10
Analisis data berdasarkan data kualitatif.
19
Mengumpulkan data mentah melalui wawancara, observasi lapangan, dan kajian kepustakaan. Membuat
transkip data dari hasil wawancara ke dalam tulisan, dan tidak mencampur adukkan hasil wawancara dengan pendapat pribadi. Mengkatagorisasikan data,
dengan menyederhanakan materi dan membuatnya ke dalam bagian berdasarkan kata kunci penting.
Pedoman penulisan skripsi ini berpedoman pada buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Skripsi, Tesis, dan Disertasi
, yang diterbitkan oleh CeQDA Universitas Islam Negeri UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007.
E. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini, untuk mempermudah memahami isi dari skripsi ini, maka penulis membagi isi skripsi ini ke dalam lima bab. Tiap bab, di
dalamnya terdiri dari beberapa sub-bab. Adapun sistematikanya sebagai berikut: BAB I membahas pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian.
BAB II membahas mengenai kajian teori. Yang isi di dalamnya menjelaskan pengertian cendekiawan atau intelektual, partai politik dan partisipasi
politik. Dan disertai dengan pendekatan masalah. BAB III menjelaskan tentang sejarah singkat tiga periode intelektual dari
kolonial Belanda, pendudukan Jepang, dan masa kemerdekaan. Serta ICMI sebagai organisasi yang ada pada masa tahun 90-an, sebagai jembatan masuknya
19
Ibid.
11
kaum cendekiawan ke dalam struktur kekuasaan. Dan cendekiawan dengan latar belakang akademisi, dunia intelektual dan sebagai politisis.
BAB IV merupakan bagian penting dalam penulisan skripsi ini. Karena pada bagian ini disajikan hasil penelitian mengenai faktor pendorong para
pengamat politik masuk ke dalam partai politik. BAB V merupakan kesimpulan dan jawab dari rumusan dan batasan
masalah yang telah dianalisa di bab sebelumnya.
12
BAB II KAJIAN TEORI
Bab ini akan mengeksplorasi beberapa pendekatan teoritis tentang intelektual, cendekiawan dan hubungannya dengan politik. Penekanan akan
dihidupkan pada konsep-konsep kunci seperti pengertian cendekiawan atau intelektual, partai politik dan partisipasi politik.
A. Pengertian Cendekiawan atau Intelektual
Bagi masyarakat umum, cendekiawan atau intelektual sering didefinisikan sebagai individu atau kelompok yang berpendidikan. Tugas dan tujuan mereka
adalah menyelesaikan pendidikannya agar bisa bertanggung jawab terhadap masyarakat. Cara pertanggung jawaban cendekiawan dilakukan dengan
mempratekkan apa yang telah mereka pelajari di universitas atau sekolah. Atas dasar definisi ini cendekiawan merupakan kelompok masyarakat
yang berasal dari elit terdidik
1
yang telah merampungkan pendidikannya di universitas. Universitas mempunyai tanggung jawab dalam memberikan ilmunya
pada mahasiswa. Diharapkan bahwa setelah menyelesaikan studinya mahasiswa bisa bertanggungjawab atas ilmunya.
Tujuan universitas adalah;
2
pertama adalah memajukan ilmu. Termasuk mendidik serta menyediakan dasar bagi mahasiswa untuk berdiri sendiri dalam
mempelajari ilmu dan memangku jabatan dalam masyarakat. Kedua, memperkuat
1
Hendrajit, “Memahami Pergeseran Peran Intelektual dalam Era Baru,” dalam Kebebasan Cendekiawan Refleksi Kaum Muda
Yogyakarta: Bentang, 1996, h. 47.
2
Mohammad Hatta, “Tanggungjawab Kaum Intelegentsia,” dalam Aswab Mahasin dan Ismed Natsir, Cendekiawan dan Politik Jakarta: LP3ES, 1984, h. 4.
13
pendidikan jiwa dan moral mahasiswa serta memperbesar rasa tanggung jawab sosialnya.
3
Definisi tentang cendekiawan, secara lebih tegas dirumuskan oleh Ron Eyerman, menurutnya cendekiawan adalah individu atau kelompok yang menulis
buku-buku dan artikel-artikel ilmiah.
4
Karena para cendekiawan berasal dari elit terdidik, maka karakter mereka adalah cinta akan kebenaran dan berani
mengatakan salah dalam menghadapi sesuatu yang tidak benar.
5
Sehubungan dengan hal ini para cendekiawan bisa menempati posisi dalam memberikan
argumen dan pengaruh yang positif ataupun negatif. Menurut Gramsci, seorang ilmuan sosial dari Italia intelektual adalah semua orang yang mempunyai fungsi
organisator dalam semua lapisan masyarakat, dalam wilayah produksi sebagaimana dalam wilayah politik dan kebudayaan.
6
Dengan berpijak pada Gramsci, skripsi ini berpendapat bahwa semua orang bisa dikatakan sebagai
seorang intelektual, akan tetapi tidak semua orang mempunyai fungsi intelektual.
7
Cendekiawan atau intelektual pada awalnya dikenal di negara Rusia pada zaman Czar pada abad 18. Sistem politik Rusia saat itu menunjukkan kelompok
ini karena mereka tanpa ragu-ragu dijuluki intellegentsia, yaitu mereka yang dikirim belajar ke Barat, dengan tujuan khusus “penguasaan dasar-dasar
3
Ibid.
4
Ron Eyerman, Cendekiawan antara Budaya dan Politik dalam Masyarkat Modern Jakarta: YOI, 1996, h. 1.
5
Mohammad Hatta, dalam Aswab Mahasin dan Ismed Natsir, ed., Cendekiawan, h. 7.
6
Kasiyamto Kasemin, Mendamaikan Sejarah: Analisis Wacana Pencabutan TAP MPRSXXV1996
Yogyakarta: LKIS, 2004, h. 21.
7
Antonio Gramsci, Selection From The Prison Notebooks of Antonio Gramsci, 12
th
ed. New York: International Publishers, 1995, h. 9
14
peradaban Barat” serta diperlakukan secara khusus dan istimewa ketika kembali ke dalam politik dan administrasi Rusia.
8
Dalam pandangan Gramsci, intelektual sejati adalah orang yang mampu mengaplikasikan dirinya secara total dalam kehidupan bermasyarakat. Bukan
hanya sekedar mengajar dalam pendidikan, menulis dan berbicara kepada masyarakat tentang keadaan negara pada saat itu dari hasil pengamatannya.
Seorang intelektual dengan demikian akan menjadi benar-benar sejati apabila telah masuk ke dalam politik praktis dan bisa mengaplikasikan semua tujuan dan
ide-idenya untuk kebaikan masyarakat. Sobary, salah seorang cendekiawan Indonesia mengartikan intelektual
dengan mengaitkannya dengan pengakuan masyarakat terhadap sekelompok orang yang memiliki komitmen, perilaku, dan sejumlah kebolehan dalam berolah pikir
sekaligus berolah rasa dalam menghadapi keadaan sekitar.
9
Intelektual itu hanya sebagai pemberi gagasan dan rencana, sedangkan tetap yang melaksanakan
gagasan dan rencana itu adalah para politisi.
10
Dalam tradisi politik modern intelektual pertama kali disebutkan “intelektual” dalam bahasa Prancis les intellectuels. Istilah ini diperkenalkan oleh
Clemenceu dipakai secara luas di Prancis pada 1898 sebagai resonasi dari “manisfeste des intellectuel” manifesto intelektual yang dibangkitkan oleh
“Kasus Dreyfus”.
11
8
Dikutip dari Tentang intelligentsia versi Rusia dari Daniel Dhakidae, Cendekiawan dan Kuasa dalam Negara Orde Baru
Jakarta: Gramedia, 2003, h. 9.
9
Dikutip dari tulisan Arif Zulkifli, dalam Kasiyamto Kasemin, Mendamaikan Sejarah., h. 22.
10
Tulisan ini dikutip dari Yuwono Sudarsono dalam Kasiyamto Kasemin, Mendamaikan Sejarah
, h 22.
11
Yudi Latif, Intelegentsia Muslim dan Kuasa Feuer, 1976: 48; Gella, 1976: 19 Bandung: Mizan, 2005, h. 20.
15
Seorang novelis muda Emilia Zola menerbitkan sebuah surat terbuka di halaman muka sebuah koran kecil yang terbit di Paris. Surat tersebut menuduh
para anggota dinas ketentaraan Prancis telah merekayasa bukti, memanipulasi dan menutup-nutupi fakta kasus tentang Alfred Dreyfus, seorang kapten Yahudi dalam
dinas ketentaraan Prancis yang dituduh melakukan spionase dan dicopot pangkatanya oleh sebuah pengadilan militer dan dihukum penjara seumur hidup.
Surat tadi yang kemudian dikenal sebagai manifeste des intellectuels manifesto para intelektual menyebabkan perpecahan di kalangan pengaran Prancis yang
menjadi dua kubu; kubu yang membela Dreyfusard dan kubu anti Dreyfusard.
12
Gramsci yang seorang Marxisme, ingin mewujudkan impian Karl Marx yang mengingkan sebuah perubahan dalam kelas sosial. Dimana impian itu, ia
mengharapkan kapitalisme runtuh dan sebuah tatanan baru terbentuk. Gramsci keberatan dengan bunyi buku yang menjelaskan bahwa marxisme
adalah sebuah teori objek ilmiah, pertama bagi Gramsci, mustahil ada teori yang “objektif”. Teori adalah mencerminkan sesuatu terkait dengan posisi kelas sosial
tertentu dan ia dapat dikatakan benar sejauh ia mencerminkan apa yang sedang dialami kelas sosial yang bersangkutan. Kedua, selaras dengan itu, teori objektif
ilmiah adalah teori yang mengaku netral tanpa kepentingan yang berlaku umum dan dapat digunakan untuk memprediksikan masa depan sebagaimana
kebanyakan teori ilmiah lainnya. Bagi Gramsci, Marxisme tidak boleh netral melainkan merupakan salah satu unsur aktif dari perjuangan kaum proletariat itu
12
Ibid. Eyerman, 1994: 23-53, h. 20-21.
16
sendiri. Ketiga, pembuatan prediksi atas masa depan yang dimungkinkan karena adanya pengaruh positivisme dalam marxisme adalah tidak bisa dibenarkan.
13
Gramsci mengelompokkan
intelektual berdasarkan
fungsinya. Cendekiawan atau intelektual dibagi ke dalam dua bagian menurut Gramsci, yakni
intelektual organik dan intelektual tradisional.
1. Intelektual Organik
Intelektual organik adalah intelektual yang tidak hanya melihat dan merumuskan tentang sesuatu hal. Menurut Gramsci, intelektual organik adalah
individu atau kelompok yang langsung terjun ke masyarakat dan membantunya. Yaitu semua orang yang mempunyai fungsi organisator dalam semua lapisan
produksi.
14
Gramsci membagi dalam tiga katagori intelektual dalam kelas kapitalisme modern:
a. Bidang produksi; manajer, insinyur dan teknisi.
b. Masyarakat sipil; politisi, wartawan, penulis, akademisi, dan penyiar.
c. Aparat negara; jaksa, pegawai negeri, hakim dan tentara.
Intelektual organik tidak hanya berdiam diri dalam satu pekerjaan dan tidak mau terlibat dengan pemerintahan dan masyarakat. Intelektual organik yang
diciptakan Gramsci berfungsi untuk bisa membela kaum-kaum lemah dari penindasan kelompok kaya. Pada masa Gramsci para intelektual yang berasal dari
kaum proletar membela proletar dari penindasan kaum borjuis.
15
13
Adde Oriza Rio, “Antonio Gramsci, pemikir dari Balik Jeruji,” artikel diakses pada 18 Oktober 2011 dari http:www.scribd.comdoc36929683Antonio-Gramsci-Sang-Pemikir-dari-
Balik-Jeruji-Sebuah-Perbincangan-Singkat
14
Kasiyamto Kasemin, Mendamaikan Sejarah, h.21.
15
Adde Oriza Rio, “Antonio Gramsci, pemikir dari Balik Jeruji,”
17
Kaum bourjuis memegang tiga kendali dalam menangani kaum proletar. Pertama,
adalah ekonomi. Apabila mereka melawan kepada kaum bourjuis maka gaji mereka akan dipotong atau tidak diberi gaji sama sekali. Kedua, adalah
militer. Kelompok militer dipakai untuk kaum proletar apabila melawan dengan kekerasan. Dan yang ketiga adalah memakai kaum intelektual yang berasal dari
kaum bourjuis sendiri. Hal itu untuk membenarkan apa yang diinginkan oleh kaum borjuis untuk menekan kaum proletar.
16
Maka dari itu harus ada intelektual dari kaum proletar yang masuk ke dalam pemerintahan untuk bisa membuat tekanan pada kaum borjuis. Pada zaman
demokrasi sekarang, dimana segala sesuatu sudah terbuka dan tidak ada yang ditutupi dari rakyat. fungsi intelektual diharapkan bisa memperbaiki sistem politik
yang buruk yang sudah pasti terjadi. Sebagian intelektual memang terikat oleh politik. Mereka menganggap
politik pada saat itu sangat mempesona dan menggoda.
17
Dan sebagian hidup mereka terikat dengan hal itu, karena mereka menganggap intelektual atau
cendekiawan membawa tanggung jawab untuk bisa mencari jalan keluar dari kekacauan itu.
18
Goldthrope mengusulkan agar para cendekiawan dilihat sebagai service class
, suatu kelas sosial yang keberadaannya untuk melayan, ditentukan oleh pendidikan dan fungsi pelayananannya di antara modal dan pekerja dan
tujuan politiknya untuk melindungi posisi sosial yang kurang berarti.
19
Intelektual organik terbagi ke dalam dua bagian; intelektual hegemonik dan intelektual kontra-hegemonik. Intelektual hegemonik adalah memastikan
16
Ibid.
17
Herbeth Feith, “Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965, Suatu Pengantar,” dalam Prof . Miriam Budiarjo, Partisipasi danPartai Politik Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998, h.230.
18
Ibid.
19
Ron Eyerman, Cendekiawan antara, h. 3.
18
bahwa pandangan dunia sesuai dengan kapitalisme telah diterima oleh semua kelas.
20
Sedangkan intelektual kontra-hegemonik adalah bertugas memisahkan kaum proletar dari pandangan-pandangan tadi serta mengukuhkan dunia sosial.
21
Intelektual organik membentuk budaya perlawanan masyarakat dengan membangkitkan kesadaran kritisnya agar sanggup merebut posisi vital tanpa harus
terjebak perlawanan secara terbuka yaitu revolusi.
22
2. Intelektual Tradisional
Intelektual tradisional menurut Gramsci adalah intelektual yang mengikuti sejarah orang pada masa lampau. Yaitu intelektual yang hanya bergabung di
dalam kelompoknya tapi tidak berbaur dengan masyarakat.
23
Menurut Yudi Latif yang termasuk ke dalam golongan intelektual tradisional adalah filosof, sastrawan, ilmuan, pengacara, dokter, guru, pendeta,
dan pemimpin militer.
24
Intelektual disini jauh dari pengaruh kekuasaan dan tidak ingin masuk untuk terjun langsung dalam masalah sosial.
Syed Hussein memberikan ciri-ciri sosial kaum intelektual sebagai berikut: pertama
, mereka direkrut dari segala kelas, sekalipun dalam proporsi yang berbeda. Kedua, ditemui dalam gerakan mendukung ataupun menentang
pemerintah. Ketiga, pekerjaan umum mereka adalah dosen, wartawan, penyair dsb. Keempat, menjauh dari masyarakat, dan bergaul dengan kelompoknya
sendiri. Kelima, mereka tidak hanya tertarik pada segi pengetahuan teknis dan
20
H.A.R. Tilaar, Kekuasaan dan Pendidikan Magelang: Indonesia Tera, 2003, h.77.
21
Ibid.
22
Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto. ed. Teori-teori Kebudayaan Yogyakarta: Kanisius, 2005, h. 32.
23
Adde Oriza Rio, “Antonio Gramsci, pemikir dari Balik Jeruji.
24
Yudi Latif, Intelegentsia Muslim dan Kuasa Gramsci, 1971:7,9 h. 23
19
mekanis saja, ide-ide tentang agama, kehidupan yang lebih baik, seni, budaya, ekonomi dsb. Keenam, mereka bagian kecil dari masyarakat.
25
Fungsi intelektual tradisional adalah, menegakkan kebenaran yang diyakininya tidak terkait oleh otonomi manapun, hanya otonominya sendiri.
Mereka lebih sering merasa prihatin terhadap keadaan bangsa yang carut marut dibanding pemimpinnya.
26
Dalam hal ini, intelektual tradisional dikatagorikan Gramsci sebagai intelektual yang hanya bekerja, tetapi tidak mau terlibat dalam
masalah yang dihadapi masyarakat. Seperti itulah intelektual yang digambarkan oleh Julien Benda. Benda mengungkapkan bahwa seorang intelektual yang turun
ke gelanggang hanya untuk memenangkan suatu gairah realistis mengenai kelas, ras atau bangsa, maka dia akan mengkhianati fungsinya.
27
Menurut Benda, seorang intelektual apabila disewa oleh individu atau kelompok kepentingan maka dia mengkhianati fungsinya. Benda menggambarkan
seperti Sokrates dan Yesus. Menurutnya, “apakah ada sebuah patokan yan pasti untuk mengetahui apakah cendekiawan yang terjun di gelanggang memang
bersifat sesuai dengan fungsinya: ia langsung diaibkan oleh si awam, yang kepentingannya terganggu olehnya.”
28
Bentuk-bentuk kehidupan intelektual dan cendekiawan yang terorganisir adalah Persatuan Intelektual Kristen Indonesia PIKI, Ikatan Sarjana Katholik
Indonesia ISKA, dan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia ICMI.
29
Organisasi-organisasi ini diharapkan merupakan penjelmaan dari cita-cita harapan
25
Tulisan ini dikutip dari Syed Hussein, dalam Kasiyamto Kasemin, Mendamaikan Sejarah
, h. 22-23.
26
Ali Maschan Moesa, Nasionalisme Kiai: Kontruksi Sosial Berbasis Agama Yogyakarta: LkiS, 2007, h.67-68.
27
Julien Benda, Pengkhianatan Kaum Cendekiawan Jakarta: Gramedia, 1999, h. 31.
28
Ibid, h. 31.
29
“ ICMI: Sebuah Refleksi,” Harian Republika, 6 Februari 2006.
20
dan amanat umat Islam. ICMI menurut Azumardy Azra, organisasi Islam ini tidak menampilkan politik praktis dan juga tidak menampilkan Islam Politik.
30
“ICMI dengan cita-cita dan pemikiran memajukan Islam Indonesia sebagai sebuah kekuatan pembaruan, menampilkan Islam
dalam wajah yang modern, moderat dan siap menerima gagasan baru yang membawa kemajuan dan siap bekerjasama dengan kelompok
manapun. Melalui ICMI, para intelektual Islam berjuang di dalam dan
di luar pemerintahan.”
31
Pengamat-pengamat politik Indonesia seperti Indra Jaya Piliang, Ulil Abshar, Bima Arya dan Fadli Zon telah menjadi intelektual organik seperti
dikatakan Gramsci. Tetapi implementasi dan aplikasi terhadap masyarakat masih seperti yang digambarkan oleh Julien Benda sebagai intelektual modern.
B. Partai Politik
Partai politik adalah institusi yang dianggap penting dan sine qua non dalam sistem demokrasi modern.
32
Partai Politik merupakan sarana bagi warga negara untuk turut serta atau berpartisipasi dalam proses pengelolaan negara.
33
Dalam skripsi ini partai didefinisikan sebagai perkumpulan segolongan orang, seasas, sehaluan, dan setujuan terutama di bidang politik.
34
Politik berkaitan erat dengan masalah-masalah ketatanegaraan seperti sitem pemerintahan, dasar
pemerintahan, segala urusan dan tindakan, kebijakan dan siasat mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain.
35
30
Republika Online, “Azyumardi: ICMI Tidak Berpolitik Praktis,” artikel diakses pada 18 Oktober 2011 dari http:www.republika.co.idberitabreaking-newspolitik101203150360-
azyumardi-icmi-tak-berpolitik-praktis
31
ICMI: Sebuah Refleksi
32
Firmanzah, Mengelola Partai Politik: Komunikasi dan Positioning Ideologi Politik di Era Demokrasi
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008, h. 43.
33
Prof.Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik Jakarta: Gramedia, 2008, h. 397.
34
Kamus Bahasa Indonesia Online, “Partai,” artikel diakses pada 16 Oktober 2011 dari http:kamusbahasaindonesia.orgpartai
35
Kamus Bahasa Indonesia., http:kamusbahasaindonesia.orgpolitikixzz1axKmo7Wk
21
Secara bahasa partai berasal dari kata party bahasa Inggris. Ia merupakan suatu kumpulan yang digagas dan disepakati untuk menjalankan visi misi bersama
common. Suatu kumpulan yang dijalankan oleh ideologi yang sama dan tujuan yang sama.
Partai politik awal mulanya muncul di negara-negara Eropa, dengan gagasan bahwa rakyat sebagai penentu keputusan politik. Pada awal peranan
partai politik di negara Barat bersifat elistis dan aristokratis. Mempertahankan kepentingan golongan bangsawan terhadap tuntutan raja.
36
Perkembangan partai sejalan dengan perkembangan demokrasi, perluasan hak pilih rakyat dan perluasan parlemen. Bila semakin luas pertumbuhan fungsi
dan kebebasan kelompok politik, maka semakin tumbuh kesadaran para anggotanya untuk membentuk kelompok antar mereka dan bersaing dalam pentas
politik.
37
Partai yang awal mulanya dibentuk karena perkumpulan-perkumpulan yang ada karena perkembangan demokrasi maka jadilah kelompok itu menjadi
partai, tanpa disadari atau tidak. Di dalam partai, tujuan organisasi adalah untuk merealisasikan ideologi partai ke dalam pemerintahan dan membuat anggotanya
menjadi seorang politisi. Dan pada era demokrasi, terdapat Pemilihan Umum untuk memilih
pemimpin maka itu diperlukan partai untuk mewakili satu kelompok masyarakat. Banyaknya partai memperlihatkan bahwa demokrasi berkembang dengan sangat
cepat. Banyaknya kelompok-kelompok masyarakat dan elit terdidik yang ingin terjun langsung untuk menguasai kebutuhan rakyat.
36
Partai Keadilan S ejahtera, “Partai Politik dan Sejarahnya,” artikel diakses pada 16
Oktober 2011 dari http:www.pks-jaksel.or.idArticle112.html
37
Maurice Duverger, “Asal Mula Partai Politik,” dalam Dr.Ichlasuln Amal, ed., Teori-Teori Mutakhir Partai Politik
Yogyakarta: PT.Tiara Wacana Yogya, 1988, h. 2.
22
Fungsi partai politik tergantung pada tantangan zaman yang dia tumbuh apabila pada masa demokrasi maka dia akan melakukan fungsinya sebagai
penghubung antara masyarakat dan pemerintahan, apabila berkembang di masa otoriter, maka dia hanya berfungsi menjalankan apa yang diperintah oleh
penguasa pada saat itu. 1.
Pada negara Demokrasi, partai politik bisa berfungsi sebagai berikut: a.
Sebagai sarana komunikasi politik
38
untuk menampung aspirasi, merumuskan kebijakan dan dimasukkan ke dalam program partai. Juga
membicarakan kebijakan-kebijakan pemerintahan yang keluar. Dan pada saat itu partai berfungsi sebagai penghubung antara pemerintah dan yang
diperintah. b.
Sebagai sarana sosialisasi politik,
39
partai melakukannya melalui media massa, ceramah-ceramah, penerangan, kursus, kader, penataran dan
sebagainya. Tujuannya adalah untuk menciptakan citra image bahwa dia memperjuangkan kepentingan umum. Hal ini penting jika dihubungkan
tujuan partai untuk bisa menguasai pemerintahan melalui kemenangan dalam pemilihan umum.
c. Sebagai sarana rekrutmen politik,
40
hal ini berhubungan dengan keanggotaan partai. Untuk bisa memperkuat platform partai tersebut dia
harus bisa menciptakan kader-kader untuk dibinanya. Dan dari itu didirikan semacam organisasi untuk menaunginya yang melibatkan
golongan buruh, petani, pemuda dan mahasiswa. Dan dari itu dia membutuhkan kader yang berkualitas, agar mempunyai kesempatan
38
Budiarjo, Dasar-Dasar, h. 405-406
39
Ibid,h. 407.
40
ibid, h. 408.
23
mengembangkan diri dan masuk ke dalam kepemimpinan nasional dan internal partai sendiri.
d. Sebagai sarana pengatur konflik,
41
partai sebagai penengah dimana terdapat konflik yang terjadi. Dalam keadaan Indonesia yang mempunyai
beragam suku dan etnis, konflik yang melibatkan suku yang berbeda pasti terjadi. Maka dari itu peran partai adalah penengah dan memberi
pengertian kepada kedua belah pihak yang berkonflik. Partai juga melakukan konsolidasi dan artikulasi tuntutan yang beragam yang
berkembang di berbagai kelompok masyarakat. 2.
Fungsi partai di negara otoriter.
42
Bisa digambarkan pada negara yang menganut ideologi komunis. Pada saat partai komunis yang berkuasa, mereka
mempunyai kedudukan monopolistis dan kebebasan bersaing ditiadakan. Ia menentukan dirinya sebagai partai tunggal atau partai yang dominan. Partai
politik mempengaruhi semua aspek kehidupan masyarakat melalui konsep jabatan rangkap. Sarana sosialisasi politik lebih ditekankan pada aspek
pembinaan warga negara ke arah kehidupan dan cara berfikir sesuai dengan yang ditentukan partai.
3. Fungsi partai politik di negara berkembang,
43
partai politik diharapkan melaksanakan fungsinya seperti di negara-negara yang kehidupan politiknya
sudah matang. Diharapkan bisa mengorganisir kekuasaan politik, mempengaruhi keputusan-keputusan pemerintah, dan juga melaksanakannya.
Akan tetapi partai di negara baru, partai politik menghadapi masalah seperti kemiskinan, terbatasnya kesempatan kerja, pembagian pendapatan yang
41
Ibid, h. 409.
42
Ibid, h 410-411.
43
Ibid, h. 413.
24
timpang dan tingkat pendidikan yang rendah. Dan sulit untuk menjadikan partai politik sebagai jembatan antara pemerintah dan yang diperintah.
Di Indonesia sejarah kemunculan partai dan keorganisasian dilalui dengan tiga tahap: pertama, masa penjajahan Belanda, munculnya organisasi baik yang
bertujuan sosial seperti Boedi Oetomo dan Muhammadiyah, atau beraliran politik dan sekuler seperti Sarekat Islam, PNI dan Partai Khatolik.
44
Kemunculan partai politik merupakan kesadaran nasional untuk kemerdekaan bagi Indonesia. Kedua,
masa pendudukan Jepang. Masa ini semua kegiatan politik dilarang. Hanya golongan Islam diberi kebebasan untuk membentuk partai Masyumi, yang
bergerak di bidang sosial.
45
Memasuki masa kemerdekaan
46
banyak partai yang bermunculan dan mengikuti Pemilihan Umum.
Pada Pemilihan Umum tahun 1955 diikuti sebanyak 172 partai, empat terbesar di antaranya: PNI Partai Nasionalis Indonesia; Masyumi Majelis Syura
Muslimin Indonesia; Nahdlatul Ulama; dan PKI Partai Komunis Indonesia. Pada Pemilihan Umum tahun 1971 hanya diikuti sebanyak 10 partai. Partai-
partainya sebagai berikut, Partai Khatolik; Partai Syarikat Islam; Partai Nahdlatul Ulama; Partai Muslimin Indonesia; Golongan Karya; Partai Kristen Indonesia;
Partai Musyawarah Rakyat Banyak; Partai Nasional Indonesia; Partai Islam Perti; Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia. Pemilihan Umum berikutnya
pada tahun 1977 dan 1997 hanya diikuti tiga partai. Partainya sebagai berikut Partai Persatuan Pembangunan; Golongan Karya; Partai Demokrasi Indonesia.
Pemilu 1999 diikuti sebanyak 48 partai 5 diantaranya adalah Partai Amanat
44
Partai Keadilan Sejahtera.
45
Ibid.
46
Redaksi Great Publisher, Buku Pintar Politik: Sejarah, Pemerintahan, dan Ketatanegaraan
Yogyakarta: Great Publisher, 2009, h. 219
25
Nasional; Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan; Partai Keadilan; Partai Masyumi Baru; Partai Nasional Demokrat. Pemilihan Umum 2004 diikuti 24
partai 4 diantaranya adalah Partai Bulan Bintang; Partai Demokrat; Partai Damai Sejahtera; Partai Golongan Karya. Pemilihan Umum 2009 diikuti 38 partai politik
nasional dan 6 partai politik lokal Aceh. Partai nasional Partai Demokrat; Partai Keadilan Sejahtera; Partai Amanat Nasional. Dan enam partai lokal Aceh, Partai
Aceh Aman Sejahtera; Partai Daulat Aceh; Partai Aceh. Dari banyaknya partai yang mengikuti Pemilihan Umum setiap lima tahun
sekali memperlihatkan bahwa masyarakat berpartisipasi dengan mengikutsertakan partainya dalam pemilihan untuk berkuasa selama lima tahun jabatan.
Banyaknya partai yang tumbuh dan berkembang di negara Indonesia ini, tetapi tidak menghasilkan relation antara pemerintahan dan masyarakat. Harusnya
dengan partai yang banyak ini bisa mensosialisasikan setiap kebijakan negara yang keluar dan memberikan kepada masyarakat. Sehingga tidak ada jarak
antaranya. Hal ini terjadi karena partai sibuk memperebutkan kekuasaan dibanding menjalankan fungsinya.
Menurut Budi Winarno,
47
penyebab minimnya fungsi partai adalah, pertama
, di dalam tubuh partai tumbuh pragmatisme politik dan oportunisme. Dalam pengertian ini, solidaritas akan dipahami dalam pengertian singkat, yakni
semata-mata karena ikatan kepentingan bukan alasan-alasan yang luas. Dilihat dari koalisi yang berbeda ideologi. Kedua, kesadaran yang keliru mengenai orang
dengan kepentingan dan kepentingan elit dominan di dahulukan. Ketiga, kurang ketegasan dalam hal ideologi, sehingga partai menjadi akumulasi kepentingan
47
Prof.Dr.Budi Winarno,MA, Sistem Pollitik Era Reformasi Yogyakarta: MedPress, 2008, h. 101.
26
politik dan tidak mempunyai visi misi yang tepat sasaran. Keempat, mempunyai rencana jangka pendek, dengan Pemilihan Umum dan terpilih untuk partai
berkuasa lima tahunan. Kelima, secara empirik ada peremajaan anggota partai, tapi tetap ada pelaku lama yang bekerja pada saat Orde Baru.
Hal di atas yang menyebabkan kegagalan partai politik. Dan terjadi juga di negara demokrasi. Partai politik yang jatuh atau gagal dalam negara demokrasi
disebabkan oleh partai itu sendiri. Apabila dia mengikuti Pemilihan Umum dan dia gagal untuk dapat duduk di lembaga pemerintahan seperti DPR dan MPR,
maka untuk Pemilihan Umum yang akan datang dia akan menciptakan partai baru dan mengikuti lagi Pemilihan Umum. Karena didorong keinginan untuk bisa
menguasai negara pada saat itu dan mengatur segala sesuatunya. Apabila sudah terpilih, mereka tidak mendahulukan apa yang telah
menjadi tujuan terbentuknya partai politik, yaitu penghubung antara yang memerintah dan yang diperintah. Sehingga jarak terjadi dan membuat MPR dan
DPR sebagai tempat kepentingan berbagai individu. Padahal lembaga tersebut adalah yang membuat bulat lonjongnya pemerintahan.
48
Padahal partai politik sudah mempunyai tujuan yang jelas pada saat pembentukannya, dan masuknya intelektual bisa membuat citra partai semakin
baik dan kinerjanya meningkat. Sebagai penghubung antara pemerintah dan yang diperintah, sama dengan fungsi intelektual, individu yang dipercaya masyarakat
untuk mewujudkan sistem pemeritahan yang baik dan bisa mensejahterakan
48
Deny J.A, Memperkuat Pilar Kelima, Pemilu 2004 dalam Temuan Survey LSI Yogyakarta: LKIS, 2006, h. 19.
27
rakyat.
49
Tujuan khususnya, memperjuangkan cita-citanya bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
50
C. Partisipasi Politik