Interferensi bahasa Betawi pada karangan narasi siswa kelas XI (SMK) Miftahul Falah Ciputat-Kebayoran Lama Jakarta Selatan

(1)

INTERFERENSI BAHASA BETAWI PADA

KARANGAN NARASI SISWA KELAS XI SEKOLAH

MENENGAH KEJURUAN (SMK) MIFTAHUL FALAH

CIPULIR

KEBAYORAN LAMA JAKARTA

SELATAN

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)

Disusun oleh: Lieza Yanti Fikrulloh

107013003242

JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 2011


(2)

LEMBAR PERSEMBAHAN

Karya: Icha Ini hanya sekelumat perjalanan yang tak bermuara

Membawaku terbang melepasnya Menjemputku di kehidupan baru Begitu jauh

Sepi , semu, suram

Aku bahkan tak menatapnya

Bagaimana wujudnya, bentuknya, pikirannya Sesak nafasku melihatnya

Terlihat kau, kau, kau…

Tersenyum, tertawa, bahkan menangis bahagia Hadapi dengan senyuman

Jurang yang terjal

Menjadi taman persahabatan Terima kasih kawan

Rinduku selalu bersamamu

Teruntuk: Mahasiswa PBSI IX-B


(3)

(4)

ABSTRAK

Lieza Yanti Fikrulloh.107013003242. Interferensi Bahasa Betawi pada Karangan Narasi Siswa Kelas XI SMK Miftahul Falah. Skripsi. Jakarta: Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui interferensi morfologis bahasa Betawi pada karangan narasi siswa kelas XI SMK Miftahul Falah di kelurahan Cipulir, kecamatan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, yang berlatar belakang bahasa Betawi. Penelitian ini dilakukan di SMK Miftahul Falah pada bulan Agustus sampai dengan September 2011.

Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Instrumen dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri dibantu dengan tabel interferensi morfologis dan tabel jumlah interferensi morfologis. Penelitian menggunakan teknik analisis data, yakni karangan dianalisis dengan memperhatikan tiap-tiap kata. Kata yang menunjukkan adanya gejala interferensi morfologis digarisbawahi dan dicatat, selanjutnya kata-kata tersebut dicek kebenaranya dengan menggunakan kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat.

Hasil penelitian menyatakan bahwa sebagian siswa yang dijadikan objek penelitian melakukan interferensi morfologis bahasa Betawi dalam karangannya. Adapun bentuk-bentuk interferensi yang terdapat pada karangan adalah bentuk kata dan imbuhan (afiks). Bentuk imbuhan yang terinterferensi adalah bentuk prefiks, sufiks, dan konfiks, sedangkan interferensi pada bentuk infiks tidak dijumpai. Dari ketiga kategori afiks yang terdapat interferensi, konfiks lebih banyak terinterferensi daripada prefiks dan sufiks. Dari 45 buah karangan yang dianalisis, terdapat 33 karangan atau 73,30% yang terinterferensi dan yang tidak terinterferensi sebanyak 12 karangan atau 26,70%. Berdasarkan hasil penelitian, penulis menyarankan agar guru hendaknya sering memberikan tugas kepada siswa dalam bentuk latihan menulis. Selain itu guru juga hendaknya memberikan umpan balik berupa koreksi sehingga siswa tahu letak kesalahanya.


(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah Swt, tuhan semesta alam,

karena dengan karunianya skripsi dengan judul ”Interferensi Bahasa Betawi pada Karangan Narasi Siswa Kelas XI SMK Miftahul Falah” ini dapat diselesaikan. Salawat serta salam juga penulis sampaikan kepada Nabi Muhammad Saw yang telah memberikan bimbingan kebaikan kepada seluruh umat.

Banyak hambatan dan rintangan yang penulis hadapi selama ini. Tetapi berkat doa, usaha, dan perjuangan serta dorongan dari berbagai pihak, akhirnya segala hambatan dan rintangan dapat diatasi.

Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Nurlena Rifa‟i, M.A., Ph.D. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;

2. Dra. Mahmudah Fitriyah ZA, M.Pd., selaku ketua jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, karena dengan perhatian dan kesabaran dalam membimbing mahasiswanya, penulis termotivasi untuk mengerjakan skripsi hingga selesai;

3. Dra. Hindun, M.Pd., selaku dosen penasehat akademik yang telah

memberikan ilmu dan pengarahan sampai selesainya perkuliahan ini;

4. Nuryani, M.A., selaku dosen pembimbing yang telah memberikan

pengarahan sampai selesainya skripsi ini;

5. Seluruh dosen di jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu persatu, terima kasih atas semua bantuan yang diberikan kepada penulis selama proses penyusunan skripsi ini;

6. Drs. H. Masrur AM selaku kepala sekolah SMK Miftahul Falah yang telah

membimbing penulis selama penelitian skripsi;

7. Seluruh guru yayasan Al-Khairiyah, khususnya guru SMK Miftahul Falah

yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu persatu, terima kasih atas semua bantuan dan masukannya;


(6)

8. Seluruh murid SMK Miftahul Falah, khususnya kelas XI, terima kasih atas partisipasinya dalam penelitian skripsi ini;

9. Keluarga besar Hidayat dan kekasihku, yang tidak hentinya memberikan bantuan dan motivasi selama proses penyelesaian skripsi ini; dan

10.Semua mahasiswa seperjuangan di jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra

Indonesia Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan semua sahabat serta teman sepermainanku, juga pihak yang telah membantu yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu, terima kasih atas partisipasinya dalam penyelesaian skripsi ini.

Semoga semua bantuan, bimbingan, ilmu, dan doa yang telah diberikan mendapat balasan dari Allah Swt. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat menjadi masukan yang positif dalam rangka meningkatkan mutu pengajaran bahasa dan sastra Indonesia di negeri ini, khususnya dalam bidang sosiolinguistik.

Jakarta, November 2011

Penulis,


(7)

DAFTAR ISI

ABSTRAK KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

B. Identifikasi Masalah

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah

D. Tujuan Penelitian E. Manfaat Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KAJIAN TEORI

A. TINJAUAN PUSTAKA

B. LANDASAN TEORI

1. Teori Interferensi

2. Teori Interferensi Morfologis

3. Teori Bahasa Betawi

4. Teori Karangan

5. Teori Karangan Narasi

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

B. Fokus Penelitian C. Objek Penelitian D. Metode Penelitian

E. Teknik Pengumpulan Data

F. Teknik Analisis Data

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... ... ……… ... ... ... ... ... ……… ……… ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... i ii iv vi vii 1 6 6 6 6 8 10 10 14 19 25 26 30 30 30 30 31 32 36


(8)

A. HASIL PENELITIAN

1. Sejarah Berdirinya SMK Miftahul Falah

2. Visi, Misi, dan Nilai-nilai

3.

Keadaan Guru, Siswa, dan Program Sekolah

B. PEMBAHASAN

1. Deskripsi Data

2. Analisis Data

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

A. SIMPULAN

B. SARAN

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN

... ...

……… ………

... ...

………

37 38

44 46

67 67 69


(9)

DAFTAR TABEL

1. Ciri Fonologi Bahasa Betawi

2. Contoh Tabel Bentuk Interferensi Morfologis

3. Contoh Tabel Jumlah Interferensi Morfologis

4. Keadaan Guru SMK Miftahul Falah Tahun 2011

5. Keadaan Siswa SMK Miftahul Falah Tahun 2011

6. Pembagian Tugas SMK Miftahul Falah

Tahun Pelajaran 20011/2012 7. Bentuk Interferensi Morfologis 8. Jumlah Interferensi Morfologis

... ...

……….

... ...

... ... ...

22 33 34 38 40

42 47 61


(10)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Presentase Interferensi Morfologis dalam Karangan Narasi Siswa

2. Data Siswa Kelas XI SMK Miftahul Falah Cipulir - Kebayoran Lama

3. Hasil Data Siswa Kelas XI SMK Miftahul Falah Cipulir – Kebayoran Lama

4. Contoh Narasi Betawi Karya Chairil Gibran Ramadhan

5. Karangan Narasi Siswa

6. Uji Referensi

7. Surat Bimbingan Skripsi

8. Surat Persetujuan Judul Skripsi

9. Surat Permohonan Izin Observasi

10. Surat Permohonan Izin Penelitian


(11)

(12)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Bahasa merupakan alat komunikasi dalam lisan maupun tulisan.

Tanpa bahasa, seseorang tidak dapat berinteraksi dengan baik antarsesama.

Tidak sebatas pada kemampuan berbicara saja, bahasa juga merupakan alat

komunikasi antarpenulis dan pembaca melalui sebuah tulisan. Sebuah tulisan

berfungsi untuk menyampaikan informasi kepada pembacanya, tanpa bahasa

yang baik dalam sebuah tulisan, maka informasi yang diharapkan pembaca

dalam suatu tulisan tidak akan tercapai. Orang yang bahasa tulisnya baik,

biasanya cara berbicaranya pun baik. Oleh karena itu, bahasa yang dipakai

oleh penutur seharusnya baik dan benar agar informasi yang didapatkan oleh

pendengar maupun pembaca dapat berjalan dengan baik.

Bahasa bersifat arbiter (mana suka), maka dari itu banyak sekali kita

jumpai di dunia ini beragam bahasa dari belahan dunia. Seperti Indonesia

yang kaya suku bangsa. Suku tersebut memiliki bahasa daerahnya

masing-masing. Bahasa Indonesia merupakan bahasa kesatuan Republik Indonesia

yang dapat menyatukan berbagai macam suku. Tetapi, bahasa Indonesia tidak

selamanya merupakan bahasa ibu (B1) bagi masyarakat pemakai bahasa

Indonesia. Adakalanya bahasa Indonesia merupakan bahasa ajaran (B2) bagi

masyarakat Indonesia. Keanekabahasaan seperti ini sangat berhubungan


(13)

Indonesia dengan memasukkan kata asing atau daerah dalam tuturan bahasa

Indonesia, tuturan mereka dianggap menyalahi kaidah dalam berbahasa

Indonesia.

Di ibu kota Jakarta banyak sekali ditemukan penutur bilingual.

Penutur yang bilingual biasanya menggunakan bahasa daerahnya agar lebih

terlihat akrab dan kekeluargaan dalam situasi tidak resmi, dan menggunakan

bahasa Indonesia ketika berada pada situasi resmi. Mereka menggunakan

kedua bahasa tersebut secara bergantian. Berarti banyak pula masyarakat

yang tidak menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Salah

satunya adalah masyarakat yang ber-B1 bahasa Betawi dan ber-B2 bahasa

Indonesia.

Di Jakarta lebih banyak masyarakat suku Betawi. Masyarakat Betawi

mencampurkan bahasa Betawi dalam struktur kalimat bahasa Indonesia.

Tidak dapat dipungkiri bahwa bahasa Betawi memiliki sumbangsih terbesar

dalam penggunaan bahasa Indonesia yang tidak sesuai dengan kaidah bahasa

Indonesia. Banyak orang yang terbiasa berbahasa Betawi dan melupakan

bahasa sukunya, karena pengaruh masyarakat Betawi di ibu kota ini.

Contoh kasus kecilnya saja, kalimat pertama “saya ga tahu kalau

tertinggal”, kalimat kedua “aye kaga tau kalo ketinggalan”. Sadar atau tidak, munculnya kata “ga” dalam kalimat pertama adalah kata dasar dari “kaga” dalam bahasa Betawi berarti “tidak”. Kalimat pertama sudah jelas


(14)

yang kita katakan sebagai salah satu pelanggaran dalam berbahasa. Lain

halnya ketika seseorang mengucapkan kalimat kedua. Kalimat tersebut murni

merupakan bahasa Betawi, sehingga tidak ada pelanggaran berbahasa dalam

tuturan tersebut. Contoh pelanggaran berbahasa di atas kerap terjadi dalam

diri kita ketika bertutur. Sadar atau tidak kita telah melakukan pelanggaran

dalam berbahasa Indonesia. Hal itu menjadi salah satu pemicu rusaknya

bahasa nasional kita.

Fakta di atas terlihat pula dalam dunia pendidikan kita. Masyarakat

Indonesia mayoritas memiliki dua atau lebih bahasa yang dipakai dalam

berinteraksi, tidak terkecuali seorang pendidik (guru). Seorang guru dituntut

untuk berbahasa Indonesia dalam menyampaikan pembelajaran kepada

muridnya. Ketika pendidik dwibahasawan mengajar peserta didik, sesekali ia

melakukan pelanggaran berbahasa Indonesia, baik sadar maupun tidak sadar.

Hal seperti ini yang membuat peserta didik banyak sekali melakukan

pelanggaran dalam berbahasa, didukung pula dengan lingkungan tempat

tinggal peserta didik yang masyarakat sekitarnya kerap melakukaan

pelanggaran dalam berbahasa.

Contoh kalimat yang sering siswa tuturkan, “gue ga suka sama dia”. Munculnya kata gue dan ga adalah suatu penyimpangan berbahasa dalam struktur bahasa Indonesia. Kata gue yang berarti „saya‟ dan kata ga yang

berarti „tidak‟ adalah bahasa Betawi yang muncul dalam struktur bahasa

Indonesia. Kata tersebut seharusnya adalah “saya tidak suka sama dia”. Lain halnya ketika yang siswa tuturkan adalah “gue ga demen ame die”. Kalimat


(15)

tersebut adalah murni bahasa Betawi, sehingga tidak ada penyimpangan

dalam tuturan tersebut. Selain terjadi penyimpangan dalam lisan, siswa juga

kerap kali melakukan penyimpangan dalam tulisan. Contoh tulisan siswa

yang berlatar belakang bahasa Betawi “Saya tau hal itu tidak baik untuk diri

saya”. Kata tau dalam kalimat tersebut merupakan Bahasa Betawi yang

berarti „tahu akan‟. Sehingga kalimat yang benarnya adalah “Saya tahu akan

hal itu tidak baik untuk diri saya sendiri”. Contoh tersebut sudah dapat

menjelaskan adanya pelanggaran dalam berbahasa siswa.

Masuknya bahasa betawi dalam struktur bahasa Indonesia dianggap

sebuah penyimpangan dalam berbahasa Indonesia, karena melanggar kaidah

gramatikal bahasa Indonesia itu sendiri. Pelanggaran itu disebut sebagai

interferensi dalam berbahasa. Siswa yang berlatar belakang bahasa Betawi

kerap kali melakukan interferensi baik lisan maupun tulisan. Interferensi

kerap dilakukan oleh siswa pengguna bahasa Betawi, mereka memasukkan

unsur bahasa daerahnya dalam struktur bahasa Indonesia. Interferensi bahasa

Betawi dalam bahasa Indonesia biasanya dilakukaan siswa pada bidang

morfologis. Maka dari itu perlu adanya pengajaran bahasa Indonesia yang

baik dan benar sejak dini. Oleh karena itu, supaya peserta didik berbahasa

Indonesia yang baik, diperlukan pengajar yang berkualitas baik.

Di provinsi DKI Jakarta, tepatnya di Jakarta Selatan Kelurahan

Cipulir, ditemukan masyarakat bilingual. Salah satu diantaranya adalah

masyarakat yang ber-B1 bahasa Betawi dan yang ber-B2 bahasa Indonesia.


(16)

Bahasa ini memiliki kemiripan dengan bahasa Indonesia, karena keduanya

memiliki induk yang sama yaitu bahasa Melayu. Sekelompok masyarakat

Betawi menggunakan bahasa Betawi dalam kehidupan mereka. Mereka

menggunakan bahasa Betawi secara bergantian dengan bahasa Indonesia

karena kemampuan bahasa Indonesianya tidak sama dengan kemampuan

bahasa Betawinya. Penggunaan bahasa secara bergantian bukan hanya

dilakukan oleh orang dewasa, melainkan remaja dan anak-anak. Contohnya

di sekolah SMK Miftahul Falah Kelurahan Cipulir yang ruang lingkupnya

adalah masyarakat Betawi. Pendidik dan peserta didik sekolah tersebut tidak

lain adalah masyarakat Betawi yang tempat tinggalnya pun tidak jauh dari

sekolah, bahkan letak sekolah ini sangat berdekatan sekali dengan

permukiman penduduk. Penutur di sekolah tersebut dipastikan akan sering

melakukan interferensi bahasa Betawi pada bahasa Indonesia.

Dari penjelasan di atas, penulis tertarik untuk meneliti hubungan

pemakaian bahasa Indonesia secara bergantian dengan interferensi. Adanya

interferensi khususnya dalam bidang morfologis di dunia pendidikan dapat

dilihat dari siswa yang berlatar belakang pengguna bahasa Betawi ketika

mengarang dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Berdasarkan uraian di

atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian “INTERFERENSI

BAHASA BETAWI PADA KARANGAN NARASI SISWA KELAS XI SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN (SMK) MIFTAHUL FALAH CIPULIR – KEBAYORAN LAMA JAKARTA SELATAN”.


(17)

B. Identifikasi Masalah

1. Penggunaan bahasa secara bergantian menyebabkan adanya interferensi.

2. Interferensi pada siswa terjadi karena faktor pendidik yang menggunakan

dua bahasa secara bergantian.

3. Kesalahan dalam menulis karangan siswa terpengaruh oleh kesalahan

berbicaranya.

4. Interferensi lebih sering terjadi pada bidang morfologi

C. Perumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi dan pembatasan masalah yang diuraikan diatas,

maka perumusan masalah yang akan dijadikan penelitian adalah

”Bagaimanakah bentuk-bentuk interferensi bahasa Betawi pada karangan narasi siswa?”

D. Tujuan Penelitian

Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui bentuk-bentuk interferensi bahasa

Betawi pada karangan narasi siswa kelas XI Sekolah Menengah Kejuruan

(SMK) Miftahul Falah Cipulir – Kebayoran Lama Jakarta Selatan.

E. Manfaat Penelitian

1. Teoretis

Manfaat penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dalam

bidang sosiolinguistik pada umumnya dan interferensi pada khususnya,

terutama untuk calon guru Bahasa dan Sastra Indonesia pada UIN Syarif


(18)

2. Praktis

Data dan informasi yang didapat diharapkan bermanfaat guna usaha

meningkatkan kemampuan berbahasa siswa dan menambah wawasan


(19)

(20)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI A. TINJAUAN PUSTAKA

Berkenaan dengan hasil penelitian tim survei pembinaan dan

pengembangan bahasa dari Depdikbud, Yayah B. Lumintaintang (1981) yang

berjudul “Pemakaian Bahasa Indonesia dan Dialek Jakarta Di SMA Jakarta”

diperoleh data bahwa masih terdapat pemakaian dialek Jakarta di SMA Jakarta

baik antarsesama guru, antara guru dengan murid, antara murid dengan guru,

maupun antarsesama murid. Berdasarkan penelitian tersebut, murid lebih suka

memakai dialek Jakarta dari pada bahasa Indonesia. Ini berarti merupakan

suatu pemilihan dalam berbahasa yang dilakukan masyarakat dwibahasawan.

Penelitian lain dari Depdiknas mengenai interferensi, Siti Komariyah

(2008) yang berjudul “Interferensi Bahasa Inggris dalam Bahasa Indonesia

pada Surat Kabar Di Surabaya” menyatakan bahwa terdapat interferensi bahasa Inggris dalam bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa yang tidak sesuai,

baik tulis maupun lisan khususnya dalam dunia pendidikan bukan sekedar

masalah kecil dalam dunia kebahasaan Indonesia. Fakta tersebut sangatlah

rentan terhadap pelanggaran dalam berbahasa yang kita sebut interferensi.

Interferensi harus ditangani sedini mungkin, terutama dalam dunia

pendidikan. Interferensi merupakan pelanggaran berbahasa yang berakibat

merusak bahasa Indonesia. Cara mencegah penyebaran interferensi adalah


(21)

pendidikan dan memperbaikinya sedini mungkin. Berdasarkan tinjauan

pustaka yang penulis dapatkan, penelitian mengenai interferensi bukan hanya

kali ini saja dilakukan, melainkan sudah banyak penelitian yang membahas

mengenai interferensi. Adanya penelitian tersebut, belum cukup bagi penulis

untuk menjawab persoalan yang terjadi dalam dunia pendidikan. Seperti

penelitian Yarlis Safitri (2002) yang berjudul Interferensi Fonologis dan

Morfologis Dialek Jakarta dalam Berpidato SISWA SLTPN 104 Jakarta

Selatan, yang menyimpulkan bahwa ada 27,84% kalimat yang terinterferensi

fonologis dan morfologis dalam berpidato pada siswa SLTPN 104 dan 72,16%

kalimat yang tidak mengandung interferensi fonologis dan morfologis.

Penelitian Sugeng Nuryadi (2002) yang berjudul Interferensi Leksikal

dialek Jakarta dalam Karangan Siswa Kelas 6 SD Di Kelurahan Petir

Kecamatan Cipondoh Tangerang, juga menyimpulkan bahwa terdapat

interferensi leksikal dialek Jakarta pada karangan siswa kelas 6 SD Kelurahan

Petir. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa adanya interferensi dalam

karangan siswa sebanyak 56,66% dan karangan yang tidak terinterferensi

sebanyak 43,33%.

Sedangkan penelitian Karjaya (1990) yang berjudul Interferensi

Morfologi dalam Penggunaan Bahasa Indonesia oleh Murid Sekolah Dasar Di

Cirebon yang Berbahasa Pertama Bahasa Jawa Cirebon, juga menyimpulkan

bahwa interferensi morfologi (interferensi morfologi bentuk kata, afiks, dan

pengulangan) terdapat pada penggunaan bahasa Indonesia berbentuk tulisan


(22)

serupa dengan penelitian tersebut, penelitian Zainal tahun 1991 tentang

kesalahan berbahasa tulis siswa yang berlatar belakang bahasa Bawean dalam

berbahasa Indonesia terdapat presentase yang cukup besar, yakni 78,13%.

Kesalahan pada kategori ejaan adalah 46,62%, sedangkan pada kategori

sintaksis adalah 37,51%, dan kesalahan pada kategori morfologi adalah

15,87%.

Berdasarkan tinjauan pustaka yang didapat, peneliti belum mendapati

interferensi bahasa Betawi dalam karangan narasi siswa. Maka dari itu peneliti

ingin mengetahui atau melihat bentuk-bentuk interferensi bahasa Betawi pada

siswa SMK Miftahul Falah. Penelitian ini merupakan penelitian terkini yang

berusaha memperkaya khaznah penelitian tentang interferensi dalam aspek

morfologi. Dengan demikian hasilnya diharapkan dapat meningkatkan kualitas

pembelajaran bahasa Indonesia, khususnya bidang sosiolinguistik.

B. LANDASAN TEORI 1. Teori Interferensi

Sejumlah pakar sosiolinguistik mengungkap, pada dasarnya

interferensi adalah pengacauan bahasa yang terjadi dalam diri orang yang

berbilingual atau lebih.1 Bahasa yang dipakai oleh penutur bilingual adalah

bahasa pertama, yakni bahasa ibu (B1) dan bahasa kedua, yakni bahasa

ajaran (B2). Sama halnya pula dengan penutur multilingual, ia memiliki

bahasa ibu (B1), bahasa ajaran pertama (B2), bahasa ajaran kedua (B3), dan

1


(23)

mungkin bahasa ajaran ketiga (B4), bahasa ajaran keempat (B5), dan

seterusnya. Bahasa Indonesia ada kalanya sebagai B1 dan adakalanya

sebagai B2. Ketika satu keluarga yang berlatar belakang bahasa Betawi

ingin menggunakan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi, maka bahasa

Betawi adalah B1 (bahasa ibu) dan bahasa Indonesia sebagai B2 (bahasa

ajaran). Lain halnya ketika orang Indonesia yang menetap di Negara

Inggris, ketika ia ingin menggunakan bahasa Inggris saat bertutur,

kedudukan bahasa Indonesia sebagai B1 (bahasa ibu) dan bahasa Inggris

sebagai B2 (bahasa ajaran). Seseorang yang memiliki dua bahasa (bilingual)

dan banyak bahasa (multilingual) berkesempatan untuk memilih bahasa

dalam bertutur. Pemilihan bahasa mereka lakukan atas dasar psikologis diri

mereka masing-masing. Sedangkan penutur yang memiliki satu bahasa saja

(monolingual) tidak memiliki kesempatan untuk memilih bahasa dalam

bertutur.

Contoh penyebab terjadinya multilingual pada Kalala yang

disebabkan karena faktor lingkungan.

Kalala berumur 16 tahun. Dia tinggal di Bukavu, sebuah kota di Afrika di Timur Zaire dengan populasi 220.000 jiwa. Itu adalah suatu Negara dengan banyak budaya dan bahasa dan lebih banyak orang yang datang dan pergi untuk bekerja dan alasan bisnis dari pada orang-orang yang tinggal menetap di sana. Lebih dari empat puluh kelompok berbicara dengan bahasa yang berbeda dapat ditemukan di kota ini. Kalala seperti teman-temannya yang lain adalah pengangguran. Dia menghabiskan hari-harinya berkelana di jalan, kadang kala singgah di tempat-tempat yang biasa orang temui seperti di pasar, di taman, atau di tempat temannya. Selama dalam


(24)

kesehariannya ia menggunakan sedikitnya tiga jenis atau kode bahasa yang berbeda-beda bahkan terkadang lebih.2

Berdasarkan contoh di atas, pemakaian bahasa penutur yang multilingual

ataupun bilingual terjadi secara bergantian, karena mereka memiliki pilihan

bahasa. Pemilihan bahasa dapat ia sesuaikan dengan situasi peristiwa tutur.

Pemakaian bahasa secara bergantian itulah yang dapat memicu terjadinya

interferensi pada penutur. Masyarakat bilingual ataupun multilingual akan

sulit menghindari interferensi dari bahasa yang satu kepada bahasa yang

lain. Pendapat yang sama diungkapkan pula oleh Jendra:

Interferensi merupakan sebuah bentuk situasi atas penggunaan bahasa kedua atau bahasa lain dengan para penggunanya yang dianggap tidak tepat untuk mempengaruhi bahasa tuturan si pengguna.3

Berdasarkan pendapat Jendra di atas, memperjelas hakikat interferensi

sesungguhnya, bahwa interferensi hanya dapat dilakukan oleh penutur

bilingual dan multilingual.

Istilah interferensi pertama kali digunakan oleh Weinreich untuk

menyebut adanya perubahan sistem suatu bahasa sehubungan dengan

adanya persentuhan bahasa tersebut dengan unsur-unsur bahasa lain yang

dilakukan oleh penutur yang bilingual.4 Bahasa memiliki sistem. Perubahan

sistem yang terjadi pada suatu bahasa dianggap menyalahi kaidah gramatika

bahasa itu sendiri. Suatu unsur bahasa lain yang berdiri sendiri pada struktur

2

Janet Holmes.An Introduction to Sosiolinguistics. London and New York: Longman, 1994, h. 21

3

Made Iwan Indrawan Jendra. Sosiolinguistics The Study of Societies’ Languages. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010, h. 189

4

Abdul Chaer dan Leonie Agustina. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta, 2004, h. 120


(25)

sebuah bahasa dianggap sebagai pengacauan. Interferensi dapat terjadi

ketika penutur bilingual maupun multilingual tersebut memasukkan dua

bahasa sekaligus dalam suatu ujaran, baik dari segi fonem, morfem, kata,

frase, klausa, maupun kalimat. Interferensi yang terjadi dapat dilihat pada

tataran fonologis, morfologis, sintaksis, leksikon, dan semantik.

Hartmann & Stork dalam Chaer, mengungkapkan bahwa interferensi

juga dimaknai sebagai kekeliruan yang disebabkan terbawanya

kebiasaan-kebiasaan ujaran bahasa atau dialek ibu ke dalam bahasa atau dialek kedua.5

Interferensi bersifat merusak bahasa yang terinterferensi, baik bahasa ibu

(B1), maupun bahasa ajaran (B2). Interferensi muncul bukan karena

penutur mahir dalam menggunakan kode-kode dalam bertutur. Sebaliknya,

interferensi muncul karena kurang dikuasainya kode-kode tersebut dalam

bertutur.6 Penguasaan bahasa yang dimiliki penutur bilingual ataupun

multilingual tidak seimbang atau tidak sama baiknya. Penguasaan bahasa

yang tidak seimbang dapat terjadi ketika bahasa ibu (B1) lebih dikuasai dari

pada bahasa ajaran (B2), ataupun sebaliknya. Sesungguhnya, interferensi

berlaku bolak balik, bisa dengan bahasa ajaran (B2) tercampur pada struktur

bahasa ibu (B1), bisa juga dengan bahasa ibu (B1) tercampur pada struktur

bahasa ajaran (B2). Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat

disimpulkan bahwa interferensi adalah kekeliruan dalam berbahasa dengan

5

A. Chaedar Alwasilah. Sosiologi Bahasa. Bandung: Angkasa, 1993 h. 114

6


(26)

memasukkan unsur bahasa lain dalam suatu bahasa yang dilakukan oleh

penutur yang bilingual maupun multilingual secara individual.

2. Teori Interferensi Morfologis

Seperti yang sudah kita ketahui, interferensi dapat terjadi pada

tataran fonologi, morfologi, sintaksis, semantik dan leksikon. Dalam

penelitian ini, interferensi dibatasi pada tataran morfologis. Secara

etimologi, morfologi berasal dari kata morf yang berarti „bentuk‟ dan logi yang berarti „ilmu‟. Jadi secara harfiah kata morfologi berarti „ilmu yang

mengenai bentuk-bentuk dan pembentukan kata‟.7 Berdasarkan pengertian tersebut, berarti morfologi mempelajari semua masalah pembentukan kata,

yakni morfem dan sejenisnya.

Morfem menurut Hockett dalam Muhajir, adalah elemen terkecil

yang secara individual mengandung arti.8 Dengan kata lain, jika ada bagian

dari kata yang tidak memiliki arti tidak dapat dikaji dalam morfologi. Jadi,

morfologi merupakan cabang ilmu bahasa yang mempelajari kata dan

pembentukan kata yang mengandung arti.

Berdasarkan pengertian di atas, Interferensi morfologis adalah

interferensi yang dilakukan oleh penutur bilingual dan multilingual dalam

proses pembentukan kata yang mengandung arti. Chaer berpendapat

“interferensi dalam morfologi, antara lain terdapat pembentukan afiks.

7

Abdul Chaer. Morfologi Bahasa Indonesia (Pendekatan Proses). Jakarta: Rineka Cipta, 2008, h. 19

8


(27)

Afiks-afiks suatu bahasa dilakukan untuk membentuk kata dalam bahasa

lain”.9

Afiks suatu bahasa berfungsi untuk membentuk suatu kata dalam

bahasa. Masing-masing bahasa memiliki kombinasi dalam pembentukan

kata. Pembentukan sebuah kata yang bukan pada kombinasinya, merupakan

sebuah pelanggaran dalam tataran morfologi yang kita sebut dengan

interferensi morfologi.

Alat pembentuk dalam proses morfologi adalah (a) afiks dalam

afiksasi, (b) pengulangan dalam proses reduplikasi, (c) penggabungan

dalam proses komposisi, (d) pemendekan atau penyingkatan delam proses

akronimisasi, dan (e) pengubahan status dalam proses konversi.10 Dalam

pembahasan ini, morfologi dibagi dalam bentuk kata, afiks, dan

pengulangan.

a. Leksem

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia tahun 2008, Leksem

merupakan satuan leksikal dasar yang abstrak yg mendasari pelbagai

bentuk kata. Leksem dalam pembahasan ini diartikan sebagai kata

dasar. Kata dalam morfologi merupakan satuan terbesar, dibentuk

melalui salah satu proses morfologi (afiksasi, reduplikasi, komposisi,

akronimisasi, dan konversi).11 Contoh kata dasar: minum, mandi, puku,

dan sebagainya.

9

Abdul Chaer dan Leonie Agustina. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta, 2004, h. 123

10

Abdul Chaer. Morfologi Bahasa Indonesia (Pendekatan Proses). Jakarta: Rineka Cipta, 2008, h. 27

11


(28)

b. Afiks

Afiks merupakan pembentuk kata dasar. Wujud fisik dari hasil proses

afiksasi adalah kata berafiks, disebut juga kata berimbuhan, kata

turunan, atau kata terbitan.12 Jenis-jenis afiks adalah:

1. Prefiks, yaitu pembentuk awalan. Seperti me-, ber-, di-, ter-, ke-,

dan se-.

Contoh:

a. Prefiks me- : memakan, melihat, merayu, dan sebagainya.

b. Prefiks ber- : berkebun, bermain, bergadang, dan sebagainya.

c. Prefiks di- : dipuji, ditulis, digabung, dilipat, dan sebagainya.

d. Prefiks ter- : terkena, terdampar, terpukul, dan sebagainya.

e. Prefiks ke- : kemana, kemari, kedua, ketiga, dan sebagainya.

f. Prefiks se- : seorang, seekor, sekampung, dan sebagainya.

2. Sufiks, yaitu pembentuk akhiran. Seperti: -an, -kan, dan –i. Contoh:

a. Sufiks –an : akhiran, mainan, pujian, sapaan, dan sebagainya. b. Sufiks –kan : jelaskan, kenalkan, mainkan, dan sebagainya. c. Sufiks –i : nasihati, gulai, payungi, masuki, dan sebagainya. 3. Infiks, yaitu pembentuk sisipan. Seperti: -el-, -em-, -er-.

Contoh:

a. Infiks -el- : telunjuk, telapak, geletar, pelatuk, dan sebagainya.

12


(29)

b. Infiks -em- : jemari, gemetar, seminar, dan sebagainya.

c. Infiks -er- : gerigi, gendering, rerumput, dan sebagainya.

4. Konfiks, yaitu pembentuk gabungan awalan dan akhiran pada kata

dasar. Seperti pe-an, per-an, per-kan, per-i, ke-an, ke-nya, se-nya,

me-kan, me-i, dan ber-an.

Contoh:

a. Konfiks pe-an : pelanggaran, penggarisan, dan sebagainya.

b. Konfiks per-an : peraturan, perawatan, dan sebagainya.

c. Konfiks per-kan : perlihatkan, perdebatkan, dan sebagainya.

d. Konfiks per-i : perbaiki, pergauli, dan sebagainya.

e. Konfiks ke-an : kenakalan, keadaan, dan sebagainya.

f. Konfiks ke-nya : keduanya, ketiganya, dan sebagainya

g. Konfiks se-nya : seandainya, sekiranya, dan sebagainya

h. Konfiks me-kan : meramaikan, menyucikan, dan sebagainya.

i. Konfiks me-I : meludahi, melampaui, dan sebagainya.

j. Konfiks ber-an : bertaburan, berlarian, dan sebagainya.

c. Pengulangan

Pengulangan atau yang disebut juga reduplikasi, yakni proses

pengulangan bentuk kata dasar. Wujud fisik dari proses reduplikasi

adalah kata ulang, atau disebut juga bentuk ulang.13 Contoh:

kuning-kuning, ramai-ramai, jari-jemari, bermacam-macam, sayur-mayur, dan

sebagainya.

13


(30)

Berdasarkan pandangan ahli linguistik, interferensi morfologis

dapat diartikan sebagai pelanggaran berbahasa dengan adanya unsur

serpihan dari bahasa lain dalam pembentukan kata dari bahasa itu sendiri.

Pembentukan kata yang tidak sesuai dengan kombinasinya dianggap

sebagai suatu pelanggaran yang disebut dengan interferensi morfologis.

Interferensi morfologis dapat terjadi pada bentuk terikat seperti prefiks,

sufiks, dan konfiks. Contoh interferensi morfologis adalah neonisasi,

tendanisasi, ketabrak, kejebak, yang seharusnya dalam bahasa Indonesianya

adalah peneonan, penendaan, tertabrak, terjebak. Bahasa Indonesia tidak

mengenal sufiks –isasi, melainkan konfiks pe-an untuk menyatakan proses. Bahasa Indonesia juga menggunakan prefiks ter- untuk menyatakan

ketidaksengajaan. Sedangkan kata ketabrak dan kejebak berasal dari bahasa

Jawa dan Betawi yang menyatakan ketidaksengajaan.

Contoh kalimat yang mengandung interferensi morfologis:

1. Tolong ambilin pulpen saya!

(Tolong ambilkan pulpen saya!)

2. Maaf bu, tadi saya ketiduran.

(Maaf bu, tadi saya tertidur.)


(31)

(Sebaiknya kamu diam saja, dari pada membuat pusing.)

4. Yah apa boleh buat, better late thanno it.

(Yah apa boleh buat, lebih baik telat dari pada tidak.)

Berdasarkan contoh interferensi morfologis di atas, membuktikan

bahwa bahasa Indonesia dapat terinterferensi bahasa Betawi, Jawa, Sunda,

bahkan Inggris sekalipun.

3. Teori Bahasa Betawi

Pembicaraan mengenai bahasa Betawi, sama halnya seperti

pembicaraan mengenai bahasa Indonesia. Bahasa Betawi dan bahasa

Indonesia lahir dari bahasa Melayu. Pembicaraan mengenai bahasa

Indonesia sama halnya dengan membicarakan bahasa Melayu. Soedjatmoko

mengungkapkan bahwa:

....Kedua bahasa tersebut sebelumnya sama. Kedua bahasa tersebut walaupun mengandung dialek yang berbeda, tetap disebut Malay (Melayu), istilah bahasa Indonesianya. Bahasa Indonesia telah

menggunakan bahasa Melayu sejak tahun 1928.14

Pernyataan tersebut sama halnya dengan Muhajir yang mengatakan bahwa,

bahasa Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 28 Oktober 1928

diangkat dari bahasa Melayu.15 Pada hakikatnya, bahasa Indonesia

bersumber dari bahasa Melayu yang telah dipakai bertahun-tahun lamanya.

Bahasa Melayu pada saat itu telah dipakai sebagai lingua franca antarsuku

14

Soedjatmoko. An Introduction to Indonesian Historiography. London: Cornel University Press, 1975, h. 160

15

Muhadjir. Bahasa Betawi Sejarah dan Perkembangannya. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2000, h. 102


(32)

baik dalam lisan maupun dalam tulisan. Bahasa Melayu tidak jauh berbeda

dengan bahasa Indonesia. Masyarakat yang mula-mula memakai bahasa

Melayu sebagai lingua franca, kemudian dibebani tugas yang tak mudah, yaitu mengganti bahasanya dengan Bahasa Indonesia. Perubahan bahasa

seperti ini membuat bahasa Melayu masih tetap dipakai oleh sekelompok

masyarakat sebagai percakapan sehari-hari, khususnya di daerah Jakarta.

Orang Jakarta asli menyebut dirinya orang Betawi, atau orang

Melayu Betawi, atau orang Selam (baru setelah kemerdekaan tercapai,

nama mereka lebih dikenal dengan sebutan orang Jakarta).16 Berbeda

dengan bahasa Indonesia yang bersumberkan bahasa Melayu, bahasa yang

dipakai oleh masyarakat Betawi adalah Melayu Betawi. Setelah

kemerdekaan bahasa Betawi lebih dikenal dengan bahasa Jakarta. Adanya

variasi bahasa berkenaan dengan latar belakang asal keturunan yang

berbeda, maka bahasa Melayu Jakarta secara regional dapat dibagi menjadi

beberapa bagian dialek. Beberapa bagian dari dialek satu dengan yang lain

agak berbeda ucapannya. Orang Jakarta sendiri menyebut perbedaan ucapan

berkenaan dengan letak geografis itu dengan istilah logat. Misalnya, di

daerah Tanah Abang menyebutkan kata „rumah‟ dalam bahasa Indonesia disebut dengan rume. Sedangkan di daerah Karet, kata „rumah‟ dalam

bahasa Indonesia disebut dengan ruma. Di daerah Kebayoran menyebutkan

kata „rumah‟ dalam bahasa Indonesia diucapkan tetap rumah. Karena persamaan bahasa Jakarta dengan bahasa Indonesia yang lebih banyak dari

16

Abdul Chaer. Kamus Dialek Melayu Jakarta-Bahasa Indonesia. Jakarta: Nusa Indah, 1976, h. XVII


(33)

pada perbedaannya, membuat masyarakat Betawi mudah berbaur dengan

bahasa Indonesia.17 Contoh tersebut menandakan adanya ketidaktetapan

pengucapan bahasa Betawi yang dilakukan oleh masyarakatnya.

Ketidaktetapan tersebut membuat pendengarnya sulit untuk melihat

perbedaan yang sangat mendasar antara bahasa Betawi dengan bahasa

Indonesia. Ketidaktetapan itu pula yang membuat mayarakat Betawi rentan

melakukan interferensi bahasa Betawi dalam bahasa Indonesia.

Selain bersumberkan bahasa Melayu, letak kota Jakarta yang

berada di pulau Jawa, membuat masyarakat Betawi banyak menyerap

bahasa Jawa. Di bidang sintaksis agak lebih khas ke bahasa Jawa, bahasa

Sunda, dan bahasa Bali.1819 Meskipun banyak menyerap, bahasa Betawi

tidak menunjukkan kecondongan hubungan dari ketiganya. Contoh serapan

dari bahasa Jawa, kata ora, ndhewe, ketiduran (menyatakan

ketidaksengajaan), dalam bahasa Betawi menjadi orak, dewek, dan

ketiduran (tetap menyatakan ketidaksengajaan).

Orang Betawi asli boleh dikatakan seratus persen beragama islam,

karena letaknya di Jakarta. Oleh karena itu, bahasa arab menjadi bahasa

asing pertama yang mempengaruhi bahasa Betawi. Terlihat pula

penyerapan bahasa Arab dari kata anta, ana, Bismillah, Alhamdulillah, afdhol, dalam bahasa Betawi menjadi ente, ane, Bismille, Alhamdulille, apdol. Berdasarkan penjelasan tersebut, bahasa Betawi hanya menyerap

17

Ibid, h. XVIII 18


(34)

bahasa keagamaan, bukan bahasa keagamaan yang memiliki makna

terbatas. Sebagai kesimpulan dapat dikatakan bahwa di satu pihak bahasa

Betawi masih ada dalam pengertian yang sesungguhnya, meskipun

sumbernya yang di kota, yaitu konteks sosialnya, semakin kering.20 Oleh

karena itu, pemertahanan bahasa betawi diperlukan untuk melestarikan

bahasa Betawi agar tidak kehilangan penutur aslinya.

Ciri-ciri bahasa Betawi

a. Orang Betawi menunjukkan kekhasan dengan banyak mengucapkan

kata berfonem a menjadi e, fonem u menjadi o, fonem o menjadi u.

Tabel 1

Ciri fonologi bahasa Betawi Kata dalam

bahasa Indonesia

Fonem a menjadi e

Fonem u menjadi o

Fonem o menjadi u

apa ape

rabu rebo rebo

roti ruti

mobil mubil

b. Bahasa Betawi tidak mengenal vokal rangkap atau diftong ai dan au.

Kata yang dalam bahasa Indonesia diucapkan dengan diftong e dan o

dalam bahasa Betawi. Contohnya kata „cerai‟, „rantai‟, „tembakau‟,

„pulau‟, diucapkan sebagai cere, rante, tembako, pulo.

20


(35)

c. Kata-kata yang berakhiran maupun pertengahan konsonan „h‟ dalam bahasa Indonesia, dalam bahasa Betawi diucapkan tanpa „h‟.

Bahasa Betawi banyak menghilangkan konsonan „h‟ pada kata kerja,

kata sifat, kata bilangan, bahkan nama orang. Contohnya kata „salah‟,

„marah‟, „pohon‟, „pahit‟, „jahit‟, „dua puluh‟, „Fatimah‟ menjadi sale, mare, dare, puun, pait, jait, dua pulu, Fatime.21

d. Awalan kata kerja prenasal

Kata kerja dalam bahasa Betawi hanya berupa nasal yang mengawali

bentuk dasar. Kata kerja seperti „pukul‟, „bakar‟, „ganggu‟ menjadi

mukul, mbakar, ngganggu ketika menjadi kata kerja yang sejajar dengan kata kerja dalam bahasa Indonesia, yakni „memukul‟,

„membakar‟, „mengganggu‟. e. Awalan ber-

Hampir dalam bentuk dasar tidak pernah muncul utuh „ber-„. Contohnya kata „berbisik‟, „berjalan‟, „berjanji‟ dalam bahasa Betawi menjadi bebisik, bejalan, bejanji.

f. Akhiran –in

Dalam bahasa Indonesia sufiks –i dan –kan berubah menjadi akhiran

–in dalam bahasa Betawi. Contohnya kata „gulai‟, „datangi‟,

21

Contoh lain dapat dilihat di Bundari. Kamus Bahasa Betawi – Indonesia (Dengan Contoh Kalimat). Jakarta: sinar Harapan, 2003


(36)

„ambilkan‟, „pasangkan‟, dalam bahasa Betawi menjadi gulain, datengin, ambilin, pasangin. Sama halnya dengan sufiks –i dan –kan, konfiks me-i dan me-kan dalam bahasa Indonesia digantikan

keberadaannya dengan ng-in. Misalnya kata „mewarisi‟,

„menghormati‟, „menjualkan‟, dalam bahasa Betawi menjadi

ngewarisin, ngehormatin, ngejualin.

g. Akhiran –an

Dalam bahasa Betawi akhiran –an menyatakan lebih. Misalnya kata

banyakan, tinggian, baikan, dalam bahasa Indonesia berarti „lebih banyak‟, „lebih tinggi‟, „lebih baik‟.

h. Bentuk kata ulang

Dalam bahasa Betawi bentuk kata ulang dalam bahasa Indonesia

„makan secara berkelanjutan‟, „tersengguk-sengguk‟, „menggaruk secara berkelanjutan‟, „memberes-bereskan‟, menjadi gegares, sesenggukan, gegarukan, bebenah.

i. Awalan maen dan keje

Frasa kata kerja dalam bahasa Betawi sangatlah khas, misalnya maen pukul, maen ambil, maen tendang. Dalam bahasa Indonesia frasa tersebut dapat diartikan melakukan pekerjaan secara sembarangan,

semaunya sendiri. Sedangkan frasa keje dalam bahasa betawi berarti


(37)

keje mati, yang dalam bahasa Indonesia berarti „menyebabkan marah‟, „menyebabkan nangis‟, „menyebabkan mati‟.

4. Teori Karangan

Karangan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia tahun 2008

adalah hasil mengarang (menyusun, merangkai). Karangan berarti

merupakan hasil dari proses mengarang, baik dalam menyusun maupun

merangkai. Sesuai pembahasan, mengarang di sini dapat diartikan

menyusun atau merangkai kata-kata hingga menjadi suatu kalimat, paragraf,

bahkan cerita. Wibowo menyebutkan bahwa karang-mengarang adalah

suatu penyampaian pikiran secara resmi atau teratur dalam tulisan, karena

disampaikan secara resmi atau teratur, berarti karang-mengarang memiliki

mekanisme yang mau tak mau, mesti kita pahami secara

sungguh-sungguh.22 Karang-mengarang di sini merupakan proses penyampaian ide

pikiran dari pengarang. Proses penyampaian ide tersebut dilakukan dalam

bentuk tulisan secara teratur hingga menjadi sebuah karangan. Karangan

itulah yang dapat mewakili ide pikiran dan perasaan dari pengarang.

Menurut Lado dalam Wibowo, mengarang adalah menurunkan

atau melukiskan lambang-lambang grafik yang menggambarkan suatu

bahasa yang dipahami oleh seseorang, sehingga orang lain dapat membaca

lambang-lambang grafik tersebut asalkan mereka memahami bahasa dan

22


(38)

gambaran grafik itu.23 Selain karangan dapat menerangkan ide pikiran

pengarang, karangan juga dapat menggambarkan suatu hal yang ingin

disampaikan pengarang, baik itu berupa gambar, grafik, tragedi, dll,

sehingga karangan juga dapat mewakili pengarang dalam hal apapun. Jadi,

karangan adalah hasil dari sebuah penyampaian pikiran dan gagasan secara

resmi dan teratur dalam bentuk tulisan agar orang lain dapat membaca dan

memahami apa yang dilukiskan seseorang dalam sebuah tulisan.

Ada tiga tujuan mengarang, yakni: untuk tujuan komunikasi, tujuan

ilmiah, dan untuk tujuan kesenangan.24 Tujuan mengarang sebagai

komunikasi salah satunya surat-menyurat, baik resmi maupun tidak resmi.

Tujuan ilmiah dari mengarang dapat berbentuk resume, laporan, skripsi,

dsb. Sedangkan dalam tujuan kesenangan, dapat berbentuk syair, pantun,

dongeng, novel, dsb. Susunan karangan dapat bersifat menceritakan

(narasi), melukiskan (deskripsi), memaparkan (eksposisi), meyakinkan atau

mempengaruhi sikap pembaca (argumentasi), mengajak pembaca

(persuasif). Karangan dalam penelitian ini dibatasi dalam jenis karangan

narasi, yakni menceritakan sesuatu hal atau peristiwa.

5. Teori Karangan Narasi

Menurut Keraf, narasi adalah suatu bentuk wacana yang berusaha

menggambarkan dengan sejelas-jelasnya kepada pembaca suatu peristiwa

23

Ibid, h. 56

24

Sudarno dan Eman A. Rahman. Kemampuan Berbahasa Indonesia. Jakarta: Hikmat Syahid Indah, 1986, h. 98


(39)

yang terjadi.25 Jadi, narasi berusaha menjawab pertanyaan “apa yang

terjadi?”. Pertanyaan tersebut digambarkan secara lengkap dengan urutan

peristiwa berdasarkan waktu dan tempat. Sedangkan menurut Sudarno dan

Rahman, narasi adalah paragraf yang mengisahkan, menceritakan

pengalaman, peristiwa beserta para tokohnya, dan biasa disampaikan

menurut urutan kejadian (kronologis).26 Dapat dikatakan narasi adalah

gambaran kejadian yang berupaya menceritakan kepada pembaca secara

lengkap. Gambaran kejadian yang diberikan pengarang kepada pembaca

untuk memberikan informasi, baik secara tersirat, maupun tersurat. Maka

dari itu, narasi dapat berisi fiksi dapat berisi nonfiksi.

Pengertian narasi lebih ringkas diungkapkan Marahimin, yakni

narasi adalah cerita berdasarkan alur.27 Sejalan dengan pendapat tersebut,

Fitriyah dan Gani berpendapat bahwa narasi artinya cerita.28 Dapat

dikatakan kalau narasi merupakan bentuk cerita yang berdasarkan

rangkaian cerita. Rangkaian jalannya cerita tidak hanya dengan satu

rangkaian saja, mungkin bisa dua atau lebih. Hal-hal yang perlu

diperhatikan dalam narasi adalah: (1) biasanya cerita disampaikan secara

kronologis; (2) mengandung plot atau rangkaian peristiwa; dan (3) ada

tokoh yang menceritakan, baik manusia maupun bukan.29 Jadi, di dalam

25

Gorys Keraf. Argumentasi dan Narasi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1982, h. 136

26

Sudarno dan Eman A. Rahman. Kemampuan Berbahasa Indonesia. Jakarta: Hikmat Syahid Indah, 1986, h. 172

27

Ismail Marahimin. Menulis Secara Populer. Jakarta: Pustaka Jaya, 2010, h. 96

28

Mahmudah Fitriyah dan Ramlan Abdul Gani. Pembinaan Bahasa Indonesia. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2007, h. 135

29

Muhammad Rohmadi dan Aninditya Sri Nugraheni. Belajar Bahasa Indonesia: Upaya Terampil Berbicara dan Menulis Karya Ilmiah. Surakarta: Cakrawala Media, 2011, h. 81


(40)

narasi terdapat kejadian, kejadian itu ada pula tokoh yang menghadapi

suatu konflik. Ketiga unsur berupa kejadian, tokoh, dan konflik

merupakan unsur pokok sebuah narasi. Jika ketiga unsur itu bersatu,

ketiga unsur itu disebut plot atau alur. Jadi, narasi adalah cerita yang

dipaparkan berdasarkan plot atau alur.

Clouse mengemukakan pernyataan mengenai narasi lebih lengkap:

Bagian-bagian narasi disusun dalam urutan kronologis. Biasanya, kamu memulainya dengan apa yang terjadi pertama, berlanjut pada apa yang terjadi berikutnya, dan seterusnya. Namun, kamu juga dapat memulai peristiwa pada akhir dan kemudian kembali pada peristiwa pertama dan mulai pada urutan kronologis dari peristiwa tersebut. Demikian pula, kamu juga dapat memulai peristiwa pada suatu tempat pada pertengahan cerita dan kemudian kembali ke awal cerita.30

Berdasarkan pendapat di atas, sebuah cerita pasti memiliki alur dari awal

kronologi kejadian sampai akhir kejadian. Alur tersebut wujudnya

bervariasi, ada alur maju, alur mundur, dan alur maju dan mundur.

Berdasarkan pendapat berbagai ahli, dapat disimpulkan bahwa narasi

adalah paragraf berbentuk cerita yang berusaha menggambarkan suatu

peristiwa yang terjadi sesuai alur atau plot, seolah-olah pembaca melihat

dan mengalami peristiwa tersebut.

Keraf membedakan narasi atas narasi ekspositoris dan narasi

sugestif. Narasi ekspositoris pertama-tama bertujuan untuk menggugah

pikiran para pembaca untuk mengetahui apa yang dikisahkan.31 Narasi

30

Barbara Fine Clouse. The Student Writer Editor and Critic. New York: McGraw-Hill, 2004, h. 177

31


(41)

ekspositoris sasaran utamanya adalah ketepatan informasi mengenai suatu

peristiwa yang digambarkan. Jadi, seperti halnya eksposisi, sasaran karya

tulis ini juga untuk memperluas pengetahuan pembaca mengenai objek

yang dikemukakan. Dalam narasi ekspositoris, pengarang menceritakan

suatu peristiwa berdasarkan data sebenarnya. Pelaku yang ditonjolkan

biasanya satu orang. Karangan narasi ekspositoris diwarnai oleh eksposisi,

yakni dengan penggunaan bahasa yang logis dan berdasarkan fakta.

Contoh narasi ekspositoris adalah biografi, autobiografi, atau kisah

pengalaman.

Narasi sugestif hampir sama dengan narasi ekspositoris. Sasaran

utamanya bukan memperluas pengetahuan pembaca, melainkan untuk

memberi makna pada peristiwa sebagai suatu pengalaman.32 Narasi

sugestif bersifat fiksi, karena dalam narasi sugestif, pengarang berusaha

memberikan suatu maksud tertentu, menyampaikan amanat terselubung

kepada pembaca sehingga tampak seolah-olah melihat. Maka dari itu

narasi sugestif selalu melibatkan daya khayal (imajinasi). Bahasa yang

digunakan dalam narasi sugestif lebih condong ke bahasa figuratif dengan

menitikberatkan penggunaan kata konotatif. Contoh narasi sugestif adalah

novel, cerpen, cerbung, ataupun cergam. Berdasarkan penjelasan di atas

dapat kita bedakan antara narasi ekspositoris dan narasi sugestif, yakni

narasi yang berisi fakta disebut narasi ekspositoris, sedangkan narasi yang

berisi fiksi disebut narasi sugestif.

32

Mustakim. Penggunaan Bahasa yang Efektif dalam Karya Tulis. Jakarta: Akademika Pressindo, 1991, h. 4


(42)

(43)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian

Tempat penelitian ini di SMK Miftahul Falah Kelurahan Cipulir

Kecamatan Kebayoran Lama Jakarta Selatan. Adapun waktu penelitian

dilaksanakan dari tanggal 19 Agustus sampai dengan tanggal 29 September

2011.

B. Fokus Penelitian

Fokus dalam penelitian ini ialah interferensi morfologis bahasa

Betawi yang terdapat dalam karangan siswa kelas XI SMK Miftahul Falah

Cipulir Kebayoran Lama.

C. Objek Penelitian

Objek dalam penelitian ini adalah karangan siswa kelas XI SMK

Miftahul Falah yang berlatar belakang suku Betawi. Karangan yang dijadikan

objek penelitian berjumlah 45 buah karangan.

D. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penulisan laporan penelitian ini adalah

metode deskriptif kualitatif dengan teknik analisis isi. Analisis digunakan

untuk mengetahui bentuk-bentuk interferensi bahasa Indonesia yang


(44)

dalam linguistik selalu ditunjang dengan kuantitatif dari segi penghitungan

data.3334 Metode deskriptif kualitatif digunakan karena penelitian ini tertuju

pada pengumpulan data, yaitu dengan cara menganalisis data kualitatif yang

diperoleh dari hasil penelitian, berupa data hasil menulis, karangan narasi

siswa, kemudian ditafsirkan.

E. Teknik Pengumpulan Data

Populasi penelitian meliputi seluruh murid kelas XI SMK Miftahul

Falah, yakni 61 siswa. Masing-masing siswa tersebut menulis satu karangan

narasi, totalnya sebanyak 61 karangan narasi. Karangan yang dijadikan

sampel penelitian adalah siswa yang berlatar belakang bahasa Betawi, yakni

45 siswa. Tema karangan bebas, tetapi berbentuk narasi untuk mempermudah

siswa dan lebih melindungi daya pikir dan imajinasi siswa. Panjang karangan

tidak terbatas, hanya disarankan minimal setengah halaman folio.

Setelah semua karangan terkumpul, penulis memisahkan karangan

siswa yang berlatar belakang bahasa Betawi dengan karangan siswa yang

tidak berlatar belakang bahasa Betawi berdasarkan data yang didapatkan dari

angket. Kemudian, setelah 45 karangan siswa yang berlatar belakang bahasa

Betawi terkumpul, setiap hasil karangan narasi siswa diberi nomor untuk

memudahkan mendaftar pendeskripsian data dan analisis data.

33

T. Fatimah Djajasudarma. Metode Linguistik Ancangan Metode Penelitian dan Kajian. Jakarta: Refika Aditama, 2006, h. 10


(45)

F. Teknik Analisis Data

Data yang dianalisis berjumlah 45 karangan. Data tersebut diambil

dari 45 siswa kelas XI SMK Miftahul Falah di Kelurahan Cipulir Kecamatan

Kebayoran Lama Jakarta Selatan yang berlatar belakang bahasa Betawi. Data

hasil karangan narasi siswa dianalisis dengan cara melihat dan

mengelompokkan bentuk-bentuk interferensi morfologis yang ditampilkan.

Kemudian pengelompokan interferensi morfologi dibagi berdasarkan

interferensi bentuk kata, afiks (prefiks, sufiks, infiks, dan konfiks), dan

pengulangan. Cara mengetahui bentuk-bentuk interferensi morfologis, yaitu

dengan membuat tabel interferensi mofologis. Untuk mempermudah

menganalisis karangan narasi siswa, maka dari tiap karangan yang telah

dianalisis langsung dikelompokkan dalam tabel bentuk-bentuk interferensi

morfologis. Adapun tabel bentuk interferensi yang digunakan sebagai


(46)

Tabel 2

Bentuk Interferensi Morfologis

No.

Urut

Siswa

Interferensi Morfologis Ket.

Kata

Afiks

Pengulangan Prefiks Sufiks Infiks Konfiks

1

2

3

dan

seterusnya

Setelah menganalisis dan mengelompokkan interferensi pada tabel

bentuk interferensi, langkah selanjutnya menganalisis kata yang paling sering

muncul dan kemungkinan pembetulannya. Kemudian langkah selanjutnya

adalah menghitung bentuk interferensi pada masing-masing karangan siswa,

menghitung interferensi pada masing-masing bentuk interferensi, dan

menghitung jumlah seluruh bentuk interferensi pada seluruh karangan siswa,

yaitu bentuk kata, afiks (prefiks, sufiks, infiks, dan konfiks), dan

pengulangan. Untuk memudahkan menghitung interferensi, maka penulis

membuat tabel jumlah interferensi. Adapun tabel jumlah interferensi


(47)

Tabel 3

Jumlah Interferensi Morfologis

No.

Urut

Siswa

Jumlah Interferensi Morfologis Jml.

Jml.

Kata

Kata

Afiks

Pengulangan Prefiks Sufiks Infiks Konfiks

1

2

3

dan

seterusnya

Jumlah

Selanjutnya, jumlah yang telah terkumpul dihitung dengan persentase.

Penghitungan persentase digunakan untuk mengetahui besarnya interferensi

yang terdapat pada seluruh karangan siswa. Adapun rumus persentasenya

adalah:

P = F X 100

N

Keterangan:

P = Persentase

F = Jumlah kata yang terinterferensi


(48)

Sedangkan untuk menghitung besarnya persentase interferensi pada

tiap karangan siswa berlatar belakang bahasa Betawi menggunakan rumus

sebagai berikut:

P = F X 100

N

Keterangan:

P = Persentase

F = Jumlah kata yang terinterferensi

N = Jumlah kata pada sebuah karangan siswa

Adapun rumus persentase untuk mengetahui seberapa besar karangan

siswa yang terfinterferensi bahasa Betawi, rumus persentasenya:

P = F X 100

N

Keterangan:

P = Persentase

F = Jumlah karangan yang terdapat interferensi


(49)

(50)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. HASIL PENELITIAN

1. Sejarah Berdirinya SMK Miftahul Falah

SMK Miftahul Falah Jakarta didirikan pada tahun 1996 dengan akta

Notaris No. 3 tahun 2007: Mena Trisni, S.H. Sebagai sebuah lembaga

pendidikan yang telah dikelola oleh Yayasan Al-Kairiyah memiliki

bidang/program keahlian Administrasi Perkantoran. Untuk menyongsong

era globalisasi dan melaksanakan manajemen berbisnis sekolah maka

diperlukan usaha nyata yang dapat mendorong dan meningkatkan kualitas

lulusan siswa SMK. Peningkatan kualitas dilakukan agar siswa memiliki

kecakapan hidup dan keberanian dalam memecahkan masalah yang timbul

di lingkungan mereka bekerja maupun bermasyarakat.

Melihat kenyataan yang ada SMK Miftahul Falah Jakarta sebagai

penghasil lulusan yang akan mengisi lapangan pekerjaan tingkat menengah

di perusahaan-perusahaan, tingkatnya tinggi persaingan kerja, maka

pendidikan menengah harus menyikapinya dengan bijak dan mengupayakan

peningkatan sarana prasarana. Agar kehadiran Sekolah Menengah Kejuruan

senantiasa didambakan masyarakat dan para tamatan dapat langsung diserap

oleh dunia kerja. Berdasarkan pengamatan di lapangan, jumlah Sekolah


(51)

a. Penataan program keahlian baru

b. Menyusun perencanaan penyelenggaraan pendidikan menengah

kejuruan

c. Mengembangkan pendidikan menengah kejuruan sebagai daerah pusat

pendidikan

Melihat kenyataan yang ada di SMK pada kelompok Bisnis dan

Manajemen bidang pekerjaannya adalah menjual jasa. Berdasarkan bidang

tersebut maka diperlukan tamatan yang berani mengambil risiko, selalu

ingin maju dan dapat memanfaatkan peluang yang ada.

2. Visi, Misi, dan Nilai-nilai

a. Visi

Menjadikan tamatan SMK Miftahul Falah Jakarta yang beriman,

bertaqwa dan bermoral tinggi, unggul dalam mutu, terampil dalam

teknologi, professional dan berjiwa wiraswasta.

b. Misi

1. Membina dan mendidik serta memotivasi siswa menjadi tamatan

yang terampil, potensial sesuai dengan bidang keahliannya.

2. Meningkatkan kompetensi siswa yang memilki kompetensi

berstandar nasional


(52)

4. Meningkatkan pengadaan prasarana untuk mendukung Kegiatan

Belajar Mengajar (KBM) yang optimal.

c. Nilai-nilai

Nilai-nilai yang harus dipedomani dan dijadikan acuan dalam

bertindak dan berprilaku adalah:

1. Kebersamaan, menentukan tujuan bersama dalam memecahkan

masalah bersama, membagi dan menyelesaikan tugas bersama

mencapai hasil dan menikmatinya untuk kepentingan bersama.

2. Transparansi, yakni adanya sistem keterbukaan dalam pengambilan

keputusan/kebijakan dan hubungannya antar sesama warga Sekolah.

3. Tanggung jawab, yakni warga sekolah harus melaksanakan tugas

dengan baik sesuai dengan tugasnya masing-masing.

3. Keadaan Guru, Siswa, dan Program Sekolah

a. Keadaan Guru SMK Miftahul Falah Tahun 2011-2012 Tabel 4

Keadaan Guru SMK Miftahul Falah

No Nama Guru Tempat, Tanggal Lahir

Pendidikan

Terakhir

Mata Pelajaran

1 Drs. H. Masrur A. M. Tuban, 04 April 1959 SI Agama PAI

2 Drs. H. Abdus Syukur Jakarta, 05 Juli 1956 SI Agama B. Inggris


(53)

4 Fahrul Lail, S.Pd. Jakarta, 30 September 1969 SI Pendidikan Produktif

5 H. Sudaryono S.H. Lampung, 03 Juni 1958 SI Hukum Pkn

6 H. Khairudi, S.Pd.I. Jakarta, 12 Juni 1960 SI Pendidikan Islam Pkn

7 Drs. Komarudin Jakarta, 30 Januari 1967 SI Agama Kewirausahaan

8 Fahrul Hilal, M.Pd. Jakarta, 10 Agustus 1961 SII Pendidikan B. Inggris

9 M.Amin, S.Ag. Tangerang, 27 Januari 1974 SI Agama Penjaskes

10 Farhah, S.Ag. Jakarta, 01 Agustus 1973 SI Agama Matematika

11 Siti Mufrijah, S.Ag. Cianjur, 09 Januari 1974 SI Agama Produktif

12 Latif S.Pd.I. Jepara, 24 Maret 1965 SI Pendidikan Islam B. Indonesia

13 Drs. Agus A. Y. Bogor, 24 April 1967 SI Agama Steno

14 Agus Yuniarto, S.E. Jakarta, 30 Juni 1968 SI Ekonomi Seni Budaya

15 Syamsul Bahri, S.Pd. Medan, 03 Agustus 1967 SI Pendidikan Produktif

16 Ruri Fitria S.Pd. Jakarta, 03 September 1978 SI Pendidikan BK

17 Hj. Mumtaz Sardewi, S.T. Jakarta, 13 Desember 1972 SI Teknologi IPA

18 Hidayatullah, S.E.I Tangerang, 07 September 1976 SI Ekonomi Islam KKPI


(54)

b. Keadaan Siswa SMK Miftahul Falah Tahun 2011 – 2012

Anak didik merupakan salah satu faktor yang sangat penting di

dalam proses belajar mengajar, sebab anak didik merupakan subjek

yang mendukung keberhasilan pendidikan di samping faktor penunjang

lainya. Dalam pendidikan islam anak didik dipandang sebagai anak

yang tumbuh dan sedang berkembang, baik secara fisik maupun secara

psikologis untuk mencapai tujuan pendidikan melalui lembaga

pendidik. Anak didik merupakan anak belum dewasa yang memerlukan

orang lain untuk menjadikannya dewasa.

Murid-murid SMK Miftahul Falah berasal dari daerah sekitar

Jakarta, ada juga pendatang. Sedangkan latar belakang sosial ekonomi

merekapun bermacam-macam, ada siswa yang berasal dari keluarga

pedagang, pegawai negeri, buruh dan lain-lain.

Tabel 5

Keadaan Siswa SMK Miftahul Falah

No Kelas

Program Studi

Tahun 2009/2010

Tahun 2010/2011

Tahun 2011/2012

L P J L P J L P J

1 X

Administrasi

Perkantoran


(55)

2 XI

Administrasi

Perkantoran

17 19 36 19 18 37 32 29 61

3 III

Administrasi

Perkantoran

41 33 74 11 22 33 14 17 31

JUMLAH 77 70 147 68 68 136 92 105 197

Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa jumlah siswa di

SMK Miftahul Falah setiap tahunnya, bisa meningkat bisa pula

menurun. Peningkatan jumlah siswa terlihat pada siswa baru kelas X.

Melihat hal tersebut dapat dibuktikan bahwasanya masyarakat tambah


(56)

c. Program Sekolah

Tabel 6

PEMBAGIAN TUGAS SMK MIFTAHUL FALAH TAHUN PELAJARAN 2011/2012

No Nama Jabatan Mata Pelajaran Kelas Jml. Jml.

XA XB XIA XIB XII

1 Drs. H. Masrur A. M. Kepsek Tilawah 1 1 1 1 1 5 5

2 Drs. H. Abdus Syukur Wakakur Bahasa Inggris 4 4 3 3 - 14 16

Pendidikan Agama Islam 2 2

3 H. Anwar H. S.

Pendidikan Agama Islam 2 2 2 2 - 8 13

Bahasa Arab 1 1 1 1 1 5

4 H. A. Suhaimi, S.E., M.M.

Ilmu Pengetahuan Sosial 2 2 2 2 - 8

16

Menerapkan K3LH 2 2 - - - 4

Mengaplikasikan Administrasi

Perkantoran Di Tempat Kerja - - - - 2 2 Memberikan Pelayanan

Kepada Pelanggan - - - - 2 2

5 Fahrul Lail, S.Pd. Mengelola Sistem Kearsipan 2 2 2 6 14

6 H. Sudaryono, S.H.

Pendidikan Kewarganegaraan 2 2 - - - 4 8 Mengelola Prinsip Kerja Sama

dengan Kolega 2 2 - - - 4

7 Khairudi, S.Pd.I. Pendidikan Kewarganegaraan - - 2 2 2 6 6

8 Drs. Komarudin Ka. Prog.

Kewirausahaan 2 2 2 2 2 10

18 Mengelola Peralatan Kantor - - 2 2 - 4 Mengaplikasikan Ketrampilan

Dasar Komunikasi 2 2 - - - 4

9 Fahrul Hilal, M.Pd. Bahasa Inggris - - - - 5 5 5

10 M. Amin, S.Ag. Penjaskes 2 2 2 2 2 10 10

11 Farhah, S.Ag. Matematika 4 4 - - - 8 8

12 Siti Mufrijah, S.Ag.

Mengelola Peralatan Kantor 2 2 - - - 4 6 Memproses Perjalanan Bisnis - - - - 2 2 13 Abdul Latif, S.Pd. Bahasa Indonesia 2 2 2 2 2 10 10

14 Drs. Agus A. Y. Membuat Dokumen - - 2 2 - 4 4

15 Hidayatullah, S.E.I. KKPI 2 2 2 2 2 10 10

16 Agus Yuniarto, S.E. Mengelola Dana Kas Kecil - - - - 2 2 10

Seni Budaya 2 2 2 2 - 8

17 Syamsul Bahri, S.Pd.

Mengoperasikan Aplikasi

Prangkat Lunak - - - - 2 2

19 Pengoperasikan Aplikasi

Presentasi - - - - 2 2

Menangani Pengadaan

Dokumen - - 2 2 - 4

Menangani Surat Dokumen

Kantor - - 2 2 - 4

Melakukan Prinsip-prinsip

Administrasi Perkantoran 2 2 - - - 4 Mengelola Data/Informasi Di

Tempat Kerja - - 1 1 1 3


(57)

19 Hj.Mumtaz Sardewi, S.T. Ilmu Pengetahuan Alam 2 2 2 2 2 10 22

Matematika - - 4 4 4 12

20 Zainudin, S.Ag.

Mengelola Pertemuan Rapat - - 2 2 - 4 8 Melakukan Prosedur

Administrasi 2 2 - - - 4

Jumlah 41 41 41 41 41 205 205

B. PEMBAHASAN 1. Deskripsi Data

Data yang terkumpul dari hasil angket yang telah disebarkan kepada

siswa, diolah menjadi sebuah tabel. Tujuan pembuatan tabel adalah agar

data yang diperoleh mudah untuk memberikan arti dan pengertian. Cara

mendapatkan hasil penelitian adalah dengan datang ke sekolah terlebih

dahulu untuk meminta izin melakukan observasi dengan menyertakan surat

observasi, angket, serta proposal penelitian. Setelah mendapatkan izin,

barulah mulai observasi yang berkaitan dengan penelitian. Setelah

mendapatkan informasi yang sebanyak-banyaknya, barulah meminta izin

untuk melakukan penelitian dengan menyertakan surat izin penelitian.

Penelitian hari pertama adalah penyebaran angket kepada seluruh

siswa-siswi kelas XI SMK Miftahul Falah. Penyebaran angket dilakukan

untuk mengetahui latar belakang siswa satu persatu. Setelah mengetahui

latar belakang siswa, dari 61 Siswa SMK Miftahul Falah, terdapat 45 siswa

yang berlatar belakang Betawi.

Cara mengetahui siswa yang berlatar belakang bahasa Betawi adalah

dengan melihat angket, yakni suku dan bahasa orangtua, bahasa sehari-hari,


(58)

Betawi dan bahasa yang digunakan juga bahasa Betawi, bahasa sehari-hari

dan bahasa pertama adalah bahasa Betawi, maka siswa tersebut murni

berlatar belakang bahasa Betawi. Contoh lain misalkan, ayah dan ibu bukan

dari suku betawi, dan bahasa yang digunakan bahasa Indonesia, tetapi

bahasa sehari-hari dan bahasa pertamanya adalah bahasa Betawi, maka

siswa tersebut juga dapat dikatakan berlatar belakang bahasa Betawi.

Kemungkinan yang terjadi pada siswa tersebut adalah siswa tidak tinggal

bersama orangtuanya, melainkan dengan seseorang yang berlatar belakang

bahasa Betawi. Latar belakang siswa sangat terkait dengan lingkungan

tempat tinggalnya.

Sebelum meminta siswa untuk menulis karangan narasi, ada baiknya

mereka diingatkan terlebih dahulu tentang hakikat karangan narasi. Setelah

simulasi, seluruh siswa diminta untuk mengarang karangan narasi. Hasil

karangan tersebut dikumpulkan menjadi satu dan dipisahkan ke-45

karangan siswa yang berlatar belakang bahasa Betawi, sedangkan karangan

siswa yang tidak berlatar belakang bahasa Betawi diabaikan. Penulis

beranggapan bahwa siswa yang berlatar belakang bahasa Betawi akan

banyak melakukan interferensi bahasa Betawi dalam karangannya

dibandingkan siswa yang tidak berlatar belakang bahasa Betawi. Ke-45

karangan siswa berlatar belakang bahasa Betawi dianalisis lebih lanjut,

untuk mengetahui ada atau tidaknya interferensi bahasa Betawi yang


(59)

Berdasarkan hasil penelitian pertama, banyak siswa yang belum

mengerti dan paham betul tentang karangan narasi. Banyak dari siswa yang

mengarang seperti halnya menulis diary. Selain itu, karangan siswa banyak yang tidak memiliki rangkaian peristiwa seperti halnya konflik dan tidak

mencantumkan waktu dan tempat dimana peristiwa itu terjadi. Bahkan,

banyak dari siswa yang juga tidak menulis karangan narasi, melainkan

deskripsi dan eksposisi. Dari hasil penelitian pertama yang penulis dapat,

penulis menyimpulkan bahwa perlu diadakan penelitian kedua kalinya.

Penelitian tersebut dilakukan di dalam kelas. Seluruh siswa mengulang

karangan narasinya, karena dikhawatirkan siswa yang tidak mengulang

akan mengganggu kosentrasi siswa lain yang mengulang.

Setelah melakukan penelitian kedua kalinya, ternyata masih saja ada

sebagian siswa yang belum dapat mengarang karangan narasi dengan baik.

Siswa yang belum menulis karangan hanya sejumlah empat orang, maka

diadakan penelitian ketiga dengan hanya memanggil siswa yang masih

harus mengulang. Penelitian ketiga tidak dilakukan di kelas, melainkan di

musala. Tempat ini dipilih dengan alasan agar keempat siswa tersebut lebih

mudah untuk berimajinasi dan menjauhkan dari gangguan kosentrasi yang

disebabkan kebisingan siswa lain yang tidak mengulang.

Setelah menyelesaikan penelitian ketiga, barulah peneliti

mendapatkan hasil yang memuaskan. Seluruh karangan tersebut diberi

nomor terlebih dahulu untuk memudahkan penulis dalam menganalisis.


(60)

2. Analisis Data

Dalam menganalisis hasil karangan siswa, seperti yang telah

dijelaskan sebelumnya, penulis membuat tabel bentuk interferensi

morfologis. Langkah pertama, penulis menganalisis seluruh karangan siswa

dan menggarisbawahi unsur yang terinterferensi bahasa Betawi. Setelah

menggarisbawahi semua unsur yang terinterferensi bahasa Betawi, penulis

mengelompokkannya berdasarkan bentuknya. Penjelasan selanjutnya

terlihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 8

Bentuk Interferensi Morfologis No.

Urut Siswa

Interferensi Morfologis

Keterangan Kata

Afiks

Pengulangan Prefiks Sufiks Infiks Konfiks

1 abis habis

2 3

4 jalanin menjalani

begituh begitu

gak tidak

setaun setahun

ninggalin meninggalkan


(61)

tapi tetapi

5 ga tidak

tapi tetapi

berantem berantam

ngobrol mengobrol

6 tapi tetapi

keliatan terlihat

ga tidak

aja saja

kalo kalau

kesel kesal

cekek cekik

denger dengar

udah sudah

ngomongin mengomongkan musuhin memusuhi

tapi tetapi

7 tapi tetapi

ga tidak

bekatta berkata

8

9 kenalin kenalkan

apah apa

gua saya

ngerti mengerti

nyasar menyasar


(62)

dulu dahulu

gak tidak

dapet dapat

temen teman

bener benar

ngerasa merasa

tapi tetapi

tau tahu akan

aja saja

kalo kalau

maen main

deket dekat

ama sama

ngerasain merasakan nafkahin menafkahi

seneng senang

Baikan lebih baik

mikir memikir

ketemu bertemu

10

11 tapi tetapi

12 tapi tetapi

udah sudah

13 tapi tetapi

ga tidak

14 tau tahu akan


(63)

16

17 kalo kalau

perna pernah

hidaya hidayah

18 19

20 tapi tetapi

21 tapi tetapi

maen main

kaga tidak

kalo kalau

masa bodo masa bodoh

aja saja

tau tahu akan

tetep tetap

sampe sampai

ngertiin mengertikan

tau tahu akan

cape capai

22 tau tahu akan

nasehat nasihat

23 sodara saudara

tapi tetapi

bedain bedakan

bakal akan

buktiin buktikan


(64)

25 tapi tetapi

dulu dahulu

sebel sebal

26 27 28

29 mengibur menghibur

30 tapi tetapi

ditegor ditegur

ngumpulin mengumpulkan

gimana bagaimana

31 ngomelin memarahi

memarahin memarahi mikirin memikirkan 32

33 tapi tetapi

bahagiaan lebih bahagia

34 gue saya

ketawa tertawa

liat lihat

kalo kalau

udah sudah

gak tidak

lamaan lebih lama

tapi tetapi

jelasin jelaskan


(65)

ngobrolin mengobrolkan nyambung menyambung

tapi tetapi

kalo kalau

36 liat lihat

melemparin melemparkan

menasehati menasihati

37 ngikutin mengikuti

nyamain menyamakan

tapi tetapi

mengeliat melihat

malemnya malamnya

ngigo mengigau

keluarge keluarga

kite kita

iye iya

38 ga tidak

tapi tetapi

ituh itu

dimanah dimana

39 diboncengin diboncengi

temen teman

pengen ingin

keselnya kesalnya

40 tapi tetapi

lemes lemas


(66)

tapi tetapi

tau tahu akan

gimana bagaimana

42 kebon kebun

tapi tetapi

semuah semua

kalo kalau

43 tapi tetapi

ngomong mengomong

ngobrol mengobrol

nyambung menyambung

44 ogah tidak mau

ogahan lebih tidak mau

45 tapi tetapi

Dengan menggunakan data dari tabel di atas, bentuk-bentuk

interferensi bahasa Betawi pada karangan narasi siswa dapat terlihat lebih

mudah. Dari data tersebut terlihat bentuk yang dominan terinterferensi dan

bentuk yang jarang terinterferensi. Interferensi pada bentuk kata lebih

dominan timbul, sedangkan interferensi dalam bentuk pengulangan tidak

muncul dalam karangan siswa. Selain pengulangan interferensi dalam afiks

kategori infiks juga tidak muncul.

a. Analisis Interferensi Bentuk Kata

Interferensi pada bentuk kata yang sering muncul adalah

penggunaan kata gue, tau, tapi, dan kalo.


(67)

Contoh narasi yang terdapat interferensi kata gue sebagai berikut:

Gue ribut ama temen gue dan akhirnya dia juga putus. Tapi gue

mikir buat apah gue ribut, cowo banyak kali. Akhirnya gue

baikan ama dia. Dan, dari situ gue belajar sahabat lebih penting dari apapun meskipun pacar sekalipun. Ini pengalaman banget buat gue.

Kalimat tersebut merupakan struktur kalimat bahasa Indonesia yang

terinterferensi bahasa Betawi, karena terdapat unsur bahasa Betawi

yang masuk ke dalam struktur kalimat tersebut. Kata gue merupakan

bahasa Betawi yang berarti „saya‟ dalam bahasa Indonesia. Meskipun kata gue identik dengan bahasa Gaul, kata gue di sini berasal dari

bahasa Betawi gua yang berarti „saya‟. Kata gue, gua, guah

merupakan unsur dari bahasa Betawi yang berarti „saya‟. Kata gue pada kalimat di atas dapat diganti dengan kata „aku‟ atau „saya‟ untuk

menggantikan orang pertama. Selain itu, contoh lain interferensi dari

kata gue sebagai berikut:

Walaupun masuk rumah hantu bikin tegang tetapi Riya selalu menguji keberanian saya, padahal gue udah takut baget. Tapi gak apa-apa deh demi sahabat gue, gue jadi berani.

2. Interferensi kata tau

Contoh narasi yang terdapat interferensi kata tau sebagai berikut:

Aku merasa senang sekali mempunyai sahabat seperti mereka-mereka, aku beruntung sekali mempunyai sahabat seperti mereka yang selalu ada disaat aku membutuhkan dia, selalu menghibur aku disaat aku sedang sedih. Sahabat adalah seseorang yang tau

akan perasaan kita disaat kita sedang gembira maupun sedih. Kata tau merupakan bahasa Betawi yang berarti „tahu akan‟ dalam


(1)

Jendra, Made Iwan Indrawan. Sociolinguistics The Study of Societies’ Languages. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010

Karjaya. “Interferensi Morfologi dalam Penggunaan Bahasa Indonesia oleh Murid Sekolah Dasar Di Cirebon yang Berbahasa Pertama Bahasa Jawa Cirebon”. Skripsi SI. Jakarta: Universitas Negeri Jakarta, 1990

Keraf, Gorys. Argumentasi dan Narasi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1982

Komariyah, Siti. Interferensi Bahasa Inggris dalam Bahasa Indonesia pada Surat Kabar di Surabaya. Jakarta: Pusat Bahasa Depdiknas, 2008

Lumintaintang, Yayah B. Pemakaian Bahasa Indonesia dan Dialek Jakarta. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud, 1981

Marahimin, Ismail. Menulis Secara Populer. Jakarta: Pustaka Jaya, 2010

Muhadjir. Bahasa Betawi Sejarah dan Perkembangannya. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2000

_______. Morfologi Dialek Jakarta Afiksasi dan Reduplikasi. Jakarta: Djambatan, 1984

Mustakim. Penggunaan Bahasa yang Efektif dalam Karya Tulis. Jakarta: Akademika Pressindo, 1991

Nuryadi, Sugeng. “Interferensi Leksikal Dialek Jakarta dalam Karangan Siswa Kelas 6 SD Di Kelurahan Petir Kecamatan Cipondoh Tangerang”. Skripsi SI. Jakarta: Universitas Negeri Jakarta, 2002

Rahardi, R. Kunjana. Kajian Sosiolinguistik. Bogor: Ghalia Indonesia, 2010

Ramadhan, Chairil Gibran. Sebelas Colen Di Malam Lebaran Setangkle Cerita Betawi. Jakarta: Masup, 2008


(2)

Rohmadi, Muhammad dan Aninditya Sri Nugraheni. Belajar Bahasa Indonesia: Upaya Terampil Berbicara dan Menulis Karya Ilmiah. Surakarta: Cakrawala Media, 2011

Safitri, Yarlis. “Interferensi Fonologis dan Morfologis Dialek Jakarta dalam Berpidato SISWA SLTPN 104 Jakarta Selatan”. Skripsi SI. Jakarta: Universitas Negeri Jakarta, 2002

Soedjatmoko. An Introduction to Indonesian Historiography. London: Cornell University Press, 1975

Sudarno dan Eman A. Rahman. Kemampuan Berbahasa Indonesia. Jakarta: Hikmat Syahid Indah, 1986

Wibowo, Wahyu. Manajemen Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003

Zainal. “Kesalahan Berbahasa Tulis Siswa yang Berlatar Belakang Bahasa Bawean dalam Berbahasa Indonesia”. Skripsi SI. Jakarta: Universitas Negeri Jakarta, 1991


(3)

LAMPIRAN I

Persentase Interferensi Morfologis dalam Karangan Narasi Siswa No. Urut

Siswa

JKK JKS Persentase Kesalahan

1 170 1 00,60%

2 125 0 00,00%

3 305 0 00,00%

4 179 9 05,00%

5 323 6 01,85%

6 267 27 10,10%

7 169 4 02,35%

8 248 0 00,80%

9 289 88 30,50%

10 159 0 00,00%

11 103 1 00,95%

12 106 2 01,90%

13 355 2 00,55%

14 274 1 00,35%

15 120 1 00,85%

16 100 0 00,00%

17 174 3 01,70%

18 183 0 00,00%

19 188 0 00,00%

20 181 1 00,55%

21 194 25 12,90%

22 181 3 01,65%

23 224 8 03,55%

24 241 0 00,00%


(4)

26 291 0 00,00%

27 132 0 00,00%

28 283 0 00,00%

29 217 1 00,45%

30 347 6 01,70%

31 362 4 01,10%

32 140 0 00,00%

33 118 4 03,40%

34 301 14 04,65%

35 164 7 04,25%

36 138 4 02,90%

37 247 12 04,85%

38 336 10 03,00%

39 176 4 02,30%

40 128 2 01,55%

41 221 6 02,70%

42 192 6 03,10%

43 107 4 03,75%

44 179 2 01,10%

45 100 1 01,00%

Keterangan Tabel:

JKK : Jumlah Kata dalam Karangan JKS : Jumlah Kata yang Salah

Persentase jumlah kata yang salah pada tiap-tiap karangan: P = JKS


(5)

LAMPIRAN II

DATA SISWA KELAS XI SMK MIFTAHUL FALAH CIPULIR KEBAYORAN LAMA

Nama Siswa : ………

Kelas : ………

Tempat lahir : ………

Alamat : ………

Kecamatan: ……… Kelurahan: ………

Suku Ayah : ………

Suku Ibu : ………

Bahasa Ayah : ………

Bahasa Ibu : ………

Bahasa sehari-hari : ………

Bahasa pertama : ………


(6)

BIOGRAFI PENULIS

Lieza Yanti, lahir di daerah Ululazmi (Sekarang Ulujami) Kecamatan Pesanggrahan pada tanggal 6 Maret 1990. Nama Lengkap Lieza Yanti Fikrulloh Hidayat, merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Taufik Hidayat bin H. Muslim dan Rukiah Hidayat binti H. Ma‟ruf yang saat ini masih tinggal di daerah kelahirannya di Jakarta Selatan. Penulis memiliki dua orang adik laki-laki, yaitu Maulana Subhi dan Rafdi Prayuda Akbar (bungsu). Ayah dan ibu keturunan suku Betawi asli, menjadi salah satu alasan bagi penulis untuk menggali lebih dalam tentang bahasa Betawi.

Penulis memulai pendidikannya dari TK Perwira, kemudian melanjutkannya ke MI Darussalam pernah menjadi dokter kecil dan mempunyai impian untuk menjadi seorang dokter. Penulis melanjutkan sekolahnya di MTsN 13 dan cukup aktif dalam bidang IPA, kemudian melanjutkannya di SMAN 108 Jurusan IPA dan sempat menggeluti bidang kimia dan biologi. Lulus SMA, penulis mencoba peruntungan di dunia Linguistik dan Sastra Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia sampai menduduki semester IX (Sembilan).

Menurut penulis, interferensi merupakan pengacauan dalam berbahasa yang dapat merugikan kedua belah pihak. Bahasa Betawi yang lambat laun kehilangan penutur aslinya dan bahasa Indonesia yang tidak baik dan benar. Maka dari itu, dalam skripsi ini penulis mencoba membenahi bahasa Indonesia dan bahasa Betawi agar masyarakat dan pembaca lebih paham mengenai dua bahasa tersebut yang hampir serupa tetapi pada dasarnya berbeda, agar pengguna bahasa lebih memperhatikan rambu-rambu dalam berbahasa. Kecakapan dalam berbahasa perlu dipelajari sejak dini! Karena dari bahasalah seseorang menunjukkan jati dirinya.