BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sejarah Hutan Rakyat
Istilah “Social Forestry” untuk pertama kalinya digunakan oleh Westoby
1968 dalam Ninth Commonwealth Forestry Congress tahun 1968 di New Delhi, India. Selanjutnya disebutkan oleh Tiwari 1983, bahwa Social Forestry pada
dasarnya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat di pedesaan dari hutan, yaitu bahan bakar, pakan hewan, makanan, kayu, pemasukan ekonomi, dan
lingkungan. Tujuan utama kegiatan hutan rakyat itu sendiri yaitu mencapai keadaan
sosial ekonomi penduduk pedesaan yang lebih baik, terutama penduduk di dalam dan di sekitar hutan. Masyarakat setempat diajak untuk ikut berpartisipasi dalam
pengelolaan dan pemanfaatan hutan secara lebih teratur dan lebih bertanggung jawab.
2.2 Hutan Rakyat
Dilihat dari fungsi dibangunnya hutan rakyat, maka hutan rakyat merupakan bentuk pengelolaan lahan yang sangat mempertimbangkan aspek
kelestarian hasil dan aspek konservasi namun tetap memberikan peluang untuk meningkatkan hasil tanaman pangan, peningkatan pendapatan, dan perbaikan
kesejahteraan petani. Di dalam UUPK No.51967 istilah hutan rakyat dijumpai di dalam penjelasan undang-undang tersebut. Di dalam batang tubuhnya sendiri
istilah hutan rakyat tidak ada, akan tetapi ada disebutkan istilah hutan milik, yaitu lahan milik rakyat yang ditanami dengan pepohonan. Titik berat perhatian rakyat
adalah menanam tanaman pangan karena pada waktu itu masyarakat Indonesia masih mengalami defisit suplai pangan terutama beras, atau ditanami dengan
tanaman holtikultura dan tanaman semusim yang cepat menghasilkan dan dapat dijual untuk menghasilkan uang tunai Simon, 1995.
Sedikit berbeda dengan pengertian hutan rakyat yang disebutkan dalam UUPK No.51967, di dalam UUPK No.411999 istilah hutan milik tidak dijumpai
lagi, diganti dengan istilah hutan hak sebagai sisi lain dari hutan negara. Hutan hak diperuntukkan sebagai sinonim dari hutan rakyat tersebut. Pada dasarnya
hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di lahan milik, dikelola dan dikuasai sepenuhnya oleh pemiliknya atau rakyat Djuwadi, 2002. Berdasarkan SK
Menteri Kehutanan No.46kpts-II1997, hutan rakyat adalah hutan yang dimiliki oleh rakyat dengan luas minimal 0,25 ha dengan penutupan tajuk tanaman kayu-
kayuan dan jenis lainnya lebih dari 50 dan pada tanaman tahun pertama dengan tanaman sebanyak minimal 500 tanaman tiap hektar.
Pemerintah Indonesia telah menawarkan sistem hutan kemasyarakatan sejak tahun 1998, namun konsep tersebut belum mengedepankan rakyat sebagai
aktor utama dalam pengelolaan hutan. Rakyat hanya diajak, dan bukan rakyat yang menentukan sistem pengelolaan hutan. Kemudian di tahun 2003, dikeluarkan
kembali pencanangan social forestry oleh pemerintah, yang konsepnya tidak jauh beda dengan konsep hutan kemasyarakatan WALHI, 2004.
Selain itu, sangat banyak terdapat sistem pengelolaan hutan oleh rakyat yang ditawarkan. Misalnya Perhutani menawarkan konsep Pengelolaan Hutan
Bersama Masyarakat, masyarakat diperbolehkan melakukan penanaman tanaman semusim di sela tanaman jati yang arealnya masih dikelola oleh Perhutani dan
masyarakat hanya ikut „menumpang‟ di lahan tersebut. Sistem Hutan Kerakyatan yang digagas WALHI memiliki dua kata kunci,
yaitu “sistem hutan” dan “kerakyatan”. Sistem hutan untuk menggambarkan bahwa hutan bukan sekedar tegakan kayu, melainkan suatu sistem pengelolaan
kawasan yang terdiri dari berbagai elemen, diantaranya hutan alam, hutan sekunder, sungai, danau, kebun, ladang, permukiman, hutan keramat, dan banyak
lagi yang tergantung komunitas dan sistem ekologinya. Kerakyatan menegaskan bahwa aktor utama dalam pengelolaan hutan adalah komunitas lokal.
2.3 Peran Hutan Rakyat dan Manfaatnya