Tujuan dan Hikmah Perkawinan

21 adalah untuk bersenang-senang. 16 Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat al- A’raf: 189                                Artinya: Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya dia menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya, isterinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan beberapa waktu. Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya suami-isteri bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata: Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak yang saleh, tentulah kami termasuk orang-orang yang bersyukur”. Kedua, dalam surat ar-Rum: 21,                      Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. Menurut Abd Rahman Ghazaly tujuan dari perkawinan adalah: 1. Mendapatkan dan melangsungkan keturunan. 16 Ahmad Basiq Djalil, Tebaran Pemikiran Ke-Islaman di Tanah Gayo, Jakarta: Qalbun Salim, 2007, cet-1, h. 86 22 2. Memenuhi hajat manusia untuk menyalurkan syahwatnya dan menumpahkan kasih sayang. 3. Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan kerusakan. 4. Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak serta kewajiban, juga bersungguh-sungguh untuk memperoleh harta kekayaan yang halal. 5. Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tentram atas dasar cinta dan kasih sayang. 17 Hikmah perkawinan ialah supaya manusia itu hidup berpasang-pasangan, hidup dua sejoli, hidup suami istri, membangun rumah tangga yang damai dan teratur. 18 Untuk itu setiap pasangan dituntut untuk dapat mempertahankan keutuhan rumah tangganya, jika akad sudah dilakukan maka, mereka akan berjanji seia sekata dan dapat membangun rumah tangga yang damai dan teratur. Jadi dapat difahami bahwa tujuan suatu perkawinan itu disamping terhindar dari kemaksiatan, tapi banyak manfaat yang dapat diperoleh dari sebuah perkawinan, baik itu berdampak baik bagi diri sendiri maupun orang lain, termasuk juga hikmah didalamnya yakni, hidup lebih teratur dan suasana menjadi tentram dan damai lantaran memiliki keluarga. 17 Abd Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat. h.24 18 Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Menurut Mazhab Syafi’I, Hanafi, Maliki dan Hanbali, Jakarta: Hidakarya Agung, 1996,cet-15, hal.7 23 Secara detail hikmah perkawinan ialah: 1. Sebagai fitrah manusia untuk berkembang biak, dan keinginan untuk melampiaskan syahwat secara manusiawi dan syar’i. 2. Upaya menghindarkan diri dari perbuatan maksiat akibat penyaluran hawa nafsu yang tidak benar seperti zina. 3. Terwujudnya kehidupan yang tenang dan tentram. 4. Membuat ritme kehidupan seseorang menjadi lebih tertib, teratur, dan mengembangkan sikap kemadirian, serta tanggung jawab. 5. Pernikahan dan keturunan akan mendatangkan rizki. 6. Nikah mempunyai kontribusi di dalam membentuk pribadi untuk berprilaku disiplin seperti disiplin dalam membagi waktu dan pekerjaan. 7. Memperkokoh tali persaudaraan antara masyarakat. 8. Menghasilkan keturunan yang baik, jelas nasabnya dan semakin merekatkan hubungan antar sesama. 9. Dalam salah satu laporan dari Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang dimuat dalam Koran al- Sya’b pada hari Sabtu, 1 Juni 1959, melaporkan bahwa pasangan suami istri akan bertahan hidup lebih lama jika dibandingkan dengan yang bukan pasangan suami istri. 19 19 Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, Jakarta: eLSAS, 2008, h. 42-44 25

BAB III PEMBATALAN DAN KAWIN PAKSA

A. Pengertian Pembatalan Perkawinan

Pembatalan berasal dari kata “batal” yang artinya tidak berlaku, tidak sah, dan pembatalan yaitu sebuah proses untuk menyatakan sesuatu hal yang dianggap tidak sah batal. 1 Sedangkan pembatalan perkawinan adalah perkawinan yang dibatalkan apabila salah satu pihak ada yang merasa dirugikan baik itu dari pihak suami maupun istri atau salah satu rukun atau syarat perkawinan tidak terpenuhi. 2 Dan dalam istilah lain yang mempunyai pengertian yang sama dengan batal adalah fasakh rusak. Dan menurut Jumhur Ulama, “Tidak ada perbedaan antara batal dengan fasakh baik itu dalam lapangan ibadah maupun mu’amalah”. 3 Adapun istilah pembatalan perkawinan itu identik dengan fasakh yakni, pembatalan akad dan melepaskan tali ikatan perkawinan suami istri. 4 Sedangkan menurut Undang-undang N0. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pembatalan 1 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1996, h. 97 2 Wawancara Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur, Senin 18 Maret 2011 3 Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Yayasan Penerjemah al- Qur’an, 1993, h. 70 4 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Beirut: Daar al-Fikr,1983, cet-4, juz II, h. 268 26 adalah “Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat- syarat untuk melangsungkan perkawinan”. 5 Fasakh berasal dari bahasa Arab yang berarti membatalkan dan fasakh perkawinan menurut Syar’i ialah: نْجْ ا نْب طبْ ت ت ا طبا ا ح ضْقن ْقع ا خْسف 6 Artinya: Fasakh aqad perkawinan adalah membatalkan akad perkawinan dan memutuskan tali perhubungan yang mengikat antara suami istri. اقاط ع ا ب ْقع حْتام ا ا خْسف 7 Artinya : Fasakh perkawinan adalah sesuatu yang dapat merusak akad dalam perkawinan dan fasakh bukan termasuk talaq. Pembatalan perkawinan pada umumnya karena pelanggaran syarat formal seperti yang telah disebutkan diatas, sedangkan bila pelanggaran itu pada larangan materil, seperti perkawinan antara yang berhubungan nasab atau larangan tetap lainnya, perkawinan itu batal dengan sendirinya, dianggap tidak pernah ada, 5 Undang-undang Perkawinan di Indonesia dengan Peraturan Pelaksanaannya, Undang- Undang N0.1 Tahun 1974, Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1991, cet-11, h. 12 6 Firdaweri, Hukum Islam Tentang Fasakh Perkawinan, Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya 1989, h. 5 7 Ali Hasabillah, al-Furqan Baina Zaujaini, Kairo: Darul Fikri, 1969, cet.1 h. 169