BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI
A. TINJAUAN PUSTAKA
Berkenaan dengan hasil penelitian tim survei pembinaan dan pengembangan bahasa dari Depdikbud, Yayah B. Lumintaintang 1981 yang
berjudul “Pemakaian Bahasa Indonesia dan Dialek Jakarta Di SMA Jakarta”
diperoleh data bahwa masih terdapat pemakaian dialek Jakarta di SMA Jakarta baik antarsesama guru, antara guru dengan murid, antara murid dengan guru,
maupun antarsesama murid. Berdasarkan penelitian tersebut, murid lebih suka memakai dialek Jakarta dari pada bahasa Indonesia. Ini berarti merupakan
suatu pemilihan dalam berbahasa yang dilakukan masyarakat dwibahasawan. Penelitian lain dari Depdiknas mengenai interferensi, Siti Komariyah
2008 yang berjudul “Interferensi Bahasa Inggris dalam Bahasa Indonesia pada
Surat Kabar Di Surabaya” menyatakan bahwa terdapat interferensi bahasa Inggris dalam bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa yang tidak sesuai,
baik tulis maupun lisan khususnya dalam dunia pendidikan bukan sekedar masalah kecil dalam dunia kebahasaan Indonesia. Fakta tersebut sangatlah
rentan terhadap pelanggaran dalam berbahasa yang kita sebut interferensi. Interferensi harus ditangani sedini mungkin, terutama dalam dunia
pendidikan. Interferensi merupakan pelanggaran berbahasa yang berakibat merusak bahasa Indonesia. Cara mencegah penyebaran interferensi adalah
dengan melakukan penelitian mengenai interferensi yang terjadi dalam dunia
pendidikan dan memperbaikinya sedini mungkin. Berdasarkan tinjauan pustaka yang penulis dapatkan, penelitian mengenai interferensi bukan hanya
kali ini saja dilakukan, melainkan sudah banyak penelitian yang membahas mengenai interferensi. Adanya penelitian tersebut, belum cukup bagi penulis
untuk menjawab persoalan yang terjadi dalam dunia pendidikan. Seperti penelitian Yarlis Safitri 2002 yang berjudul Interferensi Fonologis dan
Morfologis Dialek Jakarta dalam Berpidato SISWA SLTPN 104 Jakarta Selatan, yang menyimpulkan bahwa ada 27,84 kalimat yang terinterferensi
fonologis dan morfologis dalam berpidato pada siswa SLTPN 104 dan 72,16 kalimat yang tidak mengandung interferensi fonologis dan morfologis.
Penelitian Sugeng Nuryadi 2002 yang berjudul Interferensi Leksikal dialek Jakarta dalam Karangan Siswa Kelas 6 SD Di Kelurahan Petir
Kecamatan Cipondoh Tangerang, juga menyimpulkan bahwa terdapat interferensi leksikal dialek Jakarta pada karangan siswa kelas 6 SD Kelurahan
Petir. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa adanya interferensi dalam karangan siswa sebanyak 56,66 dan karangan yang tidak terinterferensi
sebanyak 43,33. Sedangkan penelitian Karjaya 1990 yang berjudul Interferensi
Morfologi dalam Penggunaan Bahasa Indonesia oleh Murid Sekolah Dasar Di Cirebon yang Berbahasa Pertama Bahasa Jawa Cirebon, juga menyimpulkan
bahwa interferensi morfologi interferensi morfologi bentuk kata, afiks, dan pengulangan terdapat pada penggunaan bahasa Indonesia berbentuk tulisan
pada Sekolah Dasar yang berbahasa pertama bahasa Jawa Cirebon. Hampir
serupa dengan penelitian tersebut, penelitian Zainal tahun 1991 tentang kesalahan berbahasa tulis siswa yang berlatar belakang bahasa Bawean dalam
berbahasa Indonesia terdapat presentase yang cukup besar, yakni 78,13. Kesalahan pada kategori ejaan adalah 46,62, sedangkan pada kategori
sintaksis adalah 37,51, dan kesalahan pada kategori morfologi adalah 15,87.
Berdasarkan tinjauan pustaka yang didapat, peneliti belum mendapati interferensi bahasa Betawi dalam karangan narasi siswa. Maka dari itu peneliti
ingin mengetahui atau melihat bentuk-bentuk interferensi bahasa Betawi pada siswa SMK Miftahul Falah. Penelitian ini merupakan penelitian terkini yang
berusaha memperkaya khaznah penelitian tentang interferensi dalam aspek morfologi. Dengan demikian hasilnya diharapkan dapat meningkatkan kualitas
pembelajaran bahasa Indonesia, khususnya bidang sosiolinguistik.
B. LANDASAN TEORI 1. Teori Interferensi
Sejumlah pakar sosiolinguistik mengungkap, pada dasarnya interferensi adalah pengacauan bahasa yang terjadi dalam diri orang yang
berbilingual atau lebih.
1
Bahasa yang dipakai oleh penutur bilingual adalah bahasa pertama, yakni bahasa ibu B1 dan bahasa kedua, yakni bahasa
ajaran B2. Sama halnya pula dengan penutur multilingual, ia memiliki bahasa ibu B1, bahasa ajaran pertama B2, bahasa ajaran kedua B3, dan
1
Wahyu Wibowo. Manajemen Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003, h. 11
mungkin bahasa ajaran ketiga B4, bahasa ajaran keempat B5, dan seterusnya. Bahasa Indonesia ada kalanya sebagai B1 dan adakalanya
sebagai B2. Ketika satu keluarga yang berlatar belakang bahasa Betawi ingin menggunakan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi, maka bahasa
Betawi adalah B1 bahasa ibu dan bahasa Indonesia sebagai B2 bahasa ajaran. Lain halnya ketika orang Indonesia yang menetap di Negara
Inggris, ketika ia ingin menggunakan bahasa Inggris saat bertutur, kedudukan bahasa Indonesia sebagai B1 bahasa ibu dan bahasa Inggris
sebagai B2 bahasa ajaran. Seseorang yang memiliki dua bahasa bilingual dan banyak bahasa multilingual berkesempatan untuk memilih bahasa
dalam bertutur. Pemilihan bahasa mereka lakukan atas dasar psikologis diri mereka masing-masing. Sedangkan penutur yang memiliki satu bahasa saja
monolingual tidak memiliki kesempatan untuk memilih bahasa dalam bertutur.
Contoh penyebab terjadinya multilingual pada Kalala yang disebabkan karena faktor lingkungan.
Kalala berumur 16 tahun. Dia tinggal di Bukavu, sebuah kota di Afrika di Timur Zaire dengan populasi 220.000 jiwa. Itu adalah
suatu Negara dengan banyak budaya dan bahasa dan lebih banyak orang yang datang dan pergi untuk bekerja dan alasan bisnis dari
pada orang-orang yang tinggal menetap di sana. Lebih dari empat puluh kelompok berbicara dengan bahasa yang berbeda dapat
ditemukan di kota ini. Kalala seperti teman-temannya yang lain adalah pengangguran. Dia menghabiskan hari-harinya berkelana di
jalan, kadang kala singgah di tempat-tempat yang biasa orang temui seperti di pasar, di taman, atau di tempat temannya. Selama dalam