Cendikiawan dan politik: faktor pendorong pengamat politik masuk ke dalam partai politik

(1)

PARTAI POLITIK

Skripsi

Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Universitas Islam Negeri SYARIF HIDAYATULLAH JAKRTA

Disusun Oleh : Nashihatul Furqoni

107033201496

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1432 H/2011 M


(2)

PARTAI POLITIK

Skripsi

Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Universitas Islam Negeri SYARIF HIDAYATULLAH JAKRTA

Disusun Oleh : Nashihatul Furqoni

107033201496

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1432 H/2011 M


(3)

(4)

(5)

(6)

ABSTRAK

Nashihatul Furqoni

Cendekiawan dan Politik: Faktor Pendorong Pengamat Politik masuk Partai Politik

Pengamat politik merupakan salah satu kelompok cendekiawan. Karena pengamat politik memiliki fungsi dan tanggung jawab yang sama dengan intelektual atau cendekiawan. Mereka bekerja untuk memberikan kebaikan kepada masyarakat dan memberikan kebenaran kepada rakyat tanpa ada yang ditutupi. Dalam memberi kebenaran mereka tidak boleh terikat oleh kepentingan, tapi dengan banyaknya tujuan individu yang ingin direalisasikan oleh mereka, maka kepentingan umum tertutupi oleh kepentingan pribadi dan kelompok yang menaungi mereka.

Kenyataan bahwa para cendekiawan atau intelektual tertarik masuk ke dalam struktur kekuasaan telah ada dari masa penjajahan. Indonesia pada masa penjajahan Belanda dan pendudukan Jepang, dikuasai dan ditekan. Akibat penjajahan dan tekanan Belanda dan Jepang menyebabkan para intelektual Indonesia mendirikan gerakan dan organisasi-organisasi yang bertujuan untuk kemerdekaan negaranya. Sehingga orang-orang yang berada dalam pemerintah pada masa itu tidak kompeten di bidangnya, pada akhirnya para intelektual dipanggil dan diajak masuk ke dalam pemerintahan. Dengan demikian intelektual bisa membuat perubahan di dalamnya. Para intelektual dianggap sebagai orang akademisi yang mengerti tentang pemerintahan.

Indra J.Piliang, Bima Arya.S., Ulil Abshar, dan Fadli Zon adalah para pengamat politik yang masuk ke dalam partai politik. Mereka bertujuan untuk bisa membuat perubahan yang positif bagi partai. Menurut anggapan mereka, apabila masuk ke dalam partai maka untuk meraih sesuatu akan dengan mudah terlaksana. Dengan masuk partai mereka bisa masuk ke dalam lingkungan yang lebih besar dari pada partai yaitu pemerintahan. Apabila mereka masuk pemerintahan mereka bisa berkuasa dan bisa membuat tujuan-tujuan awalnya terealisasi.

Skripsi ini ditulis dengan penelitian kualitatif. Untuk data primer dilakukan wawancara kepada narasumber yang terpilih. Memberikan pertanyaan-pertanyaan yang terkait dengan tema tulisan. Dan untuk data sekunder, didapat dari library research (kajian pustaka), internet, artikel terkait, koran online, dan sebagainya.


(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis berhasil menyelesaikan salah satu kewajiban akademik yang merupakan prasyarat dalam rangka meraih gelar Sarjana Sosial di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ucapan terima kasih tak lupa penulis haturkan kepada berbagai pihak yang ikut memberikan kontribusi dalam penyelesaian skripsi “Cendekiawan dan

Politik: Faktor Pendorong Pengamat Politik Masuk Partai Politik”. Adapun ucapan terimakasih penulis haturkan sebesar-besarnya kepada:

1. Ucapan terima kasih dengan segala kerendahan hati tak lupa penulis berikan kepada orang tua H. Syafrial Luky dan Hj. Dahniarti yang telah memberikan dukungan dan membimbing sehingga penulis bisa menyelesaikan studi. Kepada abang dan adikku, Yogi Perdana dan M. Irsyad Lucky.

2. Bapak Dr. Ali Munhanif Ph.D selaku Ketua Prodi Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah dan Dosen Pembimbing penulis. Terima kasih atas dedikasi dan perhatiannya dalam memberikan masukan dan bimbingan selama proses penulisan skripsi.

3. Bapak Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, MA selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Bapak Prof. Dr. Bahtiar Effendy, MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.


(8)

Syarif Hidayatullah Jakarta.

6. Kepada Bapak Idris Thaha M.Si selaku penguji I dan Ibu Suryani M.Si selaku penguji II.

7. Seluruh dosen dan staff pengajar pada Program Studi Ilmu Politik yang telah sangat banyak memberikan sumbangan ilmiah selama penulis menempuh proses perkuliahan.

8. Seluruh jajaran, staff dan petugas di Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Perpustakaan Freedom Institute.

9. Ucapan terima kasih kepada narasumber skripsi Bima Arya Sugiarto, Indra J.Piliang, Fadli Zon dan Ulil Abshar Abdalla yang telah meluangkan waktu untuk memberikan informasi dan masukan dalam proses pembuatan skripsi. 10.Untuk kamu yang sangat spesial, Kris Rarharjo. Terima kasih atas

pengertian, doa dan supportnya kepada penulis.

11.Kepada kakak penulis tersayang kak Eni yang sabar dan telah memberikan asupan gizi yang baik kepada penulis sehingga bisa menyelesaikan skripsi. 12.Ucapan terima kasih kepada kelurga Kris Raharjo yang telah memberikan

semangat untuk penulisan skripsi ini Mama, Papa, Desy, Mba Ati dan Disa yang imut.

13.Kepada kawan-kawan KL (Kmunis Lavilatan) Junaidi, Anton, Taufik (Bule), Sapril, Irfan Fahmi, Charok, R-van. yang telah membangun semangat penulis untuk menyelesaikan skripsi.


(9)

senior Tiwi, Paul, Bulan, Naya, Iqbal, Eko, Iwan, Mukhlas, Adi, Nuy, Neneng, Imah, Siti, Pipit, kak Rahma, bang Munir. Makasih buat support, dan komentarnya. Buat Beni terima kasih sekali untuk nasihat dan motivasinya selama pembuatan skripsi ini.

15.Untuk semua yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini yang tidak dapat tersebutkan di atas.

Semoga Allah SWT Yang Maha Pemurah memberikan balasan yang sesuai atas segala kebaikan yang telah diberikan, dan semoga selalu dalam perlindungan-Nya, amin. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penelitian ini. Oleh karena itu, penulis menerima berbagai masukan baik itu berupa kritik maupun saran yang membangun dan dapat membuat penelitian ini menjadi lebih baik. Akhirnya penulis berharap semoga penelitian ini dapat memberikan ini manfaat bagi penulis khususnya dan para pembaca pada umumnya

Jakarta, 28 November 2011


(10)

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... viii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8

D. Metodologi Penelitian ... 9

E. Sistematika Penulisan ... 11

BAB II KAJIAN TEORI ... 12

A. Pengertian Cendekiawan dan Intelektual ... 12

1. Intelektual Organik ... 16

2. Intelektual Tradisional ... 18

B. Partai Politik ... 20

C. Pengertian Partisipasi Politik ... 27

D. Pendekatan Masalah ... 32

BAB III PERAN KAUM CENDEKIAWAN DI INDONESIA ... 34

A. Kolonial Belanda ... 34

B. Pendudukan Jepang ... 38

C. Masa Kemerdekaan ... 40

D. ICMI ... 42


(11)

BAB IV PENGAMAT POLITIK SEBAGAI KEKUATAN

POLITIK ... 53

A. Cendekiawan dan Kekuatan Politik Penyeimbang ... 54

B. Faktor-faktor yang Mendorong terlibat dalam Politik ... 56

C. Pilihan Partai dalam Politik dan Tujuannya ... 61

D. Pandangan-pandangan Politik Cendekiawan ... 70

BAB V PENUTUP ... 73

A. Kesimpulan ... 73

B. Saran ... 75

DAFTAR PUSTAKA ... 76


(12)

PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Proses demokratisasi di Indonesia sejak runtuhnya kekuasaan represif Orde Baru pada 1998 bisa dikatakan berlangsung dramatis. Sebagian pengamat menganggap Indonesia sebagai negara demokrasi ketiga terbesar (third largest democracy in the world) setelah India dan Amerika. Pertumbuhan demokrasi itu ditandai dengan tumbuh suburnya sejumlah partai politik baru, kemerdekaan mengeluarkan pendapat dan kebebasan pers.1 Dengan banyaknya partai politik yang ada membuat para kaum cendekiawan atau intelektual tertarik untuk bergabung demi mengaplikasikan ide-ide dan membuat tujuannya berhasil.

Salah satu kelompok cendekiawan dan intelektual itu adalah para pengamat politik. Tapi hal ini menimbulkan pertanyaan. Pengamat politik harusnya selalu bersifat independent dan faktual berdasarkan objek yang diamati dan dikritisi. Tetapi banyak juga dari pengamat politik yang masuk ke politik praktis yaitu partai politik. Dari partai politik tersebut mereka masuk ke dalam sistem2 dan proses-proses politik. Apabila mereka masuk ke dalam partai politik apakah yang mereka teliti dan diamati nantinya akan tetap bersifat objektif?

Skripsi ini hendak membahas berbagai perubahan-perubahan pilihan politik di kalangan pengamat politik di Indonesia pasca transisi ke demokrasi.

Bima Arya Sugiarta adalah salah seorang pengamat politik yang masuk ke dalam partai politik. Dia masuk setelah dipinang oleh Partai Amanat Nasional

1

Amirul Hasan, “Pengaruh Media Terhadap Tingkat Partisipasi Politik,” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta), h.1.

2 Drs. Abdurrachman M.Si, “Sistem Politik Indonesia,” (Makala Pengembangan Bahan


(13)

(PAN).3 Bima sebelumnya adalah seorang pengajar di beberapa Universitas di Indonesia. Tahun 1998-2001 menjadi pengajar dan peneliti di Universitas Parahyangan Bandung, di tahun dan kota yang sama mengajar paruh waktu di Universitas Maranatha.4 Namanya mulai dikenal luas pada saat dia diundang untuk memberikan tanggapan mengenai berbagai hal yang berhubungan dengan perkembangan pemerintahan dan politik.

Seorang penulis berkomentar, dia menyebutkan dalam tulisan blognya

“Pria berpredikat aktifis Islam ini memang unik”. Wajahnya, dandanannya,

karakter suaranya, bahkan corak penampilannya agak sulit disebut “pengamat

politik”. Tetapi karena ekspose terus menerus melalui televisi, akhirnya Bima Arya terarah menjadi tokoh publik, dengan label “pengamat politik”.5

Menurutnya, hasil analisis politik Bima tidak istimewa. Namun ekspose dari media yang mendaulat Bima menjadi pengamat politik.6 Diragukan kemampuannya dalam mengeluarkan argumen dan dibandingkan dengan pengamat yang lain yang lebih kritis.

Seperti yang diungkapkan oleh Bima dalam artikel internet “Saya sudah

lama berkomunikasi dan bekerja sama dengan Bang Hatta. Ketika pilpres lalu, Bang Hatta mengajak saya masuk Timkamnas. Sekarang, saya diminta Bang

3

Partai Amanat Nasional dideklarasasikan di Jakarta pada 23 Agustus, 1998 oleh 50 tokoh nasional, di antaranya Prof. Dr. H. Amien Rais, mantan Ketua umum Muhammadiyah, Goenawan Mohammad, Abdillah Toha, Dr. Rizal Ramli, Dr. Albert Hasibuan, Toety Heraty, Prof. Dr. Emil Salim, Drs. Faisal BasriMA, A.M. Fatwa, Zoemrotin, Alvin Lie Ling Piao dan lainnya. Wikipedia,

“Partai Amanat Nasional,” diakses pada 5 Mei 2011 dari

http://id.wikipedia.org/wiki/Partai_Amanat_Nasional

4 Bima Arya Sugiarto, “Work Experience”, artikel diakses pada 29 April 2011 dari

http://bimaaryasugiarto.blogspot.com/

5Pustaka Langit Biru, “Sosok Pengamat Politik Arya Bima,” artikel diakses pada 18 April

2011 dari http://abisyakir.wordpress.com/2009/06/19/sosok-pengamat-politik-arya-bima/

6 Ibid.


(14)

Hatta untuk bergabung, ya namanya dipercaya,” paparnya.”7

Keterangan ini memperlihatkan bahwa pemimpin partai mengajak pengamat politik masuk ke- dalam partai, mungkin untuk mengetahui bagaimana perkembangan kepemimpinan pimpinan pada saat itu, dan juga menjadikan alasan Bima untuk masuk ke dalam politik praktis.

Tokoh lain dari cendekiawan yang bergabung dengan partai politik adalah Indra Jaya Piliang. Ia menjadi politisi Golkar pada tahun 2008. Indra sebelumnya merupakan seorang pengamat politik dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS). Ia dipandang sebagai seorang yang vokal dalam menyuarakan kritikan dan pendapat. Ternyata tergoda untuk menjadi seorang praktisi politik.

Indra berpendapat bahwa “saatnya sekarang saya mengorbankan diri untuk

menjadi bagian dari kebutuhan bangsa ini, saya merasa punya pemahaman yang

cukup tentang politik dan demokrasi.”8

Peneliti CSIS ini menganggap ada serangan serius terhadap partai politik, termasuk dari kalangan intelektual. Dengan bergabung ke partai, menurutnya daya jangkau dalam memberikan kontribusi akan semakin luas. Dengan bergabung di partai politik saya jadi bisa keliling daerah dari Sabang sampai Merauke untuk memberikan pendidikan politik.9

Indra adalah lulusan Fakultas Sastra Universitas Indonesia pada 1997. Dia

mengatakan seharusnya Golkar berada d luar pemerintahan. “Karena anggota

koalisi kerap melemparkan isu yang menyudutkan Golkar dan Ketua Umum

7Detik News, “Bima Arya dan Helmi Yahya perkuat DPP PAN,” artikel diakses pada 18

April 2011 dari http://www.detiknews.com/read/2010/02/08/133442/1295126/10/bima-arya-dan-helmy-yahya-perkuat-dpp-pan

8Kompas.com, “Indra Piliang Jadi Politisi Golkar” artikel diakses pada 3 Mei 2011 dari

http://nasional.kompas.com/read/2008/08/08/09391523/indra.piliang.jadi.politisi.golkar

9 Ibid.


(15)

Golkar Aburizal Bakrie.”10

Indra menginginkan partainya berada dalam kubu oposisi pasca-pengambilan keputusan hak angket.

Tokoh lain dari cendekiawan adalah Ulil Abshar Abdalla, pengamat politik dan koordinator Jaringan Islam Liberal (JIL).11 Gelar sarjana yang di dapatnya dari Fakultas Syariah Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA) menjadikannya seorang koordinator JIL dan Director Freedom Institute Jakarta. Ulil juga lulusan program M.A di bidang studi agama di Universitas Boston, Massachussetts, AS.

Ulil Abshar masuk ke Partai Demokrat sebagai ketua Pusat Pengembangan Strategi dan Kebijakan untuk kepengurusan tahun 2010-2015. Menurut Ulil,

“masuk partai biasa saja, sama saja masuk perusahaan atau entertain.” Dia masuk

Partai Demokrat karena partai itu besar. Menurutnya, dia bisa mengembangkan ide-idenya yang besar. Jadi, tidak ada ambisi apa-apa masuk ke dalam politik praktis.12

Ulil yang direkrut oleh Ketua Umum Anas Urbaningrum masuk ke dalam kepengurusan, bukan karena ambisi yang tinggi. Sehingga motivasinya masuk partai menjadi alat penting untuk mengembangkan ide dan kebijakan yang sehat.13

10Kompas.com, “Indra: Golkar Kesulitan di dalam Koalisi”, artikel ini diakses pa

da 3 Mei 2011 dari

http://nasional.kompas.com/read/2011/03/06/19480795/Indra.Golkar.Kesulitan.di.dalam.Koalisi

11

Jaringan Islam Liberal percaya bahwa ijtihad atau penalaran rasional atas teks-teks keislaman adalah prinsip utama yang memungkinkan Islam terus bisa bertahan dalam segala cuaca. Penutupan pintu ijtihad, baik secara terbatas atau secara keseluruhan, adalah ancaman atas Islam itu sendiri, sebab dengan demikian Islam akan mengalami pembusukan. Islam Liberal percaya bahwa ijtihad bisa diselenggarakan dalam semua segi, baik segi muamalat (interaksi

sosial), ubudiyyat (ritual), dan ilahiyyat (teologi). Jaringan Islam Liberal, “Tentang Jaringan Islam

Liberal,” diakses pada 6 Mei 2011 dari http://islamlib.com/id/halaman/tentang-jil

12Inilah.com, “Ulil: Ikut Partai Ibarat masuk Entertainment,” diakses pada 6 Mei 2011 dari

http://www.inilah.com/read/detail/611221/ulil-ikut-partai-ibarat-masuk-entertainmen/

13 Ibid.


(16)

Di Indonesia, banyak cendekiawan yang sangat cerdas dalam mengungkapkan komentar-komentar terhadap pemerintahan masa lampau dan saat ini. Para cendekiawan yang berfikir objektif dan tidak memihak, tidak ada kepentingan dalam setiap kata yang mereka keluarkan untuk mengkritisi kebijakan pemerintah yang keluar. Setiap cendekiawan berhak untuk mengutarakan pendapatnya tentang apapun itu tidak harus berorientasi kepada politik saja. Kecuali mereka dibungkam dan tidak bisa mengungkapkan pendapat mereka melalui lisan, dengan tulisan akan tetap bekerja.

Dalam skripsi ini, pengamat politik bisa dikatagorikan sebagai cendekiawan. Cendekiawan itu menurut seorang budayawan asal Malaysia adalah:

“Belajar di Universitas bukan jaminan seseorang dapat menjadi

cendekiawan. Seorang cendekiawan adalah pemikir yang senantiasa berfikir dan mengembangkan (serta) menyumbangkan gagasannya untuk kesejahteraan masyarakat. Ia juga adalah seseorang yang mempergunakan ilmu dan ketajaman pikirannya untuk mengkaji, menganalisis, merumuskan segala perkara dalam kehidupan manusia, terutama masyarakat dimana ia hadir khususnya dan di peringkat global umum untuk mencari kebenaran dan menegakkan kebenaran itu. Lebih dari itu, seorang intelektual juga seseorang yang mengenali kebenaran dan juga berani memperjuangkan kebenaran itu, meskipun menghadapi tekanan dan ancaman, terutama sekali kebenaran, kemajuan, dan kebebasan untuk rakyat.”14

Cendekiawan adalah pemikir yang senantiasa memberikan kebenaran, pengetahuan. Tapi apa yang terjadi jika para cendekiawan yang di dalamnya termasuk para pengamat politik menggeluti politik praktis. Apakah mereka akan tetap objektif dalam menilai semua kemelut politik yang sedang menghangat di Indonesia? Ataukah banyak cendekiawan palsu dalam memberikan penilaian karean ada tujuan di dalamnya?

14

Faizal Yusup. Bicara tentang Mahathir, Pekan Ilmu Publications Sdn Bhd (2004) mengutip dari http://id.wikipedia.org/wiki/Cendekiawan


(17)

Berharap para pengamat politik yang masuk ke dalam partai politik berdasarkan hati nurani dan tanggung jawabnya yang besar terhadap masyarakat, sehingga apa yang disampaikan oleh Julien Benda tidak terjadi sebagai

“Pengkhianatan Kaum Cendekiawan”. Sudah menjadi maklum, bahwa masuk ke

dalam partai politik itu membutuhkan dana. Maka kita bisa asumsikan berharap para pengamat yang menjadi politisi ini tidak melakukan money-politic. Kalau masuk ke dalam parlemen diharapkan masuk secara wajar dan terhormat, kalaupun kalah juga demikian.

Ada dua jenis intelektual menurut Jose Maria Gutteres.15 Pertama adalah intelektual idealis. Intelektual golongan ini sosok intelektual yang selalu menomorsatukan spirit kepakaran intelektual. Expertise ini memenuhi nilai otoritas, otonomi, dan integritas. Intelektual idealis tidak tergoda dengan kekuasaan yang dijumpai di lembaga akademis.

Kedua, intelektual pragmatis. Ia adalah intelektual yang mengandaikan intelektual demi kekuasaan. Karakter intelektual sudah tidak ada sebagai mahluk

yang “tercerahkan dan mencerahkan”. Mereka sibuk mencari jabatan, mengurusi

proyek dan berebut untuk berdiri di lapisan terdepan dalam pertarungan kekuasaan. Pengabdian terhadap penguasa jadi tindakan pragmatis atas nama sosial dan material.

Masa kepemimpinan Soekarno dan Mohammad Hatta, Soedjatmoko16 telah menyebutkan, alangkah lebih baik seorang intelektual itu berada di luar dari pemerintahan atau politik, karena itu akan membuat mereka menjadi anonim. Dan

15Jose Maria Guterres, “Intelektual dalam Partai, Antara Perubahan dan Status Quo,”

artikel diakses pada 19 Oktober 2011 dari

http://forum-haksesuk.blogspot.com/2010/10/intelektual-dalam-partai-antara.html

16Wiratmo Soekito, “Pengantar Kaum Intelektual dan Teknokrat: Mencari Definisi” dalam


(18)

menurutnya lagi bahwa sang intelektual itu berada dalam keadaan paradoksal

karena mereka sebenarnya ingin memiliki kekuasaan tersebut untuk diri mereka sendiri.17

Walaupun berlawanan dengan pendapat para intelektual yang telah masuk ke dalam politik praktis, menurut mereka negara dan politik ini berkembang bukan karena seorang akademisi, melainkan karena buah kerja politisi. Banyaknya bandit dan mafia-mafia yang masuk ke dalam politik dengan tujuan yang tidak baik, memotivasi para intelektual ini masuk ke dalam partai politik dan mengimplementasikan ilmu mereka di dalam politik praktis.

Para intelektual yang berada di luar partai politik praktis tidak bisa ikut mengatur dalam pembuatan undang-undang dan kebijakan. Seorang pengamat politik hanya tahu sekedar kulit saja, tapi di dalamnya mereka tidak mengetahuinya. Itulah salah satu keuntungan seseorang masuk ke dalam partai politik. Banyak hal yang menarik yang bisa menjadi bahasan dalam tulisan ini, oleh karena atas dasar pemikiran di atas penulis bermaksud melakukan penelitian

dengan judul:“Cendekiawan dan Politik. Studi Kasus: Faktor Pendorong

Para Pengamat Politik Masuk Partai Politik”

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Untuk memudahkan penelitian yang akan dilakukan, maka penulis perlu membatasi permasalahan dan penelitian yaitu pada tokoh-tokoh yang masuk partai politik yang telah dijelaskan pada bagian latar belakang yakni Bima Arya Sugiarta, Indra Jaya Piliang, Fadli Zon dan Ulil Abshar Abdalla.

17


(19)

2. Rumusan Masalah

Dari pembatasan masalah tersebut, maka rumusan dalam penelitian ini adalah:

a. Alasan dan faktor pendorong para pengamat politik masuk ke dalam partai politik?

b. Apakah para cendekiawan tidak bisa berkomentar bila di luar partai politik?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai oleh penulis dalam penelitian ini adalah: agar penulis dan masyarakat mengatahui apa yang menjadi dasar para cendekiawan atau pengamat politk masuk ke dalam partai politik. Untuk mengetahui secara dalam bagaimana program partai politik yang selama ini hanya diketahui oleh orang dalam partai tersebut. Untuk mengetahui sejauh mana kedekatan para pengamat politik kepada orang yang berada di dalam partai.

2. Manfaat Penelitian

Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Secara ilmiah penelitian ini diharapkan mampu menambah wacana bagi penyusun dan pembaca secara pribadi, karya ini menjadi pembuka dalam menapaki dunia karya ilmiah.

b. Diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi siapa saja yang membutuhkan informasi lebih lanjut dan lebih mudah terutama dalam melihat perkembangan politik, khususnya tentang cendekiawan atau intelektual yang terlibat dalam politik praktis.


(20)

D. Metodologi Penelitian 1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang disebut verstehen

(pemahaman mendalam) karena mempertanyakan makna suatu objek secara mendalam dan tuntas.18 Data kualitatif yaitu berwujud kata-kata dan gambaran bukan angka-angka.

Skripsi ini ditulis dengan berlandaskan data primer, yakni sumber-sumber yang digunakan sebagi rujukan utama dalam penelitian yang langsung berhubungan dengan objek penelitian, yang meliputi bahan peneliti sumber partai, media massa, biografi, memoir politik dan internet.

Selain itu, penulis juga menggunakan data sekunder, data yang diperoleh dari literatur-literatur kepustakaan seperti buku-buku, koran, artikel, majalah dan sumber lain yang berhubungan dengan masalah yang dibahas dan sumber lainnya yang relevan dengan materi penelitian.

2. Teknik Pengumpulan Data

Data penelitian ini dilakukan dengan wawancara dengan tokoh yang bersangkutan menjadi narasumber skripsi, sesuai dengan pokok permasalahan yang ada. Memberikan pertanyaan sesuai dengan fokus tulisan. Melakukan studi kepustakaan untuk menambah data primer sesuai dengan permasalahan yang berkaitan. Teknik ini digunakan untuk mendukung penelitian dengan teori-toeri yang sudah ada.

3. Teknik Analisis Data

18

Dr.Prasetya Irawan, M.Sc, Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif (T.tp: DIA FISIP UI, 2006), h. 4.


(21)

Analisis data berdasarkan data kualitatif.19 Mengumpulkan data mentah melalui wawancara, observasi lapangan, dan kajian kepustakaan. Membuat transkip data dari hasil wawancara ke dalam tulisan, dan tidak mencampur adukkan hasil wawancara dengan pendapat pribadi. Mengkatagorisasikan data, dengan menyederhanakan materi dan membuatnya ke dalam bagian berdasarkan kata kunci penting.

Pedoman penulisan skripsi ini berpedoman pada buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi), yang diterbitkan oleh CeQDA Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007.

E. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini, untuk mempermudah memahami isi dari skripsi ini, maka penulis membagi isi skripsi ini ke dalam lima bab. Tiap bab, di dalamnya terdiri dari beberapa sub-bab. Adapun sistematikanya sebagai berikut:

BAB I membahas pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian.

BAB II membahas mengenai kajian teori. Yang isi di dalamnya menjelaskan pengertian cendekiawan atau intelektual, partai politik dan partisipasi politik. Dan disertai dengan pendekatan masalah.

BAB III menjelaskan tentang sejarah singkat tiga periode intelektual dari kolonial Belanda, pendudukan Jepang, dan masa kemerdekaan. Serta ICMI sebagai organisasi yang ada pada masa tahun 90-an, sebagai jembatan masuknya

19


(22)

kaum cendekiawan ke dalam struktur kekuasaan. Dan cendekiawan dengan latar belakang akademisi, dunia intelektual dan sebagai politisis.

BAB IV merupakan bagian penting dalam penulisan skripsi ini. Karena pada bagian ini disajikan hasil penelitian mengenai faktor pendorong para pengamat politik masuk ke dalam partai politik.

BAB V merupakan kesimpulan dan jawab dari rumusan dan batasan masalah yang telah dianalisa di bab sebelumnya.


(23)

KAJIAN TEORI

Bab ini akan mengeksplorasi beberapa pendekatan teoritis tentang intelektual, cendekiawan dan hubungannya dengan politik. Penekanan akan dihidupkan pada konsep-konsep kunci seperti pengertian cendekiawan atau intelektual, partai politik dan partisipasi politik.

A. Pengertian Cendekiawan atau Intelektual

Bagi masyarakat umum, cendekiawan atau intelektual sering didefinisikan sebagai individu atau kelompok yang berpendidikan. Tugas dan tujuan mereka adalah menyelesaikan pendidikannya agar bisa bertanggung jawab terhadap masyarakat. Cara pertanggung jawaban cendekiawan dilakukan dengan mempratekkan apa yang telah mereka pelajari di universitas atau sekolah.

Atas dasar definisi ini cendekiawan merupakan kelompok masyarakat yang berasal dari elit terdidik1 yang telah merampungkan pendidikannya di universitas. Universitas mempunyai tanggung jawab dalam memberikan ilmunya pada mahasiswa. Diharapkan bahwa setelah menyelesaikan studinya mahasiswa bisa bertanggungjawab atas ilmunya.

Tujuan universitas adalah;2 pertama adalah memajukan ilmu. Termasuk mendidik serta menyediakan dasar bagi mahasiswa untuk berdiri sendiri dalam mempelajari ilmu dan memangku jabatan dalam masyarakat. Kedua, memperkuat

1Hendrajit, “Memahami Pergeseran Peran Intelektual dalam Era Baru,” dalam

Kebebasan

Cendekiawan Refleksi Kaum Muda (Yogyakarta: Bentang, 1996), h. 47.

2 Mohammad Hatta, “Tanggungjawab Kaum Intelegentsia,” dalam Aswab Mahasin dan


(24)

pendidikan jiwa dan moral mahasiswa serta memperbesar rasa tanggung jawab sosialnya.3

Definisi tentang cendekiawan, secara lebih tegas dirumuskan oleh Ron Eyerman, menurutnya cendekiawan adalah individu atau kelompok yang menulis buku-buku dan artikel-artikel ilmiah.4 Karena para cendekiawan berasal dari elit terdidik, maka karakter mereka adalah cinta akan kebenaran dan berani mengatakan salah dalam menghadapi sesuatu yang tidak benar.5 Sehubungan dengan hal ini para cendekiawan bisa menempati posisi dalam memberikan argumen dan pengaruh yang positif ataupun negatif. Menurut Gramsci, seorang ilmuan sosial dari Italia intelektual adalah semua orang yang mempunyai fungsi organisator dalam semua lapisan masyarakat, dalam wilayah produksi sebagaimana dalam wilayah politik dan kebudayaan.6 Dengan berpijak pada Gramsci, skripsi ini berpendapat bahwa semua orang bisa dikatakan sebagai seorang intelektual, akan tetapi tidak semua orang mempunyai fungsi intelektual.7

Cendekiawan atau intelektual pada awalnya dikenal di negara Rusia pada zaman Czar pada abad 18. Sistem politik Rusia saat itu menunjukkan kelompok ini karena mereka tanpa ragu-ragu dijuluki intellegentsia, yaitu mereka yang

dikirim belajar ke Barat, dengan tujuan khusus “penguasaan dasar-dasar

3

Ibid. 4

Ron Eyerman, Cendekiawan antara Budaya dan Politik dalam Masyarkat Modern

(Jakarta: YOI, 1996), h. 1.

5

Mohammad Hatta, dalam Aswab Mahasin dan Ismed Natsir, ed., Cendekiawan, h. 7.

6

Kasiyamto Kasemin, Mendamaikan Sejarah: Analisis Wacana Pencabutan TAP

MPRS/XXV/1996 (Yogyakarta: LKIS, 2004), h. 21.

7

Antonio Gramsci, Selection From The Prison Notebooks of Antonio Gramsci, 12th ed. (New York: International Publishers, 1995), h. 9


(25)

peradaban Barat” serta diperlakukan secara khusus dan istimewa ketika kembali ke dalam politik dan administrasi Rusia.8

Dalam pandangan Gramsci, intelektual sejati adalah orang yang mampu mengaplikasikan dirinya secara total dalam kehidupan bermasyarakat. Bukan hanya sekedar mengajar dalam pendidikan, menulis dan berbicara kepada masyarakat tentang keadaan negara pada saat itu dari hasil pengamatannya. Seorang intelektual dengan demikian akan menjadi benar-benar sejati apabila telah masuk ke dalam politik praktis dan bisa mengaplikasikan semua tujuan dan ide-idenya untuk kebaikan masyarakat.

Sobary, salah seorang cendekiawan Indonesia mengartikan intelektual dengan mengaitkannya dengan pengakuan masyarakat terhadap sekelompok orang yang memiliki komitmen, perilaku, dan sejumlah kebolehan dalam berolah pikir sekaligus berolah rasa dalam menghadapi keadaan sekitar.9 Intelektual itu hanya sebagai pemberi gagasan dan rencana, sedangkan tetap yang melaksanakan gagasan dan rencana itu adalah para politisi.10

Dalam tradisi politik modern intelektual pertama kali disebutkan

“intelektual” dalam bahasa Prancis les intellectuels. Istilah ini diperkenalkan oleh Clemenceu dipakai secara luas di Prancis pada 1898 sebagai resonasi dari “manisfeste des intellectuel” (manifesto intelektual) yang dibangkitkan oleh

“Kasus Dreyfus”.11

8

Dikutip dari Tentang intelligentsia versi Rusia dari Daniel Dhakidae, Cendekiawan dan

Kuasa dalam Negara Orde Baru (Jakarta: Gramedia, 2003), h. 9.

9

Dikutip dari tulisan Arif Zulkifli, dalam Kasiyamto Kasemin, Mendamaikan Sejarah., h. 22.

10

Tulisan ini dikutip dari Yuwono Sudarsono dalam Kasiyamto Kasemin, Mendamaikan

Sejarah, h 22.

11

Yudi Latif, Intelegentsia Muslim dan Kuasa (Feuer, 1976: 48; Gella, 1976: 19) (Bandung: Mizan, 2005), h. 20.


(26)

Seorang novelis muda Emilia Zola menerbitkan sebuah surat terbuka di halaman muka sebuah koran kecil yang terbit di Paris. Surat tersebut menuduh para anggota dinas ketentaraan Prancis telah merekayasa bukti, memanipulasi dan menutup-nutupi fakta kasus tentang Alfred Dreyfus, seorang kapten Yahudi dalam dinas ketentaraan Prancis yang dituduh melakukan spionase dan dicopot pangkatanya oleh sebuah pengadilan militer dan dihukum penjara seumur hidup. Surat tadi yang kemudian dikenal sebagai manifeste des intellectuels (manifesto para intelektual) menyebabkan perpecahan di kalangan pengaran Prancis yang menjadi dua kubu; kubu yang membela Dreyfusard dan kubu anti Dreyfusard.12

Gramsci yang seorang Marxisme, ingin mewujudkan impian Karl Marx yang mengingkan sebuah perubahan dalam kelas sosial. Dimana impian itu, ia mengharapkan kapitalisme runtuh dan sebuah tatanan baru terbentuk.

Gramsci keberatan dengan bunyi buku yang menjelaskan bahwa marxisme adalah sebuah teori objek ilmiah, pertama bagi Gramsci, mustahil ada teori yang

“objektif”. Teori adalah mencerminkan sesuatu terkait dengan posisi kelas sosial

tertentu dan ia dapat dikatakan benar sejauh ia mencerminkan apa yang sedang dialami kelas sosial yang bersangkutan. Kedua, selaras dengan itu, teori objektif ilmiah adalah teori yang mengaku netral (tanpa kepentingan) yang berlaku umum dan dapat digunakan untuk memprediksikan masa depan sebagaimana kebanyakan teori ilmiah lainnya. Bagi Gramsci, Marxisme tidak boleh netral melainkan merupakan salah satu unsur aktif dari perjuangan kaum proletariat itu

12


(27)

sendiri. Ketiga, pembuatan prediksi atas masa depan yang dimungkinkan karena adanya pengaruh positivisme dalam marxisme adalah tidak bisa dibenarkan.13

Gramsci mengelompokkan intelektual berdasarkan fungsinya. Cendekiawan atau intelektual dibagi ke dalam dua bagian menurut Gramsci, yakni intelektual organik dan intelektual tradisional.

1. Intelektual Organik

Intelektual organik adalah intelektual yang tidak hanya melihat dan merumuskan tentang sesuatu hal. Menurut Gramsci, intelektual organik adalah individu atau kelompok yang langsung terjun ke masyarakat dan membantunya. Yaitu semua orang yang mempunyai fungsi organisator dalam semua lapisan produksi.14

Gramsci membagi dalam tiga katagori intelektual dalam kelas kapitalisme modern:

a. Bidang produksi; manajer, insinyur dan teknisi.

b. Masyarakat sipil; politisi, wartawan, penulis, akademisi, dan penyiar. c. Aparat negara; jaksa, pegawai negeri, hakim dan tentara.

Intelektual organik tidak hanya berdiam diri dalam satu pekerjaan dan tidak mau terlibat dengan pemerintahan dan masyarakat. Intelektual organik yang diciptakan Gramsci berfungsi untuk bisa membela kaum-kaum lemah dari penindasan kelompok kaya. Pada masa Gramsci para intelektual yang berasal dari kaum proletar membela proletar dari penindasan kaum borjuis.15

13Adde Oriza Rio, “Antonio Gramsci, pemikir dari Balik Jeruji,” artikel diakses pada 18

Oktober 2011 dari http://www.scribd.com/doc/36929683/Antonio-Gramsci-Sang-Pemikir-dari-Balik-Jeruji-Sebuah-Perbincangan-Singkat

14

Kasiyamto Kasemin, Mendamaikan Sejarah, h.21.


(28)

Kaum bourjuis memegang tiga kendali dalam menangani kaum proletar.

Pertama, adalah ekonomi. Apabila mereka melawan kepada kaum bourjuis maka gaji mereka akan dipotong atau tidak diberi gaji sama sekali. Kedua, adalah militer. Kelompok militer dipakai untuk kaum proletar apabila melawan dengan kekerasan. Dan yang ketiga adalah memakai kaum intelektual yang berasal dari kaum bourjuis sendiri. Hal itu untuk membenarkan apa yang diinginkan oleh kaum borjuis untuk menekan kaum proletar.16

Maka dari itu harus ada intelektual dari kaum proletar yang masuk ke dalam pemerintahan untuk bisa membuat tekanan pada kaum borjuis. Pada zaman demokrasi sekarang, dimana segala sesuatu sudah terbuka dan tidak ada yang ditutupi dari rakyat. fungsi intelektual diharapkan bisa memperbaiki sistem politik yang buruk yang sudah pasti terjadi.

Sebagian intelektual memang terikat oleh politik. Mereka menganggap politik pada saat itu sangat mempesona dan menggoda.17 Dan sebagian hidup mereka terikat dengan hal itu, karena mereka menganggap intelektual atau cendekiawan membawa tanggung jawab untuk bisa mencari jalan keluar dari kekacauan itu.18 Goldthrope mengusulkan agar para cendekiawan dilihat sebagai

service class, suatu kelas sosial yang keberadaannya untuk melayan, ditentukan oleh pendidikan dan fungsi pelayananannya di antara modal dan pekerja dan tujuan politiknya untuk melindungi posisi sosial yang kurang berarti.19

Intelektual organik terbagi ke dalam dua bagian; intelektual hegemonik

dan intelektual kontra-hegemonik. Intelektual hegemonik adalah memastikan

16 Ibid.

17Herbeth Feith, “Pemikiran Politik Indonesia 1945

-1965, Suatu Pengantar,” dalam Prof . Miriam Budiarjo, Partisipasi danPartai Politik (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998), h.230.

18 Ibid. 19


(29)

bahwa pandangan dunia sesuai dengan kapitalisme telah diterima oleh semua kelas.20 Sedangkan intelektual kontra-hegemonik adalah bertugas memisahkan kaum proletar dari pandangan-pandangan tadi serta mengukuhkan dunia sosial.21

Intelektual organik membentuk budaya perlawanan masyarakat dengan membangkitkan kesadaran kritisnya agar sanggup merebut posisi vital tanpa harus terjebak perlawanan secara terbuka yaitu revolusi.22

2. Intelektual Tradisional

Intelektual tradisional menurut Gramsci adalah intelektual yang mengikuti sejarah orang pada masa lampau. Yaitu intelektual yang hanya bergabung di dalam kelompoknya tapi tidak berbaur dengan masyarakat.23

Menurut Yudi Latif yang termasuk ke dalam golongan intelektual tradisional adalah filosof, sastrawan, ilmuan, pengacara, dokter, guru, pendeta, dan pemimpin militer.24 Intelektual disini jauh dari pengaruh kekuasaan dan tidak ingin masuk untuk terjun langsung dalam masalah sosial.

Syed Hussein memberikan ciri-ciri sosial kaum intelektual sebagai berikut:

pertama, mereka direkrut dari segala kelas, sekalipun dalam proporsi yang berbeda. Kedua, ditemui dalam gerakan mendukung ataupun menentang pemerintah. Ketiga, pekerjaan umum mereka adalah dosen, wartawan, penyair dsb. Keempat, menjauh dari masyarakat, dan bergaul dengan kelompoknya sendiri. Kelima, mereka tidak hanya tertarik pada segi pengetahuan teknis dan

20

H.A.R. Tilaar, Kekuasaan dan Pendidikan (Magelang: Indonesia Tera, 2003), h.77.

21 Ibid. 22

Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto. ed. Teori-teori Kebudayaan (Yogyakarta: Kanisius, 2005), h. 32.

23Adde Oriza Rio, “Antonio Gramsci, pemikir dari Balik Jeruji. 24


(30)

mekanis saja, ide-ide tentang agama, kehidupan yang lebih baik, seni, budaya, ekonomi dsb. Keenam, mereka bagian kecil dari masyarakat.25

Fungsi intelektual tradisional adalah, menegakkan kebenaran yang diyakininya tidak terkait oleh otonomi manapun, hanya otonominya sendiri. Mereka lebih sering merasa prihatin terhadap keadaan bangsa yang carut marut dibanding pemimpinnya.26 Dalam hal ini, intelektual tradisional dikatagorikan Gramsci sebagai intelektual yang hanya bekerja, tetapi tidak mau terlibat dalam masalah yang dihadapi masyarakat. Seperti itulah intelektual yang digambarkan oleh Julien Benda. Benda mengungkapkan bahwa seorang intelektual yang turun ke gelanggang hanya untuk memenangkan suatu gairah realistis mengenai kelas, ras atau bangsa, maka dia akan mengkhianati fungsinya.27

Menurut Benda, seorang intelektual apabila disewa oleh individu atau kelompok kepentingan maka dia mengkhianati fungsinya. Benda menggambarkan

seperti Sokrates dan Yesus. Menurutnya, “apakah ada sebuah patokan yan pasti

untuk mengetahui apakah cendekiawan yang terjun di gelanggang memang bersifat sesuai dengan fungsinya: ia langsung diaibkan oleh si awam, yang

kepentingannya terganggu olehnya.”28

Bentuk-bentuk kehidupan intelektual dan cendekiawan yang terorganisir adalah Persatuan Intelektual Kristen Indonesia (PIKI), Ikatan Sarjana Katholik Indonesia (ISKA), dan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI).29 Organisasi-organisasi ini diharapkan merupakan penjelmaan dari cita-cita harapan

25

Tulisan ini dikutip dari Syed Hussein, dalam Kasiyamto Kasemin, Mendamaikan

Sejarah, h. 22-23.

26

Ali Maschan Moesa, Nasionalisme Kiai: Kontruksi Sosial Berbasis Agama (Yogyakarta: LkiS, 2007), h.67-68.

27

Julien Benda, Pengkhianatan Kaum Cendekiawan (Jakarta: Gramedia, 1999), h. 31.

28

Ibid, h. 31.

29“ ICMI: Sebuah Refleksi,”


(31)

dan amanat umat Islam. ICMI menurut Azumardy Azra, organisasi Islam ini tidak menampilkan politik praktis dan juga tidak menampilkan Islam Politik.30

“ICMI dengan cita-cita dan pemikiran memajukan Islam Indonesia sebagai sebuah kekuatan pembaruan, menampilkan Islam dalam wajah yang modern, moderat dan siap menerima gagasan baru yang membawa kemajuan dan siap bekerjasama dengan kelompok manapun. Melalui ICMI, para intelektual Islam berjuang di dalam dan

di luar pemerintahan.”31

Pengamat-pengamat politik Indonesia seperti Indra Jaya Piliang, Ulil Abshar, Bima Arya dan Fadli Zon telah menjadi intelektual organik seperti dikatakan Gramsci. Tetapi implementasi dan aplikasi terhadap masyarakat masih seperti yang digambarkan oleh Julien Benda sebagai intelektual modern.

B. Partai Politik

Partai politik adalah institusi yang dianggap penting dan sine qua non

dalam sistem demokrasi modern.32 Partai Politik merupakan sarana bagi warga negara untuk turut serta atau berpartisipasi dalam proses pengelolaan negara.33 Dalam skripsi ini partai didefinisikan sebagai perkumpulan segolongan orang, seasas, sehaluan, dan setujuan (terutama di bidang politik).34 Politik berkaitan erat dengan masalah-masalah ketatanegaraan seperti sitem pemerintahan, dasar pemerintahan, segala urusan dan tindakan, kebijakan dan siasat mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain.35

30Republika Online, “Azyumardi: ICMI Tidak Berpolitik Praktis,” artikel diakses pada 18

Oktober 2011 dari http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/politik/10/12/03/150360-azyumardi-icmi-tak-berpolitik-praktis

31

ICMI: Sebuah Refleksi

32

Firmanzah, Mengelola Partai Politik: Komunikasi dan Positioning Ideologi Politik di

Era Demokrasi (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), h. 43.

33

Prof.Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia, 2008), h. 397.

34Kamus Bahasa Indonesia Online, “Partai,” artikel diakses pada 16 Oktober 2011 dari

http://kamusbahasaindonesia.org/partai

35


(32)

Secara bahasa partai berasal dari kata party (bahasa Inggris). Ia merupakan suatu kumpulan yang digagas dan disepakati untuk menjalankan visi misi bersama (common). Suatu kumpulan yang dijalankan oleh ideologi yang sama dan tujuan yang sama.

Partai politik awal mulanya muncul di negara-negara Eropa, dengan gagasan bahwa rakyat sebagai penentu keputusan politik. Pada awal peranan partai politik di negara Barat bersifat elistis dan aristokratis. Mempertahankan kepentingan golongan bangsawan terhadap tuntutan raja.36

Perkembangan partai sejalan dengan perkembangan demokrasi, perluasan hak pilih rakyat dan perluasan parlemen. Bila semakin luas pertumbuhan fungsi dan kebebasan kelompok politik, maka semakin tumbuh kesadaran para anggotanya untuk membentuk kelompok antar mereka dan bersaing dalam pentas politik.37 Partai yang awal mulanya dibentuk karena perkumpulan-perkumpulan yang ada karena perkembangan demokrasi maka jadilah kelompok itu menjadi partai, tanpa disadari atau tidak. Di dalam partai, tujuan organisasi adalah untuk merealisasikan ideologi partai ke dalam pemerintahan dan membuat anggotanya menjadi seorang politisi.

Dan pada era demokrasi, terdapat Pemilihan Umum untuk memilih pemimpin maka itu diperlukan partai untuk mewakili satu kelompok masyarakat. Banyaknya partai memperlihatkan bahwa demokrasi berkembang dengan sangat cepat. Banyaknya kelompok-kelompok masyarakat dan elit terdidik yang ingin terjun langsung untuk menguasai kebutuhan rakyat.

36

Partai Keadilan Sejahtera, “Partai Politik dan Sejarahnya,” artikel diakses pada 16 Oktober 2011 dari http://www.pks-jaksel.or.id/Article112.html

37Maurice Duverger, “Asal Mula Partai Politik,” dalam Dr.Ichlasuln

Amal, ed., Teori-Teori


(33)

Fungsi partai politik tergantung pada tantangan zaman yang dia tumbuh apabila pada masa demokrasi maka dia akan melakukan fungsinya sebagai penghubung antara masyarakat dan pemerintahan, apabila berkembang di masa otoriter, maka dia hanya berfungsi menjalankan apa yang diperintah oleh penguasa pada saat itu.

1. Pada negara Demokrasi, partai politik bisa berfungsi sebagai berikut:

a. Sebagai sarana komunikasi politik38 untuk menampung aspirasi, merumuskan kebijakan dan dimasukkan ke dalam program partai. Juga membicarakan kebijakan-kebijakan pemerintahan yang keluar. Dan pada saat itu partai berfungsi sebagai penghubung antara pemerintah dan yang diperintah.

b. Sebagai sarana sosialisasi politik,39 partai melakukannya melalui media massa, ceramah-ceramah, penerangan, kursus, kader, penataran dan sebagainya. Tujuannya adalah untuk menciptakan citra (image) bahwa dia memperjuangkan kepentingan umum. Hal ini penting jika dihubungkan tujuan partai untuk bisa menguasai pemerintahan melalui kemenangan dalam pemilihan umum.

c. Sebagai sarana rekrutmen politik,40 hal ini berhubungan dengan keanggotaan partai. Untuk bisa memperkuat platform partai tersebut dia harus bisa menciptakan kader-kader untuk dibinanya. Dan dari itu didirikan semacam organisasi untuk menaunginya yang melibatkan golongan buruh, petani, pemuda dan mahasiswa. Dan dari itu dia membutuhkan kader yang berkualitas, agar mempunyai kesempatan

38

Budiarjo, Dasar-Dasar, h. 405-406

39

Ibid,h. 407.

40


(34)

mengembangkan diri dan masuk ke dalam kepemimpinan nasional dan internal partai sendiri.

d. Sebagai sarana pengatur konflik,41 partai sebagai penengah dimana terdapat konflik yang terjadi. Dalam keadaan Indonesia yang mempunyai beragam suku dan etnis, konflik yang melibatkan suku yang berbeda pasti terjadi. Maka dari itu peran partai adalah penengah dan memberi pengertian kepada kedua belah pihak yang berkonflik. Partai juga melakukan konsolidasi dan artikulasi tuntutan yang beragam yang berkembang di berbagai kelompok masyarakat.

2. Fungsi partai di negara otoriter.42 Bisa digambarkan pada negara yang menganut ideologi komunis. Pada saat partai komunis yang berkuasa, mereka mempunyai kedudukan monopolistis dan kebebasan bersaing ditiadakan. Ia menentukan dirinya sebagai partai tunggal atau partai yang dominan. Partai politik mempengaruhi semua aspek kehidupan masyarakat melalui konsep jabatan rangkap. Sarana sosialisasi politik lebih ditekankan pada aspek pembinaan warga negara ke arah kehidupan dan cara berfikir sesuai dengan yang ditentukan partai.

3. Fungsi partai politik di negara berkembang,43 partai politik diharapkan melaksanakan fungsinya seperti di negara-negara yang kehidupan politiknya sudah matang. Diharapkan bisa mengorganisir kekuasaan politik, mempengaruhi keputusan-keputusan pemerintah, dan juga melaksanakannya. Akan tetapi partai di negara baru, partai politik menghadapi masalah seperti kemiskinan, terbatasnya kesempatan kerja, pembagian pendapatan yang

41

Ibid, h. 409.

42

Ibid, h 410-411.

43


(35)

timpang dan tingkat pendidikan yang rendah. Dan sulit untuk menjadikan partai politik sebagai jembatan antara pemerintah dan yang diperintah.

Di Indonesia sejarah kemunculan partai dan keorganisasian dilalui dengan tiga tahap: pertama, masa penjajahan Belanda, munculnya organisasi baik yang bertujuan sosial seperti Boedi Oetomo dan Muhammadiyah, atau beraliran politik dan sekuler seperti Sarekat Islam, PNI dan Partai Khatolik.44 Kemunculan partai politik merupakan kesadaran nasional untuk kemerdekaan bagi Indonesia. Kedua, masa pendudukan Jepang. Masa ini semua kegiatan politik dilarang. Hanya golongan Islam diberi kebebasan untuk membentuk partai Masyumi, yang bergerak di bidang sosial.45 Memasuki masa kemerdekaan46 banyak partai yang bermunculan dan mengikuti Pemilihan Umum.

Pada Pemilihan Umum tahun 1955 diikuti sebanyak 172 partai, empat terbesar di antaranya: PNI (Partai Nasionalis Indonesia); Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia); Nahdlatul Ulama; dan PKI (Partai Komunis Indonesia). Pada Pemilihan Umum tahun 1971 hanya diikuti sebanyak 10 partai. Partai-partainya sebagai berikut, Partai Khatolik; Partai Syarikat Islam; Partai Nahdlatul Ulama; Partai Muslimin Indonesia; Golongan Karya; Partai Kristen Indonesia; Partai Musyawarah Rakyat Banyak; Partai Nasional Indonesia; Partai Islam Perti; Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia. Pemilihan Umum berikutnya pada tahun 1977 dan 1997 hanya diikuti tiga partai. Partainya sebagai berikut Partai Persatuan Pembangunan; Golongan Karya; Partai Demokrasi Indonesia. Pemilu 1999 diikuti sebanyak 48 partai 5 diantaranya adalah Partai Amanat

44

Partai Keadilan Sejahtera.

45 Ibid. 46

Redaksi Great Publisher, Buku Pintar Politik: Sejarah, Pemerintahan, dan


(36)

Nasional; Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan; Partai Keadilan; Partai Masyumi Baru; Partai Nasional Demokrat. Pemilihan Umum 2004 diikuti 24 partai 4 diantaranya adalah Partai Bulan Bintang; Partai Demokrat; Partai Damai Sejahtera; Partai Golongan Karya. Pemilihan Umum 2009 diikuti 38 partai politik nasional dan 6 partai politik lokal Aceh. Partai nasional Partai Demokrat; Partai Keadilan Sejahtera; Partai Amanat Nasional. Dan enam partai lokal Aceh, Partai Aceh Aman Sejahtera; Partai Daulat Aceh; Partai Aceh.

Dari banyaknya partai yang mengikuti Pemilihan Umum setiap lima tahun sekali memperlihatkan bahwa masyarakat berpartisipasi dengan mengikutsertakan partainya dalam pemilihan untuk berkuasa selama lima tahun jabatan.

Banyaknya partai yang tumbuh dan berkembang di negara Indonesia ini, tetapi tidak menghasilkan relation antara pemerintahan dan masyarakat. Harusnya dengan partai yang banyak ini bisa mensosialisasikan setiap kebijakan negara yang keluar dan memberikan kepada masyarakat. Sehingga tidak ada jarak antaranya. Hal ini terjadi karena partai sibuk memperebutkan kekuasaan dibanding menjalankan fungsinya.

Menurut Budi Winarno,47 penyebab minimnya fungsi partai adalah,

pertama, di dalam tubuh partai tumbuh pragmatisme politik dan oportunisme. Dalam pengertian ini, solidaritas akan dipahami dalam pengertian singkat, yakni semata-mata karena ikatan kepentingan bukan alasan-alasan yang luas. Dilihat dari koalisi yang berbeda ideologi. Kedua, kesadaran yang keliru mengenai orang dengan kepentingan dan kepentingan elit dominan di dahulukan. Ketiga, kurang ketegasan dalam hal ideologi, sehingga partai menjadi akumulasi kepentingan

47

Prof.Dr.Budi Winarno,MA, Sistem Pollitik Era Reformasi (Yogyakarta: MedPress, 2008), h. 101.


(37)

politik dan tidak mempunyai visi misi yang tepat sasaran. Keempat, mempunyai rencana jangka pendek, dengan Pemilihan Umum dan terpilih untuk partai berkuasa lima tahunan. Kelima, secara empirik ada peremajaan anggota partai, tapi tetap ada pelaku lama yang bekerja pada saat Orde Baru.

Hal di atas yang menyebabkan kegagalan partai politik. Dan terjadi juga di negara demokrasi. Partai politik yang jatuh atau gagal dalam negara demokrasi disebabkan oleh partai itu sendiri. Apabila dia mengikuti Pemilihan Umum dan dia gagal untuk dapat duduk di lembaga pemerintahan seperti DPR dan MPR, maka untuk Pemilihan Umum yang akan datang dia akan menciptakan partai baru dan mengikuti lagi Pemilihan Umum. Karena didorong keinginan untuk bisa menguasai negara pada saat itu dan mengatur segala sesuatunya.

Apabila sudah terpilih, mereka tidak mendahulukan apa yang telah menjadi tujuan terbentuknya partai politik, yaitu penghubung antara yang memerintah dan yang diperintah. Sehingga jarak terjadi dan membuat MPR dan DPR sebagai tempat kepentingan berbagai individu. Padahal lembaga tersebut adalah yang membuat bulat lonjongnya pemerintahan.48

Padahal partai politik sudah mempunyai tujuan yang jelas pada saat pembentukannya, dan masuknya intelektual bisa membuat citra partai semakin baik dan kinerjanya meningkat. Sebagai penghubung antara pemerintah dan yang diperintah, sama dengan fungsi intelektual, individu yang dipercaya masyarakat untuk mewujudkan sistem pemeritahan yang baik dan bisa mensejahterakan

48

Deny J.A, Memperkuat Pilar Kelima, Pemilu 2004 dalam Temuan Survey LSI


(38)

rakyat.49 Tujuan khususnya, memperjuangkan cita-citanya bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.50

C. Partisipasi Politik

Disebabkan adanya keterlibatan intelektual dalam masalah-masalah politik dalam sub-bab berikut perlu dijelaskan hubungan antara intelektual dengan partisipasi politik. Dalam demokrasi peran serta masyarakat sangatlah berpengaruh. Karena pada negara demokrasi, rakyat menjadi penentu kebijakan. Dalam ilmu politik, partisipasi diartikan sebagai upaya warga negara baik secara indvidual maupun kelompok, untuk ikut serta dalam mempengaruhi penentu kebijakan publik dalam suatu negara.51

Partisipasi menurut Ramlan Surbekti,52 adalah keikutsertaan warga negara biasa (yang tidak mempunyai kewenangan) dalam mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik. Partisipasi politik mengacu ke-dalam dua hal berdasarkan pengertian-pengertian di atas:

a. Proses pemilihan penguasa, dalam hal ini Pemilihan Umum yang diadakan dalam lima tahun sekali dalam pemilihan Presiden maupun pemimpin-pemimpin daerah.

b. Pengawasan kepada penguasa yang terpilih. Hal ini berhubungan dengan mempengaruhi kebijakan publik.53

49

Undang-Undang Republik Indonesia no 31 Tahun 2002 Tentang Partai Politik, Plus

Tanya Jawab Mengenai UU Partai Politik (Yogyakarta: Pustaka Widyatama, 2003), h. 50.

50 Ibid. 51

Afan Gaffar, “Merangsang Partisipasi Politik Rakyat,” dalam Syarofin Arba, ed.,

Demitologi Politik Indonesia: Mengusung Elitisme Dalam Orde Baru (Jakarta: Pustaka Cidesindo,

1998), h.240.

52

Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik (Jakarta: Grasindo, 2009), h.141.

53

Ammatullah Shafiyah dan Haryati Soeripno, Kiprah Politik Muslimah Konsep dan


(39)

Dalam hal ini, partisipasi masyarakat bisa berbentuk dengan melakukan protes-protes bila arah kebijakan berat sebelah atau merugikan rakyat. Umumnya partisipasi politik masyarakat bersifat mandiri (autonomous) dimana individu melakukan kegiatan berdasarkan inisiatif dan keinginan sendiri. Hal ini terjadi atas dasar tanggung jawab dalam politik, atau didorong oleh keinginan untuk mewujudkan kepentingan atau kelompoknya.

Tapi ada pula partisipasi yang tidak dilakukan karena kehendak orang tersebut, akan tetapi diminta, bahkan dipaksa untuk melakukan keinginannya. Ada lima hal yang bisa menggerakkan partisipasi dalam proses politik, sebagaimana disampaikan Myron Weiner, yaitu:54

a. Modernisasi dalam segala bidang kehidupan yang menyebabkan makin banyak masyarakat menuntut untuk ikut dalam kekuasaan politik.

b. Perubahan-perubahan struktur kelas sosial, masalah siapa yang berhak berpartisipasi dan pembutan keputusan politik menjadi penting dan mengakibatkan perubahan dalam pola partisipasi politik.

c. Pengaruh kaum intelektual dan komunikasi massa modern, ide demokratisasi partisipasi telah menyebar ke bangsa-bangsa baru sebelum mereka mengembangkan modernisasi dan industrialisasi yang cukup matang.

d. Konflik antar kelompok pemimpin politik, jika timbul konflik antar elit maka yang dicari adalah dukungan rakyat, terjadi perjuangan antar


(40)

kelas menengah melawan kaum aristokrat telah menarik kaum buruh dan membantu memperluas hak pilih rakyat.

e. Keterlibatan pemerintah yang meluas dalam masalah sosial, ekonomi dan budaya, meluasnya ruang lingkup aktifitas pemerintah seiring merangsang timbulnya tuntutan-tuntutan yang terorganisir akan kesempatan untuk ikut serta dalam pembuatan keputusan politik. Dengan adanya partisipasi politik maka akan membuka ruang publik yang terbuka untuk rakyat. sehingga membuat rakyat tidak menjadi apatis (tidak peduli terhadap pemerintahan)55 Huntington dan Nelson membagi landasan patisipasi menjadi:56

a. Kelas, individu dengan status sosial dan pekerjaan yang sama.

b. Kelompok atau komunal, individu dengan asal usul ras, agama, bahasa, atau etnis yang sama.

c. Lingkungan, individu yang jarak tempat tinggalnya berdekatan.

d. Partai, individu yang mengidentifikasi diri dengan organisasi formal yang sama yang berusaha untuk meraih atau mempertahankan kontrol atas bidang-bidang eksekutif dan legislatif pemerintahan.

e. Golongan atau faksi, individu yang dipersatukan oleh interaksi yang terus menerus antara satu sama lain, yang akhirnya membentuk hubungan patron-client, yang berlaku atas orang-orang dengan tingkat status sosial, pendidikan, dan ekonomi yang sederajat.

55Kamus Bahasa Indonesia, “Apatis.” 56

Sosiologi FISIP UNPatti angkatan 2007, “Partisipasi Politik,” mengulas buku Samuel P. Huntington dan Joan Nelson, Partisipasi Politik di Negara Berkembang (Jakarta: Rineka Cipta, 1990) h. 9-10. artikel diakses pada 18 Oktober 2011 dari http://sunaryotianotak.blog.com/2011/02/11/partisipasi-politik/


(41)

Huntington dan Nelson membagi bentuk-bentuk partisipasi politik ke dalam beberapa macam:57

a. Kegiatan pemilihan, kegiatan pemberian suara dalam Pemilihan Umum, mencari dana partai, menjadi tim sukses, mencari dukungan bagi calon legislatif atau eksekutif, atau tindakan lain yang berusaha memepengaruhi hasil Pemilu.

b. Lobby, upaya perorangan atau kelompok menghubungan pemimpin politik dengan maksud mempengaruhi keputusan mereka tentang suatu isu.

c. Kegiatan organisasi, partisipasi individu ke dalam organisasi, baik selaku anggota maupun pemimpinnya, guna mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah.

d. Contacting, yakni upaya individu atau kelompok dalam membangun jaringan dengan pejabat-pejabat pemerintah guna mempengaruhi keputusan mereka, dan.

e. Tindakan kekerasan (violence), yiatu tindakan individu atau kelompok guna mempengaruhi keputusan pemerintah dengan cara menciptakan kerugian fisik manusia atau harta benda, termasuk disini adalah huru hara, teror, kudeta, pembutuhan politik (assassination), revolusi dan pemberontakan.

Partisipasi ini mempunyai dua bentuk, yaitu konvensional dan nonkonvensional. Partisipasi konvensional adalah menghadiri pertemuan publik, bekerja demi sebuah partai politik, dan menandatangani petisi, komunikasi

57


(42)

individual dengan pejabat politik.58 sedangkan partisipasi non-konvensional adalah pengajuan petisi, demonstrasi, konfrontasi, mogok dan tidakan kekerasan politik.59

Kegiatan masyarakat yang berhubungan dengan pemerintahan ataupun kebijakan itu gagal. Tetap itu merupakan partisipasi politik dari masyarakat. Partisipasi warga negara kadang bukan merupakan kegiatan yang otonom dan murni (istilahnya autonomous participation) tetapi merupakan kegiatan yang dimobilasasi (mobilized participation) oleh orang atau kelompok tertentu.60

D. Pendekatan Masalah

Dengan berpijak pada konsep teori di atas penelitian ini dilakukan untuk mengetahui penyebab dari pengamat-pengamat poitik masuk ke dalam politik. Penulis memasukkan pengamat politik ke dalam golongan cendekiawan. Dengan menggunakan analisis data penelitian kualitatif, melakukan proses wawancara, melakukan tanya jawab dengan narasumber yang berkaitan dengan pokok permasalahan skripsi penulis. Dan diharapkan dapat mengetahui apa-apa yang mempengaruhi para pengamat politik masuk ke dalam politik praktis.

Penulis bertanya mengenai faktor yang menyebabkan mereka masuk ke partai politik, apakah ada paksaan dari dalam atau pengaruh individu. Banyak kepentingan yang ingin diperjuangkan untuk dirinya sendiri atau kelompok kepentingan. Bagaimana pendapat para intelektual yang lain pada saat mereka masuk ke dalam partai politik? Apakah ada pengaruh yang berbeda pada saat

58Pippa Noris dan Ronald Inglehart, “

Sekularisasi ditinjau Kembali: Agama dan Politik di

Dunia Dewasa Ini (Ciputat: Pustaka Alvabet, 2009), h. 221.

59 Ibid. 60


(43)

berada di dalam dan di luar dari partai politik? Apakah tujuan awal mereka masuk ke dalam, bisa terealisasi dan terdahulukan dibanding kepentingan kelompok?

Contoh pertanyaan yang akan memberikan penjelasan tentang bagaimana perjalanan seorang pengamat politik hingga bisa masuk ke dalam partai politik. dilihat dari banyak teori yang ada mulai dari pembagian intelektual organik, tradisional, partai politik dan partisipasi. Memperlihatkan, bahwa pengamat politik, ikut berpartisipasi politik dengan masuk ke dalam partai dan menjadi intelektual organik, yang terjun langsung mengurus rakyat dan berurusan dengan orang yang berkuasa pada saat itu. 61

61


(44)

79 A. Obyek Penelitian

Penulisan skripsi ini membahas mengenai pengevaluasian kegiatan pemeriksaan atas laporan keuangan Pemerintah Daerah Provinsi Banten pada Tahun Anggaran 2010 oleh Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK-RI) Perwakilan Banten mulai dari tahap awal hingga tahap pelaporan oleh auditor BPK-RI. Adapun yang menjadi obyek penelitian adalah kegiatan pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK-RI mencakup langkah-langkah pemeriksaan yang ditempuh auditor, pengujian yang dilakukan, informasi yang diperoleh dan simpulan yang dibuat sehubungan dengan pemeriksaan yang dilakukan serta Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) yang diterbitkan BPK-RI terkait dengan pemeriksaan atas laporan keuangan Pemerintah Daerah Provinsi Banten Tahun 2010.

B. Teknik Pengumpulan Data

Metode yang digunakan dalam pengumpulan data penulisan ini terdiri atas dua bagian yaitu menurut sifatnya dan cara memperolehnya.

1. Berdasarkan sifatnya a. Data kualitatif


(45)

80

kategori, seperti visi dan misi lembaga, struktur organisasi, sejarah lembaga, metode pemeriksaan dan kegiatan lain yang dibutuhkan. b. Data kuantitatif

Data yang dikumpulkan dalam bentuk angka. Data tersebut berupa komposisi jumlah auditor dalam lembaga, laporan keuangan yang diaudit dan kertas kerja milik auditor yang bersangkutan.

2. Berdasarkan metode memperolehnya

a. Penelitian Kepustakaan (Library Research)

Studi kepustakaan dimaksud untuk memperoleh data sekunder yang menjadi landasan teori dalam penyusunan skripsi ini dari buku-buku dan literatur lainnnya yang berhubungan dengan obyek penelitian. b. Penelitian Lapangan (Field Research)

Penelitian lapangan yang dilakukan dimaksudkan untuk memperoleh data primer dari obyek penelitian yaitu BPK guna mendapatkan informasi yang akurat. Adapun teknik yang digunakan dalam metode ini adalah:

1) Wawancara yaitu mengumpulkan data dengan cara mengajukan pertanyaan langsung dengan auditor BPK-RI dan pihak-pihak yang terkait dalam pemeriksaan laporan keuangan Pemerintah Daerah Provinsi Banten.


(46)

81

memperoleh gambaran yang lebih jelas.

3) Kuesioner yaitu mengumpulkan data dengan mengajukan pertanyaan dalam bentuk suatu daftar pertanyaan kepada pihak-pihak yang berkaitan dengan pemeriksaan laporan keuangan Pemerintah Daerah Provinsi Banten.

C. Teknik Pengolahan Data

Jenis penelitian yang dilakukan dalam penulisan skripsi ini adalah bersifat kualitatif dengan analisis deskriptif komparatif dengan cara menelaah kegiatan pemeriksaan yang dilakukan auditor BPK-RI Perwakilan Banten dalam mengaudit keuangan Pemda Banten, yang berisi mengenai perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan pemeriksaan serta membandingkannya dengan standar yang berlaku ataupun tolak ukur lainnya, meliputi:

1. Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) yang ditetapkan oleh BPK-RI


(47)

PENGAMAT POLITIK SEBAGAI KEKUATAN POLITIK

Bab ini merupakan elaborasi dari bab sebelumnya yang menggambarkan sejarah singkat perkembangan seorang cendekiawan dan intelektual di Indonesia. Diceritakan mengenai para pengamat politik yang masuk ke dalam partai politik. Berbagai faktor dan tujuan mempengaruhi mengapa cendekiawan memasuki politik praktis. Bab ini menjelaskan bahwa seorang intelektual selalu berkeinginan untuk masuk ke dalam partai politik ataupun struktur kekuasaan yang lain. Karena bisa diasumsikan bahwa lewat partai politik semua cita-cita untuk bisa menduduki jabatan dapat terwujud.

Fokus pembahasan dalam bab ini adalah menjelaskan fungsi dan tanggung jawab intelektual sebagai kekuatan politik penyeimbang, faktor masuk ke dalam partai, pilihan partai yang akan menjadi jembatan untuk meraih kesuksesan, dan pandangan politik seorang cendekiawan.

Pengamat politik mempunyai kekuatan politik yaitu ilmu atau kepandaian yang bisa mereka pergunakan untuk menjadi kelompok penekan. Dari kekuatan politik ini, para pengamat politik bisa mempengaruhi pembuatan dan perumusan kebijakan politik yang terkait dengan masyarakat umum. Kemampuan mempengaruhi ini dilakukan oleh kelompok dengan memanfaatkan sumber kekuasaan dan akses yang dimiliki, sehingga setiap kebijakan dan keputusan politik dapat menguntungkan mereka. 1

1Dra. Haniah Hanafie, “Kekuatan

-Kekuatan Politik” (Penelitian Buku Ajar Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta), h. 15.


(48)

A. Cendekiawan sebagai Kekuatan Politik Penyeimbang

Kaum cendekiawan dan intelektual adalah individu yang memang diperlukan daalam struktur kekuasaan (baca-partai politik, pemerintahan). Mereka sering dianggap sebagai penyelesai masalah. Mereka juga mempunyai jawaban dalam permasalahan masyarakat. Pada tahap inilah, cendekiawan ditarik masuk ke dalam politik agar bisa menjadi juru bicara dalam setiap pekerjaan yang diemban partai tersebut.

Akan tetapi karena partai politik adalah ajang bagi sekumpulan individu atau kelompok yang berorientasi pada kekuasaan, tidak jarang seorang intelektual yang idealis tersingkir jika tidak mempunyai persiapan mental yang kuat. Tujuan para intelektual masuk ke dalam partai politik ataupun pemerintah tentu berharap ke arah yang positif. Tapi pertanyaannya adalah apakah mereka bisa bertahan dalam dunia yang penuh dengan kelicikan dan saling bersiasat antara satu individu dengan yang lain demi mendahulukan kepentingan pribadi. Intelektual yang bertujuan bisa memberi kebenaran bagi masyarakat, dituntut untuk bertanggung jawab yang besar demi membenahi partai politik yang sekarang.

Sebelum kemerdekaan para intelektual Indonesia didorong untuk masuk ke dalam pemerintah. Hal ini muncul karena mereka dianggap kritis, sehingga diharapkan mampu untuk menjadi tulang punggung demokrasi. Sebagaimana dijelaskan pada bab sebelumnya kekuasaan yang ada pada saat itu. Partai politik dan pemerintahan pada saat itu diisi oleh orang yang bukan bidangnya, sehingga tujuan untuk memberikan kebaikan kepada rakyat terabaikan.


(49)

Dewasa ini walaupun para intelektual hanya menjadi seorang pengamat politik, mereka bisa mengarahkan pandangan masyarakat tentang pemerintahan. Mereka bisa menolong siapa saja yang terkena bencana. Ini dimungkinkan karena organisasi politik relatif banyak. Tapi ternyata masih sedikit yang menyadari bahwa mereka bisa berkiprah secara bebas di luar partai politik. Tampaknya ada kepentingan yang lebih mendasar sehingga mereka memutuskan bergabung dengan partai politik.

Fadli Zon, misalnya mengatakan bahwa untuk menjadi kekuatan penyeimbang, maka intelektual yang berada di luar politik juga baik untuk mengontrol. Tetapi dampaknya akan beda apabila mereka masuk ke dalam politik. Kita bisa ambil contoh, kalau ada orang yang seperti Drajat Wibowo, orang yang berpikiran tajam masuk PAN, maka lembaga pemerintahannya juga akan menjadi berkualitas.2

Seorang pengamat politik yang telah masuk ke dalam struktur kekuasaan, maka segala tanggung jawabnya teralihkan untuk membela platform yang diikutinya. Sehingga mereka tidak lagi bisa berkritik secara bebas, karena terikat dengan partai yang memayungi mereka. Hal itu yang membuat mereka buruk di mata intelektual yang lain.

Selama mereka di luar mereka menulis dan mengkritisi keadaan pemerintahan, dan pada suatu hari mereka masuk dan menjadi bagian dari kelompok itu. Tidak ada yang salah, itu tujuan dan cita-cita yang ingin mereka

2


(50)

perjuangkan, apabila mereka bisa bertahan di tengah-tengah kepentingan orang dengan mengorbankan orang banyak.

Cendekiawan atau intelektual yang masuk ke dalam struktur pemerintahan memang dalam situasi yang sulit, apalagi struktur kekuasaan itu masi dijadikan sebagai penopang kehidupan bagi individu-individu yang mempunyai kepentingan lebih untuk bisa mengontrol segala sesuatu yang ada di dalam. Tidak peduli orang lain keluar dari ruang lingkup kelompok tersebut.

Berada dalam situasi yang sulit berjuang untuk bisa merubah keadaan di dalam pemerintah adalah tugas siapa saja yang merasa bertanggung jawab atas kesejahteraan dan kebaikan rakyat. Bukan hanya cendekiawan ataupun intelektual. Politisi yang berada di dalam dengan masuknya cendekiawan dan intelektual harusnya lebih bisa bekerja sama dalam segala hal. Akan tetapi para intelektual yang masuk hanya dijadikan sebagai tameng pemerintah dalam memberikan argumen kepada rakyat.

Walaupun ada sejumlah cendekiawan atau intelektual yang membantu suau golongan tertentu tanpa harus memasuki golongan tersebut. Hal itu mungkin menjadi prinsipnya sendiri. Setiap orang pastinya tidak lepas dari kepentingan yang mengelilinginya. Karena mereka butuh kepentingan untuk makan, sekolah dan lain sebagainya. Hal ini menggambarkan bahwa di luar kehidupan politik semua orang mempunyai kepentingan masing-masing.

B. Faktor-Faktor yang Mendorong Cendekiawan Terlibat dalam Politik

Tidak ada larangan bagi seorang individu untuk memasuki sebuah struktur kekuasaan (baca partai-politik). apalagi bagi seorang intelektual. Intelektual


(51)

adalah seorang individu yang tujuannya untuk mencari kebenaran dan mengungkapkan kebenaran itu. Maka, jika dia berminat memasuki sebuah dunia baru yang penuh dengan rencana dan kebijakan dengan tujuan yang bertujuan untuk memperbaiki masyarakat, tidak ada alasan untuk menolak.

Fadli Zon mengutip sebuah nasihat kebijakan dari seorang filsuf abad ke-18 Edmund Burke “all that is necessary for the triumph of evil is that good men do nothing.” Kalau orang-orang yang merasa baik itu tidak berada di dalam politik, maka politik itu akan dikuasai oleh sebuah kekuatan buruk, seperti oleh preman-preman politik, mafia politik, bandit politik dll.3

Tapi pendapat itu disanggah beberapa intelektual lain, misalnya Prof. Dr. Sumantri Brodjonegoro, seorang rektor Universitas Indonesia (UI) pada era 1960-an. Pada saat itu dia menjabat sebagai Menteri Pertambang1960-an. Lalu Soe Hok Gie, seorang aktifis Indonesia era 1960-an mendatanginya dan bertanya kenapa dia mau masuk pemerintahan dan bekerja sama dengan para mafia minyak dsb. Dia mengatakan,

“Kita mempunyai dua pilihan, jika kita melihat keburukan-keburukan yang terjadi di kalangan pemerintah, atau terjun ke dalam bersusaha (belum tentu berhasil) memperbaikinya atau tinggal di luar dan sambil menunggu aparat tadi ambruk. Saya memilih pertama dengan segala

konsekuensinya.”4

3

Wawancara pribadi dengan Fadli Zon.

4

Rudy Badil, dkk., Soe Hok Gie..sekali lagi Buku, Pesta dan Cinta di Alam Bangsanya


(1)

partai yang ada di luar. Kalau anda pengamat kan anda tidak bisa apa-apa, anda tidak bisa masuk ke parlemen, tidak bisa ikut sidang, dan mempengaruhi lebih dalam, anda tidak bisa terlbat di dalam operasi sehari-hari dari suatu sistem kekuasaan. Itu satu kebebasan yang diperoleh saat anda masuk ke dalam partai. T : Apakah ada mempunyai tujuan sebelum dan sesudah masuk partai yang sudah terealisasi.

J : Belum ada, karena saya masuk partai kan baru setahun. Itu butuh waktu yang panjang. Saya masuk Demokrat sudah setahun sejak kongres Demokrat tahun lalu bulan Mei kalau tidak salah.

T : Menurut bapak seorang intelektual seperti bapak, harusnya berada di luar atau di dalam partai.

J : Dua-duanya oke, itu pilihan pribadi saja. Ada orang yang merasa nyaman di luar, ada yang ingin masuk ke dalam. Bagi saya dua pilihan itu tidak ada yang lebih bagus atau lebih jelek, tergantung apa yang pas untuk anda sendiri. Intelektual yang di luar oke yang di dalam juga oke. Itu preferensi individual tentunya.

T : Sekarang kan perkembangan partai ini, bapak di Demokrat misalnya. Partai disebut tempatnya orang yang berkepentingan, tempatnya otang mencari duit, partai sebagai tempatnya orang melakukan korupsi.

J : Ya, itu persepsi yang tidak benar. Setiap partai tempatnya orang mencari kepentingan itu sudah pasti. Karena setiap orang masuk partai politik pasti ada kepentingan. Kepentingan untuk perubahan, mengaktualisasi diri, ya ada juga orang yang ingin mempunyai kepentingan yang kotor, korupsi itu pasti ada. Itu tidak hanya di partai demokrat, di semua partai ada. Kalau kasus dalam partai demokrat ya orang-orang yang disebut koruptor itu yang sudah tersangka resmi kan baru Nazaruddin. Yang lain kan belum... . Di daerah juga sudah ada yang tertangkap, semua partai tidak kebal terhadap kasus korupsi. Kasus pemilihan deputi BI misalnya itu melibatkan dari partai, & orang dari PDIP sedang diadili,


(2)

P3 juga ada anggotanya, semua ada yang kena. Semua partai tidak kebal terhadap kasus penyalahgunaan kekuasaan. Prinsipnya adalah apabila ada orang yang berbuat salah dalam partai dia harus ditindak secara hukum, jadi jangan sampai ada kekebalan terhadap orang itu, itu yang tidak boleh. Jangankan partai, lembaga keagamaan pun bisa juga terkena kasus korupsi, jadi itu tidak harus spesifik kepada partai politik. Memang Partai politik menjadi sorotan terutama partai politik yang besar. Karena dia ada di garda yang paling depan di dalam politik. Itu kan posisi panas sekali karena ada di ujung tombak kekuasaan. Ada di DPR, ada di eksekutif misalnya, kalau yang lain-lain kan tidak berada di ujung tombak. Apabila anda berada di ujung tombak ada berada di spotline, menjadi pusat perhatian semua masyarakat, itu biasa.

T : Apa yang dilihat intelektual lain, ketika melihat para intelektual/pengamat politik masuk ke dalam partai politik.

J : Di Indonesia umumnya ada satu persepsi yang buruk apabila intelektual masuk politik itu seperti melakukan pelacuran intelektual. Kompromi dengan kekuasaan, ada persepsi yang seperti itu. Sebagian para aktifis juga merasa tidak suka dan antipati terhadap politik karena politik dianggap dunia yang kotor. Itu memang persepsi yang berkembang.

T : Apakah bapak dijauhi atau dibicarakan lagi oleh para intelektual itu, apa reaksi bapak.

J : Kalau dalam kasus saya tidak ada yang berubah. Y, tentu kawan-kawan sekitar saya tidak suka saya masuk politik. Ya tapi saya tidap apa-apa dikritik, kritikan dari mereka masuk akal dan mempunyai alasan. Dan itu tidak aneh, karena ada tradisi para intelektual di Indonesia memandang politik itu kotor. Dianggap masuk politik itu kapitulasi atau tunduk kepada kekuasaan yang dianggap tidak bersih. Tapi pandangan seperti ini menurut saya tidak tepat, karena apabila politik diandaikan sebagai dunia yang kotor, tentunya yang kotor harus dibersihkankan. Kalau politik tidak dimasuki oleh para intelektual yang punya idealisme, politik tentunya akan diisi oleh politisi yang sifatnya hanya berpetualang-petualang


(3)

sesaat yang tida di drive dan di dorong oleh visi jangak panjang, padahal itu kan politik yang di drive oleh ide-ide.

T : Jadi menurut bapak intelektual-intelektual yang ada lebih baik masuk ke dalam politik.

J : Kalau dalam politik ada intelektual-intelektual yang masuk ke dalamnya, harus disambut dengan baik, justru menurut saya akan lebih baik. Dan politik akan mendapatkan injeksi yang baik dari para intelktual. Karena politik apabila tidak diinjeksi oleh ide-ide intelektual, maka hanya akan menjadi permainan kekuasaan yang membosankan saja. Meskipun intelektual yang masuk ke dalam politik belum tentu bisa mengubah dalam waktu yang sesaat y dalam waktu yang cepat itu tidak bisa. Dan buat saya kritik dari kaum anti politik, meskipun saya hargai, tapi saya tidak tetap. “Kalau intelektual masuk ke dalam dunia yang kotor”, iya apabila anda tidak masuk dunia politik anda bersih, tapi bersihnya bukan karena anda ditempatkan yang penuh tantangan. Kalau anda menjadi bersih karena ditempatkan di tempat yang bersih itu enak saja. Tapi apabila anda bisa menjadi bersih di tempat yang kotor, itu tantangannya disitu. Justru tantangannya adalah bagaimana anda bisa membersihkan tempat yang kotor itu.

T : Sekarang begini, setelah bapak masuk ke dalam partai Demokrat atau partai apapun, apa yang bapak lihat disana. Perkembangan politik apa yang bapak temui di dalam partai tersebut.

J : Ya, saya tidak bisa cerita banyak. Ya, kita bisa lihat indikator-indikator yang sifatnya statistik y. Misalnya tingkat pertumbuhan ekonomi. Kita mislanya tumbuh dalam setahun 6, .. 5, 4, 3 % . Kalau kita mau membandingkat tingkat pertumbuhan di Asia Tenggara ini itu tumbuhnya tidak sampai kesitu, kita itu paling di bawah China dan India pertumbuhan ekonominya. Tapi dibanding Malaysia, Thailand, Filiphina, bahkan Jepang, Korea dan semua. Kita jauh berada di atas itu pertumbuhan ekonomnya. Kemudian dari segi per-kapita misalnya kita sudah tembus $3000, padahal kita sudah pernah melewati krisis ekonomi yang begitu berat kan. 4 tahun yang lalu kita tembus $4000. Pertumbuhan per-kapita itu


(4)

memang tidak langsung diterjemahkan di dalam kehidupan riil dalam sehari-hari, tapi itu indikator penting untuk mengukur kemakmuran bersama. Karena kan kita menghitung orang itu kan jutaan, jadi tidak bisa satu persatu kita hitung. Kita harus melakukan generalisasi dalam bentuk indeks. Karena kalau satu persatu, jangankan di Indonesia, di Amerika saja yang per kapitanya mencapai US$30,000 saja masih ada saja yang miskin. Tetapi anda menghitung kemakmuran masyarakat sebuah negara tidak bisa hanya individu per indinvidu. Ada individu yang kaya ada juga individu yang miskin. Tapi anda harus melakukan generalisasi secara umum dalam bentuk indeks, disitu anda bisa melihat ada tidak kenaikan kemakmuran negara ini, apa alat untuk mengukur itu. Dan salah satu alat untuk mengukur ini adalah infrastruktur misalnya. Itu adalah suatu tantangan berat kita memang, karena kalau seandainya infrastruktur negara kita bagus, pertumbuhan negara kita juga bisa diatas bisa mungkin 6, 7 sampai 8% maksud saya itu jalan raya, pelabuhan, bandara misalnya listrik. Pasoka listrik kita luar biasa, cepat sekali permintaannya, tapi pasokan kita sangat berkurang, itu makanya kita lihat adanya pemadaman listrik berkali-kali di sejumlah tempat, itu kan mengganggu proses produksi, dan memperlambat pertumbuhan ekonomi sebetulnya, barang-barang jadi mahal, harga barang-barang jadi tidak bersaing tidak kompetitif dengan negara lain. Pemerintah punya satu Masterplan, M3EI, masterplan percepatan pembnagunan Ekonomi Indonesia, dari 2011 sampai 2024. Salah satu konsentrasi pokoknya adalah pembangunan infrastruktur itu. Membagi Indonesia menjadi 8 koridor ekonomi (KEI) Indonesia. Dibagi-bagi berdasarkan karakteristik masing-masing daerah itu. Ya, macam-macamlah program pemerintahan Indonesia, ada yang berhasil juga, ada yang kurang berhasil juga ada. Saya kira kemiskinan yang masih menjadi soal, unemployment, angka pengangguran itu sampai dengan 8%, 8,.. %. Dibanding Amerika kita lebih kecil, di Amerika sekarang tingkat pengangguranya sampai dengan 8,6 atau 8,7 % kalau tidak salah. Masih ada pengangguran tapi itu tugas mereka meenciptakan pekerjaan terus menerus supaya angkatan pekerja baru yang terus bermunculan setiap tahun. Penduduk kita kan demografisnya khas, penduduk mudanya kan banyak sekali. Itu beda dengan negara-negara maju. Negara berkembang seperti Indonesia itu adalah salah satu


(5)

khas bentuk demografi atau penduduknya. Itu angkatan mudanya yang mulai produktif antara 20-40 tahun itu jauh lebih tinggi daripada orang-orang tua. Itu bagus dari satu segi karena kita punya angkatan produktif yang banyak. Angkatan tenaga kerja yang banyak, tapi dari segi yang lain juga tantangan besar karena itu umur-umur orang butuh pekerjaan. Kalau mereka tidak mendapatkan pekerjaan mereka bisa frustasi, dan kalau mereka frustasi bisa mereka melakukan tindakan anarkis. Salah satu sebab kenapa Mesir bergejolak sampai Mubarak jatuh, itu karena ada angkatan pekerja yang begitu banyak sekali, karena pemerintah tidak menciptakan lapangan pekerjaan. Sehingga akhirnya muncullah gerakan reformasi besar.

T : Sekarang kan ada issue yang berkembang mengenai revolusi dsb. Pendapat bapak?

J : Revolusi itu tidak bisa terjadi kalau tidak ada syarat-syaratnya. Anda kan bisa jadi mengkehendaki revolusi, tapi kalau tidak cukup syarat-syarat objektivenya ya tidak terjadi. Misalnya anda ingin pergi umroh atau haji, ingin kan bisa saja, tapi kalau anda tidak punya uang kan tidak bisa pergi kesana. Revolusi itu seperti itu, banyak orang sekarang ini yang menginkan revolusi dengan SBY, y gpp. Tapi cukup tidak syarat-syaratnya. Syaratnya revolusi itu misalnya ada situasi dimana dalam mekanisme itu tidak ada tempat untuk menyalurkan kritik dan saran. Tidak ada sirkulasi kekuasaan yang reguler, contohnya Mesir dan Orde Baru dulu. Ada penguasa yang berkuasa sekian lama tidak ada calon untuk mengganti dia, seluruh saluran kritik ditutup, pers tidak diizinkan untuk menyalurkan kritik, tidak ada orang yang bisa melakukan demo, kemudian kalau berdemo ditangkap. Ada undang-undang HISE, darurat, seperti di Malaysia sekarang ini, orang bisa ditangkap tanpa diadili dan tanpa batas, semau-mau mereka saja. Kalau ada kekecewaan masyarakat yang meluas sekali, tapi tidak ada saluran untuk menyampaikan kritik. Nah, itu biasanya dalam situasi yang seperti itu, revolusi bisa terjadi. Tapi itu juga tidak mesti karena keadaan seperti itu butuh juga tokoh yang kuat atau satu pemimpin ada ya tolahnya lah. Nah itu baru bisa bergerak, tapi kalau salah satu itu tidak ada, anda ingin saja tapi tidak bisa terjadi. Misalnya


(6)

dalam kasus Indonesia, ya orang mengkritik setiap saat bisa, media massa terbuka banget, anda bisa demo setiap hari. Pemerintah tidak pernah membredel koran, PEMILU YANG MENGGANTI PRESIDEN tiap 5 tahun, presiden juga ganti dalam 2 periode, tidak ada presiden yang berkuasa selama hidupnya seperti Mubarak, Khadafi, atau Soeharto dulu. Jadi ya buat apa revolusi, kalian kan bisa berkritik setiap saat. Revolusi itu seperti peledakan besar karena tidak adanya saluran yang kecil-kecil yang bisa menyalurkan kekecewaan dalam skala reguler. Nah, kalau tidak ada itu revolusi bisa terjadi. Biasanya revolusi itu terjadi di negara-negara yang otoriter atau negara-negara yang komunis, atau negara otoritas seperti Indonesia pada saat orde baru atau Mubarak, atau Syah Iran dulu atau di Yaman sekarang ini, di seluruh timur tengah itu tidak ada demokrasi pada dasarnya jadi orang marah. Makanya revolusi jarang hampir, saya bisa mengatakan mungkin mustahil revolusi terjadi di negara demokrasi. Bukan pemerintah tidak membolehkan, tapi keadaan yang tidak memungkinkan karena orang sudah mempunyai saluran untuk menyampaikan kekecewaan , terus buat apa revolusi. Revolusi itu kan saluran yang meledak dalam waktu sesaat karena tidak ada perdamaian. Makanya dalam demokrasi tidak ada revolusi. Maksud saya revolusi politik y bukan revolusi mental.

Keterangan:

T (tanya): Pewawancara (Nashihatul. F.) J (jawab): Narasumber (Ulil Abshar Abdallah)