Kedudukan Keluarga dalam Perkara Syiqaq

Hanifah dan Ahmad bahwa hakam tidak dapat menceraikan suami isteri, kecuali dengan kerelaan keduanya sebab hakam hanya sebagai delegasi wakil, sebagaimana diriwayatkan dari Hasan Al Bashri, Qatadah, dan Zaid bin Aslam. 29 Kedua, pendapat yang dipegang oleh Malikiyyah, bahwa hakam dapat menceraikan dan mendamaikan tanpa harus ada kuasa terlebih dahulu dan izin dari suami isteri sepanjang ada kebaikan maslahat, sebagaimana diriwayatkan dari Ali, Ibnu Abbas, dan As- Sya’bi. 30 Dengan demikian UU Nomor 7 Tahun 1989 Pasal 76 ayat 2 mengambil pendapat dimana hakam kewenangannya mencari penyelesaian perselisihan suami isteri saja bukan menjelma sebagai hakim yang dapat memutuskan perceraian.

D. Kedudukan Keluarga dalam Perkara Syiqaq

Dalam hukum acara Peradilan Agama terdapat beberapa ketentuan khusus yang menyimpang dari ketentuan umum hukum acara perdata. Hal tersebut memang dibenarkan oeh UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana tercantum dalam Pasal 54 yang menyatakan: “Hukum acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-undang ini.” 29 Muhammad Ali As-Shabuni, Rawa’iul Bayan Tafsir Ayat Ahkam, h.472. 30 Wahbah Zuhailiy, Al Fiqh al Islamiy Wa adillatuhu, Juz IX, h. 7061. Salah satu aturan khusus yang dimiliki oleh Pengadilan Agama dalam menerapkan hukum acara yaitu dalam pemeriksaan perkara perceraian dengan alasan syiqaq . Dalam kasus syiqaq ini pada tahap pembuktian majelis hakim yang memeriksa perkara ini wajib mendengar keterangan saksi-saksi yang berasal dari keluarga atau orang-orang yang dekat dengan suami isteri sebelum menjatuhkan putusan akhir. 31 Perlu dipahami dari rumusan Pasal 76 ayat 1 di atas: kedudukan keluarga baik dari suami dan isteri ataupun orang yang dekat dengan suami isteri adalah sebagai saksi. Bukan sekedar orang yang memberikan keterangan biasa, sehingga sebelum saksi tersebut memberikan keterangan di muka persidangan, harus disumpah terlebih dahulu menurut ajaran agama yang dianutnya. 32 Keterangan yang diberikan saksi menurut hukum acara perdata adalah harus berdasarkan penglihatan, pendengaran, atau pengalaman sendiri bukan atas cerita dari orang lain testimonium de auditu. Jika keterangan tersebut ternyata saling bersesuaian dengan saksi atau alat bukti yang lain, maka oleh majelis hakim keterangan yang diberikan tersebut dianggap sah dan dengan otomatis mempunyai nilai pembuktian. 33 Aturan dibolehkan saksi dari pihak keluarga suami dan isteri hanya khusus diperuntukkan dalam perkara perceraian dengan alasan perselisihan dan pertengkaran 31 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama Jakarta: Al Hikmah, 2000, h.239. 32 Abdul Manaf, Refleksi Beberapa Materi Cara Beracara, h.354. 33 M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, h.269 yang terus menerus. Hal ini memberikan pemahaman bahwa selain perkara syiqaq tidak diperbolehkan saksi dari keluarga, dengan kata lain ketentuan Pasal 145-146 HIR 172-174 RBg tetap berlaku. 34 Mengenai alasan mengapa dibolehkan saksi dari keluarga sebagaimana yang dijelaskan oleh M. Yahya Harahap bahwa pada umumnya orang yang mengetahui keadaan rumah tangga suami isteri tersebut hanyalah keluarga mereka baik itu ayah, ibu, adik, kakak, dan lainnya. Dari kenyataan tersebut menunjukkan bahwa keterlibatan keluarga sangat dibutuhkan dalam membantu majelis hakim memperoleh kebenaran dari peristiwa yang terjadi baik mengenai sebab pertengkaran dan perselisihan maupun sifat pertengkarannya apakah sudah sampai tingkat bahaya dharar yang tidak memungkinkan untuk disatukan kembali perkawinan mereka. 35 Oleh karena itu, sudah tepat apabila UU Nomor 7 tahun 1989 Pasal 76 ayat 1 yang memberikan aturan khusus perihal dibolehkan saksi dari keluarga yang notabene menyimpang dari asas-asas umum hukum acara perdata karena sifat persengketaan ini juga khusus. Perintah dari ketentuan Pasal 76 ayat 1 tersebut bersifat imperatif maksudnya mewajibkan hakim mendengarkan keterangan saksi yang berasal dari keluarga suami dan isteri, sehingga konsekuensinya jika majelis hakim tidak mematuhi tata cara pemeriksaan sebagaimana dijelaskan tersebut menyebabkan putusannya dianggap 34 Ibid. 35 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata,h. 240. batal demi hukum atau sekurang-kurangnya harus dilaksanakan pemeriksaan tambahan untuk menyempurnakan kelalaian yang terjadi. 36 36 M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, h.266.

BAB IV PENYELESAIAN PERKARA SYIQAQ DI PENGADILAN AGAMA