Isolasi dan karaterisasi bakteri halotoleran pada peda ikan kembung,Rastrelliger sp.

(1)

ISOLASI DAN KARAKTERISASI BAKTERI HALOTOLERAN

PADA PEDA IKAN KEMBUNG (Rastrelliger sp.)

Oleh :

Suci Dwi Novi Savitri

C34102034

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2006


(2)

RINGKASAN

SUCI DWI NOVI SAVITRI. C34102034. Isolasi dan Karakterisasi Bakteri Halotoleran pada Peda Ikan Kembung (Rastrelliger sp.). Dibimbing oleh WINARTI ZAHIRUDDIN dan DESNIAR.

Ikan peda merupakan salah satu produk hasil fermentasi bergaram yang sangat digemari oleh masyarakat Indonesia karena cita rasa dan aromanya yang khas. Peda adalah produk hasil fermentasi bergaram yang menggunakan aktivitas bakteri dalam prosesnya. Bakteri tersebut akan menguraikan protein yang selanjutnya akan terbentuk senyawa-senyawa yang berperan dalam pembentukan cita rasa yang khas pada peda. Sehubungan dengan informasi mengenai jenis bakteri yang terdapat di dalam peda masih sangat kurang, maka perlu dilakukan isolasi bakteri halotoleran yang terdapat pada produk tersebut sehingga dapat diketahui karakteristik morfologi dan fisiologinya yang merupakan tahapan yang penting untuk melakukan identifikasi.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengisolasi dan mengetahui karakteristik bakteri halotoleran yang terdapat dalam produk fermentasi yaitu peda ikan kembung (Rastrelliger sp.).

Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap yaitu analisis bahan (yang meliputi pengukuran kadar garam, derajat keasaman (pH) dan perhitungan Total Plate Count (TPC)), isolasi bakteri dari ikan peda merah (dilakukan dengan cara menumbuhkan mikroba pada agar cawan dilanjutkan dengan goresan kuadran serta pengamatan morfologi koloni dan sel untuk mengetahui tingkat kemurnian isolat yang diperoleh) dan karakterisasi isolat bakteri murni (yang meliputi uji morfologi dan uji fisiologi). Sifat morfologi yang diamati adalah morfologi sel, sedangkan pengamatan sifat fisiologis bakteri, meliputi uji hidrolisis pati, uji hidrolisis protein, uji hidrolisis lemak, uji reduksi nitrat, uji katalase, uji oksidase, uji indol, uji H2S, uji fermentasi gula, uji oksidasif-fermentatif Baird Parker, uji kualitatif untuk Staphylococcus, uji manitol, uji koagulase dan pendugaan jenis bakteri.

Pada analisis bahan diketahui bahwa kadar garam ikan peda merah sebesar 11,4 %, derajat keasaman (pH) sebesar 7,08 dan jumlah bakteri (Total Plate Count/ TPC) sebesar 1,04 x 104 koloni/ml. Pada tahap isolasi bakteri diketahui ada lima isolat yang diperoleh dari lima koloni dominan yang memiliki sifat morfologi koloni yang berbeda baik warna, bentuk, elevasi dan tepiannya.

Berdasarkan hasil pengamatan morfologi sel bakteri, kelima isolat tersebut memiliki sifat yang sama yaitu bentuk sel kokus, gram positif, tidak mempunyai spora dan non motil. Sedangkan dari pengamatan sifat-sifat fisiologi bakteri, kelima isolat juga memiliki sifat yang sama yaitu dapat menghidrolisis pati, protein dan lemak; hidup secara aerob atau fakultatif anaerob; katalase positif; tidak dapat mereduksi nitrat; indol negatif, H2S negatif dan oksidase negatif; dapat memfermentasi glukosa dan menghasilkan asam; metabolisme selnya dilakukan secara fermentatif; serta termasuk dalam golongan Staphylococcus sp. yang bersifat tidak patogen.

Berdasarkan sifat morfologi dan fisiologi dari kelima isolat bakteri tersebut diduga kelima isolat termasuk ke dalam kelompok Staphylococcus sp..


(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul ” Isolasi dan Karakterisasi Bakteri Halotoleran pada Peda Ikan Kembung (Rastrelliger sp.)” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Desember 2006

Suci Dwi Novi Savitri C34102034


(4)

ISOLASI DAN KARAKTERISASI BAKTERI HALOTOLERAN PADA PEDA IKAN KEMBUNG (Rastrelliger sp.)

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Institut Pertanian Bogor

Oleh :

Suci Dwi Novi Savitri C34102034

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006


(5)

Judul : ISOLASI DAN KARAKTERISASI BAKTERI HALOTOLERAN PADA PEDA IKAN KEMBUNG (Rastrelliger sp.)

Nama : Suci Dwi Novi Savitri NRP : C34102034

Menyetujui,

Pembimbing I

Ir. Winarti Zahiruddin, MS NIP. 130 422 706

Pembimbing II

Desniar, SPi, MSi NIP. 132 159 705

Mengetahui,

Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelauatan

Dr. Ir. Kadarwan Soewardi NIP. 130 805 031


(6)

KATA PENGANTAR

Syukur alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Atas berkat rahmat, hidayah dan kasih sayang yang telah diberikan-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul “Isolasi dan Karakterisasi Bakteri Halotoleran pada Peda Ikan Kembung (Rastrelliger sp.)”, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan kali ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada: 1. Ibu Ir. Winarti Zahiruddin, MS dan Ibu Desniar, SPi, MSi selaku dosen

pembimbing yang telah memberikan arahan, bimbingan dan nasehat selama penulisan skripsi.

2. Ibu Dr. Tati Nurhayati, SPi, MSi dan Ibu Ir. Anna C. Erungan, MS selaku dosen penguji, atas masukannya yang berharga dalam penulisan skripsi ini. 3. Bapak Agus Soematri (FKH) dan Ibu Ema atas bantuan yang telah diberikan

selama penelitian.

4. Bapak, Ibu, Mbak Wid, si kembar Angga & Ayu, Mas Ali, si kecil Ivan dan Mbok’e serta keluarga di Semarang atas cinta kasih, doa, nasehat, perhatian, dukungan dan keceriaan yang telah diberikan selama ini.

5. Titin, Vina, Nispi, Teguh dan Joddi atas bantuan dan kebersamaan selama penelitian dan penulisan skripsi ini.

6. Teman-teman THP ”Unskill 39” atas kebersamaan, dukungan dan canda tawa selama empat tahun lebih bersama.

7. Teman-teman di Wisma Nabila dan Pondok Harum atas hari-hari penuh senyuman dan canda tawa yang telah kalian berikan selama ini.

8. Serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu atas bantuan yang telah diberikan dalam penyusunan skripsi ini.

Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun pihak yang membutuhkannya.


(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama lengkap Suci Dwi Novi Savitri dan lahir di Semarang pada tanggal 25 November 1983. Penulis adalah putri kedua dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Drs. Djumasri Yuwono Saputro dan Ibu Sri Kanti. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri KIP Karangayu pada tahun 1996. Kemudian dikota yang sama pada tahun 1996 penulis melanjutkan pendidikan lanjutan tingkat pertama pada SLTP Negeri 1 Semarang dan lulus pada tahun 1999.

Pada tahun yang sama, penulis melanjutkan pendidikan di SMU Negeri 3 Semarang dan lulus pada tahun 2002. Penulis diterima menjadi mahasiswa IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2002 dan diterima di Jurusan Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.

Selama mengikuti perkuliahan penulis aktif di organisasi kemahasiswaan baik sebagai anggota maupun pengurus antara lain Himpunan Mahasiswa Hasil Perikanan (Himasilkan) pada tahun 2003-2005 dan Fish Processing Club (FPC) pada tahun 2003-2005. Selain itu penulis juga pernah menjadi asisten mata kuliah Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan Tradisional pada tahun ajaran 2005-2006.

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, penulis melakukan penelitian dengan judul ”Isolasi dan Karakterisasi Bakteri Halotoleran pada Peda Ikan Kembung (Rastrelliger sp.)” dibawah bimbingan Ir. Winarti Zahiruddin, MS dan Desniar SPi, MSi.


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN... ix

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan ... 2

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Fermentasi Ikan ... 3

2.1.1. Faktor-faktor yang mempengaruhi fermentasi ... 4

2.1.2. Peranan garam dalam fermentasi ikan ... 5

2.2. Fermentasi Peda ... 7

2.2.1. Proses dan perubahan yang terjadi selama pembuatan... .. 9

2.2.2. Karakteristik peda... .. 11

2.2.3. Kerusakan produk fermentasi... .. 14

2.3. Isolasi dan Karakterisasi Bakteri pada Produk Fermentasi ... 14

3. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Tempat ... 18

3.2. Alat dan Bahan ... 18

3.3. Metode Penelitian ... 19

3.3.1. Analisis bahan... 19

3.3.2. Isolasi bakteri dari ikan peda merah ... 19

3.3.3. Karakterisasi isolat bakteri... 19

3.4. Prosedur Analisis... 20

3.4.1. Pengukuran kadar garam sampel (AOAC 1995)... 20

3.4.2. Pengukuran pH sampel (AOAC 1995) ... 20

3.4.3. Perhitungan nilai Total Plate Count (TPC) (Fardiaz 1992) .... 21

3.4.4. Isolasi bakteri dari sampel (Fardiaz 1988) ... 21

3.4.5. Uji morfologi ... 22

3.4.6. Uji fisiologi ... 25

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Analisis Bahan... 33


(9)

4.3. Karakterisasi Isolat Bakteri ... 39

5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan... 59

5.2. Saran ... 59

DAFTAR PUSTAKA ... 61


(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Komposisi peda bermutu baik ... 12

2. Hasil analisis komposisi gizi peda pasar ... 12

3. Reaksi-reaksi yang terjadi pada uji fementasi gula... 28

4. Reaksi-reaksi yang terjadi pada uji H2S... 28

5. Tabel kunci identifikasi bakteri Gram positif ... 31

6. Tabel kunci identifikasi tahap kedua untuk Staphylococcus, Micrococcus dan Aerococcus... 32

7. Kadar garam, pH dan nilai Total Plate Count (TPC) ikan peda merah . 33 8. Morfologi koloni terpilih ... 36

9. Morfologi sel bakteri dari koloni terpilih... 37

10. Morfologi sel bakteri dari setiap tahapan isolasi... 38

11. Morfologi sel dari kelima isolat bakteri pada ikan peda merah ... 39


(11)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Tahapan pembuatan peda ... 11

2. Tahap-tahap pewarnaan gram ... 24

3. Tahap-tahap pewarnaan spora ... 25

4. Sampel peda merah ikan kembung perempuan (Rastrelliger neglectus). 33 5. Bentuk sel dan hasil pewarnaan gram bakteri... 40

6. Hasil uji motilitas bakteri ... 41

7. Hasil uji hidrolisis pati ... 43

8. Hasil uji hidrolisis protein... 45

9. Hasil uji hidrolisis lemak ... 46

10. Hasil uji reduksi nitrat... 49

11. Hasil uji indol... 50

12. Hasil uji fermentasi gula dan H2S ... 51

13. Hasil uji oksidase ... 53

14. Hasil uji oksidatif-fermentatif Baird-Parker ... 55

15. Hasil uji kualitatif untuk Staphylococcus... 56

16. Hasil uji koagulase ... 57


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Bentuk pertumbuhan koloni di atas agar cawan ... 65

2. Hasil perhitungan pengukuran kadar garam ... 66

3. Hasil pengukuran derajat keasaman (pH) ... 66

4. Hasil perhitungan nilai Total Plate Count (TPC) ... 66

5. Cara pembuatan larutan pengencer ... 67

6. Komposisi media yang digunakan ... 67


(13)

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Di Indonesia, ikan dan hasil perairan lainnya merupakan sumber komoditi yang penting terutama sebagai sumber protein hewani selain yang berasal dari hewan terestrial seperti sapi, ayam, kambing dan lain-lain. Ikan mempunyai harga relatif lebih murah dibandingkan dengan sumber protein hewani lainnya seperti daging sapi sehingga diharapkan ikan akan memberikan sumbangan yang besar untuk memenuhi kebutuhan gizi penduduk Indonesia terutama protein. Sebagai sumber protein hewani yang penting maka pendayagunaan ikan harus dilakukan sedemikian rupa sehingga dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin.

Mengingat ikan adalah bahan makanan yang mudah rusak maka usaha pengolahan ikan mutlak diperlukan sehingga hasil tangkapan ikan yang tidak dapat segera dipasarkan dalam bentuk segar tidak cepat menjadi busuk dan terbuang percuma. Pengolahan yang sudah banyak dilakukan adalah pengolahan ikan secara tradisional seperti penggaraman, pengeringan, perebusan, pengasapan dan fermentasi, yang semuanya bertujuan untuk mengawetkan atau memperpanjang masa simpan hasil perikanan tersebut. Hasil olahan secara tradisional yang cukup dikenal oleh masyarakat Indonesia antara lain ikan asin, ikan kering, pindang, ikan asap dan produk-produk fermentasi ikan bergaram seperti peda, terasi dan kecap ikan.

Fermentasi ikan merupakan suatu proses penguraian secara biologis atau semi biologis dari senyawa-senyawa kompleks terutama protein menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana dalam keadaan terkontrol (Hadioetomo 1982). Bahan pangan yang difermentasi biasanya memiliki aroma dan tekstur yang lebih baik, umur simpan yang lebih lama dan kebanyakan bahan pangan hasil fermentasi dianggap aman. Selama fermentasi berlangsung, protein ikan akan terhidrolisis menjadi asam amino dan peptida, kemudian asam-asam amino akan terurai menjadi komponen-komponen yang berperan dalam pembentukan cita rasa.

Menurut Irawadi (1979), fermentasi ikan merupakan salah satu cara pengolahan ikan yang khas, karena dengan cara ini diperoleh produk-produk yang


(14)

digemari oleh masyarakat. Dengan proses fermentasi akan diperoleh produk dengan cita rasa dan aroma yang khas yang sulit ditinggalkan oleh para penggemarnya. Fermentasi ikan bergaram merupakan suatu cara pengawetan yang cocok dengan kondisi ekonomi nelayan, karena tidak membutuhkan biaya yang tinggi dan suhu pembuatannya sesuai dengan suhu di Indonesia.

Peda adalah produk hasil fermentasi bergaram yang menggunakan aktivitas bakteri dalam prosesnya. Diperkirakan bakteri yang berperan dalam proses fermentasi bergaram ini adalah bakteri halofilik atau bakteri halotoleran. Bakteri-bakteri tersebut memberi sumbangan dalam proses penguraian senyawa-senyawa kompleks seperti protein, karbohidrat dan lemak yang selanjutnya akan terbentuk senyawa-senyawa yang berperan dalam pembentukan cita rasa yang khas pada peda (Jermolieva dan Bujanowskaja 1934; Messing 1934; Shewan 1938; dan Omland 1955 diacu dalam FAO 1971). Akan tetapi tidak semua jenis bakteri yang terdapat pada peda berperan dalam pembentukan cita rasa karena hanya bakteri yang tidak membentuk spora, tahan garam dan dapat tumbuh dalam

kondisi aerobik maupun anaerobiklah yang memegang peranan tersebut (Rahayu et al. 1992).

Mengingat informasi mengenai jenis-jenis bakteri yang terdapat di dalam produk ikan peda masih sangat kurang, maka perlu dilakukan isolasi bakteri halotoleran yang terdapat pada produk tersebut sehingga dengan demikian dapat diketahui karakteristik morfologi dan fisiologi dari bakteri yang ada yang merupakan tahapan yang penting untuk melakukan identifikasi.

1.2. Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengisolasi dan mengetahui karakteristik bakteri halotoleran yang terdapat dalam produk fermentasi yaitu peda ikan kembung (Rastrelliger sp.).


(15)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Fermentasi Ikan

Pada mulanya yang dimaksud dengan proses fermentasi adalah pemecahan karbohidrat menjadi alkohol dan karbondioksida. Namun banyak proses fermentasi tidak selalu menghasilkan alkohol dan karbondioksida. Fermentasi adalah suatu proses penguraian senyawa dari bahan-bahan protein komplek menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana dalam keadaan yang terkontrol atau teratur (controlled condition) (Moeljanto 1982). Selain karbohidrat, protein dan lemak dapat juga dipecah oleh mikroba atau enzim tertentu untuk menghasilkan asam amino, asam lemak dan zat lainnya (Winarno et al. 1980).

Proses fermentasi biasanya ditujukan untuk a) membuat produk baru, b) memperbaki nilai gizi, c) memperbaiki sifat fisik misalnya rupa, bentuk, kekerasan dan flavour dan d) memperpanjang daya awet produk (Damayanthy dan Mudjajanto 1993). Terjadinya fermentasi dapat menyebabkan perubahan sifat bahan pangan sebagai akibat pemecahan kandungan-kandungan bahan tersebut (Winarno et al. 1980). Hasil fermentasi terutama tergantung pada jenis bahan pangan, jenis mikroba dan kondisi di sekeliling yang mempengaruhi pertumbuhan dan aktivitas mikroba. Semua mikroba hidup memerlukan energi

yang diperoleh dari komponen-komponen bahan pangan tempat mikroba itu hidup (Buckle et al. 1978).

Fermentasi oleh mikroba yang dikehendaki akan menghasilkan cita rasa yang khas dan mengubah tekstur bahan pangan yang difermentasikan. Bahan pangan yang mengalami fermentasi biasanya mengandung nilai gizi yang lebih tinggi dari bahan asalnya. Hal ini disebabkan protein, lemak dan polisakarida terhidrolisis menjadi senyawa yang lebih mudah dicerna. Adanya mikroorganisme juga dapat meningkatkan jumlah vitamin, seperti kelompok

vitamin B yang terdapat dalam bahan pangan yang difermentasi (Buckle et al. 1978)

Hasil fermentasi yang diperoleh sering tidak tetap mutunya. Hal ini terjadi terutama karena dalam pembuatan produk tradisional menerapkan fermentasi secara spontan. Dalam proses fermentasi spontan, jumlah dan jenis


(16)

mikroba yang ikut aktif biasanya beraneka ragam. Banyaknya jenis mikroba tersebut menyebabkan hasilnya juga bermacam-macam dan tidak seragam, selain itu mutu dan hasil yang diperoleh tidak menentu (Winarno dan Fardiaz 1981)

Selain membantu dalam mengawetkan makanan, fermentasi juga memberikan sifat-sifat tertentu yang dapat menjadi daya tarik bagi konsumen. Biasanya sifat-sifat ini hanya dapat dihasilkan melalui perubahan yang komplek selama fermentasi (Pederson 1963)

Fermentasi makanan dapat dibedakan menjadi dua kelompok berdasarkan sumber mikroba yang berperan dalam fermentasi, yaitu fermentasi spontan dan fermentasi tidak spontan. Fermentasi spontan adalah fermentasi yang dalam pembuatannya tidak ditambahkan mikroba dalam bentuk starter, tetapi mikroba yang berperan aktif dalam proses fermentasi berkembang biak secara spontan karena tempat hidupnya yang dibuat sesuai untuk pertumbuhannya. Fermentasi tidak spontan terjadi pada makanan yang dalam pembuatannya ditambahkan mikroba dalam bentuk starter, dimana mikroba akan berkembang biak dan aktif mengubah bahan yang difermentasi menjadi produk yang diinginkan (Fardiaz 1987).

2.1.1. Faktor-faktor yang mempengaruhi fermentasi

Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan suatu proses fermentasi adalah sebagai berikut (Potter 1978):

a) Asam

Makanan yang mengandung asam biasanya tahan lama, tetapi jika oksigen cukup jumlahnya dan kapang dapat tumbuh serta fermentasi berlangsung terus, maka daya awet dari makanan asam tersebut menjadi hilang. Pada keadaan ini mikroba proteolitik dan lipolitik dapat berkembang biak menghasilkan senyawa yang berbau busuk

b) Alkohol

Seperti halnya asam, makanan atau minuman yang mengandung alkohol dapat tahan lama tergantung konsentrasinya. Kandungan akohol yang terbentuk selama fermentasi anggur tergantung pada kandungan gula dalam buah anggur, macam ragi, suhu fermentasi dan jumlah oksigen.


(17)

c) Penggunaan starter

Fermentasi adakalanya dilakukan dengan menggunakan kultur murni yang dihasilkan di laboratorium. Kultur ini dapat disimpan dalam keadaan kering atau dibekukan. Adakalanya proses fermentasi tidak menggunakan kultur murni, misalnya pada penggumpalan susu untuk pembuatan keju yang dilakukan dengan cara memasukkan susu asam yang telah menggumpal ke dalam cairan susu yang akan diproses .

d) Suhu

Suhu fermentasi sangat menentukan macam mikroorganisme yang dominan selama fermentasi. Jika kondisi asam yang dikehendaki telah tercapai, maka suhu dapat dinaikkan untuk menghentikan fermentasi. Suhu yang optimum untuk proses fermentasi sekitar 25 0C sampai 35 0C.

e) Kandungan oksigen

Kandungan oksigen selama proses fermentasi akan mempengaruhi pertumbuhan optimum mikroba tertentu. Misalnya bakteri Acetobacter yang penting dalam pembuatan cuka adalah bakteri aerob (membutuhkan oksigen), sedangkan pertumbuhan ragi yang menghasilkan alkohol dari gula akan lebih baik dalam keadaan anaerob.

f) Garam

Mikroba dapat dibedakan berdasarkan ketahanannya terhadap garam. Mikroba pembentuk asam laktat dalam acar, sayur asin (sauerkraut), sosis dan lain-lain, biasanya toleran terhadap konsentrasi garam 10 % sampai 18 %. Beberapa mikroba proteolitik penyebab kebusukan tidak toleran pada konsentrasi garam 2,5 % dan terutama tidak toleran pada kombinasi antara garam dan asam.

2.1.2. Peranan garam dalam fermentasi ikan

Pada proses fermentasi, garam yang ditambahkan berpengaruh pada populasi organisme mana yang dapat tumbuh dan yang tidak dapat tumbuh serta jenis apa yang akan tumbuh, sehingga kadar garam dapat digunakan untuk mengendalikan aktivitas fermentasi apabila faktor lainnya adalah sama (Desroier 1988).

Penambahan garam dalam fermentasi ikan mempunyai beberapa fungsi, yaitu: meningkatkan rasa ikan, membentuk tekstur yang diinginkan, mengontrol


(18)

pertumbuhan mikroorganisme (merangsang pertumbuhan mikroorganisme yang diinginkan berperan dalam fermentasi dan menghambat pertumbuhan mikroorganisme pembusuk dan patogen). Garam dapat berfungsi sebagai penghambat pertumbuhan mikroorganisme pembusuk dan patogen karena mempunyai sifat-sifat antimikroba sebagai berikut: a) garam dapat meningkatkan tekanan osmotik substrat, b) garam dapat menyebabkan terjadinya penarikan air dari dalam bahan pangan sehinggga aw bahan pangan akan menurun dan mikroorganisme tidak akan tumbuh, c) garam mengakibatkan terjadinya penarikan air dari dalam sel mikroorganisme, sehingga sel akan kehilangan air dan mengalami pengerutan, d) ionisasi garam akan menghasilkan ion khlor yang beracun terhadap mikroorganisme dan e) garam dapat menganggu kerja enzim proteolitik karena dapat mengakibatkan terjadinya denaturasi protein (Rahayu et al. 1992)

Jumlah garam yang digunakan dalam fermentasi ikan berpengaruh terhadap produk akhir, karena di samping mengurangi laju reaksi enzimatik juga akan menghambat pertumbuhan dan perkembangbiakan bakteri-bakteri pembusuk yang dapat menimbulkan bau yang tidak dikehendaki (Reed 1982). Dalam fermentasi garam, yang berperan dalam penguraian senyawa-senyawa adalah enzim dari ikannya sendiri, terutama enzim dari isi perut dan mikroorganisme yang berasal dari ikan maupun garam yang digunakan.

Garam yang biasa digunakan pada umumnya mengandung bakteri-bakteri yang bersifat halotoleran (tahan garam), diantaranya Bacillus dan Micrococcus. Bakteri-bakteri penyebab kebusukan ikan yang terutama terdiri dari bakteri Gram negatif (Pseudomonas, Achromobacter dan Flavobacterium) tidak tahan akan kadar garam tinggi. Ikan yang diawetkan dengan menggunakan kadar garam tinggi menyebabkan bakteri-bakteri Gram negatif tersebut terseleksi sehingga digantikan oleh bakteri halofilik dan mikroorganisme halotoleran seperti Micrococcus, beberapa khamir, bakteri pembentuk spora, bakteri asam laktat dan beberapa kapang. Bakteri yang berkembang biak selama fermentasi

garam pada ikan terutama dari jenis Micrococcus, Bacillus dan Sarcina (Hobbs dan Hodgkiss 1982 diacu dalam Rahayu et al. 1992).


(19)

Keamanan produk fermentasi ikan diperoleh karena kadar garamnya yang tinggi meskipun suhu dan pH fermentasi berada pada kisaran pertumbuhan berbagai mikroba yang tidak dikehendaki (Jay 1978). Kadar garam yang tinggi dalam produk fermentasi garam dapat menghambat petumbuhan bakteri patogen, kecuali Staphylococcus aureus yang masih mungkin tumbuh pada beberapa produk dengan kadar garam agak tinggi yaitu 7-10 %. Staphylococcus aureus akan dihambat pertumbuhannya pada konsentrasi garam 15-20 % dan pH di bawah 4,5-5,0, sedangkan bakteri pembentuk toksin yang berbahaya yaitu Clostridium botulinum tipe E yang sering ditemukan pada ikan segar dapat dihambat pertumbuhannya pada konsentrasi garam 10-12 % dan pH di bawah 4,5. Salmonella akan terhambat pertumbuhannya pada konsentrasi garam 6 % (Enrichsen 1983 diacu dalamRahayu et al. 1992).

Bakteri halofilik membutuhkan konsentrasi NaCl tertentu untuk pertumbuhannya. Kebutuhan garam untuk pertumbuhan optimum bervariasi, yaitu 5-20 % untuk bakteri halofilik sedang, dan 20-30 % untuk bakteri halofilik ekstrim. Spesies yang tumbuh baik pada medium yang mengandung 2-5 % garam disebut halofilik ringan. Bakteri halotoleran (tahan garam) adalah bakteri yang dapat tumbuh dengan atau tanpa garam. Bakteri halofilik dan halotoleran sering ditemukan pada makanan berkadar garam tinggi atau di dalam larutan garam (Fardiaz 1992).

2.2. Fermentasi Peda

Pengawetan ikan dengan cara fermentasi garam merupakan cara pengawetan ikan tradisional di Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara lainnya (Putro 1978). Fermentasi ikan bergaram merupakan suatu cara pengawetan ikan yang besar peranannya di Indonesia karena cara ini tidak membutuhkan biaya yang terlalu tinggi, suhunya sesuai dengan suhu di Indonesia dan menghasilkan citarasa dan aroma yang khas (Irawadi 1979). Tapi produk fermentasi yang dibuat dengan menggunakan kadar garam yang tinggi tidak dapat digunakan sebagai makanan sumber protein karena rasanya yang terlalu asin, sehingga jumlah yang dikonsumsi juga sangat sedikit. Produk-produk semacam ini biasanya hanya digunakan sebagai bahan perangsang makan, penyedap makanan atau bumbu (Rahayu et al. 1992).


(20)

Fermentasi ikan merupakan salah satu cara pengawetan bahan pangan, dimana dengan proses ini mikroba yang dikehendaki diusahakan tumbuh dan berkembang biak sedangkan mikroba yang tidak dikehendaki dihambat pertumbuhannya (Winarno et al. 1980). Dalam proses fermentasi ikan, pertama-tama terjadi hidrolisis protein menjadi asam amino dan peptida, selanjutnya terjadi perubahan asam amino menjadi komponen lainnya, dan akhirnya produk akan berubah menjadi bentuk pasta atau cairan (Davies 1982).

Proses fermentasi ikan merupakan proses biologis atau semibiologis,

yang pada prinsipnya dapat dibedakan menjadi empat golongan (Stanton dan Quee Lan Yeoh 1978 diacu dalam Rahayu et al.1992), yaitu :

1) Fermentasi menggunakan kadar garam tinggi misalnya dalam pembuatan peda, kecap ikan dan bekasang.

2) Fermentasi menggunakan asam organik, misalnya dalam pembuatan silase dengan cara menambahkan asam-asam propinoat dan format.

3) Fermentasi menggunakan asam-asam mineral, misalnya dalam pembuatan silase ikan menggunakan asam-asam kuat.

4) Fermentasi menggunakan bakteri asam laktat, misalnya dalam pembuatan bekasem dan chaoteri.

Dari segi hasil, proses fermentasi ikan dapat dibedakan menjadi dua golongan, yaitu golongan yang menghasilkan senyawa-senyawa yang secara nyata mempunyai kemampuan mengawetkan seperti pada pengolahan bekasang dan proses fermentasi yang terjadi banyak penguraian atau transformasi yang menghasilkan produk-produk yang mempunyai sifat yang sama sekali berbeda, misalnya pengolahan terasi dan kecap ikan atau ikan peda (Moeljanto 1982).

Peda adalah hasil fermentasi spontan sehingga mutu produk tidak tetap dari waktu ke waktu. Pada fermentasi spontan biasanya jumlah dan jenis mikroba yang ikut aktif akan beraneka ragam, hal ini akan mengakibatkan mutu produk tidak menentu (Winarno et al. 1980).

Prinsip proses fermentasi pada pembuatan peda adalah adanya aktivitas enzim proteolitik dari tubuh ikan dan mikroba yang ada karena penggunaan konsentrasi garam yang tinggi (FAO 1971). Hasil penguraian protein ini adalah


(21)

(Hobbs dan Hodgkiss 1982 diacu dalam Rahayu et al. 1992). Selain memberi sumbangan dalam proses penguraian protein, bakteri ini juga memegang peranan penting dalam pembentukan cita rasa yang khas pada peda (Jermolieva dan Bujanowskaja 1934; Messing 1934; Shewan 1938; dan Omland 1955 diacu dalam FAO 1971).

2.2.1. Proses dan perubahan yang terjadi selama pembuatan peda

Belum tercatat adanya keseragaman dalam berbagai penulisan mengenai proses pembuatan peda, tetapi garis besar pengolahannya adalah sama. Pembuatan ikan peda meliputi tahap-tahap pembersihan, penggaraman, pemeraman dan pematangan.

Setelah ikan dibersihkan, maka ikan ditempatkan ke dalam suatu wadah dan dilumuri garam secara merata dan berlapis-lapis. Setelah itu dilakukan penyimpanan secara anaerobik selama sehari atau lebih. Penyimpanan ikan dalam garam ini disebut dengan fermentasi tahap I. Kemudian ikan dibersihkan dari garam, dan kembali dilakukan penyimpanan sampai terbentuk cita rasa khas peda. Tahap ini disebut sebagai tahap fermentasi II atau tahap pematangan

yang dapat berlangsung antara beberapa hari sampai berbulan-bulan (Van Veen 1965 diacu dalam Suwandi 1988).

Pada umumnya, dalam pembuatan peda dilakukan dua kegiatan yaitu proses penggaraman dan proses fermentasi. Proses penggaramannya hanya dilakukan selama satu hari, dengan rasio antara garam dan ikan adalah 1 : 3 (Amano 1962 diacu dalam Suwandi 1988).

Pada tahap penggaraman, terjadi penetrasi garam ke dalam jaringan ikan dan sebaliknya. Dengan adanya aktivitas garam, air dari dalam tubuh ikan akan tertarik keluar. Proses aliran garam dan air ini berlangsung cepat pada tahap awal, tetapi kecepatannya akan berkurang sampai terjadi keseimbangan tekanan osmotik di luar dan di dalam daging ikan (FAO 1971).

Garam yang masuk ke dalam jaringan daging ikan akan menimbulkan berbagai perubahan kimia dan fisik yang akan mengakibatkan perubahan beberapa unsur, terutama protein dalam daging ikan. Garam akan menyebabkan terjadinya denaturasi larutan koloidal protein dan mengakibatkan


(22)

koagulasi. Akibat proses ini, maka air dalam tubuh ikan akan keluar dan daging ikan akan mengkerut (Vonskresenky 1965 diacu dalam Suwandi 1988 ).

Tahap berikutnya setelah penggaraman adalah tahap pemeraman atau fermentasi. Sebenarnya tahap fermentasi ini sudah dimulai pada akhir proses penggaraman dan dilanjutkan pada saat ikan diperam setelah garam dihilangkan (Hanafiah 1987 diacu dalam Suwandi 1988). Proses pemeraman atau fermentasi peda tahap awal ini akan menyebabkan perubahan kimia pada jaringan daging ikan, terutama pada protein dan lemak ikan. Selama tahap pemeraman ini maka enzim proteolitik dan lipolitik yang ada pada tubuh ikan maupun yang dihasilkan oleh bakteri akan memecah protein dan lemak menjadi senyawa yang lebih sederhana (Amano 1962 diacu dalam Suwandi 1988). Degradasi protein dan lemak ini akan menghasilkan tekstur yang empuk dan masir (Anwar dan Sjahri 1979 diacu dalam Suwandi 1988).

Pada tahap awal pemeraman, enzim-enzim proteolitik dan lipolitik yang berasal dari saluran pencernaan dan oleh katepsin dari jaringan daging ikan yang paling aktif bekerja untuk memecah protein dan lemak, yang selanjutnya aktivitas enzim ini akan merangsang aktivitas enzim-enzim mikroba pada tahap selanjutnya. Bakteri-bakteri ini akan memetabolisme asam

amino ataupun peptida yang sudah dipecah secara autolisis (Vonskresenky 1965 diacu dalam Suwandi 1988).

Pada fermentasi tahap kedua atau tahap pematangan setelah ikan dibersihkan dari garam akan dihasilkan basa nitrogen menguap (TVB-N) yang terbentuk dari hasil pemecahan protein oleh bakteri. Selama proses pematangan ini jumlah basa nitrogen menguap pada peda mengalami peningkatan dengan semakin berkurangnya kadar garam pada peda. Meningkatnya pemecahan protein, dilihat dari terbentuknya basa nitrogen menguap, menunjukkan bertambah banyaknya bakteri pemecah protein. Nampaknya bakteri yang terdapat pada peda lebih mampu memanfaatkan protein yang sudah terpecah dibandingkan protein yang masih utuh. Berarti bakteri tersebut lebih banyak menghasilkan enzim-enzim peptidase dibandingkan proteinasenya (Hanafiah 1987 diacu dalam Menajang 1988).


(23)

Selain protein, lemak ikan yang banyak mengandung ikatan rangkap juga akan mengalami perubahan selama fermentasi peda terutama pada tahap pematangan (fermentasi tahap II). Ikatan rangkap ini akan menyebabkan lemak mudah teroksidasi. Adanya pro-oksidan pada ikan, terutama pada ikan yang berkadar garam tinggi akan mempercepat proses oksidasi (FAO 1971).

Meskipun proses oksidasi lemak pada ikan akan mengakibatkan ketengikan pada produk akhirnya tetapi produk-produk tertentu seperti peda mempunyai cita rasa yang khas yang banyak disukai masyarakat sebagai akibat terjadinya proses oksidasi lemak (Amano1962 diacu dalam Suwandi 1988). Diagram alir tahapan pembuatan peda dapat dilihat pada Gambar 1.

Ikan

Pencucian

Penggaraman, garam : ikan = 1 : 3 Fermentasi tahap pertama

Pemeraman secara anaerobik

Penghilangan garam

Fermentasi tahap kedua

Pematangan

Peda

Gambar 1. Tahapan pembuatan peda (Van Veen 1965 diacu dalam Suwandi 1988).

2.2.2. Karakteristik peda

Ikan peda pada umumnya dibuat dari ikan yang berkadar lemak tinggi. Hal ini disebabkan ikan dengan kadar lemak yang tinggi akan menghasilkan produk yang lebih baik daripada ikan dengan kadar lemak rendah. Selama waktu fermentasi akan terjadi perubahan-perubahan kimiawi yang antara lain adalah proses reaksi pada lemak yang nantinya akan memberikan cita rasa yang khas.

Peda dapat dibuat dari berbagai macam jenis ikan. Pada mulanya peda dibuat dari ikan kembung (Rastrelliger sp.) dari jenis Scomber neglectus dan Scomber kanagurta. Selain itu ikan yang dapat digunakan membuat peda


(24)

adalah ikan lemuru (Sardinella sp.), ikan layang (Decapterus sp.) atau ikan selar (Caranx sp.) (Rahayu et al. 1992).

Berdasarkan jenis ikan yang digunakan dalam pembuatan peda terutama dengan bahan baku ikan kembung (Rastrelliger sp.), maka dikenal dua jenis peda yaitu peda merah dari ikan kembung perempuan (Scomber neglectus) dan peda putih dari ikan kembung lelaki (Scomber kanagurta). Peda yang bermutu baik adalah peda yang berwarna merah segar, tekstur dagingnya masir dan mempunyai pH antara 6,0-6,4 dan bercita rasa khas peda. Peda merah mempunyai mutu yang lebih baik karena mempunyai kadar lemak yang tinggi yaitu 7-14 %, berwarna merah dan teksturnya masir (Van Veen 1965 diacu dalam Suwandi 1988). Komposisi kimia peda dapat dilihat pada Tabel 1 dan 2.

Tabel 1. Komposisi peda bermutu baik

Komponen Peda merah (%) Peda putih (%)

Air Lemak Protein NaCl 44-47 7-14 21-22 15-17 44-47 1,5-7 26-37 12-18 Sumber : Van Veen (1965) diacu dalam Suwandi (1988).

Tabel 2. Hasil analisis komposisi gizi ikan segar dan peda pasar*

Komponen Ikan segar Peda pasar

Kadar air (%) Kadar abu (%) Kadar garam (%) Kadar lemak (%) Kadar protein (%) pH

Kadar TVN (mg%) Kadar TMA (mg%) Histamin (mg%) 73,00 0,99 0,06 10,62 18,62 5,70 34,96 5,08 7,38 50,05 18,60 17,15 6,49 24,98 6,08 228,88 10,23 151,50

Keterangan : * : sampel peda dari pasar Bogor Sumber : Derajat (1994).


(25)

Nilai kadar abu dan kadar garam yang lebih tinggi pada peda pasar Bogor disebabkan oleh proses penggaraman. Garam pada umumnya terdiri dari 39,39 % natrium dan 60,69 % klorida. Garam rakyat yang digunakan dalam pembuatan peda pasar mengandung zat-zat lain yang tercampur dalam garam (terutama garam-garam magnesium, natrium, sulfat, logam dan lain-lain) menimbulkan akibat yang kurang baik pada produk penggaraman (Moeljanto 1982). Mineral atau logam yang tahan panas ini akan menyebabkan peningkatan kadar abu dan kadar garam produk peda pasar Bogor bila dibandingkan ikan segar (Derajat 1994).

Kadar lemak peda pasar Bogor yang lebih rendah dari kadar lemak ikan segar diduga disebabkan adanya kerusakan lemak karena terjadinya oksidasi lemak. Kadar protein peda pasar Bogor yang lebih tinggi dari kadar protein ikan segar diduga karena kandungan air peda pasar Bogor lebih rendah, sedangkan kadar protein dihitung berdasarkan berat basah (Derajat 1994).

Nilai pH, kadar TVN, kadar TMA serta kadar histamin peda pasar Bogor yang lebih tinggi dari ikan segar diduga karena tingkat kesegaran pada bahan baku peda pasar lebih rendah daripada ikan segar sehingga timbul perubahan-perubahan seperti terbentuknya amonia, terlepasnya gugus nitrogen dari protein, perubahan TMAO menjadi TMA serta berkembangbiaknya mikroba pembentuk histamin. Perubahan-perubahan tersebut menyebabkan nilai pH, kadar TVN, kadar TMA dan kadar histamin peda pasar lebih tinggi (Derajat 1994).

Bau khas peda disebabkan oleh persenyawaan metil keton, butil

aldehid, amonia, amino dan persenyawaan yang belum diketahui jenisnya (Van Veen 1965 diacu dalam Suwandi 1988). Sedangkan bau khas ini

disebabkan oleh tingginya kandungan asam amino nitrogen (Amano 1962 diacu dalam Suwandi 1988).

Konsistensi masir disebabkan oleh kandungan asam lemak ikan yang tinggi dan oleh aktivitas enzim proteolitik yang secara alami ada pada daging ikan dan saluran pencernaan (Amano 1962 diacu dalam Suwandi 1988). Sedangkan warna merah pada peda disebabkan oleh interaksi antara gugus

karbonil yang berasal dari oksidasi lemak dengan gugus amino dari protein (Anwar dan Sjahri 1979 diacu dalam Suwandi 1988).


(26)

Muchtadi et al. (1976) mengatakan bahwa mutu peda dipengaruhi oleh jenis ikan yang digunakan dan dari cara pengolahannya, sedangkan ketahanan simpannya tergantung pada mutu peda yang dihasilkan dan cara penyimpanannya.

2.2.3. Kerusakan produk fermentasi

Produk-produk fermentasi ikan dapat mengalami kerusakan jika proses yang terjadi tidak tepat dan suhu penyimpanan terlalu tinggi. Penyerapan garam yang tidak baik ke dalam daging ikan dapat mengakibatkan kebusukan oleh bakteri gram negatif. Jika kadar garam cukup tinggi tetapi kondisi sanitasi kurang baik atau bahan baku ikan yang digunakan bermutu rendah, kemungkinan tumbuh mikroorganisme yang bersifat halofilik, misalnya bakteri

halofilik yang membentuk pigmen merah muda dan kapang halofilik (Farber 1965 dan Egan et al. 1981 diacu dalam Suwandi 1988).

Bakteri halofilik yang menyebabkan kebusukan tersebut bersifat proteolitik aktif, mempunyai suhu optimum pertumbuhan 35-40ºC dengan kisaran

suhu pertumbuhan 5-50ºC dan dapat tumbuh dengan baik pada kisaran pH 6,0-10,0. Bakteri ini bersifat halofilik obligat, yaitu memerlukan konsentrasi

garam yang tinggi untuk pertumbuhan, dan dapat tumbuh dengan baik pada larutan garam jenuh, dan memproduksi hidrogen sulfida dan indol sebagai hasil pemecahan protein. Kebusukan oleh bakteri halofilik dapat dicegah dengan cara menurunkan aw produk sampai 0,70, atau dengan menambahkan asam sorbat sebanyak 0,3 % (Hobbs dan Hodgkiss 1982 diacu dalam Rahayu et al. 1992).

Kapang halofilik tidak menguraikan komponen ikan atau memproduksi bau busuk, tetapi jika tumbuh pada produk fermentasi dapat menimbulkan penampakan ikan yang tidak disenangi dan menurunkan mutu ikan. Pencegahan pertumbuhan kapang halofilik dapat dilakukan dengan cara penyimpanan pada suhu rendah atau pencelupan di dalam larutan asam sorbat sebelum dilakukan fermentasi (Hobbs dan Hodgkiss 1982 diacu dalam Rahayu et al. 1992).

2.3. Isolasi dan Karakterisasi Bakteri pada Produk Fermentasi

Isolasi adalah pemisahan mikroba tertentu dari populasi campuran. Ada lima cara untuk melakukan isolasi yaitu isolasi dengan agar cawan, media cair, isolasi dengan biakan dua anggota, isolasi sel tunggal dan penggunaan media khusus. Isolasi pada agar cawan dapat dilakukan dengan dua cara yaitu metode


(27)

gores dan metode tuang. Isolasi ini dilakukan pada mikroba yang dapat membentuk koloni yang mudah terpisah pada media padat seperti kebanyakan bakteri, khamir, kebanyakan jamur dan alga uniseluler (Rehm dan Reed 1981).

Isolasi media cair digunakan untuk beberapa bakteri besar, sebagian protozoa, dan alga hanya tumbuh pada media yang cair. Prosedur isolasi media cair menggunakan metode pengenceran. Biakan dua anggota digunakan jika biakan murni tidak dapat diperoleh atau sulit untuk diperoleh sehingga tidak praktis untuk dilakukan. Isolasi sel tunggal dilakukan jika teknik isolasi dengan agar cawan dan media cair tidak dapat digunakan. Penggunaan media selektif dapat digunakan untuk memperoleh mikroba dari alam dengan memanfaatkan isolasi langsung atau dengan biakan diperkaya (Rehm dan Reed 1981).

Penggunaan media khusus bersifat memberi kemudahan bagi tumbuhnya galur mikroba tertentu yang dikehendaki saja dan dapat menghalangi tumbuhnya galur lain yang tidak dikehendaki. Namun cara ini masih memungkinkan tumbuhnya galur yang lain dengan sifat hampir bersamaan, akan lebih baik bila dilanjutkan dengan pengenceran sehingga hasilnya akan lebih meyakinkan terutama dalam hal kemurniannya (Judoamidjojo et al. 1990).

Isolasi paling banyak dilakukan dengan cara memisahkan sel-sel individu di dalam atau pada medium nutrien padat, dengan menggunakan metode cawan gores atau cawan tuang. Namun demikian, diperolehnya satu koloni tunggal tidak selalu menjamin kemurniannya, karena koloni dapat terbentuk tidak hanya dari sel-sel individu tetapi juga dari sekumpulan sel. Dalam hal penghasil lendir, kontaminasi seringkali melekat pada lendir tersebut; dalam hal spesies Bacillus atau aktomisetes, kontaminasi dapat terperangkap di dalam rantai atau filamen yang dibentuk oleh organisme-organisme ini. Yang paling baik adalah menggunakan medium non selektif untuk pemurnian karena kemungkinan besar kontaminan lebih cepat tumbuh dam lebih mudah dikenali pada medium semacam ini. Meskipun dengan medium nonselektif, sebaiknya jangan terlalu cepat “mengambil” dan mensubkulturkan koloni, karena kontaminan yang tumbuhnya lambat mungkin ada tetapi masih belum muncul (Hadioetomo 1988).

Biakan murni harus menghasilkan koloni-koloni yang tampak serupa satu dengan yang lain, dan bila diamati secara mikroskopis biakan tersebut harus


(28)

menampakkan sel-sel yang cukup serupa satu sama lain dalam hal penampilannya, terutama diameter sel dan reaksi Gram (Hadioetomo 1988).

Karakterisasi merupakan tahap pendahuluan yang penting sebelum identifikasi. Karakterisasi merupakan dasar dalam identifikasi mikroba secara sistematik yang terdiri dari tiga tahap penting yaitu: a) klasifikasi: mengelompokkan mikroorganisme ke dalam grup, b) nomenklatur: menetapkan nama ilmiah internasional yang tepat terhadap organisme dan c) identifikasi penetapan organisme ke dalam klasifikasi (a) yang diberi nama sesuai nomor (b) (Fardiaz 1988).

Pada proses fermentasi peda, mikroba yang berperan selama fermentasi adalah mikroba yang berasal dari ikan itu sendiri atau berasal dari garam yang ditambah. Mikroba yang terdapat pada bahan baku ikan adalah mikroba yang berasal dari permukaan kulitnya atau berasal dari dalam insang atau perut ikan. Seperti diketahui bahwa dipermukaan tubuh ikan banyak dijumpai mikroba Pseudomonas, Achromobacter, Micrococcus, Flavobacterium, Corynebacterium, Sarcina, Vibrio dan Bacillus. Pada perut ikan telah ditemukan bakteri jenis Achromobacter, Pseudomonas, Flavobacterium, Vibrio, Bacillus, Clostridium dan Escherichia. Bakteri-bakteri ini umumnya bersifat fakultatif anaerob dan beberapa diantaranya bersifat obligat anaerob (Frazier 1967).

Ikan kembung yang banyak digunakan untuk pembuatan ikan peda adalah ikan yang berasal dari laut. Mikroflora yang ditemukan pada sisik, insang dan ususnya terutama adalah bakteri Gram negatif, tidak membentuk spora, berbentuk batang atau koki. Mikroba-mikroba tersebut antara lain adalah Pseudomonas, Vibrio, Maraxella, Acinetobacter dan Flavobacterium (Rahayu et al. 1992).

Pada saat fermentasi hanya mikroba yang bersifat halotoleran dan halofilik dari jenis bakteri, kapang dan khamir yang akan hidup. Pada umumnya mikroba yang akan tumbuh dan berkembang biak pada proses

penggaraman ikan adalah jenis Micrococcus, Bacillus dan Sarcina (Hobbs dan Hodgkiss 1982 diacu dalam Rahayu et al. 1992). Dalam

aktivitasnya, mikroba-mikroba tersebut dapat berperan sehingga dihasilkan cita rasa yang khas. Pada peda, bakteri yang berperanan dalam pembentukan cita rasa adalah bakteri yang tidak membentuk spora. Mikroba ini tahan terhadap garam


(29)

dan dapat tumbuh dalam kondisi aerobik maupun anaerobik (Rahayu et al. 1992). Bakteri yang bertanggung jawab terhadap pembentukan citarasa khas yang dihasilkan produk tersebut adalah Staphylococcus sp. (Sjafi’i 1988).

Staphylococcus sp. merupakan bakteri berbentuk bulat yang terdapat dalam bentuk tunggal, berpasangan, tetrad, atau berkelompok seperti buah anggur dan berdiameter 0,5-1,5 µm. Termasuk kedalam gram positif, non motil dan tidak berspora. Anaerobik fakultatif, kemoorganotropik, dengan metabolisme respirasi dan fermentasi. Koloni biasanya berwarna abu-abu, putih ataupun krem dan kadang-kadang kuning hingga jingga. Umumnya katalase positif, terdapat sitokrom tapi biasanya oksidase negatif. Nitrat kadang direduksi menjadi nitrit dan biasanya tumbuh dengan konsentrasi NaCl 10 %. Temperatur pertumbuhan optimumnya adalah 30-37ºC. Biasanya berasosiasi dengan kulit dan membran selaput lendir pada vertebrata berdarah panas tapi sering terisolasi dari produk makanan, debu dan air. Beberapa spesies bersifat patogen bagi manusia dan hewan atau memproduksi toksin ekstraselullar (Holt et al. 1994).

Bakteri yang bersifat Gram positif berbentuk batang, dapat menghasilkan asam organik yang khas, sedangkan bakteri Gram negatif berbentuk batang agak bulat bersifat non motil dapat memproduksi bau yang merangsang dan bakteri gram positif berbentuk batang panjang dapat memproduksi aroma hasil degradasi asam amino (FAO 1971 diacu dalam Rahayu et al. 1992).

Hasil isolasi yang dilakukan terhadap ikan peda yang berasal dari daerah Bogor menunjukkan adanya bakteri yang membentuk pigmen merah atau orange. Bakteri-bakteri ini terutama dari jenis Gram positif berbentuk koki, bersifat non motil, hidup secara aerob atau fakultatif anaerob, bersifat katalase positif serta mempunyai sifat proteolitik. Bakteri tersebut bersifat indol negatif dan oksidase negatif, beberapa diantaranya dapat mereduksi nitrat dan dapat menggunakan sitrat sebagai sumber karbon untuk hidupnya. Bila dilihat dari sifat pertumbuhannya, bakteri ini bersifat mesofilik dengan pH medium 6-8. Sedangkan bila ditinjau dari pengaruh garam terhadap pertumbuhannya maka bakteri tersebut tergolong dalam bakteri halotoleran hingga bakteri halofilik lemah-sedang (Rahayu et al. 1992).


(30)

3. METODOLOGI

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dimulai pada bulan Maret sampai dengan Juni 2006, dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan; Laboratorium Kimia Pangan, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian dan Laboratorium Bakteriologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

3.2. Alat dan Bahan

Peralatan yang digunakan pada penelitian ini adalah cawan petri, tabung reaksi, tabung durham, pipet mohr ukuran 10 ml dan 1 ml, erlenmeyer, gelas piala, gelas ukur, vortex, beaker glass, gelas objek, gelas penutup, sudip, ose, bunsen, autoklaf, inkubator, hot plate, mortar, mikroskop cahaya, timbangan analitik dan timbangan kasar, pH meter, lemari es, penangas air dan alat bantu lainnya.

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah peda merah dari ikan kembung perempuan (Rastrelliger neglectus) yang diperoleh dari pasar Lawang Seketeng Bogor. Ikan peda tersebut merupakan hasil produksi dari pengolah ikan peda di daerah Indramayu dan produk tersebut telah mengalami proses fermentasi dan penyimpanan ± 2 bulan.

Medium yang digunakan terdiri dari medium padat dan medium cair. Medium padat yang digunakan meliputi Nutrient Agar (NA), Starch Agar (SA), Skim Milk Agar (SMA), Baird-Parker Agar (BPA), Trypticase Soy Agar (TSA) dan Triple Sugar Iron Agar (TSIA). Medium cair yang digunakan meliputi Nutrient Broth (NB), Nitrat Broth, Tryptone Broth, Brain Heart Infusion Broth (BHI) dan Manitol Broth.

Bahan kimia yang digunakan adalah NaCl, Tryptone, NaOH, larutan iodium, asam sulfanilat, dimetil-alpha-naftilamin, pereaksi kovac’s, plasma kelinci, egg yolk steril, yeast extract, glukosa, bromocresol blue, 40 % KOH,

H2O2 3 %, kristal violet, lugol, alkohol, safranin, lemak (mentega), neutral red, p-aminodimetil-anilin oksalat 1 %, alkohol 96 %, alkohol 70 %, akuades, larutan


(31)

NaCl 0,85 % (garam fisiologis), spirtus, parafin, dan minyak imersi. Bahan-bahan pembantu lainnya adalah kapas, aluminium foil, kertas serap (tissue).

3.3. Metode Penelitian

Metode penelitian ini dilakukan dalam 3 tahap yaitu analisis bahan, isolasi bakteri dari ikan peda merah dan karakterisasi isolat bakteri yang diperoleh dari isolasi.

3.3.1. Analisis bahan

Analisis bahan ini dilakukan untuk mengetahui kondisi fisik dan karakteristik bahan sebelum dilakukan tahap selanjutnya. Analisis bahan ini meliputi pengukuran kadar garam, derajat keasaman (pH) dan perhitungan Total Plate Count (TPC). Hasil pengukuran kadar garam dan pH ini digunakan sebagai acuan untuk membuat medium isolasi bakteri.

3.3.2. Isolasi bakteri dari ikan peda merah

Isolasi dan pemurnian bakteri dilakukan dengan tujuan memperoleh isolat bakteri murni dari sampel sehingga dapat dilakukan uji-uji selanjutnya untuk mengetahui karakteristiknya. Isolasi bakteri ini dilakukan dengan menggunakan metode agar cawan dengan goresan kuadran. Tahap awal isolasinya dilakukan pengamatan terhadap morfologi koloni dan sel sedangkan disetiap tahap isolasi hanya dilakukan pengamatan morfologi sel untuk mengetahui tingkat kemurnian isolat yang diperoleh .

3.3.3. Karakterisasi isolat bakteri

Karakterisasi bakteri ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui sifat-sifat morfologi dan fisiologi dari isolat bakteri yang diperoleh dari sampel. Karakterisasi bakteri ini meliputi pengamatan sifat morfologi dan sifat fisiologi. Sifat morfologi yang diamati adalah morfologi sel, sedangkan pengamatan sifat fisiologi bakteri dilakukan dengan uji hidrolisis pati, uji hidrolisis protein, uji hidrolisis lemak, uji reduksi nitrat, uji katalase, uji oksidase, uji indol, uji H2S, uji fermentasi gula, uji oksidasif-fermentatif Baird Parker, uji kualitatif untuk Staphylococcus, uji koagulase, uji manitol dan pendugaan jenis bakteri.


(32)

3.4. Prosedur Analisis

Prosedur analisis yang dilakukan berdasarkan tahap-tahap metode penelitian adalah meliputi pengukuran kadar garam dan pH sampel, perhitungan Total Plate Count (TPC), isolasi bakteri dari ikan peda merah, uji sifat morfologi dan uji sifat fisiologi.

3.4.1. Pengukuran kadar garam sampel (AOAC 1995)

Sampel uji diabukan setelah sebelumnya ditimbang sebanyak 2 gram, kemudian sampel yang telah diabukan dalam cawan porselen ditambahkan akuades sampai tiga seperempat cawan. Abu dalam cawan porselen diaduk-aduk kemudian cairan tersebut ditempatkan ke dalam labu takar 100 ml dan ditambahkan akuades sampai tanda tera. Selanjutnya dari labu takar dipipet sebanyak 10 ml dan dimasukan ke dalam gelas piala 100 ml dan ditambahkan K2CrO4 (kalium kromat) 2-3 tetes. Ke dalam buret dimasukkan larutan perak nitrat 0,2 N. Kemudian campuran larutan sampel dalam beaker glass dititrasi dengan perak nitrat sampai terbentuk endapan putih (Ag2CrO4) atau berubah warna menjadi jingga. Pengukuran kadar garam ini dilakukan secara duplo. Perhitungan % NaCl adalah sebagai berikut:

% NaCl = 3 3 58,4 X100%

contoh mg

X fp X NAgNO X

VolumeAgNO

Volume AgNO3 adalah jumlah perak nitrat yang dibutuhkan dalam titrasi dan Normalitas AgNO3 adalah 0,2

3.4.2. Pengukuran derajat keasaman (pH) sampel (AOAC 1995)

Sampel dalam wadah diukur pH-nya dengan menggunakan pH meter. Sebelum digunakan, pH meter dikalibrasi dengan menggunakan larutan buffer pH 4,31 dan 6,86. Sampel ditimbang sebanyak 1 gram yang ditambahkan 10 ml akuades lalu diblender sehingga diperoleh larutan yang homogen. Setelah itu sampel diukur pH-nya dengan menggunakan pH meter. Nilai pH diperoleh dari hasil pembacaan pada skala pH meter saat angka digital menunjukkan nilai pH konstan. Pengukuran pH ini dilakukan secara duplo.


(33)

3.4.3. Perhitungan nilai Total Plate Count (Fardiaz 1992)

Perhitungan nilai TPC digunakan untuk mengetahui mutu suatu bahan pangan. Koloni yang tumbuh dapat juga digunakan untuk isolasi serta identifikasi bakteri karena koloni yang terbentuk mungkin berasal dari suatu bakteri yang mempunyai penampakan pertumbuhan spesifik.

Sampel ikan peda dihancurkan dalam mortar porselen untuk mendapatkan kondisi sampel yang homogen. Selanjutnya sampel sebanyak 10 gram dimasukkan ke dalam 90 ml larutan pengencer steril secara aseptis untuk mendapatkan pengenceran 10-1. Untuk pengenceran 10-2 diambil 1 ml suspensi contoh dari tabung pengencer 10-1 dan dimasukkan ke dalam tabung pengencer yang lain yang berisi 9 ml larutan pengencer, kemudian sampel dikocok sampai homogen. Hal yang sama dilakukan sampai mendapatkan pengenceran 10-5.

Cara pemupukan dalam metode hitungan cawan dilakukan dengan metode tuang (pour plate). Dari setiap tingkat pengenceran, masing-masing diambil 1 ml suspensi sampel yang dimasukkan ke dalam cawan petri. Kemudian ke dalam cawan petri ditambahkan medium Nutrien Agar (NA) yang telah steril sebanyak 15-20 ml dan digoyangkan supaya sampel menyebar rata. Medium NA yang digunakan untuk menumbuhkan bakteri ini telah ditambahkan garam (NaCl murni) yang sesuai dengan kadar garam yang terkandung di dalam sampel.

Setelah itu cawan petri diinkubasikan pada suhu kamar selama dua hari. Koloni yang tumbuh diamati dan dihitung jumlahnya untuk mendapatkan nilai Total Plate Count (TPC). Cara perhitungan TPC adalah sebagai berikut:

TPC (koloni/ml) = Jumlah koloni per cawan x

n pengencera faktor

1

3.4.4. Isolasi bakteri dari sampel (Fardiaz 1988)

Isolasi dan pemurnian bakteri bertujuan memisahkan koloni-koloni bakteri yang masih tercampur hingga diperoleh suatu isolat murni. Pada tahap pemurnian koloni bakteri yang dianggap terpisah dipisahkan dengan cara penggoresan kuadran.

Berdasarkan hasil pengamatan setelah tahap perhitungan TPC, koloni bakteri yang tampak berbeda dari koloni yang dominan masing-masing diambil untuk dikulturkan ke media NA (yang telah ditambahkan NaCl sebanyak 11,4 %)


(34)

yang berbentuk agar miring, sebelumnya dilakukan pengamatan terhadap morfologi koloni terpilih (bentuk, tepian, elevasi dan warna). Kultur bakteri bakteri tersebut diinkubasi selama dua hari pada suhu kamar (30ºC).

Isolasi atau pemurnian dilakukan pada agar cawan dengan menggunakan metode goresan kuadran. Kultur bakteri di dalam agar miring yang diperoleh setelah dilakukan uji morfologi sel (pewarnaan Gram, spora dan bentuk sel) digoreskan secara kuadran ke medium NA padat steril kemudian diinkubasi selama dua hari. Dengan metode goresan kuadran ini diharapkan akan diperoleh koloni terpisah kemudian dilakukan pengkulturan koloni terpilih pada agar miring. Selanjutnya, tabung diinkubasi pada suhu kamar selama dua hari dan dilakukan uji morfologi sel (pewarnaan Gram, spora dan bentuk sel) kembali. Isolasi dan pemurnian ini dilakukan beberapa kali sampai didapat isolat yang benar-benar murni

Setelah didapatkan koloni yang benar-benar terpisah, biakan murni tersebut ditumbuhkan atau disimpan dalam agar miring dan disegarkan secara berkala (1 minggu sekali).

3.4.5. Uji sifat morfologi

Untuk mengetahui sifat-sifat morfologi dari isolat bakteri yang diperoleh dilakukan pengamatan morfologi koloni dan morfologi selnya.

a) Morfologi koloni

Pengamatan morfologi koloni dilakukan untuk mengetahui bentuk koloni dari atas, bentuk tepi, bentuk elevasi dan warna koloni secara visual (Lampiran 1). b) Morfologi sel

Uji morfologi sel meliputi pengamatan bentuk sel, pewarnaan Gram, pewarnaan spora dan uji pergerakan bakteri atau motilitas.

Prosedur penyiapan olesan bakteri (preparat bakteri) yang baik merupakan syarat untuk melakukan pewarnaan, baik pewarnaan Gram maupun spora. Langkah pertama yaitu satu sampai dua mata ose air steril atau air suling diletakkan pada gelas obyek, lalu diambil satu sampai dua mata ose biakan bakteri kemudian dihomogenkan. Kemudian olesan dibiarkan kering oleh udara dan difiksasi dengan panas agar bakteri tersebut mati.


(35)

(1) Bentuk sel

Berdasarkan hasil preparat bakteri yang telah dibuat diamati bentuk selnya secara mikroskopik sehingga dapat diketahui bentuknya (kokus, batang atau spiral).

(2) Pewarnaan Gram (Fardiaz 1989)

Pewarnaan Gram pada bakteri dilakukan dengan cara mengamati sel-sel bakteri yang telah mati dan diwarnai. Dengan cara tersebut, bentuk sel akan menjadi lebih jelas karena warna sel dibuat kontras dengan medium disekelilingnya sehingga lebih mudah dilihat dibawah mikroskop. Bakteri yang mempunyai sel dengan ukuran relatif kecil akan mudah dilihat. Pada pewarnaan Gram diperlukan empat jenis larutan yaitu zat warna basa (kristal violet), larutan iodium (lugol), alkohol dan safranin.

Preparat bakteri ditetesi dengan pewarna kristal violet dan dibiarkan selama satu menit, kemudian dibilas dengan air. Selanjutnya preparat ditetesi dengan larutan lugol dan dibiarkan selama satu menit, dicuci dengan air dan dihilangkan warnanya menggunakan alkohol 96 % selama 10-20 detik atau sampai warna ungu tidak luntur lagi. Setelah dicuci sebentar kemudian diwarnai dengan larutan safranin dan dibiarkan selama 10-20 detik lalu dibilas dengan air, kemudian dikeringkan dan diperiksa di bawah mikroskop menggunakan minyak imersi dan diamati bentuk sel serta reaksi Gram.

Sel-sel bakteri yang tidak dapat melepaskan warna akan tetap berwarna seperti warna violet kristal yaitu biru ungu disebut bakteri Gram positif. Sel-sel bakteri yang dapat melepaskan violet kristal dan mengikat safranin sehingga berwarna merah atau merah muda disebut bakteri Gram negatif. Tahap-tahap pewarnaan Gram dapat dilihat pada Gambar 2.


(36)

Preparat bakteri pada gelas obyek

Ditetesi pewarna kristal violet, dibiarkan (1 menit), dibilas dengan air

Ditetesi larutan lugol (1 menit), dibilas dengan air

Ditetesi alkohol 96 % (10-20 detik) atau sampai warna ungu tidak luntur lagi, dibilas dengan air

Ditetesi safranin dan dibiarkan selama 10-20 detik

Dibilas dengan air dan dikeringkan

Diperiksa di bawah mikroskop dan diamati bentuk sel dan reaksi Gram

Gambar 2. Tahap-tahap pewarnaan Gram

(3) Pewarnaan spora (Hadioetomo 1985)

Pewarnaan spora merupakan pewarnaan yang bertujuan melihat adanya suatu struktur di dalam sel bakteri yang disebut endospora. Jika sel semakin tua, maka sel vegetatif akan pecah sehingga endospora akan terlepas menjadi spora bebas. Berbeda dengan sel vegetatif, spora akan lebih tahan lama dalam keadaan lingkungan yang ekstrim.

Pada prinsipnya pewarnaan ini digunakan untuk membedakan spora dari sel vegetatif. Zat warna yang biasa digunakan adalah malachite green dan safranin.

Mula-mula pewarna hijau malachit diteteskan di atas preparat bakteri dan dibiarkan hingga kering dengan pemanasan. Setelah kering, preparat dicuci hati-hati dengan air selama 20-30 detik kemudian diberi safranin dan dibiarkan selama 30 detik, dibilas dengan air dan dikeringkan dengan kertas serap. Sel kemudian diperiksa di bawah mikroskop dengan menggunakan minyak imersi. Endospora yang masih terdapat dalam sel vegetatif maupun spora bebas akan berwarna hijau


(37)

biru, sedangkan sel vegetatif akan berwarna merah sampai merah muda. Tahap-tahap pewarnaan spora dapat dilihat pada Gambar 3.

Preparat bakteri pada gelas obyek

Ditetesi pewarna hijau malachit dan dibiarkan hingga kering dengan pemanasan

Dicuci hati-hati dengan air selama 20-30 detik

Ditetesi safranin dan dibiarkan selama 30 detik

Dibilas dengan air dan dikeringkan

Diperiksa di bawah mikroskop dengan minyak imersi

Gambar 3. Tahap-tahap pewarnaan spora

(4) Uji pergerakan bakteri atau motilitas (Fardiaz 1989)

Uji motilitas merupakan uji yang digunakan untuk melihat sifat pergerakan bakteri yang dapat dilihat dengan pergerakan selnya. Sifat pergerakan ini biasanya ditandai dengan pertumbuhan yang menyebar atau tidak.

Pengujian ini dilakukan dengan cara sebagai berikut: secara aseptis menggunakan ose yang lurus bagian ujungnya, isolat bakteri ditusukkan ke dalam Nutrient Broth yang mengandung agar 0,5 % (agar lunak). Selanjutnya diinkubasikan pada suhu 35ºC selama dua hari. Bila pertumbuhan menyebar, maka bakteri tersebut bergerak atau motil, dan bila pertumbuhan bakteri tidak menyebar, hanya berupa garis saja, maka bakteri tersebut bersifat tidak bergerak (non motil).

3.4.6. Uji sifat fisiologi

Uji sifat-sifat fisiologi meliputi uji hidrolisis pati, uji hidrolisis protein, uji hidrolisis lemak, uji reduksi nitrat, uji indol, uji fermentasi gula, uji katalase, uji oksidase, uji H2S, uji oksidatif-fermentatif Baird-Parker, uji kualitatif untuk Staphylococcus, uji koagulase, uji manitol dan pendugaan jenis bakteri.

a) Uji hidrolisis pati (Lay 1994)

Pengujian hidrolisis pati bertujuan untuk mengetahui kemampuan bakteri dalam menghasilkan enzim amilase yang dapat memecah pati menjadi molekul


(38)

yang lebih sederhana. Pengujian ini dilakukan karena banyak bakteri yang mempunyai kemampuan untuk menghidrolisis pati.

Isolat yang akan diuji digoreskan pada setengah bagian cawan yang berisi medium Starch Agar (SA), dan diinkubasikan pada suhu 30ºC selama dua hari. Pengamatan pada isolat yang diuji dilakukan dengan cara meneteskan larutan iodium pada koloni yang tumbuh. Uji aktivitas hidrolisis pati ini dikatakan positif jika tidak terbentuk warna biru sewaktu penambahan larutan iodium ke dalam media.

b) Uji hidrolisis protein (Fardiaz 1989)

Pengujian hidrolisis protein bertujuan untuk mengetahui adanya enzim proteinase ekstraseluler pada bakteri, yang dapat memecah protein menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana seperti peptida dan asam amino.

Isolat yang akan diuji digoreskan pada setengah bagian cawan yang berisi Skim Milk Agar (SMA). Inkubasi dilakukan pada suhu 30ºC selama dua hari. Uji dikatakan positif jika terbentuk areal bening disekeliling koloni.

c) Uji hidrolisis lemak (Fardiaz 1989)

Pengujian hidrolisis lemak bertujuan untuk mengetahui adanya enzim lipase pada bakteri. Enzim ini juga merupakan enzim ekstraseluler dan tergolong dalam kelompok esterase, yaitu enzim yang mampu menghidrolisis substansi yang mengandung ikatan ester. Enzim lipase akan memecah lemak menjadi asam lemak dan gliserol.

Isolat yang akan diuji digoreskan pada setengah bagian cawan yang berisi Nutrien Agar (NA) + 1% lemak + neutral red. Inkubasi dilakukan pada suhu 30ºC selama dua hari. Koloni yang dapat menghidrolisis lemak menjadi gliserol dan asam lemak akan menyebabkan terbentuknya warna merah pada bagian bawah koloni, dan hal ini menunjukkan uji aktivitas hidrolisis lemak positif.

d) Uji katalase (Fardiaz 1987)

Uji katalase digunakan untuk mengetahui adanya enzim katalase pada bakteri, dimana enzim ini berperan dalam memecah hidrogen peroksida menjadi air dan oksigen. Uji ini penting dilakukan untuk mengetahui sifat bakteri terhadap kebutuhan akan oksigen.


(39)

Secara aseptis diambil satu ose kultur bakteri dari agar miring dan dipindahkan pada gelas obyek. Kemudian diteteskan 1-3 tetes larutan H2O2 3 %. Adanya enzim katalase ditandai dengan terbentuknya gelembung-gelembung kecil oksigen yang terlihat seperti busa sabun.

e) Uji reduksi nitrat (Hadioetomo 1985)

Beberapa mikroorganisme mampu menggunakan molekul bukan oksigen sebagi akseptor elektron terakhir. Nitrat yang direduksi menjadi nitrit oleh mikroorganisme tertentu digunakan sebagai akseptor elektron terakhir.

Dalam uji reduksi nitrat, isolat yang akan diuji diinokulasikan ke dalam Nitrat Broth. Setelah diinkubasi pada suhu 37ºC selama dua hari, masing-masing isolat yang akan diuji diberi tiga tetes larutan asam sulfanilat dan tiga tetes larutan dimetil-alfa-naftilamin. Bila dalam isolat yang diuji terdapat nitrit, maka akan segera terbentuk warna merah, berarti uji nitrit positif. Bila tidak jelas perubahan warnanya, dapat ditambahkan sedikit serbuk seng kedalam tabung yang berisi isolat yang diuji, dan bila terbentuk warna merah, berarti uji reduksi nitrat negatif, sedangkan bila tidak terjadi perubahan warna berarti uji reduksi nitrat positif. f) Uji indol (Hadioetomo 1985)

Uji indol digunakan untuk mengetahui adanya enzim triptofanase pada bakteri, dimana enzim triptofanase ini dapat menghidrolisis asam amino triptofan menjadi indol dan asam piruvat.

Dalam uji indol medium yang digunakan adalah medium Tryptone Broth semi padat. Isolat yang akan diuji diinokulasi ke dalam tabung reaksi yang berisi Tryptone Broth semi padat dan diinkubasi pada suhu 35ºC selama dua hari. Setelah inkubasi, masing-masing tabung ditambahkan 0,5 ml pereaksi Kovac’s. Uji ini dikatakan positif jika terbentuk warna merah yang menunjukkan adanya indol dalam medium.

g) Uji fermentasi gula dan H2S (Fardiaz 1989)

Uji fermentasi gula dilakukan untuk mengetahui kemampuan bakteri untuk memfermentasi gula-gula tertentu dengan menghasilkan asam dan atau gas. Sedangkan uji H2S dilakukan untuk mengetahui kemampuan bakteri untuk memecah sistin dan menghasilkan H2S.


(40)

Dalam uji fermentasi gula digunakan medium Triple Sugar Iron Agar (TSIA). Isolat yang akan diuji diinokulasi pada agar miring TSIA dengan cara membuat goresan pada agar miring dan menusukkannya pada bagian bawah agar. Kemudian diinkubasi pada suhu 37ºC selama dua hari. Reaksi-reaksi yang terjadi dapat diamati pada Tabel 3 dan 4.

Tabel 3. Reaksi-reaksi yang terjadi pada uji fermentasi gula Bagian bawah agar Bagian atas agar

reaksi warna reaksi warna

Keterangan Basa Asam Asam Merah Kuning Kuning - Basa Asam Orange Merah kuning

Tidak memfermentasikan gula Fermentasi glukosa

Fermentasi laktosa dan atau sukrosa

Sumber: Fardiaz (1989)

Tabel 4. Reaksi-reaksi yang terjadi pada uji H2S

Bagian bawah agar Bagian atas agar Keterangan Agar pecah/terangkat keatas

Agar berwarna hitam

- -

Produksi gas Produksi H2S Sumber: Fardiaz (1989)

h) Uji oksidase (Hadioetomo 1985)

Uji oksidase merupakan salah satu uji yang cukup penting dalam karakterisasi bakteri. Uji oksidase berfungsi untuk menentukan oksidase sitokrom yang biasanya terdapat pada mikroorganisme patogen.

Pada uji oksidase kultur bakteri ditumbuhkan pada medium Trypticase Soy Agar (TSA) dan diinkubasi pada suhu 35ºC selama dua hari. Koloni yang tumbuh digenangi dengan pereaksi p-aminodimetil-anilin oksalat 1 %. Uji positif ditandai dengan berubahnya koloni menjadi merah muda lalu merah tua, merah gelap dan akhirnya hitam.

i) Uji oksidasi-fermentatif Baird-Parker (Baird-Parker 1969 diacu dalam Minor dan Marth 1976)

Uji ini dilakukan untuk mengetahui metabolisme dari isolat bakteri yang diuji dilakukan dengan cara oksidatif atau fermentatif terhadap karbohidrat yang ditambahkan.


(41)

Dalam uji oksidatif-fermentatif digunakan tryptone, yeast extract, glukosa, bromocresol blue dan agar. Bakteri yang akan diuji, secara aseptis dengan menggunakan ose diinokulasikan kedalam medium tegak yang sudah disiapkan terlebih dahulu. Setiap bakteri yang akan diuji ditusukkan ke dalam dua tabung, tabung pertama ditutupi dengan parafin 3-5 ml, sedangkan tabung kedua tanpa parafin. Inkubasi dilakukan pada suhu 30ºC selama 48 jam. Bila terjadi perubahan warna (terbentuk warna kuning) pada kedua tabung, maka bakteri bersifat fermentatif. Bila hanya tabung tanpa parafin yang berubah warna (terbentuk warna kuning) maka bakteri bersifat oksidatif sedangkan bila tidak terjadi perubahan warna pada kedua tabung tersebut berarti uji oksidatif-fermentatif bersifat negatif.

j) Uji kualitatif untuk Staphylococcus (Fardiaz 1989)

Uji ini digunakan untuk mengetahui dan memastikan bahwa isolat bakteri yang diperoleh tergolong dalam jenis bakteri Staphylococcus sp.

Dalam uji kualitatif untuk Staphylococcus digunakan medium Baird-Parker Agar (BPA) yang dicampur dengan Egg Yolk steril. Isolat yang

akan diujikan digoreskan pada cawan yang telah berisi medium tersebut. Inkubasi dilakukan pada suhu 37ºC selama dua hari. Uji dikatakan positif jika terbentuk koloni bakteri berwarna hitam pada medium yang terkena goresan.

k) Uji koagulase (Fardiaz 1989)

Uji ini merupakan uji lanjutan dari uji kualitatif untuk Staphylococcus. Pada uji ini akan diketahu isolat yang diuji tergolong bakteri patogen atau tidak.

Dalam uji koagulase digunakan medium cair Brain Heart Infusion (BHI). Bakteri yang akan diuji diinokulasikan dengan cara menusukkan jarum ose pada medium cair steril BHI sebanyak 5 ml kemudian dihomogenkan dengan menggunakan vortex. Inkubasi dilakukan pada suhu 37ºC selama dua hari, setelah dua hari diambil 0,2 ml kultur dan ditambahkan 0,3 ml plasma kelinci, selanjutnya diinkubasi lagi pada suhu 37ºC selama satu sampai dua jam. Uji koagulase positif ditandai dengan terbentuknya koagulasi seperti fibrin (gumpalan) yang berwarna putih bening.


(42)

l) Uji manitol (Lay 1994)

Uji ini merupakan penguat dari uji koagulase yang digunakan untuk membedakan Staphylococcus yang bersifat patogen atau tidak patogen.

Dalam uji manitol digunakan medium cair Manitol Broth + fenol red di dalam tabung durham. Bakteri yang akan diuji diinokulasikan dengan cara mengambil satu ose isolat yang kemudian dimasukkan ke dalam medium cair Manitol Broth. Inkubasi dilakukan pada suhu 30ºC selama dua hari. Uji dikatakan positif jika terjadi perubahan warna dari merah menjadi kuning. Bila bakteri tersebut Staphylococcus aureus (patogen) maka akan membentuk zona kuning sedangkan Staphylococcus yang bersifat tidak patogen akan membentuk zona merah.

m) Pendugaan jenis bakteri (Cowan 1981)

Setelah dilakukan uji morfologi dan fisiologi, kelima isolat bakteri tersebut diduga jenisnya dengan menggunakan tabel identifikasi dari Cowan (1981). Tabel identifikasi Cowan (1981) dapat dilihat pada Tabel 5 dan 6. (TABEL ADA DI MICROSOFT EXCEL)


(43)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Analisis Bahan

Tahap awal yang dilakukan dalam penelitian ini adalah analisis bahan. Analisis ini bertujuan untuk mengetahui kondisi fisik dan karakteristik sampel sebagai informasi awal sebelum dilakukan isolasi dan karakterisasi bakteri yang terdapat di dalamnya. Sampel yang diukur adalah peda merah dari ikan kembung perempuan (Rastrelliger neglectus) yang diperoleh dari pasar Lawang Seketeng Bogor. Ikan peda tersebut merupakan hasil produksi dari pengolah ikan peda di daerah Indramayu dan produk tersebut telah mengalami proses fermentasi dan penyimpanan ± 2 bulan. Sampel peda merah ikan kembung perempuan (Rastrelliger neglectus) dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Sampel peda merah ikan kembung perempuan(Rastrelliger neglectus) Pada tahap analisis bahan dilakukan pengukuran kadar garam, derajat keasaman (pH) dan perhitungan nilai Total Plate Count (TPC) dari sampel. Hasil pengukuran yang diperoleh dari tahap ini dapat dilihat pada Tabel 7 dan hasil perhitungannya dapat dilihat pada Lampiran 2, 3 dan 4.

Tabel 7. Kadar garam, pH dan nilai Total Plate Count (TPC) ikan peda merah

No Jenis pengukuran Hasil

1. kadar garam 11,4 %

2. pH (derajat keasaman) 7,08


(44)

Hasil pengukuran menunjukkan kadar garam sampel peda merah adalah sebesar 11,4 %. Pengukuran kadar garam pada sampel ini berguna untuk menentukan konsentrasi garam yang harus ditambahkan pada medium pertumbuhan bakteri yang akan diisolasi. Selain nutrien yang cocok, pertumbuhan bakteri sangat ditentukan oleh kondisi fisik dan lingkungan seperti kadar air, oksigen, suhu, pH dan adanya zat-zat penghambat dalam medium tempat pertumbuhan bakteri, misalnya garam natrium (Pelczar dan Chan 1978).

Pada umumnya jumlah garam yang ditambahkan dalam proses pembuatan peda adalah perbandingan 3 : 1 antara berat ikan dengan garam

atau berkisar antara 25-30 % dari berat ikan segar (Amano 1962 diacu dalam Suwandi 1988). Akan tetapi pada tahap akhir proses

fermentasi, kadar garam tersebut akan berkurang. Hal ini disebabkan karena garam tersebut tidak terserap secara merata sehingga kadar garam di setiap jaringan daging ikan tidak sama.

Kadar garam merupakan salah satu kriteria yang digunakan untuk menentukan mutu peda. Ikan peda merah yang bermutu baik mempunyai kadar garam 15-17 % (Van Veen 1965 diacu dalam Suwandi 1988). Jadi jika sampel yang dianalisis mempunyai kadar garam 11,4 % maka sampel tersebut dapat dikatakan memiliki mutu yang cukup baik karena peda yang dihasilkan tidak terlalu asin. Kadar garam pada peda maksimum 18 % karena bila lebih dari itu akan memberikan cita rasa yang terlalu asin sehingga menurunkan mutunya (Rahayu et al. 1992)

Berdasarkan hasil pengukuran kadar garam pada sampel, dapat diperkirakan bahwa bakteri yang akan terisolasi dari sampel kemungkinan mempunyai sifat halotoleran atau halofilik karena bakteri dengan sifat halotoleran mampu tumbuh pada kisaran garam yang luas, dan dapat tumbuh pada konsentrasi garam 10-15 %. Sedangkan bakteri dengan sifat halofilik sedang dapat tumbuh pada konsentrasi garam 5-20 % (Fardiaz 1992).

Nilai derajat keasaman (pH) merupakan salah satu parameter yang mempengaruhi jenis mikroba yang dapat tumbuh. Hasil pengukuran sampel ini digunakan untuk mengkondisikan pH media pertumbuhan bakteri sama dengan pH sampel. Hasil yang diperoleh dari pengukuran diketahui bahwa pH sampel


(45)

sebesar 7,08 (Lampiran 3) yang berarti pada kisaran pH netral yaitu 7. Derajat keasaman (pH) juga merupakan salah satu kriteria yang dapat digunakan untuk

menentukan mutu peda. Ikan peda yang bermutu baik akan mempunyai pH 6,0-6,4 (Van Veen 1965 diacu dalam Suwandi 1988). Jika sampel yang dianalisis mempunyai pH pada kisaran 6,0-6,4 maka dapat dikatakan bahwa sampel tersebut bermutu baik. Derajat keasaman (pH) yang tinggi menunjukkan adanya amonia dalam jumlah besar dan hal ini tidak dikehendaki pada ikan peda. Karena pH sampel berada pada kisaran pH netral maka hal tersebut tidak terlalu mempengaruhi mutu sampel.

Hasil perhitungan nilai Total Plate Count (TPC) yang juga menunjukkan mutu sampel ikan peda merah adalah sebesar 1,04 x 104 koloni/ml (Lampiran 4). Hal ini berarti mutu sampel peda merah termasuk baik karena nilai TPC-nya tidak melebihi standar TPC produk perikanan pada umumnya yaitu rata-rata sebesar 105 (SPI-KAN/02/04/1983). Terlebih lagi peda ini harus diolah terlebih dahulu dengan proses pemasakan yang menggunakan panas sehingga diperkirakan nilai TPC-nya akan turun.

Uji TPC yang dilakukan biasanya untuk mengetahui mutu suatu produk. Akan tetapi pada penelitian ini, koloni bakteri yang tumbuh dari hasil TPC juga dapat digunakan untuk isolasi dan identifikasi bakteri yang ada pada produk tersebut.

4.2. Isolasi Bakteri dari Ikan Peda Merah

Sebelum dilakukan tahap karakterisasi bakteri, terlebih dahulu campuran bakteri yang diperoleh dipisahkan antara satu dengan yang lainnya, sehingga diperoleh suatu isolat bakteri. Isolat bakteri inilah yang selanjutnya dikarakterisasi sifat morfologi dan fisiologinya.

Sebelum ditumbuhkan di dalam media Nutrient Agar (NA), sebanyak 10 g daging ikan peda merah yang telah mengalami proses penghalusan diencerkan terlebih dahulu menggunakan larutan garam fisiologis sampai diperoleh

pengenceran 10-5. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi jumlah

mikroorganisme yang tumbuh dalam cawan petri. Isolasi mikroorganisme yang dilakukan pada agar cawan dengan menggunakan metode goresan kuadran, karena kebanyakan bakteri, kapang, khamir dapat membentuk koloni pada medium padat


(46)

sehingga mudah diisolasi dengan cara menyebarkan sel-sel tersebut pada agar cawan sedemikian rupa sehingga koloni-koloni akan mampu tumbuh secara terpisah (Fardiaz 1988).

Hasil dari masing-masing tingkat pengenceran, kemudian dilakukan kultur bakteri tersebut pada media NA yang telah ditambahkan NaCl sebanyak 11,4 %. Penambahan NaCl pada medium NA ini bertujuan menyediakan kondisi media pertumbuhan yang sama dengan kondisi sampel bagi bakteri yang diisolasi. Setelah koloni tumbuh, koloni bakteri yang menunjukkan penampakan berbeda dari segi bentuk dari atas, bentuk tepi, elevasi koloni dan warna diambil untuk diinokulasikan ke dalam media agar miring NA yang juga dengan penambahan NaCl. Berdasarkan hasil pengamatan, didapat 5 koloni bakteri yang menunjukkan penampakan berbeda dan dominan satu sama lainnya, sehingga dari kelima koloni inilah yang dipilih untuk tahap selanjutnya. Hasil pengamatan morfologi koloni terpilih dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Morfologi koloni terpilih

Koloni Warna Bentuk Tepian Elevasi

1 kuning krem bulat licin timbul

2 kuning krem tidak beraturan licin timbul

3 kuning susu tidak beraturan licin timbul

4 putih susu bulat datar timbul

5 kuning krem bulat licin timbul

Hasil pengamatan terhadap morfologi koloni terpilih diketahui bahwa kelima koloni tersebut memiliki warna, bentuk, tepian elevasi yang hampir serupa. Pigmen bakteri dapat diklasifikasikan atas karotenoid, antosianin, melanin, tripirilmethenes dan phenazin. Karotenoid merupakan pigmen yang berwarna merah, jingga dan kuning, sedangkan antosianin berwarna merah dan biru. Melanin memberikan warna coklat, hitam, jingga dan merah. Tripirilmethenes adalah pigmen merah yang dihasilkan oleh Serratia marcescens dan phenazin memberikan warna jingga-kuning, jingga tua dan merah jingga. Beberapa pigmen yang terdapat pada bakteri biasanya terbentuk dalam keadaan tersedia oksigen. Oleh karena itu beberapa ahli menduga bahwa pigmen ini berfungsi sebagai sistem pengangkut dalam proses respirasi (Salle 1961). Warna koloni bakteri


(47)

terpilih yang diperoleh adalah kuning krem, kuning susu dan putih susu. Hal ini menunjukkan bahwa kelima bakteri tersebut mengandung pigmen karotenoid.

Pada tahap selanjutnya, kultur bakteri yang tumbuh pada agar miring diamati morfologi selnya dan pengamatan tersebut dilakukan sebagai acuan awal dalam tahap isolasi bakteri. Morfologi sel bakteri yang diamati meliputi bentuk sel, pewarnaan Gram dan spora, sedangkan untuk pengujian motilitas bakteri dilakukan pada isolat bakteri. Data hasil pengamatan terhadap morfologi sel bakteri dari koloni terpilih dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Morfologi sel bakteri dari koloni terpilih

Koloni Bentuk sel Pewarnaan Gram Pewarnaan spora

1 kokus Gram positif tidak berspora

2 kokus Gram positif tidak berspora

3 kokus

batang Gram positif tidak berspora

4 kokus Gram positif tidak berspora

5 kokus

batang Gram positif

tidak berspora berspora

Hasil dari kultur bakteri tersebut, dapat dilihat bahwa bentuk sel dari masing-masing koloni bakteri masih ada yang belum seragam dan hal tersebut menunjukkan bahwa koloni bakteri tersebut masih belum murni.

Untuk memurnikan koloni bakteri tersebut dapat dilakukan isolasi dengan metode goresan kuadran menggunakan media NA. Pada bagian agar tempat dimulainya goresan, populasi mikroorganisme biasanya terlalu padat sehingga koloni akan berkumpul menjadi satu. Dengan semakin banyaknya goresan atau penyebaran yang dilakukan akan semakin sedikit sel-sel mikroba yang terbawa oleh ose sehingga setelah inkubasi akan terbentuk koloni-koloni terpisah. Satu koloni mungkin berasal dari satu atau beberapa sel tergantung dari tingkat penyebaran atau kemurnian kultur. Goresan dan pembiakan diulangi beberapa kali terhadap suatu koloni yang tumbuh terpisah pada agar cawan hingga diperoleh koloni-koloni yang berasal dari satu sel. Sebelum melakukan penggoresan, ose harus selalu dipijarkan dan didinginkan segera sebelum melakukan goresan berikutnya yaitu untuk mengurangi jumlah inokulum yang tertinggal pada ose.


(1)

Putro S. 1978. Pengawetan ikan dengan Fermentasi. Jakarta: Lembaga Penelitain Perikanan Laut, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.

Rachman A. 1989. Pengantar Teknologi Fermentasi. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor.

Rahayu WP, Ma’oen S, Suliantari, Fardiaz S. 1992. Bahan Pengajaran Teknologi Fermentasi Produk Perikanan. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor.

Reed G. 1982. Prescot and Dunn’s Industrial Microbiology Advances and Prospects. London: Academic Press

Rehm HJ, Reed G. 1981. Biotechnology: Microbials Fundamentals. Volume 1. Weinheim, Jerman: Verlag Chamie.

Salle AJ. 1961. Fundamental Principles of Bacteriology. New York: McGraw Hill Book Co Inc.

Shewan HM, Hobbs G, Hodgkins W. 1970. A determinative scheme for the identification of certain general of bacteria with special reference to the Pseudomonadaceae. J. App. Bacterial 23: 379-390.

Sjafi’i A. 1988. Mutu mikrobiologi beberapa ragam peda [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Standar Nasional Indonesia. SPI-KAN/02/04/1983. Produk Pindang Ikan. Dewan Standardisasi Nasional-DSN.

Suwandi I. 1988. Mempelajari sifat fisiologi bakteri halotoleran yang di isolasi dari ikan peda [skripsi]. Bogor: Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor.

Suzuki T. 1981. Fish and Krill Protein. London: Applied Science Publisher Ltd. Winarno FG, Fardiaz S. 1981. Biofermentasi dan Biosintesa Protein. Bandung:

Angkasa.


(2)

(3)

(4)

Lampiran 2. Hasil perhitungan pengukuran kadar garam Ulangan Berat sampel

(gram)

ml fitrasi AgNO3 0,02 N

% garam

1. 2,0431 2,00 11,4336

2. 2,1090 2,10 11,3084

Rumus: % NaCl = 3 3 58,4 X100%

contoh mg X fp X AgNO N X AgNO Volume

= 100%

20431 4 , 58 10 2 , 0 00 , 2 X mg X X N X ml

= 11,4336 %

2

2 %

1

% NaCl NaCl

garam kadar

rata

Rata− = +

2 3084 , 11 4336 , 11 + = = 11,4 %

Lampiran 3. Hasil pengukuran derajat keasaman (pH)

Ulangan Berat sampel (gram) pH

1. 1,023 7,10

2. 1,012 7,06

Lampiran 4. Hasil perhitungan nilai Total Plate Count (TPC)

Jumlah koloni per pengenceran

10-1 10-2 10-3 10-4 10-5

Jumlah total bakteri (koloni/ gram) Keterangan TBUD TBUD 105 103 28 20 0 0 1

0 1,04x10 4

Dihit pengenceran 10-2

• Pengencean 10-1,

10-3, 10-4, 10-5 <30 atau >300

TPC = Jumlah koloni per cawan x

n pengencera faktor

1

= 104 x 4 10

1


(5)

Lampiran 5. Cara pembuatan larutan pengencer

Larutan pengencer yang digunakan adalah garam fisiologis (garfis). Larutan pengencer dibuat dari NaCl 0,85 % sebanyak 8,5 gram yang dilarutkan dalam 1 liter akuades. Kemudian disterilisasikan dengan menggunakan autoklaf pada suhu 121ºC selama 15 menit (Fardiaz 1989).

Lampiran 6. Komposisi media yang digunakan

No Nama media Komposisi Jumlah

1. Nutrient Agar Ekstrak sapi Pepton Agar Akuades pH 3 g 5 g 15 g 1000 ml 6,0 2. Nutrient Agar

(hidrolisis lemak)

Ekstrak sapi Pepton

Mentega (1 %) Agar Neutral red Akuades 3 g 5 g 10 g 15 g 0.02 g 1000 ml 3. Starch Agar Tripton

Ekstrak khamir K2HPO4

Pati terlarut Agar Akuades 10 g 10 g 5 g 3 g 15 g 1000 ml 4. Skim Milk Agar Tripton

Ekstrak khamir Dekstrosa Agar

Susu skim bubuk (20 %) Akuades pH 5 g 1,5 g 1 g 15 g 200 g 1000 ml 7 5. Sulfit Agar Tripton

Natrium sulfit Ferri-sitrat Agar Akuades 10 g 1 g 0,59 g 20 g 1000 ml


(6)

No Nama media Komposisi Jumlah 6. Triple Sugar Iron Agar Ekstrak khamir

Ekstrak sapi Pepton Protease pepton Laktosa Sukrosa Dekstrosa Ferrous sulfat NaCl Natrium thiosulfat Agar Fenol red Akuades pH 3 g 3 g 15 g 5 g 10 g 10 g 1 g 0,2 g 5 g 0,3 g 12 g 0,024 g 1000 ml 7,4 7. Baird Parker Agar Tripton

Ekstrak sapi Ekstrak khamir Glisin

Sodium piruvat Litium klorida

Potasium tellurite (3,5 %) Egg yolk Agar Akuades 1 g 0,5 g 0,1 g 1,2 g 1 g 0,5 g 0,3 g 5 g 2 g 100 ml 8. Tryptone Broth Tripton

Akuades

10 g 1000 ml 9. Brain Heart Infusion

(BHI)

Infusi otak sapi Infusi hati sapi Protease pepton Dekstrose NaCl Dinatrium fosfat Akuades pH 200 g 250 g 10 g 2 g 5 g 2,5 g 1000 ml 7,4