b. Infiks -em- : jemari, gemetar, seminar, dan sebagainya.
c. Infiks -er- : gerigi, gendering, rerumput, dan sebagainya.
4. Konfiks, yaitu pembentuk gabungan awalan dan akhiran pada kata
dasar. Seperti pe-an, per-an, per-kan, per-i, ke-an, ke-nya, se-nya, me-kan, me-i, dan ber-an.
Contoh: a.
Konfiks pe-an : pelanggaran, penggarisan, dan sebagainya.
b. Konfiks per-an
: peraturan, perawatan, dan sebagainya. c.
Konfiks per-kan : perlihatkan, perdebatkan, dan sebagainya. d.
Konfiks per-i : perbaiki, pergauli, dan sebagainya.
e. Konfiks ke-an
: kenakalan, keadaan, dan sebagainya. f.
Konfiks ke-nya : keduanya, ketiganya, dan sebagainya
g. Konfiks se-nya
: seandainya, sekiranya, dan sebagainya h.
Konfiks me-kan : meramaikan, menyucikan, dan sebagainya. i.
Konfiks me-I : meludahi, melampaui, dan sebagainya.
j. Konfiks ber-an
: bertaburan, berlarian, dan sebagainya. c.
Pengulangan Pengulangan atau yang disebut juga reduplikasi, yakni proses
pengulangan bentuk kata dasar. Wujud fisik dari proses reduplikasi adalah kata ulang, atau disebut juga bentuk ulang.
13
Contoh: kuning- kuning, ramai-ramai, jari-jemari, bermacam-macam, sayur-mayur, dan
sebagainya.
13
Ibid, h. 28
Berdasarkan pandangan ahli linguistik, interferensi morfologis dapat diartikan sebagai pelanggaran berbahasa dengan adanya unsur
serpihan dari bahasa lain dalam pembentukan kata dari bahasa itu sendiri. Pembentukan kata yang tidak sesuai dengan kombinasinya dianggap
sebagai suatu pelanggaran yang disebut dengan interferensi morfologis. Interferensi morfologis dapat terjadi pada bentuk terikat seperti prefiks,
sufiks, dan konfiks. Contoh interferensi morfologis adalah neonisasi, tendanisasi, ketabrak, kejebak, yang seharusnya dalam bahasa Indonesianya
adalah peneonan, penendaan, tertabrak, terjebak. Bahasa Indonesia tidak mengenal sufiks
–isasi, melainkan konfiks pe-an untuk menyatakan proses. Bahasa Indonesia juga menggunakan prefiks ter- untuk menyatakan
ketidaksengajaan. Sedangkan kata ketabrak dan kejebak berasal dari bahasa Jawa dan Betawi yang menyatakan ketidaksengajaan.
Contoh kalimat yang mengandung interferensi morfologis: 1. Tolong ambilin pulpen saya
Tolong ambilkan pulpen saya 2. Maaf bu, tadi saya ketiduran.
Maaf bu, tadi saya tertidur. 3. Sebaiknya kamu diam wae, dari pada membuat pusing.
Sebaiknya kamu diam saja, dari pada membuat pusing. 4. Yah apa boleh buat, better late than no it.
Yah apa boleh buat, lebih baik telat dari pada tidak. Berdasarkan contoh interferensi morfologis di atas, membuktikan
bahwa bahasa Indonesia dapat terinterferensi bahasa Betawi, Jawa, Sunda, bahkan Inggris sekalipun.
3. Teori Bahasa Betawi
Pembicaraan mengenai bahasa Betawi, sama halnya seperti pembicaraan mengenai bahasa Indonesia. Bahasa Betawi dan bahasa
Indonesia lahir dari bahasa Melayu. Pembicaraan mengenai bahasa Indonesia sama halnya dengan membicarakan bahasa Melayu. Soedjatmoko
mengungkapkan bahwa: ....Kedua bahasa tersebut sebelumnya sama. Kedua bahasa tersebut
walaupun mengandung dialek yang berbeda, tetap disebut Malay Melayu, istilah bahasa Indonesianya. Bahasa Indonesia telah
menggunakan bahasa Melayu sejak tahun 1928.
14
Pernyataan tersebut sama halnya dengan Muhajir yang mengatakan bahwa, bahasa Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 28 Oktober 1928
diangkat dari bahasa Melayu.
15
Pada hakikatnya, bahasa Indonesia bersumber dari bahasa Melayu yang telah dipakai bertahun-tahun lamanya.
Bahasa Melayu pada saat itu telah dipakai sebagai lingua franca antarsuku
14
Soedjatmoko. An Introduction to Indonesian Historiography. London: Cornel University Press, 1975, h. 160
15
Muhadjir. Bahasa Betawi Sejarah dan Perkembangannya. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2000, h. 102
baik dalam lisan maupun dalam tulisan. Bahasa Melayu tidak jauh berbeda dengan bahasa Indonesia. Masyarakat yang mula-mula memakai bahasa
Melayu sebagai lingua franca, kemudian dibebani tugas yang tak mudah, yaitu mengganti bahasanya dengan Bahasa Indonesia. Perubahan bahasa
seperti ini membuat bahasa Melayu masih tetap dipakai oleh sekelompok masyarakat sebagai percakapan sehari-hari, khususnya di daerah Jakarta.
Orang Jakarta asli menyebut dirinya orang Betawi, atau orang Melayu Betawi, atau orang Selam baru setelah kemerdekaan tercapai,
nama mereka lebih dikenal dengan sebutan orang Jakarta.
16
Berbeda dengan bahasa Indonesia yang bersumberkan bahasa Melayu, bahasa yang
dipakai oleh masyarakat Betawi adalah Melayu Betawi. Setelah kemerdekaan bahasa Betawi lebih dikenal dengan bahasa Jakarta. Adanya
variasi bahasa berkenaan dengan latar belakang asal keturunan yang berbeda, maka bahasa Melayu Jakarta secara regional dapat dibagi menjadi
beberapa bagian dialek. Beberapa bagian dari dialek satu dengan yang lain agak berbeda ucapannya. Orang Jakarta sendiri menyebut perbedaan ucapan
berkenaan dengan letak geografis itu dengan istilah logat. Misalnya, di daera
h Tanah Abang menyebutkan kata „rumah‟ dalam bahasa Indonesia disebut dengan rume. Sedangkan di daerah Kar
et, kata „rumah‟ dalam bahasa Indonesia disebut dengan ruma. Di daerah Kebayoran menyebutkan
kata „rumah‟ dalam bahasa Indonesia diucapkan tetap rumah. Karena persamaan bahasa Jakarta dengan bahasa Indonesia yang lebih banyak dari
16
Abdul Chaer. Kamus Dialek Melayu Jakarta-Bahasa Indonesia. Jakarta: Nusa Indah, 1976, h. XVII
pada perbedaannya, membuat masyarakat Betawi mudah berbaur dengan bahasa Indonesia.
17
Contoh tersebut menandakan adanya ketidaktetapan pengucapan bahasa Betawi yang dilakukan oleh masyarakatnya.
Ketidaktetapan tersebut membuat pendengarnya sulit untuk melihat perbedaan yang sangat mendasar antara bahasa Betawi dengan bahasa
Indonesia. Ketidaktetapan itu pula yang membuat mayarakat Betawi rentan melakukan interferensi bahasa Betawi dalam bahasa Indonesia.
Selain bersumberkan bahasa Melayu, letak kota Jakarta yang berada di pulau Jawa, membuat masyarakat Betawi banyak menyerap
bahasa Jawa. Di bidang sintaksis agak lebih khas ke bahasa Jawa, bahasa Sunda, dan bahasa Bali.
1819
Meskipun banyak menyerap, bahasa Betawi tidak menunjukkan kecondongan hubungan dari ketiganya. Contoh serapan
dari bahasa
Jawa, kata
ora, ndhewe,
ketiduran menyatakan
ketidaksengajaan, dalam bahasa Betawi menjadi orak, dewek, dan ketiduran tetap menyatakan ketidaksengajaan.
Orang Betawi asli boleh dikatakan seratus persen beragama islam, karena letaknya di Jakarta. Oleh karena itu, bahasa arab menjadi bahasa
asing pertama yang mempengaruhi bahasa Betawi. Terlihat pula penyerapan bahasa Arab dari kata anta, ana, Bismillah, Alhamdulillah,
afdhol, dalam bahasa Betawi menjadi ente, ane, Bismille, Alhamdulille, apdol. Berdasarkan penjelasan tersebut, bahasa Betawi hanya menyerap
17
Ibid, h. XVIII
18
Kay Ikranagara. Tata Bahasa Melayu Betawi. Jakarta: Balai Pustaka, 1988, h. 287
bahasa keagamaan, bukan bahasa keagamaan yang memiliki makna terbatas. Sebagai kesimpulan dapat dikatakan bahwa di satu pihak bahasa
Betawi masih ada dalam pengertian yang sesungguhnya, meskipun sumbernya yang di kota, yaitu konteks sosialnya, semakin kering.
20
Oleh karena itu, pemertahanan bahasa betawi diperlukan untuk melestarikan
bahasa Betawi agar tidak kehilangan penutur aslinya. Ciri-ciri bahasa Betawi
a. Orang Betawi menunjukkan kekhasan dengan banyak mengucapkan kata berfonem a menjadi e, fonem u menjadi o, fonem o menjadi u.
Tabel 1 Ciri fonologi bahasa Betawi
Kata dalam bahasa Indonesia
Fonem a menjadi e
Fonem u menjadi o
Fonem o menjadi u
apa ape
rabu rebo
rebo roti
ruti mobil
mubil b. Bahasa Betawi tidak mengenal vokal rangkap atau diftong ai dan au.
Kata yang dalam bahasa Indonesia diucapkan dengan diftong e dan o dalam bahasa Betawi. Contohnya kata
„cerai‟, „rantai‟, „tembakau‟, „pulau‟, diucapkan sebagai cere, rante, tembako, pulo.
20
C.D. Grijns. Kajian Bahasa Melayu – Betawi. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1991, h. 262