BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Waralaba sebagai suatu bentuk pengembangan usaha telah mendapat perhatian dari Warren J Keegen. Sebagaimana dikutip oleh Gunawan Widjaja,
bahwa para pengusaha yang bermaksud mengembangkan usahanya secara internasional dapat melakukan beberapa macam pilihan cara, dari yang paling
sederhana hingga yang paling kompleks. Secara singkat dikatakan oleh Keegen bahwa ada lima macam cara pengembangan usaha, yaitu melalui: perdagangan
internasional dengan cara impor-ekspor, dengan pemberian lisensi, melakukan franchising pemberian waralaba, membentuk perusahaan patungan joint
venture, melakukan penanaman modal langsung foreign direct investment dengan kepemilikan yang menyeluruh atau melalui merger, konsolidasi, maupun
akuisisi. Franchise atau waralaba bukanlah suatu industri yang baru dikenal, meskipun
legalitas yuridisnya baru dikenal di Indonesia pada tahun 1997 dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah RI No.16 Tahun 1997 Tanggal 18 Juni
1997 tentang Waralaba, dan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan
RI No.259MPPKEP1997 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba.
1
Konsep waralaba muncul sejak 200 SM. Pada masa itu sebuah rantai toko makanan di Tiongkok menerapkan konsep distribusi dengan sistem waralaba
lisensi produkmerek. Era modern waralaba berkembang di Amerika Serikat pada tahun 1863 yang dilakukan perusahaan jahit Singer dan kemudian diikuti Coca
Cola pada tahun 1899. Di Indonesia waralaba mulai berkembang pada tahun 1950-an dengan
munculnya dealer kendaraan bermotor melalui pembelian lisensi.
2
Perkembangan kedua dimulai pada tahun 1970-an. Adalah pengusaha Es Teler 77 yang pertama-
tama mempopulerkan lembaga waralaba di Indonesia. Bersamaan itu pula masuklah waralaba asing di Indonesia yang dirintis oleh restoran fast food seperrti
KFC, Shakey Pizza, Pizza Hut, dan Pioner Fried Chicken. Setelah itu, perkembangan waralaba seolah tak terbendung lagi. Jenisnya tidak lagi terbatas
hanya pada makanan, tapi juga merambah sektor hotel, pendidikan, kerajinan, bisnis center, salon, retail, laundry, dan lain-lain.
3
Lembaga keuangan mikro pun mulai menggunakan sistem franchise dalam mengembangkan jaringannya. Hal ini adalah langkah yang fenomenal mengingat
1
Gunawan Widjaja, Waralaba, Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada, 2003, h.1-2
2
http:www.mitrawaralaba.com , diakses pada 7 Juli 2008
3
Darmawan Budi Suseno, Waralaba; Bisnis Minim Resiko Maksim di Laba, Yogyakarta, Pilar Humania, 2005, h.1-2
belum ada BMT yang melakukan bisnis Franchising di Indonesia. Seperti yang dilakukan oleh BMT Berkah Madani.
BMT yang berkantor pusat operasional di Depok ini didirikan oleh Kelompok Swadaya Masyarakat yang bernaung dibawah badan hukum dari akte
notaris atas nama Koperasi Serba Usaha KSU BERKAH MADANI SEJAHTERA yang perduli terhadap masyarakat yang membutuhkan modal
usaha sebagai tambahan dan mengelola keuangan yayasan secara eksrtern maupun intern.
4
Untuk menambah pertumbuhan Baitul Maal wa Tamwil BMT beroperasi ditengah-tengah masyarakat BMT Berkah Madani menawarkan sistem franchise
kepada masyarakat yang ingin mendirikan lembaga BMT. Bagi masyarakat yang memiliki sejumlah dana dan ingin berinvestasi, membuka BMT merupakan
peluang investasi yang cukup menjanjikan.
5
Kendatipun BMT yang mempunyai tujuan menjadi solusi intelektual dan finansial kepada masyarakat berdasarkan prinsip syariah guna tercapainya
keadilan dan kesejahteraan ini baru beroperasi selama 3 tahun, namun BMT Berkah Madani sudah memiliki enam franchisee yaitu Kantor Pelayanan Jati
4
Selayang Pandang BMT Berkah Madani, http:bmtberkahmadanisejahtera.wordpress.com
, 16 Februari 2008
5
Muchtasib, BMT Berkah Madani Tawarkan Sistem Franchise, http:www.pkesinteraktif.com
, 14 Maret 2008
Asih-Bekasi, Gas Alam- Cimanggis, Medan, Priok-Jakarta Utara, Bandung, dan Ciputat.
6
Secara riil, kontribusi waralaba terhadap perekonomian nasional sangat signifikan. Kegairahan pihak-pihak yang menawarkan dan membeli waralaba
dapat dijadikan indikasi kegairahan akan bangkitnya ekonomi bangsa Indonesia. Sisi positif kontribusi waralaba dapat disebutkan sebagai berikut;
Pertama, masalah alih teknologi. Pemerataan penggunaan teknologi modern, baik peralatan dari luar maupun dalam negeri dengan cepat akan dapat dinikmati
oleh pelaku bisnis waralaba, tentu dengan standar mutu terjamin yang telah dijanjikan oleh pihak pemberi waralaba.
Kedua, memperbesar peluang usaha. Dengan adanya pola waralaba tersebut jelas sangat memperbesar peluang usaha. Karena dalam waralaba ini seseorang
yang telah berhasil dalam sebuah sektor bisnis, telah dengan sengaja menularkan “virus” keberhasilan tersebut kepada pihak lain. Mereka bekerja sama tanpa
saling merugikan, akan tetapi saling menguntungkan. Sekaligus juga membuka peluang usaha lainnya. Sebuah restoran usaha waralaba misalnya, ia juga
membuka peluang bagi usaha agro bisnis, peternakan, perikanan, ataupun usaha penunjang lainnya.
Ketiga, memperluas kesempatan kerja. Prospek daya serap ketenagakerjaan dalam waralaba tidak diragukan lagi. Yang efeknya tentu saja meningkatkan
perekonomian nasional secara keseluruhan.
7
6
http:www.bmtberkahmadani.co.id , diakses pada 7 Juli 2008
Bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam, layak kiranya mengetahui lebih lanjut bagaimana pola bisnis waralaba ini? Apakah waralaba
juga mempunyai konsep yang Islami, baik dari sisi manajemen, produk yang dijual, fee dan royalti yang harus dibayar, dan lain sebagainya.
8
Aplikasi pola waralaba dari masyarakat muslim Indonesia misalnya: Markaz, Country Donuts, dan Ayam Bakar Wong Solo. Ayam Bakar Wong Solo bahkan
secara verbal menuliskan dalam desain logonya, sebuah frase kata: “Halalan Thoyyiban”, artinya pemilik waralaba ini telah berani menjamin bahwa produk
dan sistem yang dijalankannya 100 halal. Wong Solo bahkan menampilkan simbol-simbol keislaman dalam pelayanannya. Contohnya, semua karyawati
menggunakan jilbab dan penyediaan tempat sholat yang memadai di setiap restorannya.
9
Anggota DSN MUI, Muhammad Hidayat dalam majalah Sharing mengatakan bahwa biaya yang dikeluarkan oleh franchisee dapat diterima dari sisi syariah.
Ada fee atau membeli merk atau semacam hak cipta, serta biaya lainnya sejauh semua pihak sepakat dan tidak menzhalimi maka secara syariah bisa diterima.
Permasalahannya yaitu pada nominalnya, wajarkah bila dihargakan demikian dan bagaimana bila belum memperoleh laba. Hal ini berkaitan dengan memegang
teguh prinsip keadilan dalam Ekonomi Islam.
7
Suseno, Waralaba; Bisnis, h.3-4
8
Perhatikan Produk yang Ditawarkan, Majalah Sharing, Edisi 9, Th I, Juli 2007, h.21
9
Suseno, Waralaba; Bisnis, h.8-9
Bakmi Langgara-Bakmi Tebet menetapkan royalty fee tetap sebesar 3,5 perbulan dari omzet. Jika omzetnya dibawah Rp.15 Juta perbulan franchisor tidak
perlu membayar royalty fee. Shafira memberi royatli fee regresif antara 1-4 perbulan. Jika omzet makin besar, makin kecil royalty fee yang harus dibayarkan
franchisor. Ayam Bakar Wong Solo mengenakan royalty fee progresif antara 1- 6. Senyum Muslim mengenakan royalty fee untuk franchisor nya yang tidak
untung semata untuk mengganti biaya supervisi.
10
Berdasarkan hal tersebut, penulis merasa tertarik untuk mengetahui lebih jauh lagi mengenai sistem Franchise yang diterapkan oleh BMT Berkah Madani dalam
sebuah skripsi yang berjudul “Konsep dan Aplikasi Franchise dalam Perspektif Hukum Ekonomi Islam, Studi pada LKS Berkah Madani.”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah