Tata Cara Pembatalan Perkawinan

32 1 . Tata cara pengajuan permohonan pembatalan perkawinan dilakukan sesuai dengan tata cara pengajuan gugatan perceraian PP. No. 91975 Pasal 38 2 . Dalam pasal 23 Undang-undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, menjelaskan siapa saja yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan, yakni: a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri. b. Suami atau istri. c. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belumdiputuskan. d. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat 2 pasal 16 Undang-undang ini dan setiap orang mempunyai kepentingan secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus. Dalam pasal 25 Undang-undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, menjelaskan tatacara pembatalan perkawinan, yakni: “Permohonan pembatalam perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan di tempat tinggal kedua suami istri, suami atau istri ”. Dalam pasal 73 Kompilasi Hukum Islam, Yang dapat mengajukan permohonan pembatalan pembatalan perkawinan adalah: a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dan kebawah dari suami atau istri. b. Suami atau istri. c. Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut undang-undang. d. Para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat perkawinan menurut hukum islam dan peraturan Perundang-undangan sebagaimana tersebut dalam pasal 67. 33 Dalam pasal 74 Kompilasi Hukum Islam, menjelaskan tentang tatacara pembatalan perkawinan, yakni: 1 Permohonan pembatalan perkawinan dapat diajukan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal suami atau istri atau tempat perkawinan dilangsungkan. 2 Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah putusan Pengadilan Agama mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan. Adapun penjelasannya sebagai berikut: a. Hanya pengadilan yang berwenang membatalkan perkawinan Gugatan pembatalan perkawinan dapat diajukan kepada pengadilan agama yang mewilayahi tempat perkawinan dilangsungkan, tempat tinggal suami istri, tempat tinggal suami atau tempat tinggal istri Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Bagian Ke-Enam, Pasal 85, yakni Kebatalan suatu perkawinan hanya dapat dinyatakan oleh Hakim. 11 b. Pemohon atau kuasa hukum mendatangi Pengadilan Agama UU No.7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, Kemudian semua gugatanpermohonan harus dibuat secara tertulis, bagi penggugatpemohon yang tidak dapat membaca dan menulis, maka gugatanpermohonan diajukan secara lisan kepada Ketua Pengadilan 11 R. Subekti dan R. Tjirosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: PT. Pradya Paramita, 2004, h. 21 34 Agama. 12 Sebagimana tertulis dalam HIR pasal 118 ayat 1 dan pasal 142 ayat 1 R.B.g. c. Gugatan pembatalan perkawinan harus memuat, identitas para pihak yang berperkara, posita alasan yang berdasarkan fakta dan hukum dan petitumtuntutan yang diminta oleh penggugatpemohon. d. Penetapan Majlis Hakim e. Pemanggilan f. Pemerikasaan g. Upaya damai h. Pembuktian i. Putusan hakim j. Biaya perkara k. Berlakunya putusan hakim, batalnya suatu perkawinan dimulai setelah putusan pengadilan agama mempunyai kekuatan hukum tetap berlaku sejak berlangsungnya perkawinan pasal 28 ayat 1 UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

3. Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan

Ada beberapa hal yang membuat pernikahan menjadi batal,. pisahnya suami istri akibat fasakh berbeda dengan pisahnya karena talak. Talak itu ada 12 Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, h. 40 35 dua, r aj’i dan bain. Talak raj’i tidak mengakhiri ikatan suami istri dengan seketika, sedangkan bain mengakhiri ikatan seketika itu juga. Adapun fasakh, baik yang terjadi belakangan ataupun karena adanya syarat-syarat atau rukun yang tidak terpenuhi, maka berakhir perkawinan tersebut seketika itu. Pisahnya suami dengan istri karena Fasakh, hal ini tidak berarti mengurangi bilangan talak, dan suami tetap mempunyai kesempatan tiga kali talak. 13 Sementara iddah bagi pembatalan perkawinan secara umum tidak ada perbedaan pendapat dikalangan ulama berkaitan dengan masalah iddah, golongan Zhahiri tidak mewajibkan iddah bagi perempuan yang dicerai karena perkawinan fasid fasakh meskipun sudah terjadi hubungan ba’da dukhul karena tidak ada dalilnya didalam al- Qur’an ataupun sunnah. 14 Sementara ada yang menyatakan istri yang dicerai dengan keputusan fasakh oleh pengadilan tidak dapat dirujuk oleh bekas suaminya, yang apabila menghendaki membina rumah tangga kembali sesudah habis masa iddah. 15 Menurut Muhammad Satho Dimyati iddah diwajibkan karena dicerai oleh 13 Tihami dan Sohari Sahrani, Fiqih Munakahat Kajian Fiqih Nikah Lengkap, h. 314 14 Muhammad Isna Wahyudi, Fiqih Iddah Klasik dan Kontemporer, Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2009, h. 82 15 Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, Jakarta: Raja Grafindo Persada,1995,c.I, h. 143