Hukum Khulu’ Rukun Khulu’

a. Hukum Khulu’

Khulu’ itu perceraian dengan kehendak isteri. Hukumnya boleh atau mubah menurut Jumhur Ulama 25 , karena kebutuan manusia kepadanya dengan terjadinya syiqaq, perselisihan, dan tidak adanya kesesuaian antara suami isteri, terkadang isteri membenci suaminya dengan tidak suka hidup bersamanya karena sebab-sebab yang bersifat fisik jasmani atau perangai atau keagamaannya atau takut tidak bisa melaksanakan hak Allah dalam mentaati, maka Islam mensyari’atkan kepadanya dalam menghadapi talak yang khusus dengan suami sebagai keikhlasan dari suami isteri untuk menolak kesulitan dan menghilangkan kemudaratan. 26 Adapun dasar kebolehannya terdapat dalam Al Qur’an dan juga terihat dalam hadis Nabi. Dari Kitab Allah termaktub pada surat Al Baqarah ayat 229 yang berbunyi: ⌧ ☺ ةﺮﻘ ﻟا 2 : 229 Artinya : “…Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya..” Al Baqarah2:229. 25 Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Rusyd al Qurthubi. Bidayat Al Mujtahid wa Nihayat Al Muqtashid, Juz 2 Beirut: Dar Ihya’ Turats al ‘Arabi, 1996, h.67. 26 Wahbah Zuhailiy, Al Fiqh Al Islamiy Wa Adillatuhu Juz IX, h.7009. Sebagai dasar hukum dari hadis, sebagaimana hadis yang diriwayatkan Ibnu ‘Abbas: سﺎ ْا ْ - ر ﺎ ﻬْ ﻟا - ﻟا ْ ﺗأ ْ ْ ﺎﺛ ةأﺮْ ا نأ ρ ْ ﻟﺎﻘ : ﺎﻳ ﻟا لﻮ ر ﻳد ﺎﻟو ﻖ ْ أ ﺎ ْ ْ ﺎﺛ , ﺮْﻜْﻟا ﺮْآأ ﻜﻟو ا مﺎ ْ ﺈْﻟ , ﻟا لﻮ ر لﺎ ρ ﻘﻳﺪ ْ ﻳدﺮﺗأ ? , ْ ﻟﺎ : ْ ﻌ . ﻟا لﻮ ر لﺎ ρ ﺔﻘﻳﺪ ْﻟا ْا , ﺔﻘ ْﻄﺗ ﺎﻬْﻘ و . ور يرﺎ ْﻟا ا . 27 Artinya: Dari Ibnu Abbas R.A bahwa Isteri Tsabit bin Qais datang mengadu kepada Nabi Saw dan berkata: “Ya Rasul Allah Tsabit bin Qais itu tidak ada kurangnya dari segi kelakuannya dan tidak pula dari segi keberagamaannya. Cuma saya tidak senang akan terjadi kekufuran dalam Islam. Rasul Allah Saw berkata: “Maukah kamu mengembalikan kebunnya ? “ Si Isteri menjawab: “ Ya mau “. Nabi berkatakepada Tsabit: “Terimalah kebun dan ceraikanlah dia satu kali cerai.HR.Bukhari.

b. Rukun Khulu’

Rukun Khulu’ menurut Jumhur selain Hanafiah diantaranya ada 5 yaitu: Pertama, Suami. Syarat suami yang menceraikan isterinya dalam bentuk khulu’ seperti apa yang berlaku dalam talaq yaitu seseorang yang ucapannya telah dapat diperhitungkan secara syara’, yaitu akil baligh, dan bertindak atas kehendaknya sendiri, serta dengan kesengajaan. 28 27 Imam Bukhari, Shohih Bukhari, h.615, lihat juga Hafiz Ahmad ibn Ali ibn Hajar Al ‘Asqalani. Bulugh al Maram Min jam’I Adilati Al Ahkam Kairo: Dar Al Hadis, 2003, h.182. Lihat juga Muhammad ibn Ali ibn Muhammad As Syaukani, Nail Al Author Juz 5Maktabah al Iman, t.th, h.271. 28 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam,h.235. Kedua, Isteri yang dikhulu’. Di antara persyaratan yang harus dipenuhi yaitu: a. Ia berada dalam wilayah suami dalam arti isterinya atau yang telah diceraikan, tetapi masih dalam masa iddah raj’i, b. Ia dipandang telah dapat bertindak atas harta karena dalam rukun khulu’ ini isteri harus menyerahkan harta. Dengan demikian isteri adalah orang yang telah baligh, berakal, tidak berada di bawah pengampuan, dan sudah cerdas bertindak atas harta. 29 Ketiga, adanya uang tebusan, atau ganti rugi, atau ‘iwadh. Tentang ‘iwadh dimasukkan sebagai salah satu rukun khulu’ memang terjadi perbedaan pendapat di kalangan Ulama. Menurut Jumhur Ulama memasukkan ‘iwadh sebagai rukun yang tidak boleh ditinggalkan untuk sahnya khulu’. Namun, pendapat yang berbeda satu riwayat dari Ahmad dan Malik yang mengatakan boleh terjadi khulu’ tanpa iwadh. 30 Tetapi Kompilasi Hukum Islam KHI mengambil pendapat Jumhur yang mengharuskan adanya ‘iwadh dalam khulu’. Mengenai ‘iwadh itu dalam bentuk sesuatu yang berharga dan dapat dinilai Ulama menyepakatinya. 31 Keempat, Shighat atau ucapan cerai yang disampaikan oleh suami dalam ungkapan tersebut dinyatakan “uang ganti” atau ‘iwadh. Yang dimaksud shighat di sini ialah lafaz khulu’ atau apa yang semakna dengannya seperti 29 Ibid. 30 Ibid. 31 Ibid., h.236. kata-kata ﻹا ْ ﺪ ءا ﻟا ، ﺪ ءا ﻟا ، رﺎ ء ة ﻹا ، ْﺮ ءا baik berbentuk shorih jelas atau kinayah samar, maka tidak sah tanpa lafaz seperti annikah dan at-thalaq. 32

c. Perbedaan antara Khulu’ dengan Talak