Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan

35 dua, r aj’i dan bain. Talak raj’i tidak mengakhiri ikatan suami istri dengan seketika, sedangkan bain mengakhiri ikatan seketika itu juga. Adapun fasakh, baik yang terjadi belakangan ataupun karena adanya syarat-syarat atau rukun yang tidak terpenuhi, maka berakhir perkawinan tersebut seketika itu. Pisahnya suami dengan istri karena Fasakh, hal ini tidak berarti mengurangi bilangan talak, dan suami tetap mempunyai kesempatan tiga kali talak. 13 Sementara iddah bagi pembatalan perkawinan secara umum tidak ada perbedaan pendapat dikalangan ulama berkaitan dengan masalah iddah, golongan Zhahiri tidak mewajibkan iddah bagi perempuan yang dicerai karena perkawinan fasid fasakh meskipun sudah terjadi hubungan ba’da dukhul karena tidak ada dalilnya didalam al- Qur’an ataupun sunnah. 14 Sementara ada yang menyatakan istri yang dicerai dengan keputusan fasakh oleh pengadilan tidak dapat dirujuk oleh bekas suaminya, yang apabila menghendaki membina rumah tangga kembali sesudah habis masa iddah. 15 Menurut Muhammad Satho Dimyati iddah diwajibkan karena dicerai oleh 13 Tihami dan Sohari Sahrani, Fiqih Munakahat Kajian Fiqih Nikah Lengkap, h. 314 14 Muhammad Isna Wahyudi, Fiqih Iddah Klasik dan Kontemporer, Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2009, h. 82 15 Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, Jakarta: Raja Grafindo Persada,1995,c.I, h. 143 36 suami yang pernah digauli qubul atau dubur baik dengan cara talak atau memfasakhkan nikah. 16 Dan demikian pula dalam kitab karangan Imam al- A’zam Abi Hanifah An- Ni’man menjelaskan bahwa iddah merupakan bagian dari perkawinan yang mengharuskan kepada setiap perempuan untuk menjalani masa iddah baik perceraian karena talak ataupun fasakh ba’da dukhul. 17 Dan dalam pasal 155 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan, “Waktu iddah bagi janda yang putus perkawinannya karena khuluk, fasakh dan li’an berlaku iddah talak”. Adapun masa tunggunya adalah sebagai berikut. 18 a. Iddah untuk perempuan yang cerai mati, masanya adalah 4 bulan 10 hari. b. Iddah untuk perempuan yang cerai hidup, masanya adalah 3 quru suci, menurut Abu Zahrah dalam kitab al-Akhwal al-Syaksiyah menjelaskan bahwa iddah bagi perempuan yang fasakh perkawinannya yakni selayaknya iddah talak tiga kali haid dengan ketentuan ba’da dukhul. 19 c. Iddah untuk perempuan yang belum baligh atau menopose, masanya 3 bulan. 16 Abi Bakri al-Mashur bil Barri Bakri Bin Said Muhammad Satho Dimyati, I’antul Tholibin, Darul Ibnu Ubud: 1997, cet. I, J. IV, h. 46 17 Imam al- A’zam Abi Hanifah an-Ni’man, al-Ahkam as-Syar’iyyah, Maktabah wa Mutbi’ah Muhammad ala Shobihi wa Waladihi, 1965, h .49 18 Huzaimah Tahido Yanggo, Masail Fikhiyah Kajian Hukum Islam Kontemporer, Bandung: Angkasa, 2005, h.171-172 19 Abu Zahrah, al-Ahwal al-Syaksiyah, Darul Fikri al-Arabi, 1957, h. 439 37 d. Iddah untuk perempuan yang dicerai dalam keadaan hamil, masanya sampai melahirkan. Dalam pasal 28 Undang-undang Perkawinan No.1 1974 tentang Perkawinan menerangkan: a. Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak berlangsungnya perkawinan. b. Keputuan tidak berlaku surut terhadap: - Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut; - Suami atau istri yang bertindak dengan I’tikad baik, kecuali terhadap harta bersama bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang terlebih dahulu. - Orang-orang ketiga lainnya termasuk dalam a dan b sepanjang mereka memperoleh hak- hak dengan I’tikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap. Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 75 keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap: a. Perkawinan yang batal karena salah satu dari suami atau istri murtad; b. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut; c. Pihak ketiga sapanjang mereka memperoleh hak-hak denga beritikad baik, sebelum keputusan pembatalan perkawinan mempunyai kekuatan hukum yang tetap; Demikian pula dalam pasal 76 Kompilasi Hukum Islam menerangkan, Batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya. 38

C. Pengertian Kawin Paksa

Kawin paksa dalam bahasa arab disebut ijbar, kata ijbar berasal dari kata ajbara-yujbiru-ijbaaran. 20 Wali mujbir yakni wali nasab yang berhak memaksakan kehendaknya untuk menikahkan calon mempelai perempuan tanpa meminta ijin kepada wanita yang bersangkutan. Hak yang dimiliki oleh wali mujbir disebut dengan hak ijbar. 21 Mazhab Syafi’i mengatakan bahwa kekuasaan sang wali hendaknya bukan untuk menjadikan sebuah tindakan memaksakan kehendaknya sendiri dalam memilih jodoh atas pasangan, tanpa memperhatikan asas kerelaan sang anak. Dalam surat an-Nisa Ayat 19, Allah SWT berfirman:            Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa ”. Dan sesungguhnya perempuan dewasa tidak boleh dipaksa untuk melangsungkan pernikahan karena hal ini sudah ditetapkan oleh Nabi Muhammad SAW, yang diriwayatkan oleh Ahmad adalah sebagai berikut: 20 Ahmad Warson Munawir, Al-Munawir Kamus Arab-Indonesia, Yogyakarta: Pondok Pesantren al-Munawwir Krapyak, 1984, h. 164 21 Muhammad Asmawi, Nikah Dalam Perbincangan dan Perbedaan, Yogyakarta: Darussalam, 2004, Cet. 1, h. 77 39 ص ا ْنع . م . اق : ن اتْست تح ْ ا ْح ْت ا , ْح ْتا م اتْست تح بْ ا 22 Artinya: ” Tidak boleh dinikahkan perawan sampai dimintai izinnya, dan janda sampai dimintai persetujuannya ” ْع ها ض ْ ْ با ْنع : ص ا . م . اق : م اتْست تح مُ اا ْح ْت ا , ْن اتْست تح ْ ا ْح ْتا اق ؟ا نْ ا فْك ها ْ س ا ا اق : ْت ْست ْنا 23 Artinya: ” Janda tidak boleh dinikahkan kecuali setelah dimintai pendapat dan perawan tidak boleh dinikahi kecuali setelah dimintai persetujuannya, para sahabat bertanya: ya Rosulullah, bagaimana persetujuannya? Rasulullah bersabda: diam ” ا ْع ها ْض ْ اصْناا ما خ تْب ء اسْخ ْنع : ٌبْث ا جْ ا ابا ْنا ك ت ف ص ها ْ س ْتت اف . م . ف ح ا ن ا ا ا 24 Artinya: ”Diriwayatkan dari Khansa binti Khidzam al-Anshariyyah r.a. bahwa ayahnya menikahkannya yang ketika itu dia seorang janda dan dia tidak menyukai hal itu, maka beliau membatalkan pernikahannya ” Dari ayat al- Qur’an dan ketiga hadis diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Rasulullah SAW telah menyarankan dalam hal memilih jodoh, hendaknya 22 Muhiyuddin Abdush Shomad, Umat Bertanya Ulama Menjawab Seputar Karir, Pernikahan, dan Keluarga, Jakarta: Rahima, 2008, h. 115 23 Musthofa Dzaibul Bago, Mukhtashar Shahih al-Bukhari, Yamamah, 1999, h. 617 24 Malik Ibnu Anas, al-Muatho, Magrib: Darul Ifaqil Jadidah, tt, h. 475