Rukun dan Syarat Talak

2. Rukun dan Syarat Talak

Rukun talak sebagaimana dikemukakan oleh Malikiyyah ada empat di antaranya akan dijelaskan secara garis besarnya di bawah ini. a. Orang yang berhak menjatuhkannya yaitu suami atau penggantinya atau walinya jika dia masih kecil. Supaya sah talaknya suami yang menjatuhkan talak disyaratkan harus: 1. Berakal, 2. Baligh, dan 3. Atas kemauan sendiri. 16 b. Perempuan yang ditalak ﻟا ﻄ ﻘﺔ Adapun persyaratannya yaitu: 1 Perempuan yang ditalak itu berada di bawah kekuasaan laki-laki yang mentalak yaitu isteri yang masih terikat dalam tali perkawinan dengannya. Demikian juga isteri yang menjalin masa iddah talak raj’I karena statusnya dipandang masih berada dalam perlindungan kekuasaan suami. 2 Kedudukan isteri yang ditalak itu harus berdasarkan atas akad perkawinan yang sah. 17 c. Shighat Talak Shighat talak ialah lafaz yang menunjukkan atas terputusnya ikatan pernikahan baik berbentuk sharih jelas maupun kinayah sindiran 18 . 16 Abdurrahman Al Jaziri, Al Fiqh ‘Ala al-Madzahib Al Arba’ah, h.216-217. 17 Ibid., h.218. 18 Ibid . Yang dimaksud dengan sharih itu adalah ucapan yang secara jelas digunakan untuk ucapan talak, sedangkan yang dimaksud dengan lafaz kinayah atau sindiran adalah lafaz atau ucapan yang sebenarnya tidak digunakan untuk talak tetapi dapat dipakai untuk menceraikan isteri. 19 Syaratnya menurut Ulama untuk ucapan kinayah harus diiringi dengan niat, sehingga dapat dipandang jatuh talaqnya, sedangkan ucapan shorih tidak perlu dengan adanya niat, sehingga dengan keluarnya ucapan itu jatuh talak meskipun dia tidak meniatkan apa-apa atau meniatkan selain dari talak. Khusus untuk ucapan shorih dipersyaratkan orang yang mengucapkan talak itu harus mengerti apa yang dikatakannya. 20 d. Qashdu sengaja, artinya dengan ucapan talak itu memang ditujukan hanya untuk talak bukan maksud yang lain. 21 Imam Nawawi secara khusus dibicarakan dalam Kitabnya “Minhaj Al Thalibin” dimana menyebutkan antara niat dengan Qashdu terdapat perbedaan yaitu kalau niat itu kesengajaan hati, sedangkan Qashd berarti tekad atau kehendak untuk berbuat. 22 19 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Cet. ke-2 Jakarta:Kencana Pranada Media Group, 2006, h.209. 20 Ibid. 21 Abdurrahman Ghazali, Fiqh Munakahat, Cet. Ke.2 Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006, h.204. 22 Imam Abu Zakaria Yahya Ibn Syarif An Nawawi Al Dimasyqi, Raudhat al Thalibin, Juz 6 Beirut: Dar Al Kutub al Ilmiyyah, t.th, h.50.

B. Macam-Macam Perceraian