwa konsumen
melihat produkjasa
sebagai sekumpulan atribut.
2  Tingkat  kepentingan  atribut  berbeda-beda  sesuai  dengan  kebutuhan dan  keinginan  masing-masing.  Konsumen  memilki  penekanan  yang
berbeda-beda  dalam  menilai  atribut  apa  yang  paling  penting. Konsumen  yang  daya  belinya  terbatas,  kemungkinan  besar  sekali
memperhatikan atribut harga sebagai yang utama. 3  Konsumen  mengembangkan  sejumlah  kepercayaan  tentang  letak
produk.  Sejumlah  kepercayaan  mengenai  merek  tertentu  disebut “Brand  Image”.  Misalnya,  sejumlah  kepercayaan  mengenai  susu
Dancow instant adalah rasa enak, harga terjangkau dan mutu terjamin. 4  Tingkat  kepuasan  konsumen  terhadap  produkjasa  akan  beragam
sesuai  dengan  perbedaan  atribut.  Misalnya,  seseorang  menginginkan besarnya  gambar  dari  televisi.  Maka,  kepuasan  tertinggi  akan
diperoleh dari televisi paling besar dan kepuasan terendah dari televisi paling  kecil.  Dengan  kata  lain,  semakin  besar  ukuran  televisi,  maka
kepuasannya juga semakin besar. 5  Konsumen  akan  sampai  pada  sikap  terhadap  merek  yang  berbeda
melalui prosedur evaluasi. d.   Keputusan Pembelian
Setelah konsumen mengevaluasi beberapa alternatif strategis yang ada,  konsumen  akan  membuat  keputusan  pembelian.  Keputusan
pembelian  merupakan  tahapan  di  mana  konsumen  telah  memiliki  pilihan dan siap melakukan transaksi pembelian atau pertukaran antara uang atau
janji  untuk  membayar  dengan  hak  kepemilikan  atau  penggunaan  suatu barang dan jasa.
Terkadang  waktu  yang  dibutuhkan  antara  membuat  keputusan pembelian  dengan  menciptakan  pembelian  yang  aktual  tidak  sama
dikarenakan  adanya  hal-hal  lain  yang  perlu  dipertimbangkan.  Setelah keputusan diambil maka pembeli akan menjumpai serangkaian keputusan
menyangkut jenis produkjasa, merek, penjual, kualitas, waktu pembelian dan cara pembayaran.
e.  Perilaku Pasca Pembelian Perilaku  pasca  pembelian  merupakan  proses  evaluasi  yang
dilakukan  konsumen  yang  tidak  hanya  berakhir  pada  tahap  pembuatan
keputusan  pembelian.  Pada  tahapan  ini  konsumen  akan  mengalami  dua kemungkinan  yaitu  kepuasan  dan  ketidak-puasan  terhadap  pilihan  yang
diambilnya.  Setelah  membeli  suatu  produk,  konsumen  akan  melakukan evaluasi apakah produk tersebut sesuai dengan harapannya. Dalam hal ini,
terjadi kepuasan dan ketidakpuasan konsumen. Konsumen akan puas jika produk  tersebut  sesuai  dengan  harapannya  dan  selanjutnya  akan
meningkatkan  permintaan  akan  produk  tersebut  di  masa  depan. Sebaliknya, konsumen akan  merasa tidak puas  jika produk tersebut tidak
sesuai  dengan  harapannya  dan  hal  ini  akan  menurunkan  permintaan konsumen di masa depan.
63
4. Model Perilaku Pembelian
64
Tabel 3.2Perilaku Pembelian Konsumen
63
Ibid., h.95.
64
Ibid., h.99.
Stimuli Stimuli
Pemasaran            Lain Produk              Ekonomi
Harga
Teknologi Tempat             Tempat
Promosi            Promosi Karakteristik        Proses
Pembeli               Keputusan Pembelian
Budaya             Pengenaan Masalah
Sosial Pribadi              Pencarian
Informasi Psikologis
Evaluasi Alternatif
Keputusan pembelian
Perilaku  pasca pembelian
Keputusan Pembelian
Pilihan Produk Pilihan Merek
Pilihan Tempat Pilihan Waktu
Pilihan Jumlah
5. Peran individu dalam keputusan pembelian
65
Kita dapat membedakan lima peran yang dimainkan orang dalam keputusan pembelian yang sesuai dengan pendapat yang diutamakan oleh
Kottler: a.  Pencetus;  seseorang  yang  pertama  kali  mengusulkan  gagasan  untuk
membeli suatu produkjasa. b.  Pemberi
pengarah; seseorang
yang pandangan
atau sarannya
mempengaruhi keputusan. c.  Pengambilan  keputusan;  seseorang  yang  mengambil  keputusan  untuk
setiap  komponen  apakah  membeli,  tidak  membeli,  bagaimana  membeli dan di mana akan membeli.
d.  Pembeli; orang yang melakukan pembelian yang sesungguhnya. e.  Pemakai;  seseorang  yang  mengkonsumsi  atau  menggunakan  produkjasa
yang bersangkutan.
65
Ibid., h.243.
56
BAB IV ANALISA HASIL PENELITIAN
A. Gambaran Umum Responden
Gambaran  umum  responden  penelitian  akan  diuraikan  secara  deskriptif  dan dibantu dengan penyajian dalam bentuk tabel dari jumlah responden dengan membagi
ke  dalam  beberapa  tabel  yaitu  kelompok  usia,  konsentrasi,  semester,  apakah responden  menggunakan  kosmetik,  apakah  responden  mengetahui  kosmetik  halal,
apakah  label  halal  pada  kosmetik  itu  penting.  Uraian  data  responden  ini  diharapkan dapat memberikan gambaran yang cukup jelas tentang kondisi responden.
1.  Responden Berdasarkan usia
Tabel 4.1Responden Berdasarkan usia
usia Frekuensi
Persentase 15-20
52 orang 65
21-25 28 orang
35 Total
80 orang 100
Sumber: Data diolah
Dari  table  4.1  di  atas,  dapat  dilihat  bahwa  responden  terbanyak  adalah mereka  yang  berada  pada  usia  15-20  tahun  yaitu  sebanyak  52  orang  65
dan pada usia 21-25 tahun sebanyak 28 orang 35. Data  ini  menunjukkan bahwa mayoritas responden adalah yang berada pada usia 15-20 tahun.
2.  Responden Berdasarkan Konsentrasi
Tabel 4.2Responden Berdasarkan Konsentrasi
Konsentrasi Frekuensi
Persentase Perbankan Syariah
36 orang 45
Takaful 24 orang
30 Ziswaf
20 orang 25
Total 80 orang
100
Dari  tabel  4.2  di  atas,  dapat  dilihat  bahwa  usia  responden  terbanyak adalah  pada  konsentrasi  Perbankan  Syariah  yaitu  sebanyak  36  responden
45,  lalu  Takaful  sebanyak  24  responden  30  dan  Ziswaf  sebanyak  20 responden 25.
3.  Responden Berdasarkan Semester
Tabel 4.3Responden Berdasarkan Semester
Semester Frekuensi
Persentase III
29 orang 36,25
V 26 orang
32,5 VII
25 orang 31,25
Total 80 orang
100
Sumber: Data diolah
Dari tabel 4.3 di atas, dapat dilihat bahwa tingkat semester responden terbanyak  adalah  semester  III  yaitu  sebanyak  29  responden  36,25,  lalu
semester  V  sebanyak  26  responden  32,5  dan  semester  VII  sebanyak  25 responden  31,25.  Data  ini  menunjukkan  bahwa  mayoritas  responden
adalah mahasiswi pada semester III. 4.  Responden Berdasarkan Isu Terkait
a.  Isu Pengguna Kosmetik
Tabel 4.4Responden Berdasarkan yang Menggunakan Kosmetik Menggunakan Kosmetik
Frekuensi Persentase
Ya 80 orang
100 Tidak
0  orang Total
80 orang 100
Sumber: Data diolah
Dari tabel 4.4 di atas, dapat dilihat bahwa keseluruhan responden yaitu sebanyak 80 responden 100 telah menggunakan kosmetik.
b.  Pengetahuan Tentang Kosmetik Berlabel Halal
Tabel 4.5Responden Berdasarkan yang Mengetahui Kosmetik Berlabel Halal Mengetahui Kosmetik
Berlabel Halal Frekuensi
Persentase Ya
66 orang 82,5
Tidak 14 orang
17,5 Total
80 orang 100
Sumber: Data diolah
Dari tabel 4.5 di atas, dapat dilihat bahwa responden yang mengetahui kosmetik  berlabel  halal  sebanyak  sebanyak  66  responden  82,5,  dan  yang
tidak  mengetahui  kosmetik  berlabel  halal  sebanyak  14  responden  17,5. Data ini menunjukkan bahwa mayoritas responden mengetahui kosmetik yang
berlabel halal.
c.  Pandangan Terhadap Penting Atau Tidaknya Label Kosmetik
Tabel 4.6Responden Berdasarkan Tentang Apakah Kosmetik Berlabel Halal Penting Apakah Kosmetik Berlabel
Halal Penting Frekuensi
Persentase Ya
75 orang 93,75
Tidak 5  orang
6,25 Total
80 orang 100
Sumber: Data diolah
Dari  tabel  4.6  di  atas,  dapat  dilihat  bahwa  responden  yang menganggap  kosmetik  yang  berlabel  halal  itu  penting  yaitu  sebanyak  75
responden  93,75,  dan  yang  tidak  menganggap  kosmetik  yang  tidak berlabel  halal  itu  penting  yaitu  sebanyak  5  responden  6,25.  Data  ini
menunjukkan bahwa mayoritas responden menganggap bahwa kosmetik yang berlabel halal itu penting.
B. Statistik Deskriptif