Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang Masalah

““Manga” Masih Mendominasi Dunia”, demikianlah judul artikel yang ditulis oleh Anung Wendyartaka dalam Teropong Pustakaloka yang dimuat pada harian Kompas, Senin, 26 November 2007. Manga adalah sebutan untuk komik- komik yang berasal dari Jepang. Istilah manga sendiri tidak hanya digunakan di Jepang, tetapi hampir di seluruh dunia termasuk Indonesia. Istilah manga yang mendunia ini seolah-olah menunjukkan kekuatan pengaruh manga yang memang sudah mendunia. Ketika kita berbicara tentang komik di Indonesia, maka stereotype yang muncul adalah bacaan anak-anak, tidak lebih dari itu. Entah karena komik menggunakan gambar dalam penceritaannya atau karena komik “Doraemon” sangat terkenal di Indonesia, komik tetap dianggap sebagai konsumsi anak-anak dan cenderung dianggap sebelah mata. Namun, stereotype ini tidak berlaku bagi mereka yang mengikuti perkembangan komik. Bagi yang mengikuti perkembangan komik di Indonesia bahkan di dunia jelas menyadari bahwa sasaran pembaca komik berbeda-beda, tergantung isi yang ditawarkan komik tersebut. Tidak hanya itu, komik juga dianggap berpotensi untuk dijadikan lahan industri dan sumber pendapatan jika dikelola dengan baik. Kondisi ini sangat berbeda jika kita melihat perkembangan komik di Jepang. Di negara yang warganya super sibuk tersebut, komik justru memegang peranan penting dalam industri penerbitan di Jepang. Pendapatan komik untuk tahun 2006 Universitas Sumatera Utara saja berkisar sekitar 4,1 milyar dollar AS. Tidak hanya diakui di negaranya, komik Jepang bahkan mendominasi industri komik dunia. Hal ini dibahas dalam Frankfurt Book Fair 2007, di Hall 3.0 dalam diskusi yang bertajuk “The International Comics Market in 2007”, 10 Oktober 2007. Kompas Edisi 148, Senin 26 November 2007. Walaupun di Jepang sendiri omzet industri manga komik Jepang mengalami penurunan sebesar 4,2 persen, di luar negeri industri manga justru mengalami peningkatan. Dari 3.195 judul baru komik yang beredar tahun 2006 di Prancis dan Belgia, lebih dari setengahnya adalah komik Jepang, persisnya berjumlah 1.418 judul. Dominasi manga juga terjadi di wilayah Catalan Catalonia. Pada Oktober 2007, persentase manga di pasar komik negara tersebut mencapai 43 persen, disusul komik Amerika 34-37 persen dan komik Spanyol 20 persen. Hal yang sama terjadi di negara Italia yang bahkan mengakibatkan penerbit komik lokal kewalahan diterpa serbuan manga. Walaupun mengalami peningkatan di berbagai belahan dunia, pihak Jepang tetap merasa khawatir dengan penurunan omzet industri manga di negaranya. Ini dikarenakan, bagi Jepang sendiri manga ikut mengambil peran penting dalam industri penerbitan Jepang sehingga berbagai persoalan yang menimpa industri manga sangat berpengaruh terhadap perkembangan industri penerbitan secara keseluruhan. Sebagai gambaran, dari seluruh produk buku dan majalah yang terbit di negari Sakura ini, seperempatnya adalah manga. Kompas edisi 148, 26 November 2007. Jika negara-negara yang industri komiknya cukup berkembang saja sudah didominasi dengan komik Jepang, apalagi Indonesia yang industri komiknya Universitas Sumatera Utara justru baru bergerak. Salah satu penerbit komik legal di Indonesia, Elex Media Komputindo, mengakui bahwa dari 60 judul komik yang mereka terbitkan, 52 diantaranya merupakan komik Jepang, sisanya 7 komik Korea dan 1 komik Indonesia. Bahkan menurut data Buku Laris Pustakaloka Kompas, sejak tahun 2003 sampai kini, komik Jepang yang diterbitkan Elex Media Komputindo menempati urutan teratas atau lima besar best seller. Ini membuktikan bahwa komik manga sangat digemari masyarakat di Indonesia. Sekilas, komik-komik Jepang atau manga memang terlihat sebagai bacaan hiburan belaka. Namun, siapa yang menyangka manga yang notabenenya hanya bacaan hiburan itu justru mengandung ideologi Jepang yang pelan-pelan merasuki jiwa pembacanya. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh George Gerbner, seorang kritikus budaya massa. Isi media itu sendiri pada mulanya mungkin dipandang sebagai hiburan. Namun, perlahan tapi pasti ia terus menginjeksikan secara halus “citra palsu” tentang kehidupan, masyarakat dan dunia dikutip oleh Ibrahim dalam buku Hegemoni Budaya. Animonster, salah satu majalah yang mengkhususkan diri untuk membahas anime animasi Jepang dan manga, menjadi saksi bentuk hegemoni ini. Hampir dalam setiap edisi Animonster kita dapat membaca artikel-artikel tentang acara berbau Jepang yang diadakan di tanah Indonesia, khususnya di Bandung dan Jakarta. Dengan kata lain, hampir setiap bulan selalu diadakan acara berbau Jepang. Padahal acara berbau tanah air saja paling-paling diadakan setahun sekali itupun saat hari Kemerdekaan. Belum lagi foto-foto remaja wanita yang memakai kimono atau foto-foto remaja pria dengan hakama maupun gakuran seragam sekolah anak laki-laki di Jepang, bertebaran di sepanjang edisi Universitas Sumatera Utara Animonster. Budaya cosplay costume player, yaitu kegiatan meniru tokoh-tokoh komik atau kartun Jepang pun seolah hal yang biasa bagi mereka penggemar kartun dan komik Jepang ini. Bon odori, salah satu tari tradisional Jepang juga bukan hal asing bagi mereka. Belum lagi urusan kuliner, mulai dari sushi sampai takoyaki semuanya dilahap dengan nikmat oleh lidah Indonesia mereka. Harajuku style yang mencakup gaya rambut dan gaya berpakaian juga makin diminati di negara ini. Tidak berhenti sampai disitu, perkembangan komik Indonesia yang pelan- pelan mulai bergerak juga ikut terpengaruh dengan manga. Hal ini diangkat Umi Kulsum dalam artikelnya “Tren Komik Indonesia Masih dalam Dekapan Manga”, yang dimuat di Kompas pada Senin, 26 November 2007. Komik-komik yang diterbitkan oleh orang Indonesia justru bergaya manga, baik dari segi gambar maupun gaya cerita. Komik-komik Indonesia dengan gaya manga semakin tumbuh subur dengan terbitnya buku-buku cara menggambar ala manga dan dengan berdirinya sekolah-sekolah yang menyediakan jasa untuk mengajar cara menggambar ala manga, sebut saja Accolyte School, Gakushudo maupun Machiko School. Serbuan manga oleh Jepang merupakan bentuk imperialisme yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Para penggemar manga bahkan bangga menyebut diri mereka O-taku, yaitu sebutan untuk mereka yang tergila-gila pada anime dan manga. Padahal, di Jepang sendiri, sebutan O-taku justru mengandung makna yang buruk karena diperuntukkan bagi mereka yang terlalu menggilai anime dan manga serta tidak mampu bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya. Jelas disini telah terjadi kekaburan citra dengan realita. Universitas Sumatera Utara Pada tahun 2006 yang lalu, the Japan Foundation bekerjasama dengan Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia HISKI menyelenggarakan lomba esai tentang Jepang. Esai ini kemudian dibukukan dengan judul “Image Jepang di Mata Anak Muda Indonesia”. Lewat kata pengantar dalam buku ini, Mohammad Yusuf selaku Ketua Tim Juri dari HISKI mengungkapkan bahwa hampir tidak ada satu pun para pelajar atau mahasiswa yang menulis sisi negatif dari Jepang. Lagi- lagi terjadi kekaburan citra dengan realita akan Jepang. Kekaburan ini tentu tidak semata-mata terjadi begitu saja. Komik Jepang yang menjadi alat penyebaran budaya Jepang adalah salah satu penyebab kekaburan citra dengan realita akan Jepang. Pembaca komik Jepang menjadikan komik Jepang sebagai referensinya akan negara Jepang yang sebenarnya. Materi yang dihadirkan komik sendiri sangat beragam, salah satunya adalah pembentukan kriterium kepahlawanan, yang dihadirkan lewat komik Jepang ber- genre action. Melalui komik jenis ini, pembaca disuguhi kisah-kisah kepahlawanan tokoh utamanya yang kemudian dipuja dan dianggap sebagai “realita”. Berbeda dengan komik negara lain yang tokoh pahlawannya cenderung berasal dari kalangan umum, beberapa komik Jepang justru menggunakan tokoh pahlawan yang berasal dari kalangan Samurai Samurai X, Samurai Champloo, Samurai 7 atau Ninja Naruto, Ninja Hatori, Ninja Rantaro; kalangan yang jelas-jelas hanya ada di Jepang. Dan sejalan dengan yang diungkapkan George Gerbner, perlahan tapi pasti, komik-komik Jepang terus menginjeksikan secara halus “citra palsu” tentang kehidupan Samurai, tentang masyarakat Ninja, dan tentang kepahlawanan Jepang. Universitas Sumatera Utara Jika selama ini kita selalu khawatir dengan masuknya budaya “barat” dari belahan Amerika Serikat sana, maka sudah saatnya kita meletakkan perhatian kita sejenak pada serangan budaya Jepang. Jika budaya “barat” masuk dengan pintu media televisi, maka Jepang justru masuk lewat media komik dan kartun Jepang. Oleh karena itulah diperlukan sebuah penelitian yang mampu mengungkapkan ideologi-ideologi tersembunyi yang terkandung dalam komik Jepang. Dari latar belakang diatas maka penulis tertarik untuk meneliti bagaimana bentuk Imperialisme Budaya dalam komik Jepang.

I.2 Perumusan Masalah