dari bingkai tersebut. Ada beberapa filter antara lain, fisik, psikologis, budaya dan yang berkaitan dengan informasi.
9. Efek
Efek komunikasi massa bisa dibagi menjadi beberapa bagian. Secara sederhana Keith R Stamm dan John E Bowes 1990 membagi kedua bagian
dasar. Pertama, efek primer meliputi terpaan, perhatian dan pemahaman. Kedua, efek sekunder meliputi perubahan tingkat kognitif perubahan pengetahuan dan
sikap dan perubahan perilaku menerima dan memilih. Nurudin, 2004 : 192
II.2 Teori Imperialisme Budaya
Istilah imperialisme diintrodusir oleh Lenin dan Hobson. Dua teori imperialisme yang paling awal dikemukakan oleh Hobson dan Lenin. Cukup
banyak persamaan pemikiran antara keduanya, sehingga sering diidentikkan dengan “tesis Hobson-Lenin”, Hobson berpendapat bahwa terdapat permintaan
efektif yang tidak mencukupi di negara-negara metropolis, karena upah yang rendah; dan konsekuensinya, kaum kapitalis memerlukan pasar untuk menjual
komoditinya di luar negeri. Ia percaya bahwa redistribusi pendapatan akan memecahkan masalah konsumsi kurang ini.
Hobson mengungkapkan bahwa imperialisme merupakan perwujudan suatu negara federasi dunia dimana kebijakan utamanya berpusat pada adopsi oleh
beberapa negara-negara lain dan berada di bawah suatu hegemoni dari negara pusat. Hobson, 1988 : 8
Argumen Lenin agak berbeda, ia berpendapat bahwa merosotnya laju keuntungan di negara-negara metropolis berarti bahwa dengan dibukanya
Universitas Sumatera Utara
wilayah-wilayah jajahan, terdapat kesempatan-kesempatan investasi yang lebih menguntungkan di luar negeri. Lenin menyatakan bahwa imperialisme ditandai
oleh jaringan pengaliran modal ke wilayah koloni. Purba, 2005 : 42 Dari uraian tersebut dapat dikatakan bahwa Imperialisme berarti hegemoni
politik-ekonomi-budaya yang dijalankan suatu bangsa atas bangsa-bangsa lain. Kata ini biasanya mengacu pada imperialisme budaya atau imperialisme media
yang mencerminkan keprihatinan mengenai bagaimana perangkat keras dan perangkat lunak komunikasi digunakan oleh negara-negara adikuasa untuk
memasukkan nilai dan agenda politik-ekonomi-budaya mereka pada bangsa dan budaya yang kalah kuat. Imperialisme media merupakan salah satu istilah yang
berhubungan dengan imperialisme budaya. Media memainkan peranan penting dalam menghasilkan kebudayaan dan mempunyai peranan yang besar sekali
dalam proses imperialisme budaya. Gagasan mengenai imperialisme “budaya” atau “media” berasal dari teori
dan bukti awal tentang peran media dalam pembangunan nasional misalnya Lerner, 1958; Schramm, 1964 dan dalam perumusan ulang secara kritis yang
dilakukan oleh para penulis seperti Schiller 1969, Wells 1972, Mattelart 1979, dan banyak lainnya. Korelasi pandangan bahwa media dapat membantu
“modernisasi” dengan memperkenalkan nilai-nilai “barat” dilakukan dengan mengorbankan nilai-nilai tradisional dan hilangnya “keaslian” budaya lokal.
Secara sederhana, dapat dikemukakan bahwa nilai-nilai yang diperkenalkan itu adalah nilai-nilai kapitalisme dan karenanya prosesnya “imperialistis” serta
dilakukan secara sengaja, atau disadari dan sistematis, yang menempatkan negara
Universitas Sumatera Utara
yang sedang berkembang dan lebih kecil di bawah kepentingan kekuasaan kapitalis yang lebih dominan.
Herberth Schiller dalam bukunya “Communication and Cultural Domination” 1976 menegaskan penggunaan istilah imperialisme budaya untuk
menggambarkan dan menjelaskan cara perusahaan-perusahaan multinasional termasuk media dalam membangun negara-negara yang didominasi negara yang
sedang berkembang. Schiller juga mengungkapkan bahwa spill over informasi akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi di samping
menciptakan global village yang telah diprediksi oleh Naisbitt dan Toffler bisa juga melahirkan imperialisme budaya.
Menurut Schiller Imperialisme budaya merupakan suatu proses dimana masyarakat dibawa kepada sistem dunia modern dan bagaimana ia menguasai
seluruh lapisan, menekan, memaksa, dan kadang-kadang masuk ke dalam lembaga sosial tersebut untuk mempromosikan nilai-nilai dan struktur dari sistem
pusat. Secara ringkas Baran mengungkapkan imperialisme budaya merupakan
invasi dari negara-negara asing yang powerful terhadap suatu kultur masyarakat asli atau pribumi melalui media massa. Baran, 2004 : 521
Imperialisme budaya merupakan sebuah konsep kritis yang menyatakan bahwa difusi artifak, citra dan gaya budaya modern dari bahasa-bahasa dominan
dan musik pop hingga pesawat TV dan perangkat keras komputer ke seluruh dunia merupakan sebentuk penindasan atau “imperialisme” budaya kontemporer.
Proses ini mendukung kepentingan ekonomi, politik, dan budaya dari adikuasa internasional seperti Amerika Serikat, Inggris, Jerman dan Jepang.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan garis besar dari dalil Schiller 1976, ada beberapa konsep pokok dari Imperialisme budaya, yaitu :
1. Sistem dunia modern, merupakan konsep sederhana yang menunjukkan
kapitalisme. 2.
Masyarakat, konsep sederhana yang menunjukkan beberapa negara atau masyarakat dalam batas geografi tertentu yang akan dikembangkan.
3. Sistem pusat yang mendominasi, menunjukkan negara-negara maju atau
dalam diskursus arus informasi internasional disebut sebagai negara pusat.
4. Struktur dan nilai, menunjukkan kebudayaan atau organisasi dari negara
yang berkuasa ke negara berkembang. Imperialisme media dan imperialisme budaya merupakan gejala yang terjadi
dalam waktu bersamaan. Media menjadi sarana di mana satu kelompok mengukuhkan posisinya dan merendahkan kelompok lain. Khalayak tidak merasa
dibodohi atau dimanipulasi oleh media. Khalayak mengkonsumsi semua “produksi kesan” kemasan media dalam bentuk apapun yang seakan membuat
mereka merupakan bagian darinya, meskipun itu hanya impian atau ilusi. Salah satu bentuk kesan yang dapat diciptakan media adalah kriterium kepahlawanan
heroism dari seseorang atau sekelompok orang bahkan suatu negara. Idi Subandy Ibrahim dalam Hegemoni Budaya mengungkapkan bahwa di
bawah figur media yang keras, orang bisa dikendalikan dan akhirnya dihancurkan. Tetapi, ada juga yang mengendalikan dan mengekspresikan diri melalui media.
Amerika Serikat, misalnya, telah dengan mengesankan mentasbihkan dirinya sebagai ‘pahlawan’ yang selalu berbicara atas nama misi perdamaian dalam setiap
Universitas Sumatera Utara
invasi. Sejarah mencatat bahwa setiap pahlawan membutuhkan “media”. Jika dulu medianya adalah revolusi maka sekarang medianya adalah media massa. Media
massa mampu menciptakan pahlawan-pahlawan kultural rekaan media yang ditokohkan atas dasar citra image atau kesan impression simbolis yang
kemudian mengukuhkan kriterium kepahlawanan heroism seseorang. Salah satu yang mendasari munculnya teori ini adalah bahwa pada dasarnya
manusia tidak mempunyai kebebasan untuk menentukan bagaimana mereka berpikir, apa yang dirasakan dan bagaimana mereka hidup. Umumnya, mereka
cenderung mereaksi apa saja yang dilihatnya dari media massa. Akibatnya, individu-individu itu lebih senang meniru apa yang disajikan media massa.
Mengapa? Karena media massa menyajikan hal baru yang berbeda dengan yang biasa mereka lakukan. Media massa juga merupakan alat kultural yang memuat
produk budaya di mana ia berasal. Sebagaimana yang telah disebutkan di awal tulisan ini semuanya bermuara pada imprialisme budaya.
Teori ini juga menerangkan bahwa ada satu kebenaran yang diyakininya. Sepanjang negara dunia ketiga terus menerus menyiarkan atau mengisi media
massanya dengan materi yang berasal dari negara-negara maju, orang-orang dunia ketiga akan selalu percaya apa yang seharusnya mereka kerjakan, pikir dan
rasakan. Perilaku ini sama persis seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang berasal dari kebudayaan negara-negara maju tersebut.
Teori imperialisme budaya ini juga tak lepas dari kritikan. Teori ini terlalu memandang sebelah mata kekuatan audience di dalam menerima terpaan media
massa dan menginterpretasikan pesan-pesannya. Ini artinya, teori ini menganggap bahwa budaya yang berbeda yang tentunya lebih maju akan selalu membawa
Universitas Sumatera Utara
pengaruh peniruan pada orang-orang yang berbeda budaya. Tetapi yang jelas, terpaan yang terus-menerus oleh suatu budaya yang berbeda akan membawa
pengaruh perubahan, meskipun sedikit. Nurudin, 2004 : 167
II.3 Analisis Wacana Kritis; Pendekatan Teun A. Van Dijk