b. Implementasi kebijakan bottom up Model dengan implementasi bottom up muncul secara kritik terhadap
model pendekatan rasional atau top down. Ahli kebijakan yang lebih memfokuskan terhadap model implementasi ini adalah Adam Smith.
Menurut Smith dalam Dwiyanto 2009, implementasi kebijakan dipandang sebagai suatu proses atau alur. Smith memandang proses
implementasi kebijakan dari prose kebijakan dari perspektif perubahan sosial dan politik. Dimana kebijakan yang dibuat oleh pemerintah
bertujuan untuk mengadakan perbaikan atau perubahan dalam masyarakat sebagai kelompok sarana. Menurut Smith, Implementasi kebijakan
dipengaruhi oleh empat faktor: 1 Idelized policy yaitu pada interaksi yang digagas oleh perumus
kebijakan dengan tujuan untuk memandang, mempengaruhi dan merangsang target group untuk melaksanakannya.
2 Target groups yaitu bagian dari policy stakeholders yang diharapkan dapat mengadopsi pola-pola interaksi sebagaimana
yang diharapkan oleh perumus kebijakan. 3 Impelenting organization yaitu badan-badan pelaksana yang
bertanggungjawab dalam implementasi kebijakan.
4 Environmental factors yaitu unsur-unsur didalam lingkungan yang mempengaruhi implementasi kebijakan seperti aspek
budaya, sosial, ekonomi dan politik.
26
2. Kebijakan Pemerintah
Sebuah kebijakan dapat diklasifikasikan kedalam bebera tipologi kebijakan yaitu kebijakan distributive, Kebijakan Regulasi, dan Kebijakan
Konstituen.
27
Kebijakn-kebijakan tersebut dapat digunakan oleh berbagai lembaga baik organisasi swasta maupun pemerintah, akan tetapi pada umumnya
penggunaan istilah kebijakan merujuk kepada kebijakan yang diputuskan oleh pemerintah bagi warganya atau sering disebut sebagai kebijakan publik.
Karenanya kebijakan publik, biasanya, sama dengan kebijakan pemerintah. Di Indonesia, Kebijakan Pemerintah dapat berbentuk tata peraturan
perundan-undangan yang dimaksudkan untuk memandu jalanya pelaksanaan kenegraran, pemerintahan, perlindungan masyarakat, dan pembangunan.
Sebagaimana perundang-undangan yang berlaku, jenis kebijakan pemerintah berbentuk peraturan perundang-ndangan secara hirarkis adalah meliputi Undang-
Undang Dasar 1945, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan
26
Indiahono, Kebijakan Publik, h. 11
27
Tachjan, Implementasi Kebijakan Publik dalam Konteks Indonesia, Lemlit UMPAD; 2006, Cet.1 h. 25
Presiden, Peraturan Presiden, Intruksi Presiden, Peraturan Keputusan Mentri dan Peraturan Daerah.
3. Peraturan Daerah Sebagai Kebijakan Publik
Peraturan Daerah Perda adalah naskah dinas yang berbentuk peraturan perundang-undangan yang mengatur urusan otonomi daerah dan tugas
pembentukan untuk mewujudkan kebijaksanaan baru, melaksanakan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan menetapkan suatu organisasi dalam
lingkungan Pemerintah Daerah yang ditetapkan oleh Kepala Daerah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DPRD.
28
Keberadaan Perda penting sebab menjadi panduan dalam penentuan kebijakan daerah dan dalam rangka melaksanakan tugas, wewenang, kebijakan,
dan tanggungjawabnya. Kebijakan Daerah dalam Perda tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan kepentingan umum
serta peraturan daerah lain.
29
Peraturan daerah dibuat oleh DPRD bersama-sama Pemerintah Daerah, artinya prakarsa berasal dari DPRD maupun dari Pemerintah Daerah. Khusus
peraturan daerah tentang APBD rancangannya disiapkan oleh Pemerintah Daerah yang telah mencakup keuangan DPRD, untuk dibahas bersama DPRD. Peratuaran
Daerah dan ketentuan daerah lainnya yang bersifat mengatur diundangkan dengan
28
Winarno, Budi, Teori dan Proses Kebijakan Publik, Yogyakarta: Media Presindo, 2002, h. 32
29
Tacjhan, Implementasi Kebijakan Publik, Lemlit UNPAD. 2006: Cet. 1.h. 11
penempatannya dalam Lembaga Daerah. Peraturan Daerah tertentu yang mengatur pajak daerah, retribusi daerah, APBD, perubahan APBD, dan tataruang,
akan berlaku jika telah melalui tahapan evaluasi dari Pemerintah Pusat. Hal tersebut didasarkan pada pertimbangan untuk melindungi ketertiban umum,
menyelaraskan dan menyesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi danatau peraturan Daerah lainnya, terutama peraturan daerah
mengenai pajak daerah dan retribusi daerah.
30
30
Winarno, Teori dan Proses Kebijakan Publik, h. 34
43
BAB IV TINJAUAN YURIDIS TENTANG KEWAJIBAN BERPAKAIAN MUSLIM
DAN MUSLIMAH DALAM PERATURAN DAERAH NOMOR 4 TAHUN 2005 DI KABUPATEN PESISIR SELATAN
A. Kewajiban Berbusana Muslim dan Muslimah Menurut Hukum Islam
Dalam kehidupan didunia ini, manusia seakan selalu menemukan corak dan mode busana yang selalu berkaitan erat dengan agama, adat istiadat, dan
kebudayaan setempat. Karena di setiap tempat memiliki gaya berpakaian yang berbeda-beda.
Pakaian yang dikenakan oleh seorang hamba memiliki nilai ibadah di sisi Al
lah Ta’ala. Dia dan Rasul-Nya telah menetapkan kaidah umum dalam berpakaian, yang intinya adalah menutup aurat seorang hamba. Melalui cara
berpakaian, sesungguhnya Allah berkehendak memuliakan manusia sebagai makhluk yang mulia dan sebagai identitas keislaman seseorang.
1
Adapun Islam menganggap bahwa pakaian memiliki karakteristik yang sangat jauh dari tujuan ekonomis apalagi yang mengarah pada pelecehan
penciptaan makhluk Allah. Karena itu di dalam Islam : 1. Pakaian dikenakan oleh seorang muslim dan muslimah sebagai
ungkapan ketaatan dan ketundukan kepada Allah, karena itu
1
fikih-pakaian muslim dan muslimah, website http: abu mujahidah1 januari tahun 2014