1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Proses demokratisasi di Indonesia sejak runtuhnya kekuasaan represif Orde Baru pada 1998 bisa dikatakan berlangsung dramatis. Sebagian pengamat
menganggap Indonesia sebagai negara demokrasi ketiga terbesar third largest democracy in the world
setelah India dan Amerika. Pertumbuhan demokrasi itu ditandai dengan tumbuh suburnya sejumlah partai politik baru, kemerdekaan
mengeluarkan pendapat dan kebebasan pers.
1
Dengan banyaknya partai politik yang ada membuat para kaum cendekiawan atau intelektual tertarik untuk
bergabung demi mengaplikasikan ide-ide dan membuat tujuannya berhasil. Salah satu kelompok cendekiawan dan intelektual itu adalah para
pengamat politik. Tapi hal ini menimbulkan pertanyaan. Pengamat politik harusnya selalu bersifat independent dan faktual berdasarkan objek yang diamati
dan dikritisi. Tetapi banyak juga dari pengamat politik yang masuk ke politik praktis yaitu partai politik. Dari partai politik tersebut mereka masuk ke dalam
sistem
2
dan proses-proses politik. Apabila mereka masuk ke dalam partai politik apakah yang mereka teliti dan diamati nantinya akan tetap bersifat objektif?
Skripsi ini hendak membahas berbagai perubahan-perubahan pilihan politik di kalangan pengamat politik di Indonesia pasca transisi ke demokrasi.
Bima Arya Sugiarta adalah salah seorang pengamat politik yang masuk ke dalam partai politik. Dia masuk setelah dipinang oleh Partai Amanat Nasional
1
Amirul Hasan, “Pengaruh Media Terhadap Tingkat Partisipasi Politik,” Skripsi S1
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, h.1.
2
Drs. Abdurrachman M.Si, “Sistem Politik Indonesia,” Makala Pengembangan Bahan Ajar Universitas Mercu Buana, h.2.
2
PAN.
3
Bima sebelumnya adalah seorang pengajar di beberapa Universitas di Indonesia. Tahun 1998-2001 menjadi pengajar dan peneliti di Universitas
Parahyangan Bandung, di tahun dan kota yang sama mengajar paruh waktu di Universitas Maranatha.
4
Namanya mulai dikenal luas pada saat dia diundang untuk memberikan tanggapan mengenai berbagai hal yang berhubungan dengan
perkembangan pemerintahan dan politik. Seorang penulis berkomentar, dia menyebutkan dalam tulisan blognya
“Pria berpredikat aktifis Islam ini memang unik”. Wajahnya, dandanannya, karakter suaranya, bahkan corak penampilannya a
gak sulit disebut “pengamat politik”. Tetapi karena ekspose terus menerus melalui televisi, akhirnya Bima
Arya terarah menjadi tokoh publik, dengan label “pengamat politik”.
5
Menurutnya, hasil analisis politik Bima tidak istimewa. Namun ekspose dari media yang mendaulat Bima menjadi pengamat politik.
6
Diragukan kemampuannya dalam mengeluarkan argumen dan dibandingkan dengan
pengamat yang lain yang lebih kritis. Seperti yang diungkapkan oleh Bima dalam artikel internet “Saya sudah
lama berkomunikasi dan bekerja sama dengan Bang Hatta. Ketika pilpres lalu, Bang Hatta mengajak saya masuk Timkamnas. Sekarang, saya diminta Bang
3
Partai Amanat Nasional dideklarasasikan di Jakarta pada 23 Agustus, 1998 oleh 50 tokoh nasional, di antaranya Prof. Dr. H. Amien Rais, mantan Ketua umum Muhammadiyah, Goenawan
Mohammad, Abdillah Toha, Dr. Rizal Ramli, Dr. Albert Hasibuan, Toety Heraty, Prof. Dr. Emil Salim, Drs. Faisal BasriMA, A.M. Fatwa, Zoemrotin, Alvin Lie Ling Piao dan lainnya. Wikipedia,
“Partai Amanat
Nasional,” diakses
pada 5
Mei 2011
dari http:id.wikipedia.orgwikiPartai_Amanat_Nasional
4
Bima Arya Sugiarto, “Work Experience”, artikel diakses pada 29 April 2011 dari http:bimaaryasugiarto.blogspot.com
5
Pustaka Langit Biru, “Sosok Pengamat Politik Arya Bima,” artikel diakses pada 18 April 2011 dari http:abisyakir.wordpress.com20090619sosok-pengamat-politik-arya-bima
6
Ibid.
3
Hatta untuk bergabung, ya namanya dipercaya,” paparnya.”
7
Keterangan ini memperlihatkan bahwa pemimpin partai mengajak pengamat politik masuk ke-
dalam partai,
mungkin untuk
mengetahui bagaimana
perkembangan kepemimpinan pimpinan pada saat itu, dan juga menjadikan alasan Bima untuk
masuk ke dalam politik praktis. Tokoh lain dari cendekiawan yang bergabung dengan partai politik adalah
Indra Jaya Piliang. Ia menjadi politisi Golkar pada tahun 2008. Indra sebelumnya merupakan seorang pengamat politik dari Centre for Strategic and International
Studies CSIS. Ia dipandang sebagai seorang yang vokal dalam menyuarakan
kritikan dan pendapat. Ternyata tergoda untuk menjadi seorang praktisi politik. Indra berpendapat bahwa “saatnya sekarang saya mengorbankan diri untuk
menjadi bagian dari kebutuhan bangsa ini, saya merasa punya pemahaman yang cukup tentang politik dan demokrasi.”
8
Peneliti CSIS ini menganggap ada serangan serius terhadap partai politik, termasuk dari kalangan intelektual.
Dengan bergabung ke partai, menurutnya daya jangkau dalam memberikan kontribusi akan semakin luas. Dengan bergabung di partai politik saya jadi bisa
keliling daerah dari Sabang sampai Merauke untuk memberikan pendidikan politik.
9
Indra adalah lulusan Fakultas Sastra Universitas Indonesia pada 1997. Dia mengatakan seharusnya Golkar berada d luar pemerintahan. “Karena anggota
koalisi kerap melemparkan isu yang menyudutkan Golkar dan Ketua Umum
7
Detik News, “Bima Arya dan Helmi Yahya perkuat DPP PAN,” artikel diakses pada 18 April 2011 dari http:www.detiknews.comread20100208133442129512610bima-arya-dan-
helmy-yahya-perkuat-dpp-pan
8
Kompas.com, “Indra Piliang Jadi Politisi Golkar” artikel diakses pada 3 Mei 2011 dari http:nasional.kompas.comread2008080809391523indra.piliang.jadi.politisi.golkar
9
Ibid.
4
Golkar Aburizal Bakrie.”
10
Indra menginginkan partainya berada dalam kubu oposisi pasca-pengambilan keputusan hak angket.
Tokoh lain dari cendekiawan adalah Ulil Abshar Abdalla, pengamat politik dan koordinator Jaringan Islam Liberal JIL.
11
Gelar sarjana yang di dapatnya dari Fakultas Syariah Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab
LIPIA menjadikannya seorang koordinator JIL dan Director Freedom Institute Jakarta
. Ulil juga lulusan program M.A di bidang studi agama di Universitas Boston, Massachussetts, AS.
Ulil Abshar masuk ke Partai Demokrat sebagai ketua Pusat Pengembangan Strategi dan Kebijakan untuk kepengurusan tahun 2010-2015. Menurut Ulil,
“masuk partai biasa saja, sama saja masuk perusahaan atau entertain.” Dia masuk Partai Demokrat karena partai itu besar. Menurutnya, dia bisa mengembangkan
ide-idenya yang besar. Jadi, tidak ada ambisi apa-apa masuk ke dalam politik praktis.
12
Ulil yang direkrut oleh Ketua Umum Anas Urbaningrum masuk ke dalam kepengurusan, bukan karena ambisi yang tinggi. Sehingga motivasinya masuk
partai menjadi alat penting untuk mengembangkan ide dan kebijakan yang sehat.
13
10
Kompas.com, “Indra: Golkar Kesulitan di dalam Koalisi”, artikel ini diakses pada 3 Mei 2011 dari
http:nasional.kompas.comread2011030619480795Indra.Golkar.Kesulitan.di.dalam.Koalisi
11
Jaringan Islam Liberal percaya bahwa ijtihad atau penalaran rasional atas teks-teks keislaman adalah prinsip utama yang memungkinkan Islam terus bisa bertahan dalam segala
cuaca. Penutupan pintu ijtihad, baik secara terbatas atau secara keseluruhan, adalah ancaman atas Islam itu sendiri, sebab dengan demikian Islam akan mengalami pembusukan. Islam Liberal
percaya bahwa ijtihad bisa diselenggarakan dalam semua segi, baik segi muamalat interaksi
sosial, ubudiyyat ritual, dan ilahiyyat teologi. Jaringan Islam Liberal, “Tentang Jaringan Islam Liberal,” diakses pada 6 Mei 2011 dari http:islamlib.comidhalamantentang-jil
12
Inilah.com, “Ulil: Ikut Partai Ibarat masuk Entertainment,” diakses pada 6 Mei 2011 dari http:www.inilah.comreaddetail611221ulil-ikut-partai-ibarat-masuk-entertainmen
13
Ibid.
5
Di Indonesia, banyak cendekiawan yang sangat cerdas dalam mengungkapkan komentar-komentar terhadap pemerintahan masa lampau dan
saat ini. Para cendekiawan yang berfikir objektif dan tidak memihak, tidak ada kepentingan dalam setiap kata yang mereka keluarkan untuk mengkritisi
kebijakan pemerintah yang keluar. Setiap cendekiawan berhak untuk mengutarakan pendapatnya tentang apapun itu tidak harus berorientasi kepada
politik saja. Kecuali mereka dibungkam dan tidak bisa mengungkapkan pendapat mereka melalui lisan, dengan tulisan akan tetap bekerja.
Dalam skripsi ini, pengamat politik bisa dikatagorikan sebagai cendekiawan. Cendekiawan itu menurut seorang budayawan asal Malaysia adalah:
“Belajar di Universitas bukan jaminan seseorang dapat menjadi cendekiawan. Seorang cendekiawan adalah pemikir yang senantiasa
berfikir dan mengembangkan serta menyumbangkan gagasannya untuk kesejahteraan masyarakat. Ia juga adalah seseorang yang
mempergunakan ilmu dan ketajaman pikirannya untuk mengkaji, menganalisis, merumuskan segala perkara dalam kehidupan manusia,
terutama masyarakat dimana ia hadir khususnya dan di peringkat global umum untuk mencari kebenaran dan menegakkan kebenaran itu. Lebih
dari itu, seorang intelektual juga seseorang yang mengenali kebenaran dan juga berani memperjuangkan kebenaran itu, meskipun menghadapi
tekanan dan ancaman, terutama sekali kebenaran, kemajuan, dan kebebasan untu
k rakyat.”
14
Cendekiawan adalah pemikir yang senantiasa memberikan kebenaran, pengetahuan. Tapi apa yang terjadi jika para cendekiawan yang di dalamnya
termasuk para pengamat politik menggeluti politik praktis. Apakah mereka akan tetap objektif dalam menilai semua kemelut politik yang sedang menghangat di
Indonesia? Ataukah banyak cendekiawan palsu dalam memberikan penilaian karean ada tujuan di dalamnya?
14
Faizal Yusup. Bicara tentang Mahathir, Pekan Ilmu Publications Sdn Bhd 2004 mengutip dari http:id.wikipedia.orgwikiCendekiawan
6
Berharap para pengamat politik yang masuk ke dalam partai politik berdasarkan hati nurani dan tanggung jawabnya yang besar terhadap masyarakat,
sehingga apa yang disampaikan oleh Julien Benda tidak terjadi sebagai “Pengkhianatan Kaum Cendekiawan”. Sudah menjadi maklum, bahwa masuk ke
dalam partai politik itu membutuhkan dana. Maka kita bisa asumsikan berharap para pengamat yang menjadi politisi ini tidak melakukan money-politic. Kalau
masuk ke dalam parlemen diharapkan masuk secara wajar dan terhormat, kalaupun kalah juga demikian.
Ada dua jenis intelektual menurut Jose Maria Gutteres.
15
Pertama adalah intelektual idealis. Intelektual golongan ini sosok intelektual yang selalu
menomorsatukan spirit kepakaran intelektual. Expertise ini memenuhi nilai otoritas, otonomi, dan integritas. Intelektual idealis tidak tergoda dengan
kekuasaan yang dijumpai di lembaga akademis. Kedua, intelektual pragmatis. Ia adalah intelektual yang mengandaikan
intelektual demi kekuasaan. Karakter intelektual sudah tidak ada sebagai mahluk yang “tercerahkan dan mencerahkan”. Mereka sibuk mencari jabatan, mengurusi
proyek dan berebut untuk berdiri di lapisan terdepan dalam pertarungan kekuasaan. Pengabdian terhadap penguasa jadi tindakan pragmatis atas nama
sosial dan material. Masa kepemimpinan Soekarno dan Mohammad Hatta, Soedjatmoko
16
telah menyebutkan, alangkah lebih baik seorang intelektual itu berada di luar dari pemerintahan atau politik, karena itu akan membuat mereka menjadi anonim. Dan
15
Jose Maria Guterres, “Intelektual dalam Partai, Antara Perubahan dan Status Quo,” artikel diakses pada 19 Oktober 2011 dari http:forum-
haksesuk.blogspot.com201010intelektual-dalam-partai-antara.html
16
Wiratmo Soekito, “Pengantar Kaum Intelektual dan Teknokrat: Mencari Definisi” dalam Aswab Mahasin dan Ismed Natsir,. ed. Cendekiawan dan Politik Jakarta: LP3ES, 1984, h.xii.
7
menurutnya lagi bahwa sang intelektual itu berada dalam keadaan paradoksal karena mereka sebenarnya ingin memiliki kekuasaan tersebut untuk diri mereka
sendiri.
17
Walaupun berlawanan dengan pendapat para intelektual yang telah masuk ke dalam politik praktis, menurut mereka negara dan politik ini berkembang
bukan karena seorang akademisi, melainkan karena buah kerja politisi. Banyaknya bandit dan mafia-mafia yang masuk ke dalam politik dengan tujuan yang tidak
baik, memotivasi para intelektual ini masuk ke dalam partai politik dan mengimplementasikan ilmu mereka di dalam politik praktis.
Para intelektual yang berada di luar partai politik praktis tidak bisa ikut mengatur dalam pembuatan undang-undang dan kebijakan. Seorang pengamat
politik hanya tahu sekedar kulit saja, tapi di dalamnya mereka tidak mengetahuinya. Itulah salah satu keuntungan seseorang masuk ke dalam partai
politik. Banyak hal yang menarik yang bisa menjadi bahasan dalam tulisan ini, oleh karena atas dasar pemikiran di atas penulis bermaksud melakukan penelitian
dengan judul:“Cendekiawan dan Politik. Studi Kasus: Faktor Pendorong Para Pengamat Politik Masuk Partai Politik”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah