Kewajiban Berbusana Muslim dan Muslimah Menurut Hukum Islam

memberikan pedoman untuk budaya. 3 Pemakaian busana muslimah diawali dengan proses pengetahuan tentang busana muslim yang didapat dari hasil interaksi dengan lingkungan, misalnya hubungan keluarga, masyarakat, sekolah, maupun dari media. Pada proses ini manusia memberikan makna dan nilai pada busana muslimah, ini sebagai bentuk simbol keagamaan yang bersumber pada ajaran agama dan memiliki nilai-nilai moral, namun pemberian nilai dan makna pada busana muslimah setiap individu berbeda. Standar berpakaian itu ialah takwa yaitu pemenuhan ketentuan-ketentuan agama. Berbusana muslim dan muslimah merupakan pengamalan akhlak terhadap diri sendiri, menghargai dan menghormati harkat dan martabat dirinya sendiri sebagai makhluk yang mulia. Berikut adalah kaidah umum tentang cara berpakaian yang sesuai dengan ajaran Islam yang mulia: 1. Pakaian harus menutup aurat, longgar tidak membentuk lekuk tubuh dan tebal tidak memperlihatkan apa yang ada dibaliknya. 2. Pakaian laki-laki tidak boleh menyerupai pakaian perempuan atau sebaliknya. 3. Pakaian tidak merupakan pakaian syuhroh untuk ketenaran. 4. Tidak menyerupai pakaian khas orang-orang non-Muslim. 5. Jangan memakai pakaian bergambar makhluk yang bernyawa. 3 Syahrul Amin, Menuju Persaingan Pokok Islam. Yogyakarta: Salahuddin Press, 1983, h. 29 Pakaian wanita muslimah menanamkan tradisi yang universal dan fundamental untuk mencegah kemerosotan moral dengan menutup pergaulan bebas. Hal ini sebagaimana yang dikatakan Fuad M. Facruddin yang mengatakan bahwa busana yang dikenakan seorang muslimah bukan hanya menutup badan saja, melainkan harus menghilangkan rasa birahi yang menimbulkan syahwat. 4 Agama adalah salah satu bentuk konstruk sosial yang dimana Tuhan, ritual, nilai, hierarki, keyakinan dan perilaku religiusitas hanya untuk memperoleh kekuatan kreatif atau menjadi subjek dari kekuatan lain yang lebih ketat dalam dunia sosial. 5 Dalam kajian sosiologi, busana muslimah tidak hanya sebagai sarana ibadah yang dianggap sakral tetapi memiliki fungsi-fungsi sosial di antaranya: 6 1. Fungsi identitas Dengan cara ini agama mempengaruhi pengertian individu tentang siapa ia, dan mau apa ia. Dengan demikian manusia yang memakai busana islami mempunyai ciri yang melekat padanya, dan pada akhirnya menjadi nilai identitas keislaman. 4 Fuad Mohd. Fachruddin, Aurat dan Jilbab dalam Pandangan Mata Islam, Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1991, cet ke-2, h. 33 5 Peter Connolly, Aneka Pendekatan Studi Agama, ed. Yogyakarta: LkiS, 2000, h. 267 6 Thomas F.O Dea, Sosiologi Agama: Suatu Pengantar Awal. Jakarta: CV. Rajawali, 1985, h. 26 2. Fungsi realisasi diri Perubahan yang mendasar dan lebih cepat, khususmya meninggalkan suatu cara tertentu diganti dengan cara hidup yang lain. 3. Fungi pelindung Dalam islam fungsi pakaian untuk menutupi aurat, tetapi juga sebagai fungsi pelindung dari cuaca dingin dan panas. 4. Fungsi kontrol sosial Karena kerangka acuan pada agama yang memiliki sanksi-sanksi yang sakral yang didalamnya sifatnya memaksa tetapi sebagai acuan individu dalam menjalani kehidupannya. Penerapan Perda bernuansa Syariah di Kabupaten Pesisir Selatan merupakan sebuah upaya yang lebih menitik beratkan pada pengalaman rukun Islam dengan sungguh-sungguh baik dan benar tidak lebih dari sekedar usaha untuk mengingatkan masyarakat Islam melaksanakan kewajibanya, seprti shalat lima waktu, zakat, puasa, menghindari perbuatan-perbuatan yang dilarang Agama, maupun undang-undang yang dikeluarkan Pemerintah seperti mabuk- mabukan, bermain api dengan urusan drugs narkoba serta segala sesuatu yang bertentangan dengan Agama dan Hukum. 7 Karena didalam Islam terjadi banyak penafsiran tentang masalah batasan aurat, maka Peraturan Daerah Kabupaten Pesisir Selatan Nomor 4 Tahun 7 Wawancara pribadi dengan Jon Hendra, A.Md 2005 tentang Berpakaian Muslim dan Muslimah di Kabupaten Pesisir Selatan yang mengatur batasan berpakaian sebagaimana yang terdapat dalam perda tersebut merupakan larangan terhadap tafsir yang berbeda dengan salah satu paham agama mainstream, sehingga perda tersebut merupakan pemaksaan terhadap paham atau penafsiran tunggal.

B. Implementasi Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2005 Tentang Kewajiban

Berpakaian Muslim dan Muslimah di Kabupaten Pesisir Selatan 1. Implementasi Peraturan Daerah Di Kabupaten Pesisir Selatan Penerapan Perda Syariah di Kabupaten Pesisir Selatan sebuah upaya yang lebih menitikberatkan pada pengalaman Rukun Islam dengan sungguh-sungguh baik dan benar, tidak lebih dari sebuah usaha untuk meningkatkan masyarakat Islam melaksanakan kewajibanya, seperti Sholat lima waktu, Zakat, Puasa, menghindari perbuatan-perbuatan yang dilarang agama, maupun undang-undang yang dikeluarkan Pemerintah seperti mabuk-mabukan, bermain api dengan urusan drugs narkoba serta segala sesuatu yang bertentangan dengan agama dan hukum. Terjadinya penerapan Perda Syariah di Kabupaten Pesisir Selatan karena dilihat dari mayoritas agama Islam dibandingkan Agama lainnya dan adanya peraturan dari Bupati maka terlaksana perda tersebut. Upaya formalisasi Syariah dibanyak daerah khususnya Kabupaten Pesisir Selatan melalui penerapan perda syariah sesungguhnya tidak bisa dipisahkan dari berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah sebagai bagian dari agenda demokratisasi di Indonesia paska runtuhnya orde baru. Otonomi daerh dalam sistem kenegaraan di Indonesia telah mengalami perkembangan yang secara konstitusional merupakan amanat pasal 1 dan 18 Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang No 5 Tahun 1974 dan Undang- Undang No 22 Tahun 1999 yang kemudian diamandemen menjadi Undang- Undang No 32 Tahun 2004. Berdasarkan Undang-Undang ini, otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyrakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan yang dimaksud daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu, kewenangan mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan kesatuan Republik Indonesia .8 UU No. 22 Tahun 1999 menyerahkan setidaknya 11 kewenangan pusat kepada pemerintah daerah, yaitu bidang pertahanan, pertanian pendidikan dan kebudayaan, tenaga kerja, kesehatan, lingkungan, pekerjaan umum, transportasi, perdagangan dan industri, investasi modal dan koperasi. Ada lima5 bidang yang tetap menjadi Wewenang Pemerintah Pusat, yaitu bidang politik luar negeri, pertanahan dan keamanan, peradilan dan kebijakan moneter dan fiscal, serta 8 Masykuri Abdillah, Formalisasi Syariat Islam di Indonesia, Jakarta : Renaisan, 2005, h.158 Agama. Dalam Undang-Undang tersebut menyatakan bahwa proses legislasi dalam bentuk perda tidak lagi disahkan oleh pemerintah pusat asal tidak bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dari penjelasan diatas bahwa Pemerintah Daerah memiliki wewenang yang sangat luas untuk menjalankan otonomi daerah dan menetapkan peraturan daerah serta peraturan-peraturan lainnya untuk melaksanakan otonomi daerah. Namun perlu diperhatikan juga bahwa ada statemen didalam Undang-Undang Dasar tahun 1945 pasal 18 ayat 5 yaitu: “Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat”. 9 Dengan demikian maka Undang- Undang Dasar 1945 menentukan bahwa dalam pelaksanaan otonomi daerah, pemerintah daerah tidak memiliki kewenangan absolut terhadap daerah terutama tentang masalah Agama, melainkan ada batasannya yang ditentukan oleh undang-undang. Dengan demikian, Peraturan Daerah Kabupaten Pesisir Selatan Nomor 4 tahun 2005 tentang Berpakaian Muslim dan Muslimah di Kabupaten Pesisir 9 Pasal 10. Bandingkan dengan Pasal 7 UU No. 22 tahun 1999. Pada pasal 7 UU No.22 tahun 1999 menyebutkan bahwa kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan kecuali dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain. Kewenangan bidang lain tersebut meliputi kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam, serta tegnologi tinggi yang strategis, konservasi, dan standarisasi nasional. Selatan bertentangan dengan spirit pasal 18 ayat 5 UUD 1945 jo. pasal 10 UU No. 32 tahun 2004 yang membatasi kewenangan daerah dalam urusan agama. 10 Dalam UU No 32 tahun 2004 Pasal 22 secara jelas juga disebutkan bahwa dalam menyelenggarakan otonomi daerah, daerah berkewajiban menjaga persatuan, kesatuan dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia NKRI. Pasal 27 juga menyebutkan bahwa kepala daerah berkewajiban memegang teguh dan mengamalkan Pancasila dan UUD 1945 serta siap mempertahankan dan memelihara kedaulatan NKRI. Jika rumusan ini dipegang teguh oleh seluruh Pemerintah Daerah di Indonesia, maka perda yang bernuansa keagamaan tidak akan keluar dari jalur konstitusi, sebab dalam sebuah negara yang berdasarkan Pancasila, seluruh produk hukumnya harus mengacu dan bersumber pada Pancasila dan UUD 1945. Berbicara tentang HAM yang sudah diataur didalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28I ayat 2 yaitu: “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu. ” 11 Mengandung arti bahwa salah satu hak asasi yang dilindungi oleh Undang-Undang Dasar tahun 10 Latar belakang pemberian wewenang dalam urusan agama oleh pemerintah pusat yang telah diuraikan di atas dapat dijadikan tafsiran terhadap “urusan agama” dalam UU No. 32 Tahun 2004. Memahami peraturan perundang undangan dengan melihat pada sejarah hukum maupun sejarah pembentukannya disebut penafsiran interpretasi historis. Lihat Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum; Upaya Mewujudkan Hukum Yang Pasti dan Berkeadilan, Yogyakarta: UII Press, 2006, h. 84-85. 11 Undang-Undang Dasar tahun 1945 pasal 28I ayat 2 tentang HAM.