Syarat dan Tugas Hakam

mengatasi nusyuz itu sebab tidak semua persoalan harus dibawa ke meja hijau. Jika memang ternyata tak ada cara lain lagi setelah ditempuh usaha-usaha perdamaian, maka dengan terpaksa baru mengajukan gugatan kepada Pengadilan dengan alasan melalaikan kewajiban. Memang benar bahwa sikap nusyuz merupakan persoalan awal dalam rumah tangga sebelum terjadi persoalan berikutnya yang lebih parah yaitu masalah syiqaq. Namun demikian, antara keduanya terdapat perbedaan di antaranya yaitu: Pada masalah nusyuz sikap tidak mengacuhkan pasangannya baru terjadi pada salah satu pihak suami atau isteri. Sedangkan pada masalah syiqaq, masing-masing pihak sudah menunjukkan sikap antipati terhadap pasangannya. Dengan kata lain persoalan syiqaq lebih parah dibandingkan dengan persoalan nusyuz. 16 Dari sifatnya saja sudah berbeda antara nusyuz dengan syiqaq, maka hal itu berakibat pada cara penyelesaian yang berbeda. Dimana kasus syiqaq biasanya sudah tidak bisa diselesaikan oleh suami isteri, sehingga membutuhkan pihak ketiga yaitu hakam dari pihak suami dan isteri. Sedangkan persoalan nusyuz, karena sikap acuh tak acuh baru muncul dari salah satu pihak, maka permasalahannya masih dapat diatasi penyelesaiannya antara suami isteri tanpa melibatkan pihak ketiga. 17

C. Syarat dan Tugas Hakam

16 “Nusyuz”. dalam Abdul Aziz Dahlan, dkk, ed., Ensiklopedi Hukum Islam, vol.4 Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997, h.1354. 17 Satria Effendi Zein, “Analisis Fiqh”, Mimbar Hukum XI no.46 2000: h.100. Hakam secara etimologis berarti wasit, pendamai, juru penengah. 18 Dalam kitab Rawa’iul Bayan Tafsir Ayat Ahkam Min Al Qur’an sebagaimana ditulis oleh Muhammad Ali As-Shabuni, yang dimaksud dengan hakam ialah orang yang mempunyai hak untuk menetapkan dan menengahi di antara orang-orang yang bertengkar dan berselisih pendapat. 19 Jika dikaitkan dengan kasus syiqaq dapat dipahami hakam adalah seorang bijak yang dapat menjadi penengah dalam menghadapi konflik keluarga tersebut. 20 Menurut penjelasan Pasal 76 ayat 2 UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama bahwa hakam diartikan sebagai “Orang yang ditetapkan Pengadilan dari pihak keluarga suami atau pihak keluarga isteri atau pihak lain untuk mencari upaya penyelesaian perselisihan syiqaq.” Mengenai persyaratan orang yang dapat diangkat menjadi hakam diantaranya: keduanya laki-laki, adil, mengetahui apa yang dituntut dari keduanya atas kepentingan ini, dan dianjurkan keduanya berasal dari keluarga dua pasangan yaitu hakam dari keluarga suami dan seorang hakam dari keluarga isteri sesuai dengan teks ayat 35 An-Nisa’, tetapi hakim dapat mengangkat dua orang laki-laki asing menjadi hakam , jika tidak ada dari pihak keluarga, dan sebaiknya orang itu adalah tetangga 18 Ahmad Warson Munawwir, Al Munawwir Kamus Arab Indonesia,h.309. 19 Muhammad Ali As-Shabuni, Rawa’iul Bayan Tafsir Ayat Ahkam Min Al Qur’an, Juz I Makkah, t.t,t.th, h.464. 20 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h.195. dekat suami isteri di mana keduanya mengetahui keadaan suami isteri, serta memiliki kemampuan untuk mendamaikan antara keduanya. 21 Dalam perspektif fiqh hukum mengangkat hakam ini para Ulama berbeda pendapat dalam memahami bentuk amar perintah dari ayat ﺎ ﻜ اﻮﺜﻌ ﺎ , sehingga ada yang mengatakan hukum mengangkat hakam adalah wajib sebagaimana dikemukakan oleh Imam Syafi’I dengan alasan menghilangkan penganiayaan itu termasuk kewajiban umum bagi penguasa terutama Pengadilan. 22 Sementara Ulama lain seperti Ibnu Rusyd mempunyai pandangan yang agak berbeda yaitu hukumnya jawaz boleh bukan wajib. 23 Tampaknya pendapat jawaz tersebut dipilih oleh UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dalam hal pengangkatan hakam, sehingga hanya bersifat fakultatif bukan imperatif. Secara jelas hal itu terlihat pada Pasal 76 ayat 2 yang berbunyi: Pengadilan setelah mendengar saksi tentang sifat pertengkaran antara suami isteri dapat mengangkat seorang atau lebih dari keluarga masing-masing pihak ataupun orang lain untuk menjadi hakam. 24 Dari klausul Pasal tersebut dinyatakan kata “dapat” bukan “harus”, sehingga bisa ditarik kesimpulan dalam pemeriksaan kasus perceraian dengan alasan syiqaq ini pengangkatan hakam 21 Wahbah Zuhailiy, Al Fiqh al Islamiy Wa adillatuhu, Juz IX, h.7061. 22 Muhammad Ali As-Shabuni, Rawa’iul Bayan Tafsir Ayat Ahkam Min Al Qur’an, Juz I, h.471-472. 23 Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Rusyd Al Qurthubi, Bidayat Al Mujtahid wa Nihayat al Muqtashid Juz 2 Beirut: Dar Ihya’ Turats Al ‘Arabiyyah, 1996, h.96. 24 M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, h.275. bukanlah suatu kewajiban Pengadilan Agama, melainkan hanya kebolehan saja. 25 Tergantung kepada pertimbangan dan penilaian majelis hakim apakah diperlukan eksistensi hakam atau tidak sama sekali, tentunya disesuaikan dengan kemaslahatan para pihak suami isteri yang ingin bercerai tersebut. 26 Adapun tugas hakam seperti diamanatkan dalam Pasal 76 ayat 2 UU Nomor 7 Tahun 1989 ialah hanya dibatasi menyelidiki dan mencari hakikat permasalahannya, sebab musabab timbulnya persengketaan, berusaha mencari jalan yang terbaik bagi suami isteri yang sedang cekcok tersebut apakah dengan didamaikan terlebih dahulu secara semaksimal atau jika tidak berhasil lalu menurut keinginan mereka jalan terbaik hanya dengan perceraian, 27 maka hakam melapor kepada majelis hakim bahwa perkawinan mereka memang tidak ada harapan untuk rukun kembali, sehingga pada akhirnya hakim yang menceraikan mereka. 28 Jelas ketentuan tersebut tidak memberikan kewenangan kepada hakam untuk menceraikan suami isteri yang tengah bertengkar hebat karena hakekatnya hakam ialah sebagai delegasi wakil suami isteri bukan sebagai hakim yang dapat memutus. Memang benar tak dapat dipungkiri berkaitan dengan kewenangan hakam ini masih debatable di kalangan Ulama mazhab. Secara garis besar pendapat mereka terbagi kepada dua golongan. Pertama, pendapat yang dikemukakan oleh Abu 25 Abdul Manaf, Refleksi Beberapa Materi Cara Beracara di Lingkungan Peradilan Agama Bandung: CV Mandar Maju, 2008, h.357. 26 M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, h.276. 27 Abdurrahman Ghazali, Fiqh Munakahat, h.242. 28 Abdul Manaf, Refleksi Beberapa Materi Cara Beracara, h.356. Hanifah dan Ahmad bahwa hakam tidak dapat menceraikan suami isteri, kecuali dengan kerelaan keduanya sebab hakam hanya sebagai delegasi wakil, sebagaimana diriwayatkan dari Hasan Al Bashri, Qatadah, dan Zaid bin Aslam. 29 Kedua, pendapat yang dipegang oleh Malikiyyah, bahwa hakam dapat menceraikan dan mendamaikan tanpa harus ada kuasa terlebih dahulu dan izin dari suami isteri sepanjang ada kebaikan maslahat, sebagaimana diriwayatkan dari Ali, Ibnu Abbas, dan As- Sya’bi. 30 Dengan demikian UU Nomor 7 Tahun 1989 Pasal 76 ayat 2 mengambil pendapat dimana hakam kewenangannya mencari penyelesaian perselisihan suami isteri saja bukan menjelma sebagai hakim yang dapat memutuskan perceraian.

D. Kedudukan Keluarga dalam Perkara Syiqaq