2. Penelitian ini dapat menjadi masukan untuk kebijakan dan pengaturan terkait
dengan pembagian urusan pemerintahan di bidang pertanahan. 3.
Diharapkan berguna sebagai bahan kajian untuk akselerasi otonomi daerah, sebagai upaya mendekatkan pelayanan pemerintah dengan masyarakat untuk
mencapai kesejahteraan masyarakat serta terwujudnya clean government dan good governance di bidang pertanahan.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan pengamatan dan penelusuran kepustakaan yang dilakukan di Perpustakaan Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, dan sepanjang yang diketahui
belum ada penelitian yang dilakukan dengan mengangkat Judul Kewenangan Bidang Pertanahan Dalam Konteks Otonomi Daerah Studi di Kantor Wilayah Badan Pertanahan
Nasional Provinsi Sumatera Utara. Dengan demikian, penelitian ini dapat dikatakan penelitian yang pertama
kali dilakukan di lingkungan Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, oleh karenanya, penulis berkeyakinan bahwa judul tesis ini dan permasalahan yang
diajukan belum pernah diteliti dan dibahas, sehingga dapat dikatakan asli.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori
Pada kajian tentang penyelenggaraan pemerintahan daerah akan selalu terkait negara, sehingga teori dasar tentang negara menjadi landasan teori pada
Universitas Sumatera Utara
penelitian ini. Penyelenggaraan pemerintahan daerah akan selalu terkait dengan hubungan pusat dan daerah, salah satu hubungan tersebut dibangun dengan sistem
desentralisasi. Desentralisasi pada penelitian ini menjadi faktor utama dalam hubungan pusat dan daerah, sehingga perlu disajikan kerangka teorinya. Selain itu
yang terkait adalah teori tentang politik hukum mengenai kewenangan pertanahan dalam konsep otonomi daerah.
Negara adalah suatu organisasi dalam satu wilayah yang memiliki kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyatnya.
14
Menurut Aristoteles,
15
Sementara itu, menurut Supomo negara pada
hakekatnya adalah sebuah asosiasi, yaitu suatu perkumpulan dari kelompok orang yang mengorganisir diri mereka untuk tujuan tertentu yang hendak dicapai.
16
14
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008, hal. 17.
dengan berpijak teori integralistik yang diajarkan Spinoza, Adam Muller, Hegel dan lain-lain pada abad 18 dan 19, negara
ialah tidak untuk menjamin kepentingan seseorang atau golongan, akan tetapi menjamin kepentingan masyarakat seluruhnya sebagai persatuan. Negara ialah suatu
susunan masyarakat yang integral, segala golongan, segala bagian, segala anggotanya berhubungan erat satu sama lain dan merupakan persatuan yang masyarakat yang
organis.
15
Bhenyamin Hoessein, Penyempurnaan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Menurut Konsepsi Otonomi Daerah Hasil Amandemen 1945, disampaikan dalam Seminar Dan Lokakarya
Pembangunan Hukum Nasional VIII, diselenggarakan oleh BPHN Depkumham, Bali, 14 – 18 Juli 2003, hal. 1.
16
Marsilam Simanjutak, Pandangan Negara Integralistik, Jakarta: Grafiti, 1997, hal. 85.
Universitas Sumatera Utara
Pada perkembangan saat ini, Jimly Asshydiqqie membedakan bentuk negara di dunia menjadi empat macam susunan organisasi negara, yaitu
17
1. Negara Kesatuan Unitary State, Eenheidsstaat, pada negara kesatuan
dimana kekuasan negara terbagi antara pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah. Kekuasaan asli terdapat di tingkat pusat,
sedangkan kekuasaan daerah mendapatkan kekuasaan dari pusat melalui penyerahan sebagian kekuasaan yang ditentukan secara tegas.
:
2. Negara Serikat atau Federal Federal State, Bondsstaat, pada negara
serikat atau federal kekuasaan negara terbagi antara negara bagian dan pemerintahan federal, kekuasaan asli ada pada negara bagian sebagai
badan hukum negara yang bersifat sendiri-sendiri yang secara bersama- sama membentuk pemerintahan federal dengan batas-batas kekuasaan
yang disepakati bersama oleh negara-negara bagian dalam konstitusi federal.
3. Negara Konfederasi Confederation, Statenbond, negara konfederasi
merupakan persekutuan antar negara-negara yang berdaulat dan independen yang karena kebutuhan tertentu mempersekutukan diri dalam
organisasi kerjasama yang longgar.
4. Negara Superstruktural Superstate, yaitu persekutuan antar negara
dengan sifat yang sangat kuat, yang di dalamnya terdapat fungsi-fungsi kenegaraan sebagaimana lazimnya, seperti fungsi legislasi dan fungsi
administrasi.
Dari keempat bentuk susunan organisasi negara tersebut, bentuk negara kesatuan menjadi pilihan bagi Republik Indonesia, sebagaimana ditegaskan dalam
Pasal 1 ayat 1 UUD Negara RI Tahun 1945, “Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik”. Pada ketentuan ini dapat dilihat beberapa
pengertian seperti yang disampaikan oleh Jimly Asshydiqqie
18
“Pertama, Negara yang diatur dalam UUD ini bernama Negara Indonesia; Kedua, Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan; Ketiga, Negara Indonesia
berbentuk Republik. Karena itu, Negara Indonesia dan Undang-Undang Dasar 1945 tidak dapat dilepaskan dari eksistensi Konstitusi Negara
:
17
Jimly Asshidiqqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer, 2007, hal. 282.
18
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Republik Indonesia. Apalagi, adanya kata “ialah” dalam rumusan “Negara Indonesia ‘ialah’ Negara Kesatuan” menunjukan rumusan yang bersifat
definitif. Artinya, jika bukan Negara Kesatuan, maka namanya bukan lagi Negara Indonesia.”
Negara kesatuan ialah suatu negara yang merdeka dan berdaulat, dimana di
seluruh negara yang berkuasa hanyalah satu pemerintah pusat yang mengatur seluruh daerah. Pada suatu negara kesatuan, kekuasaan terletak pada Pemerintah dan
tidak pada pemerintah daerah.
19
Lebih lanjut Mahfud.MD. menegaskan bahwa negara kesatuan adalah konsep ketatanegaraan yang mengatur hubungan kekuasaan
gezagverhouding antara Pemerintah dan Daerah.
20
Sementara itu menurut C.F. Strong, negara kesatuan adalah bentuk negara dimana wewenang legislatif tertinggi dipusatkan dalam satu badan legislatif
nasionalpusat. Kekuasaan terletak pada Pemerintah dan tidak pada pemerintah daerah. Pemerintah mempunyai wewenang untuk menyerahkan sebagian
kekuasaannya kepada Daerah berdasarkan hak otonomi negara kesatuan dengan sistem desentralisasi, tetapi pada tahap akhir kekuasaan tertinggi tetap di tangan
Pemerintah. C.F Strong menyimpulkan bahwa terdapat ciri mutlak yang melekat pada negara kesatuan yaitu, 1 adanya supremasi dari dewan perwakilan rakyat pusat, dan
2 tidak adanya badan-badan lainnya yang berdaulat.
21
19
Agussalim Andi Gadjong, Pemerintahan Daerah, Kajian Politik Dan Hukum, Bogor: Ghalia Indonesia, 2007, hal. x.
20
Moh. Mahfud MD., Konstitusi dan Hukum Konstitusi dalam Kontroversi Isu, Jakarta: Rajawali Pers, 2009, hal. 212. Mahfud juga menjelaskan bahwa konsep kesatuan berbeda dengan
konsep persatuan, persatuan adalah sikap batin atau kejiwaan atau semangat kolektif untuk bersatu dalam ikatan kebangsaan dan negara.
21
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Op.Cit., hal. 269.
Universitas Sumatera Utara
Dalam menjalankan fungsinya, negara mempunyai kekuasaan, yang menurut Arthur Maass memilah pembagian kekuasaan negara menjadi dua, yaitu
22
Pembagian kekuasaan secara vertikal bertujuan untuk menciptakan keseimbangan antara Pemerintah dan Daerah. Pembagian kekuasaan ini dilakukan
dengan membentuk daerah otonom yang berfungsi sebagai organ yang menerima penyerahan kekuasaan dari Pemerintah atau dapat disebut dengan desentralisasi.
Desentralisasi adalah penyerahan wewenang atau penyerahan sebagian urusan pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom. Menurut Bhenyamin Hoesein,
pengertian desentralisasi tidak hanya penyerahan wewenang namun harus pula mecakup pembentukan daerah otonom.
: Pertama, Capital Division of Powers, pembagian kekuasaan secara horisontal atau pemisahan
kekuasaan separations of powers yang melahirkan kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Kedua, Areal Division of Power, pembagian kekuasaan secara vertikal
pembagian kekuasaan berdasarkan wilayah yang melahirkan desentralisasi dan otonomi daerah. Pada konteks ini, desentralisasi merupakan instrumen yang
digunakan dalam rangka areal division of powers.
23
Sementara itu, menurut Hans Kelsen pada sebuah negara tidak mungkin terjadi urusan pemerintah diselenggarakan 100 sentralisasi atau 100 desentralisasi
22
Arthur Maass, Area And Power A Thery Of Local Government, Illions: Glencoe, 1969, hal. 9.
23
Bhenyamin Hoessein, Berbagai Faktor Yang Mempengaruhi Besarnya Otonomi Dati II Suatu Kajian Desentralisasi Dan Otonomi Daerah Dari Segi Ilmu Administrasi Negara, Disertasi,
Universitas Indonesia, Jakarta, 1993, hal. 71.
Universitas Sumatera Utara
atau tidak mungkin terdapat total centralization atau total decentralization.
24
Sebagaimana disampaikan oleh Bhenyamin Hoessein bahwa sentralisasi merupakan asas yang pokok, sementara itu asas desentralisasi termasuk juga dekonsentrasi dan
tugas pembantuan tidak mungkin diselenggarakan tanpa sentralisasi.
25
Satuan otonomi teritorial merupakan suatu satuan mandiri dalam lingkungan negara kesatuan yang berhak melakukan tindakan hukum sebagai subjek hukum
untuk mengatur dan mengurus fungsi pemerintahan administrasi negara yang menjadi urusan rumah tangganya, jadi hubungan pusat dan daerah merupakan
hubungan antara dua subjek hukum yang masing-masing berdiri sendiri. Oleh karena
itu, dapat dikatakan bahwa makna desentralisasi pada negara kesatuan adalah sebagai wujud toleransi Pemerintah kepada Daerah dalam hal pemberian kewenangan untuk
melaksanakan urusan-urusan yang bisa menjadi urusan rumah tangga daerah, dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan di daerah.
26
Pengaturan pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah dan Daerah tidak akan lepas dari sisi politik hukum atau kebijakan hukum legal policy. Politik
hukum menurut Moh. Mahfud, MD
27
24
Bhenyamin Hoessein, et.,al. Naskah akademik Tata Hubungan Kewenangan Pemerintahan Pusat Dan Daerah, PKPADK Fisip UI, Jakarta, 2005, hal. 67.
adalah sebagai pernyataan kehendak penguasa negara mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya dan mengenai arah kemana
hukum hendak diperkembangkan. Pengertian ini menunjukkan pandangan Radhie
25
Bhenyamin Hoessein, Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah Dan Daerah Otonomi, Makalah, disajikan dalam seminar FISIP UI, Depok, 2007, hal. 1.
26
Ni’matul Huda, Pengawasan Pusat Terhadap Daerah Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, FH UII Press, Yogyakarta, 2007, hal. 5.
27
Moh. Mahfud MD, Membangun Politk Hukum, Menegakkan Konstitusi, Jakarta: LP3ES, 2006, hal. 13.
Universitas Sumatera Utara
bahwa politik hukum mencakup ius constitutum atau hukum yang berlaku di wilayah negara pada saat ini dan ius contituendum atau hukum yang atau seharusnya
diberlakukan di masa mendatang. Sementara itu, Padmo Wahyono
28
Soedarto memberikan pengertian politik hukum adalah kebijaksanaan dari negara dengan perantaraan badan-badan yang berwenang untuk menetapkan
peraturan perundangan yang dikehendaki dan diperkirakan dapat digunakan untuk mengekspresikan norma yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai
tujuan yang dicita-citakan. mengatakan bahwa politik hukum adalah
kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk, maupun isi dari hukum yang akan dibentuk. Politik hukum adalah kebijakan penyelenggara negara tentang apa yang
dijadikan kriteria untuk menghukumkan sesuatu yang di dalamnya mencakup pembentukan, penerapan, dan penegakan hukum. Dalam hal ini, Padmo Wahyono
melihat politik hukum dengan lebih condong pada aspek ius constituendum.
29
28
Ibid.
Dari berbagai definisi politik hukum, dapat dibuat rumuan sederhana bahwa politik hukum itu adalah arahan atau garis resmi yang
dijadikan dasar pijak dan cara untuk membuat dan melaksanakan hukum dalam rangka mencapai tujuan bangsa dan negara. Dapat juga dikatakan bahwa politik
hukum merupakan upaya menjadikan hukum sebagai proses pencapaian tujuan
29
Aruan Sakidjo dan Bambang Poernomo. Hukum Pidana: Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Kodifikasi, Cet. I, Yogyakarta: Ghalia Indonesia, 1990, hal. 55.
Universitas Sumatera Utara
negara.
30
Tujuan politik hukum nasional adalah, pertama, sebagai suatu alat atau sarana dan langkah yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk menciptakan suatu
sistem hukum nasional yang dikehendaki; Kedua, dengan sistem hukum nasional itu akan diwujudkan cita-cita bangsa Indonesia yang lebih besar.
31
Selanjutnya, konsep dan pokok aturan hukum agraria yang termuat dalam Undang-Undang Pokok Agraria Nomor. 5 Tahun 1960 selanjutnya disebut UUPA
merupakan produk hukum dan cerminan kebijakan pemerintahan saat itu, yakni orde lama. Undang-Undang Pokok Agraria Nomor. 5 Tahun 1960 selanjutnya disebut
UUPA ditujukan guna pembaruan hukum agraria saat itu, namun belum cukup waktu dan terlaksana apa yang diprogramkan, kepemimpinan negara berpindah pada
rezim orde baru yang memiliki pola kepemimpinan yang berbeda. Sebagaimana diketahui masa orde baru adalah masa pertumbuhan sehingga seluruh kebijakan
sangat propertumbuhan. Meskipun banyak kebijakan pembangunan dan pelaksanaannya yang berbeda dengan semangat Undang-Undang Pokok Agraria
Nomor. 5 Tahun 1960 selanjutnya disebut UUPA namun dengan berbagai tafsiran disediakan perangkat peraturan pelaksana UUPA yang memungkinkan pemerintah
orde baru menjalankan kebijakannya di bidang pertanahan, yang sangat pro pemodal dengan segala akibatnya terhadap masyarakat banyak.
32
30
Teuku Muhammad Radhi dalam Moh. Mahfud MD, Membangun Politk Hukum, Menegakkan Konstitusi, Op.Cit., hal. 16.
31
Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar-Dasar Politik Hukum, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2004, hal. 59.
32
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraia, Isi, dan Pelaksanaanya Jilid I, Jakarata: Penerbit Djambatan, 2003, hal. 243-244.
Universitas Sumatera Utara
Hukum agraria nasional kemudian mengalami perubahan seiring peralihan kepempinan negara pada orde reformasi. Tampak ada tekad untuk mengadakan
perombakan yang mendasar pada kebijakan nasional di bidang ekonomi. Selain Undang-Undang Pokok Agraria Nomor. 5 Tahun 1960 selanjutnya disebut UUPA
dan berbagai peraturan perundang-undangan baik yang setingkat undang-undang maupun peraturan perundang-undangan yang lebih rendah peraturan pemerintah,
keputusanperaturan presiden, keputusanperaturan menteri, pengaturan dan kebijakan di bidang agraria juga didukung oleh beberapa Ketetapan MPR, seperti
TAP MPR No.XVMPR1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan;
Serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dan TAP MPR No.IXMPR2001 tentang Pembaruan Agraria dan
Pengelolaan Sumber Daya Alam. Konsepsi Hukum Tanah Nasional dan ketentuan-ketentuan dalam Undang-
Undang Pokok Agraria Nomor. 5 Tahun 1960 selanjutnya disebut UUPA telah menjadi dasar pijak pembangunan Nasional selama kurun waktu hampir setengah
abad. Berbagai peraturan perundang-undangan baik berbentuk undang-undang, maupun peraturan pelaksanaannya dalam pertimbangan hukumnya merujuk kepada
UUPA sebagai dasar hukum tanah nasional. Undang-undang terkait agraria seperti kehutanan, pertambangan, sumber daya alam, sumber daya air, dan penataan ruang
menjadikan dasar-dasar hukum dalam UUPA sebagai suatu pertimbangan hukum di dalam aturan-aturan undang-undang tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Hal ini menunjukkan bahwa posisi hukum tanah nasional sangat signifikan dan terkait dengan kepentingan antar dan berbagai sektor dan bidang hukum lainnya.
Namun demikian fakta menunjukkan bahwa ada ketidakharmonisan dan ketidaksinkronan dalam berbagai peraturan perundangan di bidang hukum agraria
khususnya dan yang terkait dengan agraria lainnya. Harmonisasi terkait dengan harmonis dan selarasnya tidak bertentangannya suatu peraturan perundang-
undangan yang secara horizontal memiliki tingkat hirarkhi yang sama, sementara mengarah pada hubungan vertikal antara satu peraturan perundangan dengan
peraturan perundangan yang lain yang lebih tinggi atau lebih rendah tingkatanya dalam hirarkhi peraturan perundang-undangan.
Selain perangkat peraturan perundang-undangan di bidang hukum agrarian yang saling bertentangan dan tumpang tindih, berbagai persoalan terkait tanah dalam
pengelolaan berbagai sumber daya agraria yang berlangsung selama ini telah menimbulkan penurunan kualitas lingkungan, ketimpangan struktur penguasaan,
pemilikan, penggunaan dan pemanfaatannya serta menimbulkan berbagai konflik. Persoalan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum menjadi suatu unsur yang
tidak tercapai dalam berbagai kebijakan pertanahan, sehingga menimbulkan berbagai konflik dan menjauhkan masyarakat dari rasa keadilan.
Kondisi ini kemudian memunculkan suatu komitmen politik dari para wakil rakyat sehingga setelah melalui tahapan yang panjang, berliku dan beragam
ditetapkanlan suatu ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat mengenai pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam. Kebijakan nasional yang dikeluarkan oleh
Universitas Sumatera Utara
MPR dengan TAP MPR No.IXMPR2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam inilah kemudian menjadi tonggak awal adanya
pembaruan hukum agraria sebagai bagian dari pembaruan agrarian secara keseluruhan. Beberapa catatan penting dalam TAP MPR No.IXMPR2001 tentang
Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam terkait dengan pembangunan hukum agraria nasional yakni :
a. Adanya fakta bahwa yuridis bahwa peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan pengelolaan sumber daya agraria dan sumber daya alam saling tumpang tindih dan bertentangan.
33
b. TAP MPR No.IXMPR2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan
Sumber Daya Alam ini ditujukan sebagai landasan peraturan perundang- undangan mengenai pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam.
34
c. Pembaruan agraria mencakup suatu proses yang berkesinambungan berkenaan
dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumber daya agraria, dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan
perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia.
35
33
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Ketetapan MPR No.IXMPR2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, Konsideran Menimbang Huruf d.
34
Ibid., Pasal 1.
35
Ibid., Pasal 2.
Universitas Sumatera Utara
d. Dalam operasionalisasi pembaruan agraria terutama dalam kaitannya dengan
perundang-undangan, terdapat prinsip-prinsip yang harus dijadikan dasar yakni
36
1. prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia;
:
2. prinsip penghormatan kepada hak asas manusia;
3. prinsip penghormatan supremasi hukum dan pengakomodasian prularisme
hukum dalam unifikasi hukum; 4.
prinsip kesejahteraan rakyat; 5.
prinsip keadilan; 6.
prinsip keberlanjutan; 7.
prinsip pelaksanaan fungsi sosial, kelestarian dan fungsi ekologis; 8.
prinsip keterpaduan dan koordinasi antarsektor; 9.
prinsip pengakuan dan penghormatan hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa;
10. prinsip keseimbangan hak dan kewajiban negara, pemerintah pusat, daerah
provinsi, kabupatenkota, dan desa atau yang setingkat, masyarakat dan individu; dan
11. prinsip desentralisasi.
e. Bahwa dalam rangka pelaksanaan prinsip-prinsip diatas, salah satu arah kebijakan
utama yang harus dilakukan dalam pembaruan agraria adalah melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang
36
Ibid., Pasal 4.
Universitas Sumatera Utara
berkaitan dengan agraria dalam rangka kebijakan antarsektor demi terwujudnya peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada prinsip-prinsip diatas.
37
f. MPR menugaskan DPR RI bersama Presiden RI untuk segera mengatur lebih
lanjut pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam dengan menjadikan Ketetapan ini sebagai landasan dalam setiap pembuatan kebijakan;
dan semua undang-undang dan peraturan pelaksanaannya yang tidak sejalan dengan Ketetapan ini harus segera dicabut, diubah, danatau diganti.
38
Sebelum dikeluarkannya TAP MPR tentang Pembaruan Agraria pada tahun 2001, salah satu arahan kebijakan pembangunan di bidang ekonomi dalam GBHN
1999-2004 adalah mengembangkan kebijakan pertanahan untuk meningkatkan pemanfaatan dan penggunaan tanah secara adil, transparan, dan produktif
mengutamakan hak-hak rakyat setempat, termasuk hak ulayat
39
dan masyarakat adat,
40
serta berdasarkan tata ruang wilayah yang serasi dan seimbang.
41
37
Ibid., Pasal 5.
Ditegaskan pula bahwa salah satu ciri sistem ekonomi kerakyatan adalah pemanfaatan dan
penggunaan tanah dan sumber daya alam lainnya, seperti hutan, laut, air, udara, dan mineral secara adil, transparan dan produktif dengan mengutamakan hak-hak rakyat
38
Ibid., Pasal 6.
39
Kata ulayat berasal dari bahasa Minang, berarti “wilayahnya”. Lihat Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah………………, Op.Cit., hal. 83.
40
Masyarakat adat adalah masyarakat yang timbul secara spontan di wilayah tertentu dengan rasa solidaritas yang besar diantara anggota dan memandang yang bukan anggota sebagai
orang luar. Penggunaan wilayahnya sebagai sumber kekayaan yang dapat dimanfaatkan sepenuhnya oleh anggotanya. Pemanfaatan oleh orang luar harus mendapat izin dan pemberian imbalan tertentu
berupa recognisi, Lihat dalam Maria. S.W. Sumardjono, Hak Ulayat dan Pengakuannya Dalam UUPA, Jakarta: Kompas, 13 Mei 1993, hal. 4.
41
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional Propenas Tahun 2000-2004, Lembaran Negara Nomor 206 Tahun 2000.
Universitas Sumatera Utara
setempat, termasuk hak ulayat masyarakat adat dengan tetap menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup.
42
Terkait dengan dimulainya era desentralisasi, maka dalam rangka pembangunan daerah, di samping aspek ruang, maka sebagian besar kegiatan
masyarakat berkaitan dengan tanah yang merupakan aset bagi perorangan, badan usaha, dan publik yang wajib diakui. Pada saat ini masalah pengelolaan atau
administrasi pertanahan dilakukan oleh pemerintah untuk menjamin ketertiban proses sertifikasi status tanah, penguasaan penggunaan, dan pengalihan pemilikan tanah,
penguasaan penggunaan, dan pengalihan pemilikan tanah. Peran pemerintah sangat penting untuk menjamin kepastian hukum, kelancaran penggunaan tanah oleh semua
anggota masyarakat untuk berbagai kepentingan. Hal ini dilakukan dengan mengembangkan kebijakan pertanahan untuk meningkatkan pemanfaatan dan
penggunan tanah secara adil, transparan dan produktifitas dengan mengutamakan hak-hak rakyat setempat, termasuk hak ulayat dan masyarakat adat, serta berdasarkan
tata ruang wilayah yang serasi dan seimbang. Untuk melaksanakan amanat GBHN 1999-2004, program pembangunan
prioritas untuk mempercepat pengembangan wilayah di bidang pertanahan adalah dengan “Program Pengelolaan Pertanahan”. Tujuan dari program ini adalah
mengembangkan administrasi pertanahan untuk meningkatkan pemanfaatan dan penguasaan tanah secara adil dengan mengutamakan hak-hak rakyat setempat
termasuk hak ulayat masyarakat hukum adat dan meningkatkan kapasitas
42
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
kelembagaan pengelolaan pertanahan di pusat dan daerah. Sasaran yang ingin dicapai adalah adanya kepastian hukum terhadap hak milik atas tanah; dan terselenggaranya
pelayanan pertanahan bagi masyarakat secara efektif oleh setiap pemerintah daerah dan berdasarkan pada peraturan dan kebijakan pertanahan yang berlaku secara
nasional.
43
Adapun kegiatan pokok yang dilakukan adalah 1 peningkatan pelayanan pertanahan di daerah yang didukung sistem informasi pertanahan yang andal; 2
penegakan hukum pertanahan secara konsisten; 3 penataan penguasaan tanah agar sesuai dengan rasa keadilan; 4 pengendalian penggunaan tanah sesuai dengan
rencana tata ruang wilayah termasuk pemantapan sistem perizinan yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang atau penggunaan tanah didaerah; dan 5 pengembangan
kapasitas kelembagaan pertanahan di pusat dan daerah.
44
2. Konsepsi