Teori Bahasa Betawi LANDASAN TEORI 1. Teori Interferensi

bahasa keagamaan, bukan bahasa keagamaan yang memiliki makna terbatas. Sebagai kesimpulan dapat dikatakan bahwa di satu pihak bahasa Betawi masih ada dalam pengertian yang sesungguhnya, meskipun sumbernya yang di kota, yaitu konteks sosialnya, semakin kering. 20 Oleh karena itu, pemertahanan bahasa betawi diperlukan untuk melestarikan bahasa Betawi agar tidak kehilangan penutur aslinya. Ciri-ciri bahasa Betawi a. Orang Betawi menunjukkan kekhasan dengan banyak mengucapkan kata berfonem a menjadi e, fonem u menjadi o, fonem o menjadi u. Tabel 1 Ciri fonologi bahasa Betawi Kata dalam bahasa Indonesia Fonem a menjadi e Fonem u menjadi o Fonem o menjadi u apa ape rabu rebo rebo roti ruti mobil mubil b. Bahasa Betawi tidak mengenal vokal rangkap atau diftong ai dan au. Kata yang dalam bahasa Indonesia diucapkan dengan diftong e dan o dalam bahasa Betawi. Contohnya kata „cerai‟, „rantai‟, „tembakau‟, „pulau‟, diucapkan sebagai cere, rante, tembako, pulo. 20 C.D. Grijns. Kajian Bahasa Melayu – Betawi. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1991, h. 262 c. Kata-kata yang berakhiran maupun pertengahan konsonan „h‟ dalam bahasa Indonesia, dalam bahasa Betawi diucapkan tanpa „h‟. Bahasa Betawi banyak menghilangkan konsonan „h‟ pada kata kerja, kata sifat, kata bilangan, bahkan nama orang. Contohnya kata „salah‟, „marah‟, „pohon‟, „pahit‟, „jahit‟, „dua puluh‟, „Fatimah‟ menjadi sale, mare, dare, puun, pait, jait, dua pulu, Fatime. 21 d. Awalan kata kerja prenasal Kata kerja dalam bahasa Betawi hanya berupa nasal yang mengawali bentuk dasar. Kata kerja seperti „pukul‟, „bakar‟, „ganggu‟ menjadi mukul, mbakar, ngganggu ketika menjadi kata kerja yang sejajar dengan kata kerja dalam bahasa Indonesia, yakni „memukul‟, „membakar‟, „mengganggu‟. e. Awalan ber- Hampir dalam bentuk dasar tidak pernah muncul utuh „ber-„. Contohnya kata „berbisik‟, „berjalan‟, „berjanji‟ dalam bahasa Betawi menjadi bebisik, bejalan, bejanji. f. Akhiran –in Dalam bahasa Indonesia sufiks –i dan –kan berubah menjadi akhiran –in dalam bahasa Betawi. Contohnya kata „gulai‟, „datangi‟, 21 Contoh lain dapat dilihat di Bundari. Kamus Bahasa Betawi – Indonesia Dengan Contoh Kalimat. Jakarta: sinar Harapan, 2003 „ambilkan‟, „pasangkan‟, dalam bahasa Betawi menjadi gulain, datengin, ambilin, pasangin. Sama halnya dengan sufiks –i dan –kan, konfiks me-i dan me-kan dalam bahasa Indonesia digantikan keberadaannya dengan ng-in. Misalnya kata „mewarisi‟, „menghormati‟, „menjualkan‟, dalam bahasa Betawi menjadi ngewarisin, ngehormatin, ngejualin. g. Akhiran –an Dalam bahasa Betawi akhiran –an menyatakan lebih. Misalnya kata banyakan, tinggian, baikan, dalam bahasa Indonesia berarti „lebih banyak ‟, „lebih tinggi‟, „lebih baik‟. h. Bentuk kata ulang Dalam bahasa Betawi bentuk kata ulang dalam bahasa Indonesia „makan secara berkelanjutan‟, „tersengguk-sengguk‟, „menggaruk secara berkelanjutan ‟, „memberes-bereskan‟, menjadi gegares, sesenggukan, gegarukan, bebenah. i. Awalan maen dan keje Frasa kata kerja dalam bahasa Betawi sangatlah khas, misalnya maen pukul, maen ambil, maen tendang. Dalam bahasa Indonesia frasa tersebut dapat diartikan melakukan pekerjaan secara sembarangan, semaunya sendiri. Sedangkan frasa keje dalam bahasa betawi berarti „membuat‟ atau „menyebabkan‟. Misalnya keje mare, keje nangis, keje mati, yang dalam bahasa Indonesia berarti „menyebabkan marah ‟, „menyebabkan nangis‟, „menyebabkan mati‟.

4. Teori Karangan

Karangan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia tahun 2008 adalah hasil mengarang menyusun, merangkai. Karangan berarti merupakan hasil dari proses mengarang, baik dalam menyusun maupun merangkai. Sesuai pembahasan, mengarang di sini dapat diartikan menyusun atau merangkai kata-kata hingga menjadi suatu kalimat, paragraf, bahkan cerita. Wibowo menyebutkan bahwa karang-mengarang adalah suatu penyampaian pikiran secara resmi atau teratur dalam tulisan, karena disampaikan secara resmi atau teratur, berarti karang-mengarang memiliki mekanisme yang mau tak mau, mesti kita pahami secara sungguh- sungguh. 22 Karang-mengarang di sini merupakan proses penyampaian ide pikiran dari pengarang. Proses penyampaian ide tersebut dilakukan dalam bentuk tulisan secara teratur hingga menjadi sebuah karangan. Karangan itulah yang dapat mewakili ide pikiran dan perasaan dari pengarang. Menurut Lado dalam Wibowo, mengarang adalah menurunkan atau melukiskan lambang-lambang grafik yang menggambarkan suatu bahasa yang dipahami oleh seseorang, sehingga orang lain dapat membaca lambang-lambang grafik tersebut asalkan mereka memahami bahasa dan 22 Wahyu Wibowo. Manajemen Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003, h. 56 gambaran grafik itu. 23 Selain karangan dapat menerangkan ide pikiran pengarang, karangan juga dapat menggambarkan suatu hal yang ingin disampaikan pengarang, baik itu berupa gambar, grafik, tragedi, dll, sehingga karangan juga dapat mewakili pengarang dalam hal apapun. Jadi, karangan adalah hasil dari sebuah penyampaian pikiran dan gagasan secara resmi dan teratur dalam bentuk tulisan agar orang lain dapat membaca dan memahami apa yang dilukiskan seseorang dalam sebuah tulisan. Ada tiga tujuan mengarang, yakni: untuk tujuan komunikasi, tujuan ilmiah, dan untuk tujuan kesenangan. 24 Tujuan mengarang sebagai komunikasi salah satunya surat-menyurat, baik resmi maupun tidak resmi. Tujuan ilmiah dari mengarang dapat berbentuk resume, laporan, skripsi, dsb. Sedangkan dalam tujuan kesenangan, dapat berbentuk syair, pantun, dongeng, novel, dsb. Susunan karangan dapat bersifat menceritakan narasi, melukiskan deskripsi, memaparkan eksposisi, meyakinkan atau mempengaruhi sikap pembaca argumentasi, mengajak pembaca persuasif. Karangan dalam penelitian ini dibatasi dalam jenis karangan narasi, yakni menceritakan sesuatu hal atau peristiwa.

5. Teori Karangan Narasi

Menurut Keraf, narasi adalah suatu bentuk wacana yang berusaha menggambarkan dengan sejelas-jelasnya kepada pembaca suatu peristiwa 23 Ibid, h. 56 24 Sudarno dan Eman A. Rahman. Kemampuan Berbahasa Indonesia. Jakarta: Hikmat Syahid Indah, 1986, h. 98 yang terjadi. 25 Jadi, narasi berusaha menjawab pertanyaan “apa yang terjadi?”. Pertanyaan tersebut digambarkan secara lengkap dengan urutan peristiwa berdasarkan waktu dan tempat. Sedangkan menurut Sudarno dan Rahman, narasi adalah paragraf yang mengisahkan, menceritakan pengalaman, peristiwa beserta para tokohnya, dan biasa disampaikan menurut urutan kejadian kronologis. 26 Dapat dikatakan narasi adalah gambaran kejadian yang berupaya menceritakan kepada pembaca secara lengkap. Gambaran kejadian yang diberikan pengarang kepada pembaca untuk memberikan informasi, baik secara tersirat, maupun tersurat. Maka dari itu, narasi dapat berisi fiksi dapat berisi nonfiksi. Pengertian narasi lebih ringkas diungkapkan Marahimin, yakni narasi adalah cerita berdasarkan alur. 27 Sejalan dengan pendapat tersebut, Fitriyah dan Gani berpendapat bahwa narasi artinya cerita. 28 Dapat dikatakan kalau narasi merupakan bentuk cerita yang berdasarkan rangkaian cerita. Rangkaian jalannya cerita tidak hanya dengan satu rangkaian saja, mungkin bisa dua atau lebih. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam narasi adalah: 1 biasanya cerita disampaikan secara kronologis; 2 mengandung plot atau rangkaian peristiwa; dan 3 ada tokoh yang menceritakan, baik manusia maupun bukan. 29 Jadi, di dalam 25 Gorys Keraf. Argumentasi dan Narasi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1982, h. 136 26 Sudarno dan Eman A. Rahman. Kemampuan Berbahasa Indonesia. Jakarta: Hikmat Syahid Indah, 1986, h. 172 27 Ismail Marahimin. Menulis Secara Populer. Jakarta: Pustaka Jaya, 2010, h. 96 28 Mahmudah Fitriyah dan Ramlan Abdul Gani. Pembinaan Bahasa Indonesia. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2007, h. 135 29 Muhammad Rohmadi dan Aninditya Sri Nugraheni. Belajar Bahasa Indonesia: Upaya Terampil Berbicara dan Menulis Karya Ilmiah. Surakarta: Cakrawala Media, 2011, h. 81 narasi terdapat kejadian, kejadian itu ada pula tokoh yang menghadapi suatu konflik. Ketiga unsur berupa kejadian, tokoh, dan konflik merupakan unsur pokok sebuah narasi. Jika ketiga unsur itu bersatu, ketiga unsur itu disebut plot atau alur. Jadi, narasi adalah cerita yang dipaparkan berdasarkan plot atau alur. Clouse mengemukakan pernyataan mengenai narasi lebih lengkap: Bagian-bagian narasi disusun dalam urutan kronologis. Biasanya, kamu memulainya dengan apa yang terjadi pertama, berlanjut pada apa yang terjadi berikutnya, dan seterusnya. Namun, kamu juga dapat memulai peristiwa pada akhir dan kemudian kembali pada peristiwa pertama dan mulai pada urutan kronologis dari peristiwa tersebut. Demikian pula, kamu juga dapat memulai peristiwa pada suatu tempat pada pertengahan cerita dan kemudian kembali ke awal cerita. 30 Berdasarkan pendapat di atas, sebuah cerita pasti memiliki alur dari awal kronologi kejadian sampai akhir kejadian. Alur tersebut wujudnya bervariasi, ada alur maju, alur mundur, dan alur maju dan mundur. Berdasarkan pendapat berbagai ahli, dapat disimpulkan bahwa narasi adalah paragraf berbentuk cerita yang berusaha menggambarkan suatu peristiwa yang terjadi sesuai alur atau plot, seolah-olah pembaca melihat dan mengalami peristiwa tersebut. Keraf membedakan narasi atas narasi ekspositoris dan narasi sugestif. Narasi ekspositoris pertama-tama bertujuan untuk menggugah pikiran para pembaca untuk mengetahui apa yang dikisahkan. 31 Narasi 30 Barbara Fine Clouse. The Student Writer Editor and Critic. New York: McGraw-Hill, 2004, h. 177 31 Gorys Keraf. Argumentasi dan Narasi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1982, h. 136