2. Metode Pendekatan
Penelitian ini mempergunakan metode pendekatan deskriftif dengan melalui pendekatan yuridis normatif, dimulai analisis terhadap pasal-pasal yang mengatur
hal-hal yang menjadi permasalahan diatas, dengan mengingat permasalahan yang diteliti berdasarkan pada peraturan-peraturan perundang-undangan yaitu hubungan
peraturan satu dengan peraturan lain serta kaitannya dengan penerapannnya dalam praktek.
3.
Alat Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data yang relevan dengan permasalahan yang diteliti, dilaksanakan dua tahap penelitian :
a. Studi dokumen Documentary Study
Studi Dokumen ini untuk mencari konsep-konsep, teori-teori, pendapat-pendapat atau penemuan-penemuan yang berhubungan erat dengan pokok permasalahan.
Kepustakaan tersebut dapat berupa peraturan perundang-undangan, karya ilmiah para sarjana dan lain-lain.
b. Wawancara Interview Wawancara yang akan dilaksanakan dengan Pejabat pada Kantor Wilayah
Badan Pertanahan Provinsi Sumatera Utara yaitu Fachrul Husin, Nasution, SH.,M.Kn Kepala Seksi Penetapan Tanah Instansi Pemerintah..
Universitas Sumatera Utara
Pada prakteknya kedua jenis alat pengumpul data tersebut dapat dipergunakan secara bersama-sama, karena disamping studi dokumen, peneliti juga melakukan
wawancara kepada instansi lain dalam kaitannya dengan penelitian ini.
4 . Analisis Data
Setelah alat pengumpulan data dilakukan, maka data tersebut dianalisa secara kualitatif
56
yakni dengan mengadakan pengamatan data-data yang diperoleh dan menghubungkan tiap-tiap data yang diperoleh tersebut dengan ketentuan-ketentuan
maupun asas-asas hukum yang terkait dengan permasalahan yang diteliti. Karena penelitian ini normatif, dilakukan interpretasi dan konstruksi hukum dengan menarik
kesimpulan menggunakan cara deduktif menjawab dari permasalahan dan tujuan penelitian yang ditetapkan.
5. Sumber data
Pengumpulan data diperoleh dari penelitian kepustakaan yang didukung penelitian lapangan. Penelitian kepustakaan library research yaitu menghimpun
data dengan melakukan penelaahan bahan kepustakaan atau data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum
tertier.
57
56
Bambang Sunggono, Metodelogi Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997, hlm. 10.
57
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: Rajawali Press, 1995, hlm.39.
Universitas Sumatera Utara
1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yakni: a.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan MPR No.IXMPR2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan
Sumber Daya Alam; c.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria; d.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; e.
Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 2001 tentang Pelaksanaan Otonomi Daerah di Bidang Pertanahan;
f. Keputusan Presiden Nomor 62 Tahun 2001 tentang Pelaksanaan Wewenang di
Bidang Pertanahan; g.
Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003
tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan
; dan h.
Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional i.
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah
Daerah KabupatenKota; j.
Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah.
2.
Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti : hasil-hasil penelitian dan karya ilmiah
dari kalangan hukum, yang berkaitan dengan kewenangan bidang pertanahan dalam konteks otonomi daerah.
3. Bahan tertier adalah bahan pendukung di luar bidang hukum seperti kamus ensiklopedia atau majalah yang terkait dengan kewenangan bidang pertanahan
dalam konteks otonomi daerah.
Universitas Sumatera Utara
BAB II URUSAN PERTANAHAN
MENURUT UNDANG-UNDANG POKOK AGRARIA DAN UNDANG-UNDANG PEMERINTAHAN DAERAH
A. Hukum Tanah Nasional Indonesia
Hukum tanah di Indonesia pada jaman penjajahan bersifat dualisme, yakni di satu sisi diatur dengan produk hukum kolonial, sedang di sisi lain diatur dengan
hukum adat, yakni untuk tanah-tanah yang dikuasai oleh masyarakat dan orang-orang Indonesia asli pribumi. Dualisme pengaturan hukum tanah tersebut menimbulkan
berbagai permasalahan, karena terhadap satu kesatuan tanah di wilayah Indonesia berlaku hukum yang berbeda. Dualisme tersebut sesuai dengan politik “devide et
impera” yang diterapkan oleh Pemerintah Kolonial yang dengan sengaja memecah belah bangsa Indonesia beserta seluruh asset bangsa, termasuk hak-hak atas tanah
yang dipunyai oleh bangsa Indonesia. Sudah barang tentu dualisme pengaturan hukum tanah tersebut menimbulkan adanya ketidakpastian dalam hukum tanah
nasional, sehingga memicu terjadinya konflik antar golongan penduduk di Indonesia. Dualisme tersebut kemudian diakhiri dengan dibentuknya Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Hukum Agraria atau disebut juga dengan Undang-Undang Pokok Agraria selanjutnya disingkat UUPA. UUPA
merupakan salah satu produk hukum nasional sebagai sarana unifikasi pengaturan hukum tanah di Indonesia. Sumber utama hukum tanah nasional dalam UUPA adalah
Universitas Sumatera Utara
hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa dan sosialisme Indonesia, serta dengan
peraturan-peraturan yang tercermin dalamUndang-Undang Pokok Agraria Nomor. 5 Tahun 1960 selanjutnya disebut UUPA dan peraturan perundang-undangan
lainnya, dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama. Hukum tanah nasional adalah hukum tanah Indonesia yang bersifat tunggal
yang tersusun dalam suatu sistem berdasarkan alam pemikiran hukum adat mengenai hubungan hukum antara masyarakat hukum tertentu dengan tanah ulayatnya. Menurut
C Van Vollenhoven di Indonesia terdapat 19 lingkaran hukum adat rechtskring di mana pada masing-masing masyarakat hukum adat tersebut telah mempunyai
hubungan yang baik antara anggota masyarakat dengan tanah. Masyarakat hukum adat tersebut merupakan satu kesatuan yang mempunyai alat-alat kelengkapan untuk
sanggup hidup dan berdiri sendiri, yaitu mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa dan kesatuan lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah dan air
bagi semua anggotanya.
58
Dalam perspektif hukum adat, maka antara kelompok masyarakat hukum adat mempunyai hubungan yang erat dengan tanah. Tanah-tanah tersebut tidak hanya
diperuntukkan bagi generasi saat itu, tetapi juga diperuntukkan bagi generasi berikutnya dari kelompok masyarakat hukum adat tersebut. Konsep seperti itu
58
Van Vollenhoven, 1925, Het Adatrecht van Nederlandsch Indie, Jilid I Bagian Pertama. Lihat juga Arie Sukanti Hutagalung dan Markus Gunawan, Kewenangan Pemerintah di Bidang
Pertanahan, Jakarta: Rajawali Press, 2008, hal. 16. Lihat juga Hazairin, Demokrasi Pancasila, Jakarta: Tinta Mas, 1973, hal. 44.
Universitas Sumatera Utara
menurut Budi Harsono disebut sebagai konsep komunalistik religius, sehingga memungkinkan penguasaan bagian-bagian tanah bersama sebagai karunia Tuhan
Yang Maha Esa oleh para warga Negara secara individual, dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi sekaligus mengandung unsure kebersamaan.
59
Hukum tanah Barat Eropa yang didasarkan pada semangat individualisme dan liberalisme jelas tidak sesuai dengan way of life bangsa Indonesia yang bersifat
komunal dan religius. Konsep individualisme dan liberalisme tersebut tidak membawa kemakmuran bagi rakyat, karena kemakmuran hanya dimiliki oleh
segelintir orang atau kelompok yang memiliki tanah dan alat-alat produksi. Dalam konsep hukum tanah Barat yang dapat dilihat dalam Burgerlijk Wetboek BW hak
perseorangan, termasuk hak atas tanah, disebut sebagai hak eigendom yang merupakan hak penguasaan atas tanah yang tertinggi. Sebagai hak yang paling
sempurna maka pemegang hak eigendom dapat berbuat apa saja terhadap tanah-tanah yang dimiliki, termasuk menjual, menggadaikan, menghibahkan, bahkan merusaknya
sekalipun asal tidak bertentangan dengan undang-undang atau hak orang lain. Dibanding
dengan konsep hukum tanah barat atau feodal maka hukum tanah nasional yang didasarkan pada hukum adat adalah sesuai dengan falsafah dan budaya bangsa
Indonesia.
60
Sedang konsep hukum tanah feodal tidak sesuai dengan hukum tanah nasional, karena menurut konsep feodal hak penguasaan tanah yang tertinggi adalah
59
Budi Harsono, Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional dalam Hubungannya Dengan TAP MPR RI No. IXMPR2001, Jakarta: Universitas Trisakti, 2002, hal. 49.
60
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa, 2001, hal. 69.
Universitas Sumatera Utara
hak milik raja. Semua tanah yang ada di seluruh wilayah kerajaan adalah milik sepenuhnya dari raja yang bersangkutan. Di negara-negara yang tidak menganut
sistem kerajaan, kemudian dilakukan analog bahwa tanah-tanah adalah milik negara, sehingga penguasaan tertinggi atas tanah ada pada negara sebagai pengganti
kedudukan raja. Dalam hukum tanah barat yang pernah berlaku di Indonesia ada konsep Domein Verklaring berdasarkan Agrarishce Wet 1848 yang didasarkan pada
keputusan Besluit Raja Belanda bahwa terhadap tanah-tanah yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya oleh rakyat Indonesia, maka menjadi hak domein
negara. Berdasarkan ketentuan tersebut maka terhadap hak-hak atas tanah yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat Indonesia yang tidak ada bukti kepemilikannya
menurut hukum tanah Barat berdasarkan prinsip Domein Verklaring, maka tanah- tanah tersebut adalah menjadi milik negara.
Ketentuan dalam Agrarische Wet dan hukum tanah peninggalan Pemerintah Penjajah Belanda kemudian dicabut dengan Undang-Undang Pokok Agraria Nomor.
5 Tahun 1960 selanjutnya disebut UUPA yang tidak membedakan hak-hak kepemilikan atas tanah baik yang dikuasai dengan hukum Barat maupun hukum adat.
Melalui pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria Nomor. 5 Tahun 1960 selanjutnya disebut UUPA ini maka hak-hak atas tanah yang sebelumnya dibagi
berdasarkan hak atas tanah menurut hukum Barat dan hak atas tanah menurut hukum tanah nasional. Terhadap tanah-tanah yang sampai berlakunya UUPA masih
menggunakan nama hak atas tanah yang lama maka kemudian dilakukan konversi menjadi hak-hak atas tanah nasional menurut UUPA sebagaimana yang diatur dalam
Universitas Sumatera Utara
Pasal 16, yaitu terdiri atas hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai, hak sewa dan hak-hak lainnya.
Kelahiran Undang-Undang Pokok Agraria Nomor. 5 Tahun 1960 selanjutnya disebut UUPA dinilai sebagai suatu keberhasilan perjuangan bangsa Indonesia dalam
melepaskan diri dari belenggu hukum kolonial yang pada dua dekade pasca kemerdekaan Indonesia Tahun 1945 masih menguasai hukum di Indonesia. Melalui
UUPA maka bangsa Indonesia berarti telah melepaskan diri dari keterikatan terhadap peraturan hukum tanah yang bersendikan pemerintah jajahan yang amat bertentangan
dengan kepentingan dan jiwa bangsa Indonesia, sehingga kontraproduktif dengan kepentingan dan tujuan pembangunan nasional. Kelahiran UUPA sesuai dengan
kondisi Indonesia sebagai negara agraris dan negara kepulauan di mana keberadaan bumi, air dan ruang angkasa sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa mempunyai
fungsi yang amat penting untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur sesuai cita-cita bangsa Indonesia. Oleh karena itu hukum tanah nasional yang berlaku
harus memberikan kemungkinan tercapainya fungsi bumi, air dan ruang angkasa sesuai dengan cita-cita dan kepentingan seluruh rakyat Indonesia.
Hukum tanah nasional harus merupakan penjelmaan dari asas dan cita-cita hukum recht idée Bangsa Indonesia sesuai nilai-nilai Pancasila, yakni bersendikan
pada nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, Perikemanusiaan, Kebangsaan, Kerakyatan dan Keadilan Sosial serta harus merupakan implementasi dari ketentuan
nasional tentang bumi, air dan ruang angkasa sebagaimana diatur dalam Pasal 33 UUD 1945. Dalam Penjelasan Undang-Undang Pokok Agraria Nomor. 5 Tahun 1960
Universitas Sumatera Utara
selanjutnya disebut UUPA selain untuk mengakhiri dualisme pengaturan hukum tanah, ada beberapa tujuan lain, yaitu :
1. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agrarian nasional, yang akan
merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi Negara dan rakyat terutama rakyat tani dalam rangka menuju masyarakat adil dan
makmur. 2.
Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan.
3. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak
atas tanah bagi rakyat seluruhnya. Untuk mencapai tujuan pertama, maka prinsip-prinsip utama yang perlu
dipertegas dalam usaha meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum tanah nasional sebagai alat untuk membawa kemakmuran rakyat Indonesia, khususnya
rakyat tani guna menuju masyarakat adil dan makmur adalah : 1.
Dasar kenasionalan sebagaimana diletakkan dalam Pasal 1 ayat 1 Undang- Undang Pokok Agraria Nomor. 5 Tahun 1960 selanjutnya disebut UUPA yang
meyatakan bahwa : “Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia, yang bersatu sebagai Bangsa Indonesia”. Demikian
pula dalam Pasal 1 ayat 2 UUPA yang menyebutkan bahwa : “Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya
merupakan Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai karunia
Universitas Sumatera Utara
Tuhan Yang Maha Esa, adalah bumi, air dan ruang angkasa Bangsa Indonesia yang merupakan kekayaan nasional”.
Hubungan bangsa Indonesia dengan bumi, air dan ruang angkasa merupakan sejenis hubungan hak ulayat yang diangkat pada tingkat yang paling atas, yaitu
mengenai seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Adapun hubungan antara bangsa dan bumi, air, serta ruang angkasa Indonesia itu adalah
hubungan yang bersifat abadi. Adanya hubungan antara bangsa dan bumi, air serta ruang angkasa tersebut tidak berarti bahwa hak milik perseorangan atas
sebagian dari bumi tidak dimungkinkan lagi. Hanya permukaan bumi saja, yaitu yang disebut tanah, yang dapat dihaki oleh seseorang. Selain hak milik sebagai
hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, terdapat juga hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa dan hak-
hak lainnya. 2.
Negara tidak bertindak sebagai pemilik tanah, melainkan bertindak selaku badan penguasa. Dari kata “dikuasai” oleh Negara bukan berarti “dimiliki” namun
merupakan pengertian yang memberi wewenang kepada Negara sebagai organisasi kekuasaan dari bangsa Indonesia pada tingkatan tertinggi untuk
mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaannya, menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas
bagian dari bumi yaitu tanah, air dan ruang angkasa itu, menentukan dan mengatur hubungan-hubangan hukum antara orang-orang dan perbuatan-
perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Semuanya itu
Universitas Sumatera Utara
dengan tujuan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dalam rangka menuju masyarakat adil dan makmur.
3. Pengakuan adanya hak ulayat sepanjang hak tersebut menurut kenyataannya
memang masih ada pada masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Kepentingan suatu masyarakat hukum adat harus tunduk pada kepentingan
nasional dan Negara yang lebih luas, dan terkait dengan pelaksanaan hak ulayat harus sesuai dengan kepentingan yang lebih luas tersebut.
4. Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Hal ini bermakna bahwa
penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaan tanah bersangkutan serta sifat haknya, sehingga bermanfaat bagi kesejahteraan dan kebahagiaan bagi
pihak yang mempunyainya, serta bermanfaat bagi masyarakat dan Negara. Kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan haruslah saling
mengimbangi, sehingga pada akhirnya akan tercapai tujuan pokok, yakni kemakmuran, keadilan dan kebahagiaan bagi rakyat secara keseluruhan.
5. Sesuai dengan asas kebangsaan maka hanya warga Negara Indonesia saja yang
dapat mempunyai hak milik atas tanah. Hak milik tidak dapat dipunyai oleh orang asing dan pemindahan hak milik kepada orang asing adalah dilarang.
Orang-orang asing dapat mempunyai tanah dengan hak pakai yang luasnya terbatas. Meskipun pada dasarnya badan-badan hukum tidak dapat mempunyai
hak milik atas ranah, namun mengingat akan keperluan masyarakat yang sangat erat hubungannya dengan paham keagamaan, sosial dan hubungan
perekonomian, maka diadakanlah suatu “escape clause” yang memungkinkan
Universitas Sumatera Utara
badan-badan hukum tertentu mempunyai hak milik. Badan-badan hukum yang bergerak dalam lapangan sosial dan keagamaan ditunjuk oleh Pasal 49 Undang-
Undang Pokok Agraria Nomor. 5 Tahun 1960 selanjutnya disebut UUPA sebagai badan-badan yang dapat mempunyai hak milik atas tanah, tetapi
sepanjang tanahnya diperlukan untuk usahanya dalam bidang sosial keagamaan tersebut.
6. Tiap-tiap warga Negara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita mempunyai
kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya.
Untuk itu perlu diadakan perlindungan bagi golongan warga Negara yang lemah terhadap sesama warga Negara yang kuat kedudukan ekonominya. Berkaitan
dengan hal tersebut maka terdapat ketentuan-ketentuan yang bermaksud mencegah terjadinya penguasaan atas kehidupan dan pekerjaan orang lain yang
melampaui batas dalam bidang-bidang usaha pertanahan yang bertentangan dengan asas keadilan sosial yang berperikemanusiaan. Segala usaha bersama
dalam lapangan pertanahan harus didasarkan atas kepentingan bersama dalam rangka kepentingan nasional.
7. Tanah-tanah pertanian harus dikerjakan atau diusahakan secara aktif oleh
pemiliknya sendiri. Agar semboyan ini dapat diwujudkan, maka perlu diadakan ketentuan-ketentuan lain yang mengatur, misalnya batas minimum luas tanah
pertanian yang dapat dimiliki oleh petani. Ketentuan ini dibuat agar para petani mendapat penghasilan yang cukup untuk hidup yang layak bagi diri sendiri dan
Universitas Sumatera Utara
keluarganya. Di samping itu perlu diatur pula tentang batas maksimum luas tanah yang dapat dimiliki dengan hak milik, agar dapat dicegah terjadinya akumulasi
atau penumpukan tanah pada satu tangan atau keluarga atau golongan tertentu saja. Dalam hubungan ini maka Pasal 7 Undang-Undang Pokok Agraria Nomor.
5 Tahun 1960 selanjutnya disebut UUPA memuat suatu asas yang penting, yaitu bahwa pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak
diperkenankan atau dilarang karena dapat merugikan kepentingan umum. 8.
Untuk mencapai apa yang menjadi cita-cita bangsa dan Negara Indonesia di bidang pertanahan, maka perlu adanya suatu rencana mengenai peruntukan,
penggunaan dan persediaan bumi, air dan ruang angkasa untuk pelbagai kepentingan hidup rakyat dan Negara. Rencana umum general plan tersbut
meliputiseluruh wilayah Indonesia, yang kemudian diperinci menjadi rencana- rencana khusus dari tiap-tiap daerah di seluruh Indonesia. Dengan adanya
perencanaan tersebut, maka penggunaan tanah dapat dilakukan secara terencana, terpimpin dan teratur sehingga dapat membawa manfaat yang sebesar-besarnya
bagi Negara dan seluruh rakyat Indonesia. Selanjutnya untuk mencapai tujuan kedua dari diterbitkannya Undang-
Undang Pokok Agraria Nomor. 5 Tahun 1960 selanjutnya disebut UUPA, yakni meletakkan dasar-dasar untuk melakukan unifikasi dan kesederhanaan hukum tanah
nasional, maka ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan dan dilaksanakan, yaitu: 1.
UUPA bermaksud menghilangkan dualisme peraturan dan secara sadar hendak mengadakan kesatuan atau unifikasi hukum sesuai dengan keinginan rakyat
Universitas Sumatera Utara
sebagai bangsa yang bersatu dan sesuai pula dengan kepentingan perekonomian nasional. Hal ini penting mengingat tanah merupakan salah satu asset atau modal
bangsa dan sebagai salah satu sarana untuk menunjang kegiatan di bidang ekonomi.
2. Upaya menyelenggarakan unifikasi hukum melalui Undang-Undang Pokok
Agraria Nomor. 5 Tahun 1960 selanjutnya disebut UUPA tidak tertutup kemungkinan masih adanya perbedaan di dalam masyarakat dan keperluan hukum
yang ada dalam golongan-golongan masyarakat tersebut. Perbedaan yang didasarkan atas perbedaan golongan rakyat tersebut misalnya perbedaan dalam
keperluan atau kebutuhan hukum dari golongan rakyat yang berada di kota dan pedesaan, serta keperluan dan kepentingan bagi rakyat yang secara ekonomis kuat
dengan rakyat yang secara ekonomis berada dalam kategori lemah. Oleh karena itu perlu dijamin adanya perlindungan terhadap kepentingan bagi golongan
ekonomi lemah. 3.
Melalui prinsip unifikasi hak-hak atas tanah yakni dihapusnya hak-hak atas tanah menurut hukum Barat dan hukum adat, maka berarti maksud untuk mencapai
kesederhanaan dan kesatuan dalam pengaturan hukum tanah nasional, dengan sendirinya akan tercapai.
Berikutnya untuk mencapai tujuan ketiga, yakni untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat secara keseluruhan, hal itu sudah
tercantum dalam pasal-pasal mengenai pendaftaran tanah. Pasal 23, Pasal 32 dan Pasal 38 UUPA yang berkaitan dengan pendaftaran tanah ditujukan kepada
Universitas Sumatera Utara
pemegang hak atas tanah yang bersangkutan, dengan maksud agar mereka memperoleh kepastian tentang haknya. Di samping itu dalam Pasal 19 Undang-
Undang Pokok Agraria Nomor. 5 Tahun 1960 selanjutnya disebut UUPA yang mengatur mengenai pendaftaran tanah juga ditujukan kepada Pemerintah sebagai
suatu instruksi untuk menjalankan pendaftaran tanah agar di seluruh wilayah Indonesia diadakan pendaftaran tanah yang bersifat “rechts kadaster” yang bertujuan
untuk menjamin kepastian hukum bagi hak-hak atas tanah di seluruh wilayah Indonesia.
Kendati hukum tanah nasional telah diunifikasi melalui Undang-Undang Pokok Agraria Nomor. 5 Tahun 1960 selanjutnya disebut UUPA, namun beberapa
ketentuan baru sesuai perkembangan masyarakat belum terakomodasi dalam UUPA. Menurut Maria S.W Soemardjono, UUPA masih meninggalkan banyak pekerjaan
rumah. Di samping itu, masalah pertanahan yang dihadapi tidak semakin berkurang, namun justru malah bertambah dalam kompleksitasnya. Oleh karena itu di dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksana UUPA ataupun peraturan-peraturan lain yang relevan, pada umumnya tidak
dilengkapi dengan pemikiran yang tuntas terhadap peraturan pelaksananya. Kesenjangan ini jika dibiarkan terlalu lama sudah barang tentu akan menimbulkan
ketidakpastian hukum.
61
61
Maria S.W Soemardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2005, hal. 7.
Guna mengantisipasi perkembangan di bidang hukum tanah, maka harus senantiasa dilakukan modernisasi terhadap ketentuan dalam UUPA
Universitas Sumatera Utara
melalui interpretasi dan analogi. Tidak kalah pentingnya adalah dilakukan pembaharuan dengan mengubah Undang-Undang Pokok Agraria Nomor. 5 Tahun
1960 selanjutnya disebut UUPA yang sudah berusia hampir setengah abad ini dengan undang-undang baru yang disesuaikan dengan perkembangan terkini di
bidang hukum tanah nasional.
B. Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia
Hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah pada masa Orde Baru diatur dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan
Daerah. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 lebih banyak menitikberatkan pada penyelenggaraan pemerintahan yang sentralistik ketimbang desentralisasi atau
otonomi daerah. Sistem pemerintahan yang sentralistik tersebut terselubung melalui pelaksanaan dekonsentrasi, karena sesungguhnya dekonsentrasi merupakan
penghalusan dari sentralistik. Dekonsentrasi juga merupakan sarana ampuh bagi seperangkat birokrasi Pemerintah Pusat untuk menjalankan praktik sentralisasi,
sehingga mengakibatkan daerah selalu tergantung kepada Pemerintah Pusat yang pada akhirnya berakibat mengurangi kemandirian daerah dan menjadi penghambat
bagi proses pembangunan dan pengembangan Daerah. Seiring dengan bergulirnya era reformasi maka kemudian dilakukan
perombakan secara radikal terhadap sistem pemerintahan daerah melalui Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang ini
mengubah hubungan antara Pemerintah Pusat dengan Daerah dari yang bersifat
Universitas Sumatera Utara
sentralistik menjadi desentralisasi. Esensi dari desentralisasi adalah pelaksanaan otonomi daerah secara luas. Istilah otonomi berasal dari bahasa Yunanai, yaitu autos
yang artinya sendiri dan nomos yang artinya peraturan. Secara harafiah otonomi berarti peraturan sendiri atau undang-undang sendiri, yang kemudian berkembang
pengertiannya menjadi menjalankan pemerintahan sendiri.
62
Otonomi daerah adalah penyerahan sebagian urusan rumah tangga dari pemerintah yang lebih tinggi kepada pemerintah di bawahnya dan sebaliknya
pemerintah di bawah yang menerima penyerahan atau pelimpahan tersebut mampu melaksanakannya. Ada pula yang memaknai otonomi daerah sebagai pemberian hak,
wewenang dan kewajiban kepada daerah yang memungkinkan daerah tersebut untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri guna meningkatkan daya guna dan
hasil guna dalam penyelenggaraan pemerintahan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan dalam pelaksanaan pembangunan daerah.
Selama ini ada yang menyamakan pengertian otonomi daerah dan desentralisasi, walaupun sebenarnya pengertian otonomi daerah dan desentralisasi
tidaklah sama. Secara singkat istilah desentralisasi mengandung pengertian adanya pembentukan daerah otonom atau penyerahan wewenang tertentu kepada daerah
otonom yang dibentuk oleh Pemerintah Pusat. Sedang istilah otonomi daerah mengandung arti pemerintahan yang dijalankan oleh, dari dan untuk rakyat di bagian
62
Dharma Setyawan Salam, Otonomi Daerah Dalam Perspektif Lingkungan Nilai dan Sumber Daya Alam, Jakarta: Djambatan, 2003, hal. 81.
Universitas Sumatera Utara
wilayah nasional suatu Negara melalui lembaga-lembaga pemerintahan yang secara formal berada di luar Pemerintah Pusat.
63
Dalam otonomi daerah terdapat dua komponen utama, yaitu Pertama, komponen wewenang untuk menetapkan dan melaksanakan kebijakan sebagai
komponen yang mengacu pada konsep “pemerintahan” yang terdapat di dalam pengertian otonomi. Kedua, komponen kemandirian sebagai komponen yang
mengacu pada kata-kata “oleh, dari dan untuk rakyat”. Kemandirian tersebut diterjemahkan oleh Mohammad Hatta sebagai upaya untuk mendorong tumbuhnya
prakarsa dan aktivitas sendiri.
64
Kewenangan yang merupakan komponen pertama otonomi daerah diperoleh dari Pemerintah Pusat melalui desentralisasi wewenang, dan wewenang tersebut
merupakan kekuasaan formal formal power dalam bidang-bidang kehidupan yang terliput di dalam wewenang yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat berdasarkan
peraturan perundang-undangan. Sebagai wujud dari penyelenggaraan pemerintahan daerah, maka daerah yang memiliki otonomi Daerah Otonom harus memiliki
sumber keuangan yang dikelola secara terpisah dari keuangan Pemerintah Pusat Dari komponen kedua tersebut terlihat bahwa
otonomi daerah adalah penyelenggaraan pemerintahan oleh daerah yang diselenggarakan secara demokratis dengan melibatkan rakyat secara langsung dalam
penyelenggaraan pemerintahan.
63
Bhenyamin Hoessein, Berbagai Faktor yang Mempengaruhi Besarnya Otonomi Daerah Tingkat II : Suatu Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah Dari Segi Ilmu Administrasi Negara,
Disertasi, Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 1993, hal. 17.
64
Ibid., hal. 18.
Universitas Sumatera Utara
untuk mendukung dan melaksanakan kebijakan di daerahnya terutama untuk tugas- tugas rutin dan tugas pembangunan demi untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Dengan demikian maka wewenang yang dilimpahkan oleh Pemerintah Pusat
kepada Daerah dapat diperbesar atau diperkecil atau juga dapat ditarikdicabut kembali secara keseluruhan. Penambahan bobot atau besaran wewenang oleh
Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah tidak akan mengakibatkan munculnya staat atau negara dalam negara di negara bersangkutan. Pelimpahan wewenang
tersebut tidak meliputi kewenangan untuk menetapkan produk legislatif yang disebut secara formal dalam undang-undang, dan kewenangan mengadili atau yudikatif
rechtspraak seperti yang dimiliki oleh suatu negara bagian dalam sistem federal. Komponen kedua yaitu kemandirian dalam otonomi daerah dapat dilihat dari
adanya kemandirian Pemerintah Daerah untuk menggali Pendapatan Asli Daerah PAD, di samping bantuan dari Pemerintah Pusat dalam bentuk Dana Alokasi Umum
DAU dan Dana Alokasi Khusus DAK. Apabila suatu daerah memiliki PAD lebih besar dari DAU dan DAK yang diperoleh dari Pusat, berarti Daerah yang bersangkutan
mempunyai kemandirian yang lebih besar, dibanding daerah yang PAD-nya kecil. Apabila PAD suatu daearah kecil, maka daerah tersebut ketergantungannya kepada
Pemerintah Pusat sangat besar karena dana untuk penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan masih ditopang oleh Pemerintah Pusat.
Menurut Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah, dikatakan bahwa otonomi daerah adalah hak, wewenang dan
Universitas Sumatera Utara
kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Sedang pengertian desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia Pasal 1 angka 7. Daerah otonom sebagai penerima penyerahan wewenang dari Pemerintah adalah
kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia Pasal 1 angka 6.
Penyelenggaraan otonomi daerah di Indonesia merupakan amanat UUD 1945 yang intinya menyatakan bahwa Pemerintah Daerah berwenang untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya
kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Melalui otonomi luas maka daerah diharapkan mampu
meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah
dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia diterapkan prinsip otonomi
seluas-luasnya dalam arti kepada daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan yang diterapkan berdasarkan undang-undang.
Universitas Sumatera Utara
Daerah memiliki kewenangan untuk membuat kebijakan daerah guna member pelayanan, peninhkatan peran serta, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang
bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Di samping itu juga diterapkan prinsip otonomi nyata dan bertanggung jawab, yakni bahwa dalam menangani urusan
pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai
dengan potensi dan kekhasan daerah. Isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya.
Prinsip otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian
otonomi, yaitu untuk memberdayakan daerah dan meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional. Oleh karena itu penyelenggaraan
otonomi daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat.
Otonomi daearah juga harus menjamin keserasian hubungan antara daerah dengan daerah lain, yaitu mampu membangun kerjasama antar daerah untuk meningkatkan
kesejahteraan bersama dan mencegah ketimpangan antar daerah. Di samping itu juga harus dijamin keserasian hubungan antara Daerah dengan Pusat, artinya harus mampu
memelihara dan menjaga keutuhan wilayah Negara dan tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka mewujudkan tujuan Negara.
Penyelenggaraan otonomi daerah di Indonesia sebenarnya sudah dimulai sejak Tahun 1903 dengan keluarnya Decentralisatie Wet. Pada tahun 1903 Pemerintah
Universitas Sumatera Utara
Belanda menetapkan Wet Houdende Descentralisatie van het Bestuur in Nederlandsh Indie Stb. 1903 No. 219 dan Stb. 1903 No. 329. Kelahiran Undang-Undang
Desentralisasi tersebut disebabkan oleh adanya dorongan dari berbagai pihak tentang perlunya diberikan kemandirian kepada bangsa Indonesia untuk mengatur
pemerintahan sendiri. Untuk melaksanakannya maka kemudian oleh Pemerintah Kolonial dibentuk daerah otonom di wilayah gewest sedang bagian gewest yang
bercorak perkotaan disebut gemeente. Pembentukan daerah otonom dan pelaksanaan pemerintahannya pada jaman colonial tersebut merupakan titik awal dari adanya
hubungan antara pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia.
65
Tuntutan adanya perubahan sistem pemerintahan di Hindia Belanda tersebut didasarkan pada politik etis etische politiek yang dipelopori oleh Van Deventer.
Berdasarkan Undang-Undang Desentralisasi 1903 tersebut maka Pemerintah Hindia Belanda dimungkinkan membentuk daerah otonom beriktu Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah di daerah otonom tersebut, yaitu di luar dari otonomi yang sudah ada sebelumnya yaitu Swapraja dan Desa yang berdasarkan hukum adat.
66
65
Safri Nugraha, dkk, Hukum Administrasi Negara, Depok-Jakarta: CLGS-FHUI, 2007, hal. 20.
Kendati dimungkinkan dibentuk daerah otonom berdasarkan Decentralisatie Wet 1903,
namun penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan prinsip otonomi pada waktu itu tidaklah sama dengan desentralisasi yang dijalankan pada masa setelah kemerdekaan,
karena sudah menjadi ciri khas dari setiap pemerintah kolonial yang lebih
66
Soetandyo Wignyosoebroto, Desentralisasi Dalam Tata Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda, Malang: Bayumedia, 2004, hal. 24.
Universitas Sumatera Utara
mengutamakan pengerukan dan pengurasan kekayaan alam serta penguasaan sumber daya manusia atas negara jajahannya.
67
Otonomi daerah di Indonesia kemudian berkembang pesat seiring tumbangnya rezim Orde Baru pada tahun 1998. Seperti kita ketahui pada era Orde Baru sistem
pemerintahan diselenggarakan secara sentralistis, yakni semuanya dikendalikan oleh Pemerintah Pusat. Kemudian ketika rezim Orde Reformasi berkuasa maka dilakukan
perubahan yang sangat radikal dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, yakni dari sentralisasi ke desentralisasi. Melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
Tentang Pemerintahan Daerah dilakukan perimbakan pengaturan hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai prinsip keadilan dan kesetaraan.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
yang juga mengatur pelimpahan urusan atau kewenangan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah. Namun tidak semua urusan pemerintahan
diserahkandilimpahkan kepada Daerah. Terdapat sebelas urusan pemerintahan yang sebelumnya dipegang penuh oleh Pemerintah Pusat kemudian diserahkan kepada
Pemerintah Daerah untuk diurusi sendiri, salah satunya adalah urusan pemerintahan di bidang pertanahan.
67
Lihat Sudono Syueb, Dinamika Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Sejak Jaman Penjajah sampai Era Reformasi, Yogyakarta: LaksBang Mediatama, 2008, hal. 22.
Universitas Sumatera Utara
C. Kewenangan Pemerintah Dalam Urusan Pertanahan Menurut Peraturan Perundang-undangan
1. Kewenangan Pertanahan Menurut Undang-Undang Pokok Agraria
Perbuatan hukum oleh pemerintah dapat berupa pengaturan atau mengatur, yaitu suatu perbuatan hukum publik pemerintah yang bersegi satu atau sepihak
eenzijdige publiekrechtelijke handeling yang mengikat atau berlaku secara umum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pengaturannya.
Wewenang mengatur atau pengaturan berkaitan dengan kekuasaan atau otoritas yang harus ditaati oleh pihak yang diatur. Pengaturan ini berbeda dengan pembuatan
undang-undang atau legislasi, yaitu pembuatan peraturan perundang-undangan untuk mengatur kelakuan sosial yang dilakukan secara spesifik oleh suatu badan
representative atau perwakilan. Hak untuk mengatur dari negara atau pemerintah disebut sebagai wewenang
atau kewenangan atau bevoegdheid. Wewenang tersebut haruslah sah atau rechtmatig yang memiliki tiga fungsi, yaitu :
1. Bagi aparat pemerintahan, asas keabsahan berfungsi sebagai norma pemerintahan
bestuurnormen; 2.
Bagi masyarakat, asas keabsahan berfungsi sebagai alas an mengajukan gugatan terhadap tindak pemerintahan beroepsgronden;
3. Bagi hakim, asas keabsahan berfungsi sebagai dasar pengujian suatu tindak
pemerintahan toetsingsgronden.
Universitas Sumatera Utara
Jadi, persoalan kewenangan tidak terlepas kaitannya dengan Hukum Tata Negara atau Hukum Administratif Negara Hukum Tata Pemerintahan, karena kedua
bidang hukum tersebut mengatur tentang kewenangan. Hukum administratif berisi norma hukum pemerintahan yang menjadi parameter terhadap penggunaan
kewenangan oleh badan-badan pemerintah. Parameter yang dipakai dalam penggunaan kewenangan tersebut adalah kepatuhan hukum atau ketidakpatuhan
hukum improper legal or improper illegal. Apabila terjadi penggunaan kewenangan secara improper illegal maka badan pemerintah yang berwenang harus
mempertanggungjawabka secara hukum.
68
Suatu kewenangan harus didasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku sehingga bersifat sah. Perihal kewenangan dapat dilihat pada konstitusi Negara yang
memberikan legitimasi kepada badan publik dan lembaga Negara dalam menjalankan fungsinya. Suatu kewenangan dapat diperoleh dari tiga sumber, yaitu atribusi,
delegasi dan mandate. Kewenangan atribusi lazim digariskan melalui pembagian kekuasaan Negara yang diatur dalam Undang-Undang Dasar, sedang delegasi dan
mandat merupakan suatu kewenangan yang berasal dari pelimpahan. Perbedaan antara kewenangan berdasatkan delegasi dan mandate menurut Philipus M Hadjon
adalah terletak pada prosedur pelimpahannya, tanggung jawab dan tanggung gugatnya serta kemungkinan dipergunakannya kembali kewenangan tersebut.
69
68
Tatik Sri Djatmiati, Prinsip-prinsip Ijin Usaha Industri di Indonesia, Disertasi, Program Pascasarjana UNAIR, Surabaya, 2002, hal. 61.
69
Philipus M. Hadjon, 1994, Fungsi Normatif Hukum Administrasi dalam Mewujudkan Pemerintah yang Bersih, Pidato Pengukuhan Guru Besar UNAIR, Surabaya, 10 Oktober 1994, hal.8.
Universitas Sumatera Utara
Dilihat dari prosedur pelimpahannya pada delegasi, pelimpahan wewenang terjadi dari suatu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya, yang
dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Sedang pada mandat pelimpahan wewenang umumnya terjadi dalam hubungan rutin antara bawahan
dengan atasan, kecuali yang secara tegas dilarang. Ditinjau dari segi tanggung jawab dan tanggung gugatnya, pada delegasi, tanggung jawab dan tanggung gugatnya
beralih kepada delegataris, sedang pada mandat tetap berada pada pemberi mandat mandans. Ditinjau dari segi kemungkinan pemberi wewenang berkehendak
menggunakan kembali wewenang tersebut, pada delegasi pemberi wewenang delegans tidak dapat menggunakan wewenang itu lagi, kecuali setelah ada
pencabutan dengan berpegang teguh pada asas contrarius actus, sedang pada pemberi mandate wewenang mandate mandans setiap saat dapat menggunakan sendiri
wewenang dilimpahkan. Pengaturan kewenangan pemerintahan di bidang pertanahan juga diatur dalam
undang-undang dasar dan undang-undang. Dalam Pasal 33 3 UUD 1945 disebutkan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Dari kata “dikuasai oleh negara” terlihat bahwa kewenangan di bidang pertanahan
dilaksanakan oleh Negara yang dalam pelaksanaannya dilakukan oleh Pemerintah Pusat. Berdasarkan kewenangan yang bersumber pada konstitusi tersebut maka
kemudian diterbitkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 yang mengatur masalah keagrariaan atau pertanahan sebagai bagian dari bumi.
Universitas Sumatera Utara
Dalam Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Pokok Agraria Nomor. 5 Tahun 1960 selanjutnya disebut UUPA disebutkan bahwa Negara sebagai personifikasi dari
seluruh rakyat diberi wewenang untuk mengatur, yaitu membuat peraturan, menyelenggarakan dalam arti melaksanakan execution, menggunakan use,
menyediakan reservation dan memelihara maintenance atas bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Berdasarkan hak
menguasai negara atas bumi, air dan kekayaan alam tersebut, maka kewenangan penguasaan dan pengurusan bidang pertanahan ada pada Negara, di mana di bidang
eksekutif pemerintahan dijalankan oleh Presiden pemerintahan atau didelegasikan kepada menteri.
70
Selanjutnya dalam Pasal 2 ayat 4 Undang-Undang Pokok Agraria Nomor. 5 Tahun 1960 selanjutnya disebut UUPA disebutkan bahwa pelaksanaan hak
menguasai Negara dapat dilimpahkan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat hukum adat. Dengan demikian maka wewenang pemerintahan di bidang
pertanahan dapat dilimpahkan oleh Pemerintah kepada Pemerintah Daerah. Kedudukan Pemerintah Daerah tersebut bertindak sebagai pelaksana kekuasaan
Negara yang tidak bersifat asli karena diberikan dilimpahi wewenang untuk itu oleh Pemerintah Pusat. Oleh karena itu Pemerintah Daerah harus bertindak atas dasar taat
asas terhadap ketentuan normatif ketatanegaraan yang berlaku di Indonesia. Pelimpahan wewenang di bidang pertanahan menurut Pasal 2 ayat 4 UUPA tersebut
70
Edy Ruchiyat, Politik PertanahanNasional Sampai Orde Reformasi, Edisi Kedua, Bandung: Alumni, 1999, hal. 11.
Universitas Sumatera Utara
sepenuhnya terserah kepada Pemerintah Pusat yang berwenang menentukan seberapa besar kewenangan di bidang pertanahan tersebut diserahkan kepada daerah atau
masyarakat hukum adat. Dalam Pasal 14 Undang-Undang Pokok Agraria Nomor. 5 Tahun 1960
selanjutnya disebut UUPA terdapat ketentuan yang berisi wewenang Pemerintah untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaanm persediaan dan
pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa. Pemerintah wajib membuat rencana umum nasional national planning di bidang pertanahan. Berdasarkan rencana
umum nasional tersebut Pemerintah Daerah membuat regional planning secara rinci dan dilaksanakan sesuai wewenang yang diberikan oleh Pemerintah. Menurut Budi
Harsono
71
Senada dengan Budi Harsono, seorang pakar hukum agrarian yang lain, Imam Sutiknjo mengatakan bahwa wewenang yang diperoleh dari hak menguasasi Negara
di tingkat pusat ada di tangan Pemerintah. Wewenang tersebut sebagian dapat dilimpahkan kepada pejabat daerah sebagai wakil Pemerintah Pusat di daerahnya
masing-masing guna membantu kelancaran pembangunan daerah. Dalam praktiknya kewenangan Negara berdasarkan Pasal 2 UUPA meliputi bidang legislatif
yang berarti mengatur, bidang eksekutif dalam arti menyelenggarakan dan menentukan, serta bidang yudikatif dalam arti menyelesaikan sengketa tanah baik
antar rakyat maupun antara rakyat dengan Pemerintah.
71
Budi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan UUPA, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid I, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997, hal. 239.
Universitas Sumatera Utara
pelaksanaan tugas dan wewenang di bidang keagrariaan dilakukan oleh instansi agraria di masing-masing daerah atas nama kepala daerah.
72
Jadi, pengaturan masalah pertanahan dan agrarian telah mempunyai landasan konstitusional yang merupakan arah dan kebijakan bagi pengelolaan tanah
sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 33 3 UUD 1945 yang kemudian dijabarkan dalam Undang-Undang Pokok Agraria Nomor. 5 Tahun 1960
selanjutnya disebut UUPA. Berdasarkan kewenangan yang bersumber dari UUD 1945 dan UUPA tersebut maka Pemerintah membuat suatu kebijakan pertanahan
nasional national land policy yang menjadi dasar dalam pengurusan bidang pertanahan di Indonesia. Undang-Undang Pokok Agraria Nomor. 5 Tahun 1960
selanjutnya disebut UUPA memberikan peluang kepada Pemerintah untuk melimpahkan sebagian kewenangannya di bidang pertanahan kepada Pemerintah
Daerah. Dengan demikian maka perubahan penyelenggaraan atau pengurusan bidang pertanahan harus didasarkan pada undang-undang.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kewenangan di bidang pertanahan adalah kewenangan Pemerintah Pusat, meskipun ada sebagian
kewenangan yang didelegasikan kepada Pemerintah Propinsi dan Pemerintah KabupatenKota. Pelimpahan wewenang Pemerintah di bidang pertanahan kepada
pejabat daerah yang menjadi wakil Pemerintah sebenarnya hanya diberikan kepada Gubernur selaku Kepala Daerah Propinsi. Sedang Bupati dan Walikota selaku Kepala
72
Imam Sutiknjo, Politik Agraria Nasional, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1994, hal. 56-57.
Universitas Sumatera Utara
Daerah Kabupaten dan Kota menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah tidak termasuk sebagai wakil Pemerintah di daerah.
Dengan demikian maka kewenangan BupatiWalikota di bidang pertanahan sejatinya bersumber dari pelimpahan wewenang yang diberikan oleh Gubernur selaku wakil
Pemerintah di daerah yang mendapat wewenang dari Pemerintah Pusat. Pengurusan bidang pertanahan yang oleh Undang-Undang Pokok Agraria
Nomor. 5 Tahun 1960 selanjutnya disebut UUPA sepenuhnya menjadi otoritas Pemerintah Pusat didasarkan pada beberapa pertimbangan berikut
73
1. Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat
Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia Pasal 1 ayat 1 UUPA. Ketentuan ini merupakan dasar kenasionalan dalam pengelolaan urusan
pertanahan. Sebagaimana telah disebutkan dalam Penjelasan Umum angka II UUPA, bahwa konsep kenasionalan menghendaki bumi, air dan ruang
angkasa dalam wilayah Negara Republik Indonesia yang kemerdekaannya diperjuangkan oleh seluruh bahngsa Indonesia selayaknya menjadi hak dar
bangsa Indonesia pula. Demikian pula tanah di daerah-daerah dan pulau- pulau, tidak semata-mata menjadi hak rakyat asli dari daerah atau pulau
yang bersangkutan saja, melainkan di sana juga meletakkan hak Bangsa Indonesia secara keseluruhan.
:
2. Seluruh bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya adalah bumi, air dan ruang angkasa Bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional Pasal 1 ayat 2 UUPA.
Ketentuan tersebut mengandung makna bahwa sumber daya agrarian atau pertanahan merupakan kekayaan nasional, yang pengelolaannya harus
memperhatikan kepentingan Bangsa Indonesia secara keseluruhan. Dari ketentuan tersebut dapat dipahami bahwa perbedaan kekayaan sumber
daya alam dari daerah-daerah tidak boleh menimbulkan kesenjangan dalam pembangunan maupun dalam perlakuan terhadap warga Negara
Indonesia. Sumber daya alam harus dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
3. Hubungan antara Bangsa Indonesia dengan bumi, air dan ruang angkasa
bersifat abadi Pasal 1 ayat 3 UUPA. Dari ketentuan tersebut dapat
73
Arie Sukanti Hutagalung dan Markus Gunawan, Kewenangan Pemerintah……., Op.Cit., hal. 60-61.
Universitas Sumatera Utara
dibaca bahwa yang terkandung di dalamnya merupakan dasar dalam rangka pembinaan integrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia NKRI.
Disadari bahwa Bangsa Indonesia mempunyai ikatan yang sangat erat dengan tanahnya. Hal ini disebabkan oleh karena tanah merupakan
komponen yang sangat penting bagi penyelenggaraan hidup dan kehidupannya. Dalam konsep ini tanah dalam arti kewilayahan diletakkan
sebagai dan merupakan salah satu unsure pembentuk Negara. Oleh karena itu hubungan Bangsa Indonesia dengan tanah dalam wilayah Negara
Republik Indonesia tidak boleh putus atau diputuskan. Dengan demikian, maka selama Bangsa Indonesia secara keseluruhan masih ada, maka
selama itu pula eksistensi NKRI akan tetap berdiri dengan kokoh.
Dalam praktik selama ini di lapangan pelimpahan wewenang di bidang pertanahan sebenarnya tidak dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi daerah, tetapi
hanya didekonsentrasikan kepada instansi pusat yang ada di daerah, yaitu kepada Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional di Provinsi dan Kantor Pertanahan di
KabupatenKota yang kesemuanya merupakan instansi vertikal. Dengan demikian maka berdasatkan Undang-Undang Pokok Agraria Nomor. 5 Tahun 1960
selanjutnya disebut UUPA tidak ada urusan pertanahan yang diotonomikan atau didesentralisasikan kepada daerah. Hal ini salah satunya terlihat dari Peraturan
Menteri AgrariaKepala BPN Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Keputusan pemberian Hak Atas Tanah
Negara yang mengatur pelimpahan kewenangan pemberian dan pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah Negara. Menurut Peraturan tersebut kewenangan
Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi adalah memberi keputusan mengenai
74
74
Peraturan Menteri AgrariaKepala BPN Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah Negara.
:
Universitas Sumatera Utara
1. Pemberian hak milik atas tanah pertanian yang luasnya lebih dari 2 ha.
2. Pemberian hak milik atas tanah non pertanian yang luasnya tidak lebih
dari 5.000 M
2
3. Pemberian Hak Guna Usaha atas tanah yang luasnya tidak lebih dari 200
Ha. , kecuali yang kewenangan pemberiannya telah dilimpahkan
kepada Kepala Kantor Pertanahan KabupatenKota.
4. Pemberian Hak Guna Bangunan atas tanah yang luasnya tidak lebih dari
150.000 M
2
5. Pemberian Hak Pakai atas tanah pertanian yang luasnya lebih dari 2 ha.
, kecuali yang kewenangan pemberiannya telah dilimpahkan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupatenkota.
6. Pemberian Hak Pakai atas tanah non pertanian yang luasnya tidak lebih
dari 150.000 M
2
7. Pemberian hak atas tanah yang sudah dilimpahkan kewenangan
pemberiannya kepada Kepala Kantor Pertanahan KabupatenKota apabila atas laporan yang diperlukan berdasarkan keadaan di lapangan.
, kecuali kewenangan pemberiannya telah dilimpahkan kepada Kepala Kantor Pertanahan KabupatenKota.
8. Pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah yang telah dikeluarkan
oleh Kepala Kantor Pertanahan KabupatenKota yang terdapat cacat hukum dalam penerbitannya.
9. Pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah yang kewenangan
pemberiannya dilimpahkan kepada Kepala Kantor Pertanahan KabupatenKota dan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional
Propinsi untuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
Sedang kewenangan Kepala Kantor Pertanahan KabupatenKota adalah member keputusan mengenai
75
1. Pemberian Hak Milik atas tanah pertanian yang luasnya tidak lebih dari 2 ha.
:
2. Pemberian hak milik atas tanah non pertanian yang luasnya tidak lebih
dari 2.000 M
2
3. Pemberian Hak Milik atas tanah dalam rangka pelaksanaan program
transmigrasi, redistribusi tanah, konsolidasi tanah, pendaftaran tanah secara massal baik dalam rangka pelaksanaan pendaftaran tanah secara
sistematik maupun sporadik. , kecuali mengenai tanah bekas Hak Guna Usaha.
4. Pemberian Hak Guna Bangunan atas tanah yang luasnya tidak lebih dari
2.000 M
2
5. Semua pemberian Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan.
, kecuali yang mengenai tanah bekas Hak Guna Usaha. 6.
Pemberian Hak Pakai atas tanah pertanian yang luasnya tidak lebih dari 2 ha.
75
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
7. Pemberian Hak Pakai atas tanah non pertanian yang luasnya tidak lebih
dari 2.000 M
2
8. Semua pemberian Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan.
kecuali mengenai tanah bekas Hak Guna Usaha. 9.
Memberi keputusan mengenai semua perubahan hak atas tanah kecuali perubahan Hak Guna Usaha menjadi hak lain.
Jadi, kendati Undang-Undang Pokok Agraria Nomor. 5 Tahun 1960 selanjutnya disebut UUPA dianggap sebagai induk payung undang-undang atau
Umbrella Act bagi pengaturan soal pertanahan namun ternyata masih dirasakan belum lengkap. Hal ini didasarkan pada ketidakmampuan UUPA dalam menangani
berbagai konflik di bidang pertanahan. Terdapat beberapa kelemahan dalam UUPA, yaitu, pertama, sistem kepemilikan tanah beraneka ragam bagi perseorangan,
sehingga secara birokratis amat mahal dan tidak menguntungkan bagi masyarakat. Kedua, sistem kepemilikan tanah bagi perusahaan dan kelompok masih timpang.
Ketiga, fungsi ruang dan pemanfaatan yang terkait dengan pemilikan tanah yang kurang mendukung mekanisme pasar yang mampu mengatur alokasinya secara adil
dan transparan.
76
Reformasi di bidang pertanahan perlu memperhatikan hak-hak rakyat atas tanah, fungsi sosial hak atas tanah, batas maksimum pemilikan tanah pertanian dan
perkotaan, serta pencegahan tindakan penelantaran tanah, termasuk berbagai upaya untuk mencegah pemusatan penguasaan tanah di satu tangan yang merugikan
kepentingan rakyat. Kelembagaan pertanahan perlu disempurnakan agar dapat terwujud sistem pengelolaan pertanahan yang terpadu, serasi, efektif dan efisien, yang
76
Herman Haeruman, Suatu Pemikiran dalam Reformasi Sistem Agraria, Membentuk Sistem Pertanahan Positif Yang Lebih Efektif Untuk Kesejahteraan Masyarakat, Opening Remarks
International Conference on Land Policy Reform, Bappenas RI, Jakarta, 26 Juli 2000, hal. 1.
Universitas Sumatera Utara
meliputi tertib administrasi, tertib hukum, tertib penggunaan, serta tertib pemeliharaan tanah dan lingkungan hidup.
77
Pembaharuan kebijakan di bidang pertanahan harus memperhatikan, pertama, penyebaran penguasaan tanah secara adil bagi rakyat sesuai kebutuhan dan
kemampuannya. Untuk itu perlu penataan kembali sistem penguasaan tanah, baik menyangkut pembaharuan hak atas tanah maupun sistem tata guna tanah. Kedua,
tanah merupakan komponen kegiatan ekonomi rakyat, sehingga tanah harus produktif. Mengingat suasana agraris dan sistem penguasaan tanah yang berlaku saat
ini masih kurang adil bagi petani, maka tidak ada jaminan tanah akan selalu produktif. Ketiga, dihilangkan dualism sistem pertanahan yang tidak adil dan
merugikan rakyat. Sistem baru di bidang pertanahan harus mencakup sistem penguasaan tanah, sistem administrasi pertanahan dan kepastian hukum, baik dalam
proses maupun dalam berbagai hak penguasaan atas tanah.
78
2. Kewenangan Pertanahan Menurut TAP MPR Nomor IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.
Era reformasi memicu munculnya berbagai kebijakan untuk merombak sendi- sendi kehidupan dan penyelenggaraan pemerintahan Negara di Indonesia. Di bidang
pertanahan dilakukan reformasi pengaturan maupun kebijakan pemerintah. Salah satu produk hukum terkait dengan reformasi bidang pertanahan adalah TAP MPR Nomor
77
Soegiarto, Permasalahan Pertanahan Nasional, Jakarta: BPN Pusat, 2000, hal. 2.
78
Bagir Manan, 2003, Politik Keagrariaan atau Politik Pertanahan, Makalah Seminar Nasional dalam rangka Kongres IX IPPAT, Jakarta, 23 September 2003, hal. 7.
Universitas Sumatera Utara
IX Tahun 2001 Tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, yang ditetapkan pada Sidang Tahunan MPR tanggal 9 November 2001. Perlunya
dilakukan reformasi di bidang pertanahan melalui TAP MPR Nomor IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam didasarkan pada
pertimbangan
79
a. Sumber daya agraria atau sumber daya alam meliputi bumi, air dan ruang
angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sebagai rahmat Tuhan Yang Maha Esa kepada Bangsa Indonesia merupakan kekayaan
nasional yang wajib disyukuri. Kekayaan nasional tersebut harus dikelola dan dimanfaatkan secara optimal bagi generasi sekarang dan generasi mendatang
dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur. :
b. MPR mempunyai tugas konstitusional untuk menetapkan arah dan dasar bagi
pembangunan nasional yang dapat menjawab berbagai persoalan kemiskinan, ketimpangan dan ketidakadilan sosial ekonomi rakyat, serta kerusakan sumber
daya alam. c.
Pengelolaan sumber daya agrariasumber daya alam yang berlangsung selama ini telah menimbulkan penurunan kualitas lingkungan, ketimpangan struktur
penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatannya serta menimbulkan berbagai konflik.
d. Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber
daya agrariaSDA saling tumpang tindih.
79
TAP MPR Nomor IX Tahun 2001.
Universitas Sumatera Utara
e. Untuk mewujudkan cita-cita luhur bangsa Indonesia sebagaimana tertuang
dalam Pembukaan UUD 1945, diperlukan komitmen politik yang sungguh- sungguh untuk memberikan dasar dan arah bagi pembaruan agrarian dan
pengelolaan SDA yang adil, berkelanjutan dan ramah lingkungan. TAP MPR Nomor IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan
Pengelolaan Sumber Daya Alam tersebut merupakan pedoman atau tuntutan dalam melakukan pembaharuan hukum pertanahan di Indonesia. Kendati bukan merupakan
sumber hukum formil, namun ketentuan dalam TAP MPR tersebut dapat dijadikan sebagai arahan dan landasan bagi peraturan perundang-undangan mengenai
perombakan hukum pertanahan di Indonesia sesuai tuntutan era reformasi. Dalam Pasal 2 TAP MPR Nomor IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan
Pengelolaan Sumber Daya Alam disebutkan bahwa pembaruan di bidang pertanahan mencakup proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali
penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumber daya agraria, yang dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta
keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia. Selanjutnya, dalam Pasal 4 TAP MPR Nomor IX Tahun 2001 tentang
Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam disebutkan bahwa pembaharuan agraria dan pengelolaan sumber daya alam harus dilaksanakan sesuai
dengan prinsip-prinsip
80
80
Pasal 4, TAP MPR Nomor IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan
Sumber Daya Alam
:
Universitas Sumatera Utara
1. memelihara dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia; 2.
menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia; 3.
menghormati supremasi hukum dengan mengakomodasi keanekaragaman dalam unifikasi hukum;
4. mensejahterakan rakyat, terutama melalui peningkatan kualitas sumber
daya manusia Indonesia; 5.
mengembangkan demokrasi, kepatuhan hukum, transparansi dan optimalisasi partisipasi masyarakat;
6. mewujudkan keadilan termasuk kesetaraan gender dalam penguasaan,
pemilikan, penggunaan, pemanfaatan dan pemeliharaan sumber daya agrariaSDA;
7. memelihara keberlanjutan yang dapat memberi manfaat yang optimal,
baik untuk generasi sekarang maupun generasi mendatang, dengan tetap memperhatikan daya tampung dan daya dukung lingkungan;
8. melaksanakan fungsi sosial, kelestarian, dan fungsi ekologis sesuai
dengan kondisi sosial budaya setempat; 9.
meningkatkan keterpaduan dan koordinasi antar sektor pembangunan dan antar daerah dalam pelaksanaan pemba- haruan dan pengelolaan
sumber daya agraria; 10.
mengakui, menghormati dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agrariaSDA;
11. mengupayakan keseimbangan hak dan kewajiban negara, pemerintah
pusat, provinsi dan kabupatenkota dan desa atau yang setingkat, masyarakat dan individu;
12. melaksanakan desentralisasi berupa pembagian kewenangan di tingkat
nasional, daerah provinsi, kabupatenkota, dan desa atau yang setingkat, berkaitan dengan alokasi dan pengelolaan sumber daya
agrariaSDA.
Dalam TAP MPR Nomor IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam juga disinggung mengenai arah kebijakan dalam
perombakan atau pembaharuan di bidang agrariaSDA, antara lain meliputi
81
a. melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-
undangan yang berkaitan dengan bidang pertanahan dalam rangka kebijakan antar sektor demi terwujudnya peraturan perundang-undangan
yang didasarkan pada prinsip-prinsip sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 4 TAP MPR tersebut;
:
81
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
b. melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan,
pemanfaatan tanah landreform yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat;
c. menyelenggarakan pendataan pertanahan melalui inventarisasi dan
registrasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, pemanfaatan tanah secara komprehensif dan sistematis dalam rangka pelaksanaan landreform,
d. menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya
agraria yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik di masa mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan
hukum dengan didasarkan atas prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 TAP MPR ini;
e. memperkuat kelembagaan dan kewenangannya dalam rangka mengemban
pelaksanaan pembaharuan agraria dan menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya agraria yang terjadi;
f. mengupayakan dengan sungguh-sungguh pembiayaan dalam
melaksanakan program pembaharuan agraria dan penyelesaian konflik- konflik sumber daya agraria yang terjadi.
TAP MPR Nomor IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam secara tegas menugaskan kepada DPR dan Presiden
untuk segera mengatur lebih lanjut pelaksanaan pembaharuan agraria dan pengelolaan sumber daya alam serta mencabut, mengubah danatau mengganti semua undang-
undang dan peraturan pelaksanaannya yang tidak sejalan dengan ketetapan tersebut. Dari TAP MPR tersebut dapat diketahui bahwa persoalan reformasi pertanahan
merupakan suatu kebutuhan mutlak. Terkait dengan upaya mengkaji ulang terhadap peraturan yang menyangkut bidang pertanahan, maka perlu dilaknkan pelurusan
terhadap undang-undang yang tidak bersesuaian dengan UUPA sebagai payung undang-undang umbrella act bagi pengaturan hukum tanah di Indonesia.
Ketentuan mengenai desentralisasi atau pelimpahan wewenang di bidang pertanahan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah, yang kemudian diganti dengan dalam Undang-Undang
Universitas Sumatera Utara
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan bahwa yang dilimpahkan kepada Daerah bukanlah urusan di bidang pertanahan, tetapi hanya
terkait dengan pelayanan pertanahan. Itu artinya pemegang kebijakan dan pembuat regulasi di bidang pertanahan tetap dijalankan oleh Pemerintah Pusat, sementara
Pemerintah Daerah hanya sebatas menjalankan kebijakan dan melaksanakan produk hukum di bidang pertanahan yang telah diterbitkan oleh Pemerintah Pusat.
3. Kewenangan Pemerintah Menurut Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 Tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan
Penerbitan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang kebijakan nasional di bidang pertanahan dilakukan untuk mewujudkan konsepsi, kebijakan dan
sistem pertanahan nasional yang utuh dan terpadu. Keputusan Presiden tersebut menentukan bahwa penyerahan sebagian kewenangan Pemerintah di bidang
pertanahan kepada Pemerintah KabupatenKota, hanya meliputi sembilan jenis kewenangan, yaitu: 1 pemberian ijin lokasi; 2 penyelenggaraan pengadaan tanah
untuk kepentingan pembangunan; 3 penyelesaian sengketa tanah garapan; 4 penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan; 5
penetapan subyek dan obyek redistribusi -tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee, 6 penetapan dan penyelesaian masalah tanah hak
ulayat; 7 pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong; 8 pemberian ijin membuka tanah; dan 9 perencanaan dan penggunaan tanah wilayah kabupatenkota.
Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang kebijakan nasional di bidang pertanahan tersebut diterbitkan sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 32
Universitas Sumatera Utara
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sehingga dapat ditafsirkan bahwa Keputusan Presiden tersebut dimaksudkan sebagai peraturan pelaksana Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah juga mengatur mengenai otonomi daerah di bidang pertanahan dan Peraturan Pemerintah Nomor 25
Tahun 2000 tentang Pembagian Wewenang Antara Pusat dan Provinsi dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Ketetapan MPR Nomor IX Tahun 2001 tentang
Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Substansi Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan
memuat pelaksanaan sebagian wewenang Pemerintah yang meliputi 9 jenis kewenangan di bidang pertanahan oleh Pemerintah KabupatenKota. Apabila
dikaitkan dengan wewenang penuh Pemerintah Daerah di bidang pertanahan sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat 2 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah maka penerbitan Keputusan Presiden tersebut merupakan kebijakan yang bersifat “setengah hati atau “tidak ikhlas dari
Pemerintah dalam melimpahkan kewenangannya kepada Pemerintah Daerah.
82
Melalui Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang kebijakan nasional di bidang pertanahan, Pemerintah hanya memberikan kewenangan bidang
pertanahan kepada Pemerintah KabupatenKota yang meliputi sembilan kewenangan tersebut di atas. Padahal perintah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah bahwa penyerahan urusan pertanahan kepada Pemerintah
82
Sarjita, Masalah Pelaksanaan Urusan Pertanahan dalam Era Otonomi Daerah, Yogyakarta: Tugujogja Pustaka, 2005, hal. 11.
Universitas Sumatera Utara
Kabupaten Kota tidak dilakukan pembatasan dan pelaksanaannya cukup dilakukan melalui pengakuan oleh Pemerintah. Jadi sejak berlakunya Undang-Undang Nomor
22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah maka kewenangan pemerintah di bidang pertanahan dengan sendirinya sudah berada dan beralih menjadi kewenangan
Pemerintah KabupatenKota. Hal itu menjunjukkan bahwa Pemerintah Pusat tidak tulus dan tidak rela dalam menerapkan desentralisasi di bidang pertanahan
sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
Menurut Sarjita, Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang kebijakan nasional di bidang pertanahan secara hierarkis jelas bertentangan dengan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, sehingga seharusnya tidak dapat diberlakukan. Suatu undang-undang yang kedudukannya lebih
tinggi tidak dapat dianulir oleh Keputusan Presiden yang kedudukannya lebih rendah. Apabila Pemerintah menghendaki pembatasan jenis kewenangan di bidang
pertanahan yang akan dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah KabupatenKota, maka seharusnya dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah, dan bukan dilakukan dengan hanya menerbitkan Keputusan Presiden yang kedudukannya lebih rendah dari undang-undang.
Penerbitan Keputusan Presiden yang menimbulkan permasalahan krusial dalam pelaksanaan otonomi daerah di bidang pertanahan, secara tidak langsung merupakan
Universitas Sumatera Utara
pengabaian terhadap ketentuan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
83
Apabila ditinjau dari asas lex superiori derogate legi inferiori, jika peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya bertentangan dengan peraturan
perundang- undangan yang lebih rendah, maka yang berlaku adalah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
84
Asas tersebut, menurut Lili Rasjidi digunakan sebagai etika pengawasan terhadap proses pembentukan peraturan
perundang-undangan dalam pembangunan hukum di Indonesia.
85
83
Ibid.
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai
pengganti Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah maka secara otomatis ketentuan dalam Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003
tentang kebijakan nasional di bidang pertanahan tidak mempunyai kekuatan hukum lagi. Hal tersebut didasarkan pada alasan bahwa dalam Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah Provinsi dan KabupatenKota hanyalah urusan di bidang pelayanan
pertanahan bukan bidang pertanahan secara menyeluruh dan mandiri seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
Dengan demikian, maka pembuatan kebijakan nasional di bidang pertanahan dan hukum tanah tetap menjadi kewenangan Pemerintah, sedang pelaksanaan dan
84
Bagir Manan, Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia, Jakarta: IND-HILL CO, 1992, hal. 22.
85
Lili Rasjidi dan I.B. Waysa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993, hal. 136.
Universitas Sumatera Utara
pelayanan yang terkait dengan bidang pertanahan dapat dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah. Dengan demikian maka Pemerintah dapat berbagi dengan
Pemerintah Daerah dalam memberikan pelayanan di bidang pertanahan, sedang yang menerbitkan kebijakan dan hukum tanah secara nasional adalah tetap Pemerintah
Pusat. Menurut Pasal 10 ayat 5 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah ditegaskan bahwa dalam rangka menjalankan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah di luar urusan wajib pemerintah
pusat sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat 3 maka pemerintah dapat, yaitu 1 menjalankan sendiri sebagai urusan pemerintahan; 2 melimpahkan sebagian urusan
pemerintahan kepada Gubernur selaku wakil Pemerintah; atau 3 menugaskan sebagian urusan kepada pemerintahan daerah danatau pemerintahan desa
berdasarkan asas tugas pembantuan. Dengan demikian maka penyerahan urusan pertanahan yang oleh UUPA merupakan wewenang Pemerintah Pusat, oleh
Pemerintah dapat diserahkan sebagian kepada Pemerintah Daerah tetapi hanya sebatas pada pemberian wewenang pelayanan pertanahan.
4. Kewenangan Pemerintah Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007